Anda di halaman 1dari 19

Poliomielitis

Bab VIII.2
Poliomielitis
Ismoedijanto, Hardiono Pusponegoro, Kusnandi Rusmil, Haryono Suyitno

Poliomielitis anterior akut adalah suatu penyakit demam akut yang


disebabkan virus polio. Kerusakan pada motor neuron medula
spinalis dapat mengakibatkan kelumpuhan yang bersifat flaksid,
sehingga nama lain dari poliomielitis adalah infantile paralysis, acute
anterior poliomyelitis. Respons terhadap infeksi virus polio sangat
bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai adanya gejala kelumpuhan
total dan atropi otot, pada umumnya mengenai tungkai bawah dan
bersifat asimetris, dan dapat menetap selamanya bahkan sampai
dengan kematian. Gejala penyakit polio dilaporkan pertama kali
oleh Michael Anderwood pada tahun 1789 dari Inggris dan sebagai
penyakit klinik polio pertama kali ditulis oleh Heine pada tahun 1840
dan diuraikan secara epidemiologis oleh Medine pada tahun 1891,
sehingga penyakit ini disebut juga Heine-Medine disease. Kata polio
berasal dari bahasa Yunani berarti grey (abu-abu) dan myelitis berasal
dari myelon (marrow). Artinya predileksi virus ini pada sel anterior
masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak.
Penyakit ini hanya menyerang manusia dan dapat menimbulkan
KLB epidemi dan endemi.

Program pengendalian dan eradikasi polio


Outbreak pertama kali terjadi di Eropa pada awal abad ke-19 yang
banyak menyerang anak, dan selanjutnya kejadian epidemik meluas
pada umur yang lebih tua. Epidemi polio berskala besar terjadi di
Imunisasi untuk PD31

Eropa dan Amerika sejak pertengahan abad 19 sampai pertengahan


pertama abad 20.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 255


Ismoedijanto, Hardiono Pusponegoro, Kusnandi Rusmil, Haryono Suyitno

Sesudah perang dunia, epidemik poliomielitis menyebar ke seluruh


dunia. Epidemi polio di Amerika pada tahun 1952 menyebabkan
sekitar 21.000 kasus paralitik. Upaya eradikasi dilakukan dengan
melaksanakan imunisasi massal dengan mempergunakan vaksin
polio. Melalui upaya imunisasi, angka kejadian penyakit polio
telah menurun secara drastis. Virus polio liar terakhir ditemukan di
Amerika pada tahun 1979.
Expanded Programe Immunization (EPI) atau Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) di dunia mulai dianjurkan WHO sejak tahun 1974 dan
mulai menambahkan vaksin DTP dan polio dari yang sebelumnya
hanya BCG dan cacar. Sejak saat itu jumlah penyakit poliomielitis
yang dilaporkan dari setiap negara semakin menurun. Pada sidang
WHA ke 41 tahun 1988, diputuskan mengubah polio control menjadi
eradikasi polio global yang direncanakan selesai tahun 2000 lewat
Global Polio Eradication Initiative (di Indonesia dikenal sebagai ERAPO).
Dalam program eradikasi polio setiap negara harus melaksanakan
4 (empat) langkah-langkah strategi pembasmian polio.
1. Mencapai dan memelihara target imunisasi rutin polio untuk
anak < 1 tahun diberikan dalam 3-4 dosis (target minimal 90%
dari sasaran).
2. Melaksanakan imunisasi tambahan termasuk di dalamnya
Pekan Imunisasi Nasional (PIN)/Sub-PIN, dianggap cukup
berhasil apabila bisa mencapai target cakupan > 90% dari target
populasi.
3. Melakukan program surveilans AFP (acute flaccid paralysis)/
deteksi lumpuh layuh akut. Tujuannya mendeteksi anak
dengan lumpuh layuh yang mungkin terinfeksi virus polio.
Program ini merupakan usaha mencari dan membuktikan
bahwa setiap anak yang menderita lumpuh layuh berumur
< 15 tahun bukan disebabkan virus polio liar dengan cara
Imunisasi untuk PD31

memeriksa tinja pasien AFP .


4. Mopping up yaitu melaksanakan imunisasi polio tambahan bagi
balita dari rumah ke rumah di daerah yang dicurigai masih ada
transmisi virus polio liar atau yang mengalami KLB polio liar.

256 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Poliomielitis

Dengan melaksanakan strategi ERAPO sertifikasi bebas polio telah


tercapai di Asia Tenggara pada Maret 2014. Sampai saat ini masih
dijumpai polio di tiga negara yaitu Pakistan, Afganistan, dan Nigeria.
India sudah terbebas sejak 3 tahun sehingga SEARO akan
mendapat sertifikat bebas polio pada tahun 2014. Konsekuensi dari
sertifikasi ini adalah semua negara diharapkan melakukan ”end game”
yang disetujui agar tidak terjadi penyebaran antar negara atau antar
region.
Indonesia telah melaksanakan program imunisasi polio di seluruh
Indonesia melalui program pengembangan imunisasi/PPI sejak
tahun 1978. Tahun 1980 program vaksinasi polio dimulai dan pada
tahun 1990 cakupan imunisasi rutin >90%. Jumlah kasus polio di
Indonesia telah berhasil diturunkan sebesar 97% yaitu dari 773 kasus
pada tahun 1988 menjadi 23 kasus yang dilaporkan pada tahun 1993.
Tahun 1995 virus polio liar terakhir ditemukan di kabupaten Malang,
Probolinggo, Cilacap, Palembang, dan Medan.
Sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi kasus polio liar di
Indonesia dan untuk memutus mata rantai penularan, setelah PIN
dilaksanakan berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997, dan tahun 2002
(akibat gejolak sosial politik) dengan cakupan lebih dari 90% sesuai
anjuran WHO.
Melalui aktivitas surveilans AFP pada tahun 2005 menemukan
adanya kasus polio liar akibat importasi pada anak laki-laki berusia
20 bulan di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Analisis genetik virus
polio tersebut menunjukkan bahwa virus polio tersebut merupakan
virus polio tipe satu yang diimpor dari Nigeria, kejadian luar biasa
polio tersebut juga telah terjadi di 15 negara yang bebas polio lainnya
termasuk Yaman dan Arab Saudi.
Kejadian luar biasa kasus polio di Indonesia sampai dengan
tanggal 21 Maret 2006 ditemukan pada 305 anak yang tersebar di
Imunisasi untuk PD31

10 provinsi di Indonesia. Kasus polio liar yang terakhir dilaporkan


pada seorang anak di Aceh Tenggara pada 16 Februari 2006, selain
kasus tersebut, ditemukan juga KLB VDPV di Madura (45 kasus)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 257


Ismoedijanto, Hardiono Pusponegoro, Kusnandi Rusmil, Haryono Suyitno

dan Probolinggo (1 kasus). Aktifitas PIN dan Sub-PIN segera


dilaksanakan dan sejak saat itu sampai sekarang tidak terdapat
laporan KLB Polio di Indonesia

Imunisasi polio

Imunisasi polio yaitu proses pembentukan kekebalan terhadap


penyakit polio dengan mempergunakan vaksin polio oral (OPV)
maupun suntikan (IPV). Pemberian OPV sangat bermanfaat pada
saat permulaan eradikasi, karena selain menimbulkan kekebalan
humoral dan kekebalan lokal. Pada usus resipien juga mempunyai
“community effect” yaitu virus vaksin yang berbiak di usus akan ikut
menyebar ke anak sekitarnya, sehingga jangkauan imunisasi makin
meluas. Selain itu virus vaksin yang berbiak akan menutup PVR
(polio virus receptor) di usus selama 100 hari, sehingga virus polio liar
tidak dapat menempel dan menimbulkan infeksi. Selain itu vaksin
OPV mudah diberikan (ditetes) dan harganya relatif murah, sehingga
mampu menjangkau daerah yang terpencil.

Jadwal imunisasi
Imunisasi dasar OPV atau IPV diberikan mulai umur 2-3 bulan tiga
dosis berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Imunisasi
booster dilakukan pada usia 18 bulan. Imunisasi dapat diberikan
bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DTP dan Hib.
Pemberian setelah dua dosis OPV, memberikan serokonversi 90%-
93% untuk tipe 1, 99%-100% tipe 2, dan 76%-98% tipe 3. Setelah
pemberian tiga dosis serokonversi mencapai hampir 100% untuk
ketiga tipe.
Imunisasi untuk PD31

Vaksin polio
Imunisasi polio dapat dilakukan dengan cara memberikan suntikan
IPV (meningkatkan antibodi humoral dengan cepat) atau meneteskan

258 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Poliomielitis

OPV (menimbulkan kekebalan lokal pada usus dan kekebalan


humoral). Vaksin polio ditemukan sejak tahun 1950, dalam bentuk
vaksin inactivated (Salk) poliovirus vaccine (IPV) mendapat lisensi
pada tahun 1955 dan digunakan secara luas. Perbaikan vaksin
IPV dilakukan dengan membuat enhanced potency IPV (eIPV) yang
menggunakan molekul yang lebih besar dan menimbulkan kadar
antibodi lebih tinggi mulai digunakan tahun 1988. Namun, pada
tahun 1963, IPV secara luas mulai digantikan dengan vaksin trivalen
virus polio secara oral (OPV), bahkan di seluruh dunia. Perbedaan
kedua vaksin tersebut adalah IPV merupakan vaksin yang berisi
virus inaktif/mati yang dibuat dengan memanaskan menggunakan
formaldehid. Sedangkan OPV adalah virus hidup yang dilemahkan
(attenuated) dengan membiakkan di dalam sel non manusia sehingga
masih mempunyai kemampuan enterovirulen, tetapi tidak bersifat
patogen, karena sifat neurovirulensi sudah hilang. Pada IPV yang
berfungsi sebagai vaksin (antigen) adalah protein dari virus tersebut,
terutama protein kapsid yang mengandung gugusan epitop antigen.
Akhir-akhir ini didapatkan bahwa OPV dapat back mutation dengan
cara de-attenuation dalam usus manusia, menjadi neurovirulen dan
menimbulkan wabah kelumpuhan lagi.

Oral polio vaccine (OPV)/vaksin sabin


Vaksin dibuat oleh Hilary Koprowski dengan cara pembiakan virus
polio pada tikus dan selanjutnya Albert Bruce Sabin melakukan
modifikasi dengan cara membiakkan virus pada biakan jaringan ginjal
kera Macaca rhesus. Hasil yang diperoleh virus yang lemah dengan
daya imunologik yang tinggi.
Vaksin polio oral bekerja dalam dua cara, yaitu dengan
memproduksi antibodi dalam darah (imunitas humoral) terhadap
Imunisasi untuk PD31

ketiga tipe virus polio sehingga pada kejadian infeksi, vaksin ini akan
memberikan perlindungan dengan mencegah penyebaran virus polio
ke sistem saraf. Pemberian OPV juga menghasilkan respons imun lokal
di membran mukosa intestinal tempat terjadinya multiplikasi virus

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 259


Ismoedijanto, Hardiono Pusponegoro, Kusnandi Rusmil, Haryono Suyitno

polio. Antibodi yang terbentuk akan membatasi multiplikasi virus


polio liar di dalam intestinal, menutup reseptor (PVR) sehingga virus
tidak bisa menempel dan berkembang biak. Respons imun intestinal
terhadap OPV merupakan alasan utama mengapa penggunaan OPV
secara massal dapat menghentikan penyebaran virus polio liar dari
seseorang ke orang lain. Akan tetapi, satu dari setiap 6,2 juta dosis
OPV dapat menyebabkan paralisis yang berhubungan dengan vaksin
polio VAPP (vaccine associated paralysis poliomyelitis).

Trivalent oral polio vaccine (tOPV)


Vaksin tOPV mengandung tiga macam galur virus polio, setiap dosis
0,1 mL/2 tetes terdiri dari tipe 1 >106 CCID50, tipe 2 >105 CCID50,
dan tipe 3 >105.8 CCID50.
Pada keadaan ditemukan lebih dari satu tipe virus polio liar,
tOPV secara epidemiologis dan operasional adalah vaksin terbaik
untuk digunakan karena dapat memberikan perlindungan terhadap
ketiga tipe virus polio. Setelah tetesan pertama, kekebalan humoral
yang terjadi lebih dulu adalah antibodi terhadap polio-2 (P2) diikuti
polio-1 (P1) dan terakhir polio-3 (P3). Kompetisi antara ketiga serotipe
tersebut mengakibatkan perlindungan dengan efisiensi yang berbeda-
beda untuk setiap tipe. Imunogenesitas virus polio 2 paling baik di
antara ketiga virus polio tersebut sehingga perlindungan terhadap
virus tipe 2 paling mudah terjadi, kemudian diikuti tipe 1 dan 3.
Imunogenitas OPV sangat bervariasi, di negara tropik dan miskin
dengan sanitasi yang buruk, imunogenitasnya rendah misalnya di
India atau Afrika. Para pakar berusaha menghindari interferensi antar
galur virus polio tersebut dengan membuat vaksin tanpa komponen
P2, baik dalam bentuk mOPV (monovalen OPV) maupun bOPV
(bivalen OPV).
Imunisasi untuk PD31

Bivalent oral polio vaccine (bOPV)


Imunisasi bOPV direncanakan untuk menggantikan tOPV pada masa

260 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Poliomielitis

transisi ERAPO, terdiri dari komponen P2 dan P3. Sesuai dengan


kenyataan bahwa OPV telah berhasil mengeradikasi polio 2, kasus
yang terakhir di India pada tahun 1999.

Monovalent oral polio vaccine (mOPV)


Vaksin OPV hanya mengandung satu macam galur virus polio.
Pemberian mOPV dengan dosis yang sama dengan tOPV akan
memberikan kekebalan spesifik yang lebih tinggi dan lebih cepat
terhadap tipe tertentu dibandingkan dengan tOPV. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 80% anak di negara tropis akan
mempunyai kekebalan terhadap virus polio tipe 1 setelah pemberian
satu dosis mOPV1 dibandingkan dengan 40% anak setelah
pemberian tOPV. Begitu juga dengan 72% anak yang mempunyai
kekebalan terhadap virus polio tipe 3 setelah dosis pertama mOPV3
dibandingkan dengan 31% anak setelah dosis pertama tOPV.

Efek simpang OPV


•• VAPP
Vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP), yaitu kejadian
lumpuh setelah imunisasi OPV. Penelitian kolaboratif WHO
yang dilakukan di 13 negara selama 15 tahun (1970-1984)
memperlihatkan bahwa risiko VAPP (pada resipien vaksin
atau pada kontak resipien) adalah kecil, kurang dari 0,3 per
juta dosis vaksin (atau kurang dari 1 kasus per 3,3 juta dosis).

•• VDPV
Efek simpang lain adalah vaccine derived polio viruses (VDPV).
Pada bulan September 2000 terjadi kasus polio yang disebabkan
oleh virus polio yang berasal dari OPV‑vaccine‑derived poliovirus
yang menyebabkan KLB di kepulauan Hispaniola, Filipina,
Imunisasi untuk PD31

dan Mesir, bahkan Nigeria dan India. Di Indonesia pada tahun


2005 terdapat 46 kasus VDPV terjadi bersamaan dengan KLB
polio di Madura dan Probolinggo. Hal ini menunjukkan VDPV
merupakan masalah yang serius, karena virus vaksin yang back

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 261


Ismoedijanto, Hardiono Pusponegoro, Kusnandi Rusmil, Haryono Suyitno

mutated ini berpotensi menimbulkan wabah baru di daerah yang


mempunyai cakupan imunisasi rendah. Jika angka cakupan
imunisasi di masyarakat mendekati 100%, vaksin tersebut
akan memicu kekebalan sebelum VDPV dapat menyebabkan
kelumpuhan. Jika angka cakupan imunisasi dengan OPV
rendah, VDPV dapat menyebar melalui beberapa orang yang
tidak diimunisasi, mengalami mutasi, sehingga meningkatkan
kemungkinan infeksi polio dalam populasi. Dengan demikian,
satu saat virus ini akan menyebabkan infeksi kepada sekelompok
penduduk yang mempunyai kekebalan yang rendah terhadap
polio, sehingga dapat timbul KLB VDPP. Kelompok ini terbentuk
dari orang yang tidak mendapat imunisasi polio atapun mereka
yang telah lama sekali mendapat OPV sehingga kekebalan usus
menurun. Belum pernah dilaporkan adanya kematian setelah
menerima tetesan vaksin.

Inactivated polio vaccine (IPV)/vaksin Salk


Vaksin IPV berisi virus polio virulen yang sudah diinaktivasi/
dimatikan dengan panas dan formaldehid. Diketahui IPV sedikit
memberikan kekebalan lokal pada dinding usus sehingga virus
polio masih dapat berkembang biak dalam usus orang yang telah
mendapat IPV saja. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran
virus ke sekitarnya, yang membahayakan orang-orang di sekitarnya.
Sehingga vaksin ini tidak dapat mencegah penyebaran virus polio
liar. Jadi, IPV tidak dipergunakan untuk eradikasi polio, namun
dapat mencegah kelumpuhan baik akibat virus polio liar atau virus
polio vaksin Sabin.

Perkembangan eradikasi polio dan imunisasi


Imunisasi untuk PD31

selama masa transisisi


Sirkulasi virus polio liar tipe 2 di masyarakat telah berhenti sejak
tahun 1999. Pada masa akhir dari eradikasi polio, hanya virus polio

262 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Poliomielitis

liar tipe 1 dan 3 yang masih tetap bersirkulasi sebagai virus polio
liar pada daerah endemis, sedangkan dan tipe 3 hanya terbatas di
Nigeria Utara dan Selatan, Niger, Afganistan, dan India.
Pada saat polio liar 3 dan 1 sangat menurun, muncul cVDPV
2 yang menyebabkan wabah di beberapa negara, bahkan mampu
menyebar secara luas seperti virus polio liar.
Tujuan Global Polio Eradication Initiative adalah untuk memastikan
bahwa penularan virus polio diputuskan secara global melalui suatu
usaha yang terkoordinasi secara nasional dan global. Kegiatan yang
termasuk dalam program Global Polio Eradication Initiatives ialah,
1. Memutuskan rantai penularan virus polio
Dilakukan kegiatan imunisasi massal di daerah endemis,
respons mop‑up yang segera terhadap import virus polio liar,
pemberian imunisasi tambahan di daerah bebas polio yang
memiliki risiko paling tinggi, meningkatkan cakupan imunisasi
polio rutin, surveilans, serta laboratorium yang berkualitas
baik.
2. Mendapatkan sertifikasi eradikasi polio secara global
Sertifikasi eradikasi polio diberikan secara regional. Masing-
masing regional memiliki sebuah komisi sertifikasi yang
mempertimbangkan pemberian sertifikasi apabila semua
negara di regional tersebut mampu mendokumentasikan dan
menunjukkan tidak ada penularan virus polio liar selama
setidaknya tiga tahun berturut-turut dengan surveilans yang
baik.
3. Mengembangkan produk vaksin IPV untuk fase penghentian
penggunaan OPV secara global.

Setelah hasil yang sangat memuaskan, eradikasi yang menerapkan


surveilans AFP (acute flaccid paralysis) yang ketat ternyata mampu
Imunisasi untuk PD31

mendeteksi adanya penularan virus polio liar dari daerah endemik


ke daerah sekitarnya atau KLB VDPV di daerah yang cakupan
imunisasi menurun. Untuk mempercepat penanggulangan KLB,

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 263


Ismoedijanto, Hardiono Pusponegoro, Kusnandi Rusmil, Haryono Suyitno

dikembangkan vaksin monovalen (sesuai serotipe yang beredar)


yang mampu menimbulkan kekebalan lebih cepat. Penggunaan
monovalen P1 (MOVP-1) dengan cepat menekan KLB di negara
yang terkena, termasuk Indonesia. Setelah kasus polio liar di Nigeria
dan Afghanistan makin menurun, dunia mulai masuk ke tahapan
eradikasi global dan penghentian imunisasi polio.
Apabila eradikasi polio global telah tercapai, kelompok ahli
SAGE dan IMB dari WHO menganjurkan menggunakan IPV untuk
menjaga dunia tanpa polio dengan 3 suntikan IPV dan menghentikan
penggunaan OPV. Namun dalam masa transisi dari OPV ke IPV
dilakukan dengan menggunakan bOPV (komponen polio 1 dan 3)
disertai minimal satu kali suntikan IPV untuk melandasi respons
yang baik terhadap virus P2, bila terjadi KLB.

End of the game polio


Tahap akhir dari prakarsa pemberantasan polio global (Global Polio
Eradication Initiative-GPEI) disebut ”end-game” polio terdiri dari tiga
kunci kegiatan utama yaitu, kendali, sertifikasi, dan pemberhentian
imunisasi.

Kendali (containment)
Setelah dinyatakan bebas polio, maka virus polio liar yang pernah
beredar harus disimpan di laboratorium untuk diisolasi dengan
pengamanan yang ketat. Pengendalian virus polio liar yang ketat
telah menyulitkan Indonesia memproduksi IPV (bahan baku adalah
polio liar), sehingga IPV buatan Indoneisia akan mengacu pada bahan
baku virus polio yang dilemahkan disebut Sabin IPV.
Imunisasi untuk PD31

Sertifikasi
Kegiatan sertifikasi ialah mempertahankan standar sertifikasi
surveilans untuk mendeteksi kasus polio secara cepat. Sertifikasi

264 Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Poliomielitis

global menentukan minimal tiga tahun berturut-turut melaporkan nol


kasus polio liar kepada pengawas sertifikasi, dan verifikasi laporan
dari Komite Sertifikasi Nasional. Sertifikasi untuk Asia Tenggara
(South East Asia Region=SEARO), telah diberikan pada 27 Maret 2014
di New Delhi.

Penghentian imunisasi
Tujuan penghentian imunisasi polio adalah mencapai konsensus
kapan dan bagaimana menghentikan pemberian vaksin polio oral.
Imunisasi pada masa transisi sangat tergantung pada komitmen
pemerintah. Dianjurkan melakukan pemberian bOPV tiga kali
dengan tambahan satu kali IPV, sebelum akhirnya akan menuju
penggunaan tiga kali IPV dalam bentuk vaksin kombinasi.

Daftar rujukan
1. Simoes EAF. Poliomyelitis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h. 1344-50.
2. World Health Organization. Modul 6: poliomyelitis. Immunological basis for
immunization series. Geneva: WHO; 1996.
3. Plotkin SA, Vidor E. Poliovirus vaccine-inactivated. Dalam: Plotkin SA, Orenstein
WA, penyunting. Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 625-50.
4. Depkes RI. Petunjuk pelaksanaan program imunisasi di Indonesia. Jakarta: Depkes
RI; 2000.Depkes RI. Petunjuk pelaksanaan program imunisasi di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI; 2000.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan SubPIN, Jakarta: Depkes RI; 2006.
6. World Health Organization. Global polio eradication progress 2000. Geneva: WHO;
2001.
7. World Health Organization. Poliomyelitis fact sheet. Geneva: WHO; 2001.
8. World Health Organization. Polio eradication: the final chalange. Geneva: WHO; 2003.
9. World Health Organization. Global polio eradication initiative: strategic plan 2004-
2008. Switzerland: WHO; 2003.
Imunisasi untuk PD31

10. Strategic plan 2004- 2008. 12 THGAVI board meeting. Geneva: WHO; 2003.

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 265


Edisi Kelima Tahun 2014

Pedoman Imunisasi
Di Indonesia

Penyunting
IG.N. Gde Ranuh
Hariyono Suyitno
Sri Rezeki S. Hadinegoro
Cissy B. Kartasasmita
Ismoedijanto
Soedjatmiko

Satgas Imunisasi - Ikatan Dokter Anak Indonesia

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 i


Disclaimer

Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi di Indonesia ada­lah


hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi
IDAI yang berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan
pedoman umum dalam melakukan imunisasi di Indonesia dan
dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan
dapat terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena
perkembangan ilmu dan kebijakan setempat.

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau
seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa
seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan pertama kali tahun 2001


Diterbitkan kedua kali tahun 2005
Diterbitkan ketiga kali tahun 2008
Diterbitkan keempat kali tahun 2011
Diterbitkan kelima kali tahun 2014

Koordinator Penerbitan
Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Art director: J.A. Wempi


Type setting: Diyan Dwinandio, Yuni Astria, Unggul Sodjo
Sumber foto sampul: Agung Darmanto, JO Octora, Ahmad Fadil,
Kusnandi Rusmil

Edisi 5, cetakan pertama 2014

Penerbit buku ini dikelola oleh:


Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

ISBN 978-979-8421-34-1

ii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Daftar Isi

Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI.................................. iii

Prakata Tim Penyunting..........................................................................v

Daftar Kontributor...................................................................................ix

Daftar Singkatan.................................................................................... xiii

Bab I Dasar-Dasar Imunisasi...........................................................1


1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer...........................2
2 The Value of Vaccination...................................................9
3 Basis Imunologi Vaksinasi............................................24

Bab II Jadwal Imunisasi...................................................................45


1 Program Imunisasi Nasional........................................46
2 Jadwal Imunisasi............................................................54
3 Jadwal Imunisasi Tidak Teratur..................................74
4 Vaksin Kombinasi . .......................................................79
5 Imunisasi Anak Sekolah dan Remaja.........................91

Bab III Imunisasi Kelompok Berisiko.............................................99


1 Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko .................100
2 Travel Vaccination.........................................................112
3 Vaksinasi dalam Keadaan Bencana...........................121

Bab IV Prosedur Imunisasi.............................................................130


1 Jenis Vaksin...................................................................131
2 Tata Cara Pemberian Imunisasi.................................137
3 Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai
Imunisasi.......................................................................152
4 Pencatatan Imunisasi...................................................161
5 Penyuntikan yang Aman (Safety Injection)
dan Penanganan Limbah Imunisasi ........................165

Bab V Penyimpanan dan Transportasi Vaksin..........................179


1 Rantai Vaksin...............................................................180

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 vii


2 Kualitas Vaksin............................................................190

Bab VI Imunisasi Pasif.....................................................................195

Bab VII Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)..........................211


1 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)/
Adverse Events Following Immunization (AEFI).........212
2 Pelaporan KIPI.............................................................239

Bab VIII Imunisasi untuk PD31........................................................246


1 Hepatitis B.....................................................................247
2 Poliomielitis..................................................................255
3 Tuberkulosis.................................................................266
4 Difteri, Tetanus, Pertusis............................................271
5 Haemophillus Influenza tipe B .....................................284
6 Pneumokokus...............................................................288
7 Rotavirus.......................................................................299
8 Influenza.......................................................................305
9 Campak.........................................................................313
10 Varisela..........................................................................318
11 Campak, Gondongan dan Rubela (Measles,
Mumps, Rubella = MMR).............................................322
12 Tifoid.............................................................................330
13 Hepatitis A....................................................................335
14 Human Papilloma Virus................................................342
15 Rabies/Lyssa................................................................347
16 Meningokokus..............................................................355
17 Japanese Ensefalitis.........................................................362
18 Yellow Fever...................................................................368
19 Kolera............................................................................373

Bab IX Miskonsepsi dan Kontroversi...........................................377


1 Miskonsepsi Imunisasi................................................378
2 Kontroversi dalam Imunisasi.....................................387

Bab X Tanya Jawab Orang Tua Mengenai Imunisasi...............400

Bab XI Glossary.................................................................................414

Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia.........................................420

viii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Daftar Kontributor

Achmad Suryono UKK Perinatologi IDAI


(alm)
Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen
IKA FK Universitas Indonesia/RSUP
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Anang Endaryanto UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK
Universitas Airlangga/RSUP Dr. Soetomo,
Surabaya
Alan Roland UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI,
Tumbelaka (alm) Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Arwin A Purbaya UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen
Akib IKA FK Universitas Indonesia/RSUP
Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas
Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya
Cissy B UKK Respirologi IDAI, Bagian IKA, FK
Kartasasmita Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan
Sadikin, Bandung
Corry S. Matondang UKK Alergi Imunologi IDAI
(alm)
Dahlan Ali Musa UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial IDAI

Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI

Gatot Irawan Sarosa UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK


Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen
IKA, FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.
Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 ix


Hardiono D UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA
Poesponegoro FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Hariyono Soeyitno UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI
Harsono Salimo UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI, Bagian IKA FK Universitas Sebelas
Maret/RSUD Dr. Moewardi, Solo
Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI, Departemen IKA FK Universitas
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
Hindra Irawan UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK
Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil,
Padang
Ismoedijanto P. UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Moedjito Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/ RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA
FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI,
Bagian IKA, FK Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Muhammad Slamet UKK Respirologi IDAI, Bagian IKA FK
Chandra Kusuma Universitas Brawijaya/RSUD Saiful Anwar,
Malang

x Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014


Nastiti N.Rahajoe UKK Respirologi IDAI
Noenoeng Rahajoe UKK Respirologi IDAI
Purnamawati S. UKK Gastrohepatologi IDAI
Pujiarto
Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI, Departemen IKA FK Universitas
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
Soegeng Soegijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr.
Soetomo, Surabaya
Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA
FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/
RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Sri Suparyati UKK Gastro-Hepatologi IDAI, Bagian IKA
Soenarto FK Universitas Gadjah Mada/RSUP. Dr.
Sardjito, Yogyakarta
Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian
IKA, FK Sumatera Utara/ RSUP Dr. H Adam
Malik, Medan
Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI
TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI,
Bagian IKA, FK Sam Ratulangi/ RSUP Dr.
Malalayang, Manado
Titut S. UKK Perinatologi IDAI
Poesponegoro (alm)

Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014 xi


Toto Wisnu UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu
Hendarto & Anak Harapan Kita, Jakarta

UKK: Unit Kerja Koordinasi

xii Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima Tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai