Anda di halaman 1dari 46

TATALAKSANA TUBERKULOSIS

Karawang

DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA BARAT


PERTEMUAN MONITORING DAN EVALUASI
KABUPATEN KARAWANG
JEJARING EKSTERNAL TB
(PUBLIC PRIVAT MIX / PPM)
DINAS KESEHATAN KAB. KARAWANG
Kab. Karawang
PENDAHULUAN

TB masih merupakan masalah kesehatan msyarakat


Tahun 2012
Pada tahun 2012,
Diperkirakan 8,6 juta diperkiraan proporsi
diperkirakan terdapat
kasus pd tahun 2012 kasus TB anak diantara
450.000 orang
dng 1,1 juta orang (13%) seluruh kasus TB
menderita TB MDR,
pasien koinfeksi TB secara global 6%
170.000 orang
HIV (530.000 pasien TB
diantaranya meninggal
anak/tahun)
UPAYA PENGENDALIAN TB
1.Komitmen politis 1. DOTS STRATEGI

Sidang WHA ke 67 Tahun


2014
Strategi Stop TB
Strategi DOTS

2. Penemuan kasus 2. Merespon PENGENDALIAN


masalah TB GLOBAL PASCA
3. Pengobatan 2015
4. OAT 3. Penguatan sistem
kesehatan 1. Penurunan angka
5. Monev kematian TB 95% dari
4. Melibatkan semua data tahun 2015
pemberi pelayanan
2. Penurunan angka
5. Memberdayakan insiden TB sebesar
pasien dan 90% (menjadi
masyarakat 10/100.000 penduduk)
6. Penelitian
3 Pilar Strategi Utama
1. Integrasi layanan TB berpusat 2. Kebijakan dan sistem pendukung 3. Intensifikasi riset dan
pada pasien dan upaya yang berani dan jelas. inovasi
pencegahan TB a. Komitmen politis dalam a. Penemuan,
a. Diagnosis TB sedini pemenuhan kebutuhan layanan pengembangan dan
mungkin, termasuk uji dan pencegahan TB. penerapan secara
kepekaan OAT secara b.Keterlibatan aktif masyarakat cepat alat metode
sistematis. organisasi sosial kemasyarakatan intervensi dan strategi
b. Pengobatan untuk semua dan pemberi layanan kesehatan baru pengendalian
pasien TB, resistan obat baik pemerintah maupun swasta. TB.
dengan disertai dukungan c. Penerapan layanan kesehatan b. Pengembangan riset
kepada pasien semesta dan aturan yang untuk optimalisasi
c. Kegiatan kolaborasi mendukung pengendalian TB mis: pelaksanaan kegiatan
TB/HIV dan tata laksana wajib lapor, registrasi vital dan merangsang
komorbid TB yang lain. penggunaan obat dengan rasional, inovasiinovasi baru
d. pengobatan pencegahan PPI TB. untuk mempercepat
pada kelompok rentan dan d.Jaminan sosial, pemberantasan pengembangan
beresiko tinggi kemiskinan untuk mengurangi program
dampak TB. pengendalian TB.
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
Tujuan dan target
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.

Target tahun 2015-2019


disesuaikan target RPJMN II, disinkronkan dengan target global TB Strategy.
Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019
 penurunan insidensi TB yang lebih cepat menjadi 3-4% per tahun dan
 penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi
sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
1. Tatalaksana TB Paripurna
a. Promosi TB Kegiatan P2TB
b. Pencegahan TB
c. Penemuan pasien TB
d. Pengobatan pasien TB 2. Manajemen Program TB
e. Rehabilitasi pasien TB a. Perencanaan program pengendalian TB
b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian TB
c. Pengelolaan logistik program pengendalian TB
d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian TB
e. Promosi program pengendalian TB.

3. Pengendalian TB Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium TB;
b. Public-Private Mix TB;
c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
d. Kolaborasi TB-HIV;
e. TB Anak;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
g. Pendekatan praktis kesehatan paru
h. MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengobatan TB Resisten Obat)
i. Penelitian TB.
Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
Diagnosis

TB Paru TB ekstra paru


 Diagnosis ditegakkan terlebih dahulu dengan  ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan bakteriologis yaitu bakteriologis dan atau histopatologis dari
• pemeriksaan mikroskopis langsung, contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang
• biakan dan terkena.
• tes cepat TB
 Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan: juga ditemukan keluhan dan gejala yang
 pemeriksaan serologis, atau sesuai, untuk menemukan kemungkinan
 hanya berdasarkan pemeriksaan foto adanya TB paru.
toraks saja atau
 hanya dengan pemeriksaan uji
tuberkulin..
Alur diagnosis dan
tindak lanjut TB
Paru pada pasien
dewasa
Definisi Pasien TB
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil
pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan atau tes diagnostik cepat (misalnya: GeneXpert).
Yang Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Definisi Pasien TB
Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:
 Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis
tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
 Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung
TB.
 Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
 TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Bila kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif  diklasifikasi ulang sebagai
pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut diatas, pasien juga
diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB
2) Pasien yang pernah diobati TB:
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh:
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal:
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
• Lain-lain
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Pengobatan
Tahap Pengobatan:
 Tahap Awal : Setiap hari
 Tahap Lanjutan: 3 kali seminggu

 Dosis OAT disesuaikan dengan berat badan pasien


 Pemantauan kemajuan pengobatan
 Dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis 2x
(sewaktu dan pagi)
negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif.
Positif bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif.
BB ( KG ) AWAL LANJUTAN
30 - 37 2 KAP 4 FDC 2 KAP 2 FDC
38 – 54 3 KAP 4 FDC 3 KAP 2 FDC
Pasien baru: 55 – 70 4 KAP 4 FDC 4 KAP 2 FDC
- Pasien TB Paru terkonfirmasi
bakteriologis ≥ 71 5 KAP 4 FDC 5 KAP 2 FDC
-Pasien TB Paru terdiagnosis klinis
- Pasien TB ekstra paru
BB ( KG ) AWAL LANJUTAN
30 - 37 2 KAP 4 FDC 2 KAP 2 FDC
+ 500 mg Strep + 2 Tab Etham
38 – 54 3 KAP 4 FDC 3 KAP 2 FDC
Pengobatan ulang : + 750 mg Strep + 3 Tab Etham
- Pasien kambuh, 55 – 70 4 KAP 4 FDC 4 KAP 2 FDC
- Lost to follow-up + 1000 mg Strp 4 Tab Etham
- Pasien setelah gagal
pengob. OAT kat. 1 ≥ 70 5 KAP 4 FDC 5 KAP 2 FDC
+ 1000 mg Strp 5 Tab Etham
Tanpa OAT sisipan

Tanpa OAT sisipan

Tanpa OAT sisipan


Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
TATALAKSANA TB PADA ANAK
Diagnosis TB
pada anak
dengan
menggunakan
Sistim
Skoring
Algoritme
tatalaksana
TB anak
Tatalaksana Pasien TB Anak yang Berobat Tidak Teratur

1. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2
bulan di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, lanjutkan
sisa pengobatan sampai selesai.
2. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2
bulan di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, beri
pengobatan kembali mulai dari awal.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat.
BB ( KG ) AWAL: RHZ LANJUTAN:
BB ( KG ) AWAL: RHZ LANJUTAN:
RH
RH
5–7 1 TABLET 1 TABLET
5–9 1 TABLET 1 TABLET
8 – 11 2 TABLET 2 TABLET
10 – 14 2 TABLET 2 TABLET
12 – 16 3 TABLET 3 TABLET
15 – 19 3 TABLET 3 TABLET 17 – 22 4 TABLET 4 TABLET
20 – 32 4 TABLET 4 TABLET 23 - 30 5 TABLET 5 TABLET

JENIS OAT BB < 10 KG BB 10 – 19 KG BB 20 – 32 KG


ISONIASID / H 50 MG 100 MG 200 MG
RIFAMPICIN / R 75 MG 150 MG 300 MG
PIRAZINAMID / Z 150 MG 300 MG 600 MG
Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP-INH)

• INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB.
 Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi
terhadap sakit TB
 jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka pemberian INH
dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah PP- INH selesai
diberikan.
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
RESISTAN OBAT (MTPTRO)
• Pada tahun 2013 WHO memperkirakan terdapat 6.800 kasus baru TB MDR di Indonesia setiap
tahunnya. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12 % dari kasus TB pengobatan ulang
merupakan kasus TB MDR.

• Indonesia telah memulai program MTPTRO sejak tahun 2009 dan dikembangkan secara bertahap
ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga seluruh pasien TB MDR dapat mengakses
penatalaksanaan TB MDR yang terstandar dan cepat.

• Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 13/MENKES/PER/II/2013


program MTPTRO merupakan bagian integral dari Program Pengendalian TB Nasional.

• Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:


1. Monoresistance
2. Polyresistance
3. Multi Drug Resistance (MDR):
4. Extensively Drug Resistance (XDR):
5. TB Resistan Rifampisin (TB RR).
Kriteria Terduga TB Resistan Obat
1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT
Pengobatan TB MDR
Prinsip Pengobatan TB MDR
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB MDR mengacu kepada strategi DOTS.
a. Paduan OAT MDR untuk pasien TB RR/TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini
pertama.
b. Paduan OAT MDR dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. tuberculosis dengan paduan
baru yang ditetapkan oleh TAK.
c. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian
OAT MDR diputuskan oleh TAK dengan masukan dari tim terapeutik.
d. Semua pasien TB RR/TB MDR harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal

Pemeriksaan penunjang sebelum memulai pengobatan :


a. Pemeriksaan darah lengkap
b. Pemeriksaan kimia darah: Faal ginjal: ureum, kreatinin, Faal hati: SGOT, SGPT, Serum elektrolit (Kalium, Natrium,
Chlorida), Asam Urat, Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
e. Foto toraks. f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
g. Pemeriksaan EKG
h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)
KEGIATAN KOLABORASI TBHIV
Kegiatan kolaborasi TB-HIV
A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS
A.1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua tingkatan
A.2. Melaksanakan surveilans TB-HIV
A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TBHIV
A.4.Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV
A.5.Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV
B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci HIV dan memastikan
pengobatan TB yang berkualitas
B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART
B.3.Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk tempat Orang Berkumpul
(Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA)
C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB
C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV
C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV
C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV
Kebijakan Kolaborasi TB-HIV
1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian
TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan
melibatkan lintas sektoral.
3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan
HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.
4. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan
kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masingmasing
program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan
evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan
5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang
dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik
dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA
untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.
Kebijakan Kolaborasi TB-HIV
6. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa
melihat faktor resiko.
7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai
jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.
8. Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan
kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.
9. KIE tetang TB-HIV merupakan bagian yg tdk terpisahkan dr proses inisiasi tes HIV pd
pasien TB dan perawatan pasien TB-HIV
10. Penemuan kasus TB scra intensif pd ODHA dilakukan dgn melakukan kaji status TB
secara rutin pd tiap kunjungan
11. Diagnosa TB pd ODHA memanfaatkan tes cepat TB. Alat tes cepat TB yg saat ini
tersedia di Indonesia adalah Xpert MTB/Rif
12. PP-INH hanya diberikan pd ODHA yg tdk terbukti TB aktif & tdk ada kontraindikasi
13. Pelayanan TB-HIV hrs menjamin penerapan prinsip2 PPI TB-HIV
14. Kegiatan Monev melibatkan kolaborasi kedua program dgn sistem kesehatan secara
umum, pengembangan jejaring rujukan serta supervisi dilakukan bersama-sama
Kebijakan TB-HIV (dalam Permenkes 21 Thn. 213)
 Penawaran Tes HIV pada
seluruh pasien TB tanpa
memandang faktor risiko HIV
(Pasal 22, 23, 24: Pemeriksaan
Diagnosis HIV)

 Pemberian ARV pada pasien ko-


infeksi TB-HIV tanpa melihat nilai
CD4 (Pasal 34 : Pengobatan
dan Perawatan)
Alur Diagnosis
TB Pada ODHA
Untuk Faskes
Yang Memiliki
Layanan/Akses
Tes Cepat TB
Alur Diagnosis
TB Pada ODHA
Untuk Faskes
Yang Sulit
Menjangkau
Layanan Tes
Cepat TB
PP INH PADA ODHA
PP INH pada ODHA bertujuan untuk
mencegah TB aktif pada ODHA

PP INH diberikan pada ODHA yg


tidak terbukti TB

INH : 300 mh/hari ; B6 25 mg/hari


sebanyak 180 dosis atau 7 bulan
TB 01 hal 1
TB 01 hal 2
Kegiatan kol.
TBHIV
Kolom 31-34

skoring TB Dipindah ke TB
anak (0-12) 03 MDR
TB 05
Terima Kasih

48

Anda mungkin juga menyukai