Anda di halaman 1dari 21

MINI PROJECT

GERAKKAN SKRINING TUBERKULOSIS


DI DESA WILANAGARA, WILAYAH KERJA PUSKESMAS LURAGUNG

Oleh:
dr. Farhan Alfaris

Pembimbing:
dr. Fuziaty

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
UPTD PUSKESMAS LURAGUNG PERIODE II
NOVEMBER 2022-MEI 2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu permasalahan penyakit menular yang terjadi di dunia salah satunya adalah
Tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri
mycobacterium Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh. Perkembangbiakan mycobacterium
tuberkulosis bersifat aseksual yaitu melalui pembelahan biner dengan rata-rata 18 jam per hari.
Tuberkulosis dapat menyerang sistem paru serta menyerang organ tubuh lain. Gejala utama pasien
TB paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Penularan penyakit TB terjadi melalui terjadi melalui udara.
Mycobacterium Tuberkulosis mampu disebarkan melalui partikel-partikel udara, yang disebut
nukleus tetesan atau droplets, yang berdiameter 1-5 mikron. Inti tetesan ditularkan ketika orang
yang memiliki penyakit TB mengalami batuk, bersin, berteriak, atau bernyanyi. Dimana partikel-
partikel penyebab TB tersebut dapat bertahan beberapa jam di udara yaitu sekitar 2 jam. (Rahmah,
Indriani, & Wisnuwijoyo, 2017).
Bakteri TB dapat menularkan kepada orang lain. Orang lain dapat terinfeksi jika droplet
tersebut terhirup dan masuk kedalam tubuh dan menuju kedalam saluran pernafasan. Setelah bakteri
TB masuk, bakteri tersebut akan menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya yaitu melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularanatau penyebaran dari seorang penderita TB aktif ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan paru-paru penderita. Semakin tinggi derajat positif dari hasil
pemeriksaan dahak, makin tinggi tingkat penularan penderita tersebut. Penyakit TB apabila tidak
diobati atau pengobatannya tidak dilakukan dengam baik dapat menimbulkan komplikasi berbahaya
hingga kematian (Indah,2018).
Tuberkulosis diketahui sebagai penyebab utama kematian di dunia untuk penyakit menular
setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Najmah, 2016). Secara global pada tahun 2020
terdapat 19,4 juta kasus insiden kejadian TB yang mana setara dengan 120/100.000 penduduk.
Adapun lima negara dengan kasus TB terbanyak yaitu negara India, Indonesia, Cina, Filipina dan

1
Paksitan. Sebagian besar estimasi insiden TB pada tahun 2020 terjadi di Kawasan Asia Tenggara
(45%) yang berada di negara berkembang. (Kemenkes, 2020). Adapun jumlah kejadian TB di dunia
berdasarkan informasi (Global Tuberkulosis Report,2020) pada tahun 2020 11 juta kasus kasus TB
di dunia dengan tingkat kematian 42%.
Indonesia merupakan negara endemis TB yang menduduki peringkat kedua di dunia sebagai
penyumbang penderita TBC terbanyak setelah India dan berdasarkan penelitian Departemen
Kesehatan, diketahui bahwa penyakit ini merupakan penyebab kematian yang kedua dari sepuluh
penyakit yang sering di jumpai di masyarakat. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak
420.994 kasus pada tahun 2020 dan diperkirakan meningkat menjadi 845.000 kasus pada tahun
2021. Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) adalah jumlah semua kasus TBC yang
diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu yang apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah. Selama 10 tahun terakhir angka notifikasi
dan cakupan pengobatan kasus TBC cenderung terdapat peningkatan yang signifikan (Kemenkes,
2018).
Merujuk pada Global TB Report WHO 2021, Indonesia merupakan negara dengan beban
Tuberkulosis (TBC) tertinggi  ketiga  setelah  India dan Cina, yang berpenduduk lebih dari 1
Milyar. Saat ini Indonesia termasuk satu dari delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus TBC di
dunia. Pada tahun 2020, diestimasikan terdapat 824.000 orang jatuh sakit dan 93.000 jiwa
meninggal akibat TBC. Dari estimasi tersebut, pada tahun 2020 ditemukan sebanyak 384.025 kasus
atau sekitar 47%. Di Jawa Barat, Bulan November 2021, perkiraan insiden TBC sebanyak 128.057
kasus dengan jumlah kasus yang ternotifikasi sebanyak 70.031. Keberhasilan pengobatan TB baru
mencapai 73% dari target yang ditetapkan sebesar 90%.Usia anak rentan tertular penyakit TB hal
ini berkaitan dengan kondisi imun yang lemah yang dapat menyebabkan anak-anak tertular kuman
TB. Adapun usia produktif yang menjadi resiko penyakit TB berkaitan dengan aktifitas orang
produktif yang bekerja serta sering berpergian sehingga resiko kontak terkena kuman TB semakin
meningkat. Selain hal tersebut kondisi rendahnya penegtahuan, lingkungan yang buruk serta higinie
sanitasi yang kurang dapat meningkatkan resiko penularan seseorang untuk terkana kuman TB
(Global TB Report, 2021). Selain hal tersebut orang dengan HIV meningkatkan resiko terjadinya
TB dengan total 9 %. Hal ini berkaitan dengan kekebalan tubuh orang dengan HIV yang menurun
sehingga rentan terkena penyakit(Global TB Report, 2021)

2
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih tinggi angka terjadinya kasus pada
setiap tahunnya. Tuberkulosis merupakan masalah serius dan menjadi perhatian dunia karena selain
menyebabkan kematian juga dapat berdampak keberbagai bidang lainnya serta meningkatkan beban
biaya kesehatan. Secara global menurut( Global Tuberkulosis Report,2021) beban biaya TB
mencapai US$ 10.1 milyar. Penyakit ini memiliki kemampuan menular cepat dan dapat menyerang
segala kelompok umur. Dimana orang yang memiliki imun yang rendah dengan penyakit penyerta
beresiko mengalami penularan dan dampak lebih serius dari penyakit TB ini. TB juga akan
berdampak pada aspek produktifitas dan sosio-ekonomi bangsa di masa yang akan datang.
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Nasional, terdapat 75% dari total kasus TB aktif di Indonesia
terjadi pada kelompok usia produktif. Hal ini tentunya akan menjadi beban yang besar ketika
Indonesia mengalami bonus demografi namun pada kelompok usia produktif banyak yang
terjangkit penyakit TB (Kemnkes,2018).
Tuberkulosis secara global tergolong “Global Public Health Emgergeny” dan Indonesia
telah berkomitmen untuk menuntaskan kasus Tuberkulosis. Dimana Indonesia memiliki target
mencapai Indonesia bebas TB pada tahun 2030. Untuk mencapai hal tersebut bukanlah sesuatu
yang mudah melainkan diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan untuk mengatasi
permasalahan TB ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam pencegahan dan
penanggulangan kasus TB adalah dengan skrining TB (Global TB Report, 2021).
Skrining TB merupakan upaya yang dilakukan untuk menemukan kasus TB sedini mungkin
sehingga dapat dilakukan penanganan berupa pengobatan atau rujukan kepada penderita TB.
Sasaran utama skrining TB adalah penduduk yang berusia ≥ 15 tahun. Hal ini dikarenakan bahwa
orang yang terinfeksi TB memiliki risiko jatuh sakit tertinggi pada usia ≥ 15 tahun. Skrining TB
dapat dilakukan dengan beragam metode. Dalam skrining TB dapat dilakukan dengan cara metode
active case finding, yaitu suatu cara menjaring penderita TB yang belum terjaring pelayanan
kesehatan dengan cara contact tressing (penjaringan di sekitar lingkungan ditemukannya penderita
TB) dan metode pasif promotif aktif (penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan dan didukung dengan penyuluhan secara aktif) untuk didapatkannya penderita TB Paru
secara dini sehingga dapat dilakukan penanganan berupa pengobatan atau rujukan kepada penderita
yang ditemukan (Kemenkes, 2018).
Skrining dilakukan dengan cara Kuesioner terhadap responden tentang gejala klinis yang
selama ini dirasakan oleh responden. Kemudian dilakukan pengambilan dan pemeriksaan sputum
atau dahak responden untuk pemeriksaan test cepat molekuler. Penegakkan uji diagnostik pada
3
skrining ini adalah berdasarkan tanda dan gejala klinis TB Paru serta pemeriksaan penunjang
lainnya. Skrining dapat dilakukan dengan cara melakukan diagnosis TB paru dengan memeriksa
semua suspek TB. Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,
mikrobiologi, radiologi, serta patologi klinik. Pada program TB nasional, penemuan sampel
pemeriksaan test cepat molekular dilakukan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang
merupakan alat diagnosis utama. Pemeriksaan lain juga dapat dilakukan seperti radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya untuk menemukan kasus dan melakukan pengobatan dini pasien
TB. (Rahmah, Indriani, & Wisnuwijoyo, 2017).
Berdasarkan data Puskesmas Luragung Januari 2022 - Desember 2022 bahwa terdapat 83
kasus TB di desa wilayah kerja Puskesmas Luragung. Dan dari 16 desa wilayah kerja Puskesmas
Luragung, prevalensi kasus TB tertinggi adalah di Desa Wilanagara. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui Skrining TB di Desa Wilanagara, wilayah kerja Puskesmas Luragung.
Tujuan dari penelitian ini adalah peningkatan skrining dengan demikian diharapkan dapat
meningkatkan penemuan TB sebagai upaya pencegahan dini masyarakat terkait penyakit TB
sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. di Desa Wilanagara, wilayah kerja
Puskesmas Luragung.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan target
skrining Tuberkulosis di Desa Wilanagara, wilayah Puskemas Luragung ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan umum
Untuk meningkatkan target skrining Tuberkulosis di Desa Wilanagara, wilayah kerja
Puskemas Luragung.
1.3.2. Tujuan khusus
a. Untuk mengidentifikasi tanda dan gejala pasien tuberkulosis yang harus di skrining
Desa Wilanagara, wilayah kerja Puskemas Luragung.
b. Untuk menilai faktor penyulit dilakukannya skrining Tuberkulosis di Desa
Wilanagara, wilayah kerja Puskemas Luragung.
c.
1.4. Manfaat Penelitian
4
1.4.1. Peneliti
- Menambah wawasan peneliti dalam menerapkan ilmu metodologi penelitian.
- Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti tentang Faktor-faktor yang
mempengaruhi stunting pada balita di Desa Wilanagara, wilayah kerja Puskemas
Luragung

1.4.2. Bagi Institusi


- Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan bagi puskesmas dan petugas
kesehatan Untuk meningkatkan target skrining Tuberkulosis di Desa Wilanagara,
wilayah kerja Puskemas Luragung.
- .
- Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi/masukan bagi pemerintah atau pihak
pengambil kebijakan Untuk meningkatkan target skrining Tuberkulosis di Desa
Wilanagara, wilayah kerja Puskemas Luragung.
-
1.4.3. Bagi Masyarakat
Masyarakat di Desa Wilanagara Mengetahui Gejala dan Tanda Tuberkulosis

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Stunting


Stunting/pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu yang lama. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan
istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek adalah balita dengan
status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur bila dibandingkan dengan standar
baku WHO, nilai Z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Z-
scorenya kurang dari -3 SD. 3

Tabel 2.1. Indikator pertumbuhan menurut Z-Score. 6

6
Catatan :
- Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak menjadi masalah
kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami gangguan endokrin seperti adanya
tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika diduga mengalami
gangguan endokrin (misalnya anak yang tinggi sekali menurut umurnya, sedangkan tinggi orang
tuanya normal).
- Seorang anak berdasarkan BB/U pada katagori ini, kemungkinan mempunyai masalah
pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau
BB/TB atau IMT/U.
- Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila kecenderungannya menuju
garis z-score 2 berarti risiko lebih pasti.
- Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk bila mendapatkan
intervensi gizi yang salah.
- Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI (Integrated
Management of Childhood Illness in-service training. WHO, Geneva, 1997).

2.2. Epidemiologi
Menurut data Riskesdas (2018) prevalensi pendek secara nasional pada balita adalah 30,8%
yang terdiri dari sangat pendek sebesar 11,5 % dan pendek 19,3%. Terdapat 20 provinsi dengan
prevalensi diatas nasional (30,8%) dengan yang tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur,
terendah di DKI Jakarta, dan Kalimantan Utara menempati urutan ke – 8 terendah.7

7
Gambar 2.1. Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-3 SD Menurut Provinsi, Indonesia 2013 dan 2018.7

8
Gambar 2.2. Proporsi status gizi di Indonesia tahun 2007, 2013 dan 2018.7

2.3. Faktor Risiko Stunting


Terdapat beberapa faktor risiko perawakan pendek, diantaranya dapat berupa varian yang
diturunkan (familial), penyakit endokrin, kromosomal, penyakit kronis, malnutrisi, riwayat
pemberian ASI sebelumnya, dan status sosial ekonomi keluarga. Secara garis besar perawakan
pendek dibagi menjadi dua yaitu familial dan keadaan patologis.8
2.3.1. Stunting Familial
Perawakan pendek dapat disebabkan karena faktor genetik dari orang tua dan keluarga.
Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai familial short stature
(perawakan pendek familial).
Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk
mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan
bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan midparental high (MPH) 0,5
saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja. 9 Perawakan pendek familial ditandai oleh
pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang
normal, tinggi badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3.8

9
2.3.2. Kelainan Patologis
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak proporsional.
Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit infeksi/kronik dan kelainan endokrin
seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon
pertumbuhan dan defisiensi IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan
tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down,
sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter.8, 9
2.3.3. Infeksi Kronis
Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare persisten, disentri dan
penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi pertumbuhan linear. Infeksi akan menyebabkan
asupan makanan menurun, gangguan absorpsi nutrien, kehilangan mikronutrien secara langsung,
metabolisme meningkat, kehilangan nutrien akibat katabolisme yang meningkat, gangguan
transportasi nutrien ke jaringan. Pada kondisi akut, produksi proinflamatori seperti cytokin
berdampak langsung pada remodeling tulang yang akan menghambat pertumbuhan tulang.10 Sebuah
penelitian di Peru menunjukkan infeksi parasit merupakan faktor risiko sebagai penyebab
perawakan pendek.11
2.3.4. Defisiensi Hormon
Growth hormon (GH) atau hormon pertumbuhan merupakan hormon esensial untuk
pertumbuhan anak dan remaja. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar hipofisis akibat
perangsangan dari hormon GH-releasing faktor yang dihasilkan oleh hipotalamus. GH dikeluarkan
secara episodik dan mencapai puncaknya pada malam hari selama tidur.
GH berefek pada pertumbuhan dengan cara stimulasi produksi insulin-like growth faktor 1
(IGF-1) dan IGF-3 yang terutama dihasilkan oleh hepar dan kemudian akan menstimulasi produksi
IGF-1 lokal dari kondrosit. Growth hormon memiliki efek metabolik seperti merangsang
remodeling tulang dengan merangsang aktivitas osteoklas dan osteoblas, merangsang lipolisis dan
pemakaian lemak untuk menghasilkan energi, berperan dalam pertumbuhan dan membentuk
jaringan serta fungsi otot serta memfasilitasi metabolisme lemak. 8,12 Somatomedin atau IGF-1
sebagai perantara hormon pertumbuhan untuk pertumbuhan tulang.8,13

10
Hormon tiroid juga bermanfaat pada pertumbuhan linier setelah lahir. Menstimulasi
metabolisme yang penting dalam pertumbuhan tulang, gigi dan otak. Kekurangan hormon ini
menyebabkan keterlambatan mental dan perawakan pendek. Hormon paratiroid dan kalsitonin juga
berhubungan dengan proses penulangan dan pertumbuhan tulang. Hormon tiroid mempunyai efek
sekresi hormon pertumbuhan, mempengaruhi kondrosit secara langsung dengan meningkatkan
sekresi IGF-1 serta memacu maturasi kondrosit.8,13
Hormon glukokortikod diperlukan dalam meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan
sintesis glikogen, meningkatkan konsentrasi gula darah dan balance nitrogen negatif. Pada
gastrointestinal memiliki efek meningkatkan produksi pepsin dilambung, meningkatkan produksi
asam lambung, menghambat vitamin D sebagai mediator untuk mengabsorpsi kalsium.
Glukokortikoid pada jaringan berdampak menurunkan kandungan kolagen pada kulit dan tulang,
menurunkan kolagen pada dinding pembuluh darah serta menghambat formasi granuloma. Efek
glukokortikoid lainnya diperlukan dalam pertumbuhan normal, kelemahan otot, menghambat
pertumbuhan skeletal dan menghambat pengeluaran hormon tiroid.14 Sex steroid (estrogen dan
testoteron) merupakan mediasi percepatan pertumbuhan pada masa pubertas. Jika terjadi
keterlambatan pubertas maka terjadi keterlambatan pertumbuhan linier.9 Hormon ini tidak banyak
berperan pada masa prapubertas, hal ini dapat dilihat dengan tidak terdapatnya gangguan
pertumbuhan pada pasien dengan hipogonad, sebelum timbulnya pubertas.8
2.3.5. Kelainan Kromosom
Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas diketahui penyebabnya
berhubungan dengan perawakan pendek. Beberapa gangguan kromosom, displasia tulang dan suatu
sindrom tertentu ditandai dengan perawakan pendek. Sindrom tersebut diantaranya sindrom Turner,
sindrom Prader-Willi, sindrom Down dan displasia tulang seperti osteochondrodystrophies,
achondroplasia, hipochondroplasia.8, 15

11
2.3.6. Malnutrisi
Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah malnutrisi. Protein
sangat essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah satu asam amino menyebabkan
retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan menghambat pubertas.8, 9
Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon jaringan atau terhambatnya pertumbuhan
dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 yang terdiri dari salah satu defisiensi zat besi, yodium,
selenium, tembaga, kalsium, mangan, tiamin, riboplavin, piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol,
tokoferol, kalsiterol, asam folat, kobalamin dan vitamin K. Tipe 2 diakibatkan oleh kekurangan
nitrogen, sulfur, asam amino esensiil, potasium, sodium, magnesium, seng, phospor, klorin dan air.
Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan tipe 2, membentuk jaringan dan
energi untuk menjalankan fungsi tubuh.
Malnutrisi tipe 1 disebabkan asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan
berkurang, menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan bervariasi,
mekanisme metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan pemeriksaan laboratorium, tidak
menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal tumbuh, disimpan di dalam tubuh, menunjukkan
efek sebagai pengganti nutrisi in vitro maupun in vivo dan konsentrasi bervariasi pada air susu ibu
(ASI).
Malnutrisi tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas seperti tipe 1.
Nutrisi tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan tidak akan terbentuk bila terjadi
defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi katabolisme jaringan dan seluruh komponen jaringan
akan diekskresikan. Apabila jaringan akan dibangun kembali maka seluruh komponen harus
diberikan dengan seimbang dan saling ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga
tergantung dari asupan setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan magnesium sangat
kecil jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang tinggi diperlukan dengan cara
fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses penyembuhan.16
Pertumbuhan tinggi badan merupakan interaksi antara faktor genetik, makronutrien maupun
mikronutrien selama periode pertumbuhan. Nutrisi memegang peranan penting terhadap kontrol
mekanisme pertumbuhan linier. Penelitian pada binatang menunjukkan restriksi pemberian energi
dan protein menyebabkan penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan kembali normal
setelah diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi dan IGF-1 pada manusia
tampak penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan malnutrisi seperti kwarsiorkor atau marasmus.17
12
Kebutuhan protein didefinisikan sebagai sejumlah protein atau asam amino untuk kebutuhan
biologi yang sebenarnya, yaitu asupan terendah untuk pemeliharaan kebutuhan fungsional
individu. Asupan protein yang adekuat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi
tubuh.
Anak merupakan kelompok dinamis mulai masa neonatal sampai dewasa. Setiap kelompok
mempunyai perbedaan dalam hal kenaikan berat badan, kecepatan pertumbuhan, lingkungan
hormonal, aktivitas dan faktor lain yang berpengaruh terhadap status nutrisi dan metabolik.6
Enzim merupakan protein dengan fungsi kimia yang spesifik dan merupakan perantara pada
hampir semua proses fisiologik kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon.
Protein otot terbuat dari beberapa polipeptida yang berperan untuk kontraksi dan relaksasi otot.18
Jumlah kalori per gram makronutrien adalah karbohidrat dan protein 4,1 kkal/gram,
sedangkan lemak 9,3 kkal/gram. Kebutuhan karbohidrat pada anak sesuai RDA untuk usia 1-18
tahun adalah 130 gram/hari. Rekomendasi asupan protein untuk anak usia 2-5 tahun 13 gram/hari
dan usia 4-8 tahun 19 gram/hari. Kecukupan asam linoleat pada anak usia 2-5 tahun 7 gram/hari,
usia 4-8 tahun 10 gram/hari sedangkan kebutuhan α-asam linolenat untuk usia 2-5 tahun 0,7
gram/hari (1% energi), usia 4-8 tahun 0,9 gram/hari.18
Mikronutrien juga berdampak pada sistem IGF-1 seperti defisiensi seng yang dapat
menyebabkan retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam plasma dan penurunan
kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah pemberian seng.10 Defisiensi mikronutrien
seperti besi, magnesium, seng menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung menyebabkan
berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk pertumbuhan.17
Vitamin D dibutuhkan untuk absorpsi kalsium. Kalsitriol bentuk aktif dari vitamin D
mengontrol sintesis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di duodenum kemudian
diserap pada sel mukosa dan masuk kedalam darah, meningkatkan reabsorpsi kalsium di ginjal dan
meningkatkan mobilisasi kalsium di tulang. Kekurangan vitamin D menimbulkan manifestasi klinis
berupa deformitas tulang panjang dan tanda – tanda hipokalsemia seperti kejang, tetani.19

13
Vitamin A atau asam retinoik berpengaruh pada hormon yang mengontrol pertumbuhan
jaringan skeletal dengan mekanisme mempengaruhi percepatan pelepasan adenosin monophospate
(AMP) siklik dan sekresi dari hormon pertumbuhan.20 Vitamin A memiliki peranan penting dalam
menjaga integritas sel epitel seperti epitel di mata, saluran napas dan saluran kemih, imunitas
seluler dan humoral sehingga kekurangan vitamin A menyebabkan anak cenderung mudah sakit.
Suatu metaanalisis menunjukkan pemberian vitamin A pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun
mengurangi kejadian campak dan diare.21 Pemberian suplementasi vitamin A pada neonatus juga
menurunkan angka kematian karena diare hingga 30% .22
Zat besi dalam tubuh berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dalam bentuk
hemoglobin, sebagai fasilitator dalam penggunaan serta cadangan oksigen di otot dalam bentuk
mioglobin, sebagai media elektron di dalam bentuk sitokrom serta bagian integral dari berbagai
enzim dalam jaringan. Defisiensi zat besi menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh yang
diduga akibat anoreksia, gangguan DNA sel, gangguan sintesis RNA dan gangguan absorpsi
makanan dan diduga berperan dalam proses mitosis sel.18
Penelitian metaanalisis oleh Ramakristnan (2004) menunjukkan pemberian vitamin A saja
atau zat besi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, namun akan berdampak terhadap
pertumbuhan apabila disertai dengan pemberian mikronutrien seperti seng. Penelitian oleh
Dijkhuizen (2001) menunjukkan suplementasi zat besi ataupun seng menurunkan prevalensi anemia
namun tidak memiliki efek terhadap pertumbuhan baik tinggi badan.
2.3.7. Riwayat Pemberian ASI
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi memerlukan masukan zat-zat gizi yang
seimbang dan relatif besar. Namun, kemampuan bayi untuk makan dibatasi oleh keadaan saluran
pencernaannya yang masih dalam tahap pendewasaan. Satu-satunya makanan yang sesuai dengan
keadaan saluran pencernaaan bayi dan memenuhi kebutuhan selama berbulan-bulan pertama adalah
ASI.23
Pemberian ASI yang kurang sesuai dapat menyebabkan bayi menderita gizi kurang dan gizi
buruk. Padahal kekurangan gizi pada bayi akan berdampak pada gangguan psikomotor, kognitif dan
sosial serta secara klinis terjadi gangguan pertumbuhan. Dampak lainnya adalah derajat kesehatan
dan gizi anak Indonesia masih memprihatinkan.24
Anak yang tidak mendapatkan ASI berisiko lebih tinggi untuk kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk proses pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya stunting pada anak.2
14
2.3.8. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga,
pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara data ekonomi
meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang
tergantung pada pasar dan variasi musim.26
Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi
berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan
di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku
masyarakat. Kekurangan gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar
permasalahan gizi di Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan
permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.26
Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi,
baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan dari status gizi anak balita salah
satunya adalah stunting.

15
2.4. Kerangka Konsep

Riwayat BBLR
Riwayat ASI Eksklusif
Frekuensi makan harian
STUNTING PADA BALITA
Penghasilan keluarga sebulan

2.4. Kerangka Konsep

16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan metode cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu


Lokasi penelitian dilaksanakan di rumah pasien stunting (dengan cara door to door) di
Desa Wilanagara, wilayah kerja Puskemas Luragung. Waktu penelitian bulan Oktober 2022.

3.3. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Balita stunting di Desa Wilanagara, sesuai data
Puskesmas Lurangung bulan September 2022.

3.4. Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah sampel jenuh, yaitu semua anggota populasi
dijadikan sampel.  Semua balita stunting di Desa Wilanagara sesuai data Puskesmas Lurangung
bulan September 2022, sebanyak 9 kasus.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.5.1. Kriteria Inklusi
- Semua Balita stunting di Desa Wilanagara sesuai data Puskesmas Lurangung bulan
September 2022
- Orang tua setuju dan bersedia untuk mengisi kuesioner.
3.5.2. Kriteria Eksklusi
- Balita yang memiliki riwayat penyakit kongenital, TB dan HIV AIDS.
- Orang tua yang tidak bersedia untuk mengisi kuesioner.

17
3.6. Variabel
3.6.1. Variabel Independen
- Riwayat anemia pada kehamilan
- Riwayat BBLR
- Riwayat IMD
- Riwayat ASI Eksklusif
- Frekuensi makan harian
- Penghasilan keluarga sebulan
3.6.2. Variabel Dipenden
Balita Stunting

3.7. Cara Kerja


1. Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.
2. Menghubungi Kepala Puskesmas Luragung yang menjadi daerah penelitian untuk
melaporkan tujuan diadakannya penelitian tersebut.
3. Menentukan jumlah sampel yaitu 9 responden orang tua dari Balita Stunting di
Desa Wilanagara, wilayah kerja Puskesmas Luragung.
4. Melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara orang tua Balita
5. Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data
6. Penulisan laporan penelitian.
7. Pelaporan penelitian.

3.8. Sumber Data


Sumber data berasal dari data primer yang diambil secara langsung melalui
wawancara kuesioner kepada responden penelitian.

18
3.9. Data
- Pengolahan Data
Terhadap data-data yang sudah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa proses
editing, verifikasi, dan tabulasi.
- Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabuler.
- Analisis Data
Data yang diperoleh telah dikumpulkan, diolah dan dianalisis.
- Interpretasi Data
Data diinterpretasikan berdasarkan variabel-variabel yang ditentukan dalam bentuk
tabel dan grafik.
- Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk laporan penelitian.

19
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STUNTING PADA BALITA
DI DESA WILANAGARA, WILAYAH KERJA PUSKESMAS LURAGUNG

Nama anak :
Jenis kelamin : Laki-laki/Perempuan
Tanggal lahir/umur :
BB :
TB :

1. Apakah ibu memiliki Riwayat anemia pada kehamilan ?


a. Iya
b. Tidak
2. Apakah anak anda memiliki Riwayat BBLR (Berat badan lahir <2500gr) ?
a. Iya
b. Tidak
3. Apakah anda memberikan IMD (Inisiasi Menyusui Dini) Segera setelah melahirkan ?
a. Iya
b. Tidak
4. Apakah anak anda mendapat ASI eksklusif (usia 0-6 bulan HANYA mendapat ASI, tidak ada
campuran makanan lain) ?
a. Iya
b. Tidak
5. Apakah setiap hari anak anda makan sehari 3x ditambah makanan tambahan (biskuit/susu) ?
a. Iya
b. Tidak
6. Berapa total penghasilan keluarga dalam sebulan ?
a. < 1 juta per bulan
b. 1 juta – 2 juta per bulan
c. > 2 juta per bulan

20

Anda mungkin juga menyukai