Ditulis oleh:
dr. Rahma Rufaida S
dr. Mutia Rachmi
dr. Krista Putri Asih
dr. Nuciana Siti Andrianti
dr. Larasjati Tartiko
dr. Widyasari
dr. Mira Kurnia
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Target program Penanggulangan TB nasional adalah eliminasi pada tahun 2035 dan
Indonesia bebas TB tahun 2050. [5] Berdasarkan acuan rencana strategis Kementrian
Kesehatan 2015-2019, strategi nasional pengendalian TB adalah menurunkan prevalensi TB
dari 297 per 100.000 penduduk menjadi 245 per 100.000 penduduk. Profil Kesehatan Jawa
Barat pada tahun 2016 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus TB di Provinsi Jawa
Barat periode tahun 2010-2015 cenderung meningkat, dan mengalami penurunan signifikan
pada tahun 2016. Namun, angka jumlah kasus TB Paru di Kabupaten Cianjur yang dilaporkan
masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata jumlah kasus TB Paru yang ditemukan dan tercatat
dalam laporan berdasarkan kabupaten/kota per 100.000 penduduk. Tinggi rendahnya angka
ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kinerja sistem pencatatan dan pelaporan di
wilayah tersebut, jumlah fasyankes yang terlibat dalam layanan DOTS, dan banyaknya pasien
TB yang tidak terlaporkan oleh fasyankes.
Angka penemuan kasus TB Paru di wilayah Puskesmas DTP Cikalongkulon sejak
tahun 2016 cenderung meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sejak awal tahun 2017
sampai Agustus 2018, dari 12 desa yang termasuk dalam wilayah Puskesmas DTP
Cikalongkulon, angka penemuan kasus TB Paru tertinggi ditemukan salah satunya di Desa
Neglasari. Oleh sebab itu, miniproject internship periode Agustus-Desember 2018 akan
dilakukan pencarian dan penentuan prioritas masalah yang menyebabkan angka insiden kasus
TB paru tinggi di Desa Neglasari, Kecamatan Cikalongkulon, Jawa Barat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis complex. [6] Karena tuberkulosis (TB) merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting di dunia, maka pada tahun 1992, World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. [6] Jumlah kasus
terbanyak berada di kawasan Asia Tenggara (35%). [6] Menurut WHO tahun 2009, Indonesia
termasuk dalam lima negara dengan insidens kasus terbanyak sebanyak 0,35-0,52 juta
penderita. [6]
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar, prevalensi TB Paru pada penduduk
Indonesia sebesar 0,4% dari jumlah penduduk. [4] Sedangkan berdasarkan provinsi,
prevalensi TB Paru tertinggi yaitu Jawa Barat sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-
masing sebesar 0,6%, Banten dan Papua Barat masing-masing sebesar 0,4%, sedangkan
Provinsi Riau, Lampung, dan Bali merupakan provinsi dengan prevalensi TB Paru terendah
yaitu masing-masing sebesar 0,1%. [4]
Jumlah kasus TB tertinggi yang dilaporkan pada tahun 2016 terdapat di provinsi Jawa
Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, di mana kasus TB di ketiga provinsi tersebut sebesar
44% dari seluruh kasus baru di Indonesia. [3] Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, provinsi
Jawa Barat menempati urutan pertama dengan kasus TB tertinggi di antara provinsi-provinsi
lain di Indonesia. [4] Proporsi jumlah kasus TB paru di Jawa Barat adalah 0,7% dari jumlah
kasus TB di Indonesia diikuti dengan Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%),
Banten (0,4%), dan Papua Barat (0,4%). [3] [7]
5
2. Orang yang berimigrasi dari daerah yang memiliki prevalensi TB yang tinggi.
3. Kelompok dengan risiko transmisi TB tinggi seperti pengguna jarum suntik, orang
dengan infeksi HIV, tunawisma.
4. Orang yang bekerja atau tinggal bersama dengan mereka yang memiliki risiko
tinggi untuk mendapat TB di fasilitas atau institusi seperti rumah sakit, rumah
rehabilitasi untuk penderita HIV.
Orang dengan kondisi sitem imun yang lemah seperti anak dan balita serta pengidap:
[7]
1. Penderita HIV
2. Pengguna narkotika
3. Diabetes melitus
4. Penyakit ginjal berat
5. Berat badan yang rendah
6. Transplantasi organ
7. Kanker kepala dan leher
8. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang
6
- Kuman sangat peka terhadap panas sinar matahari dan sinar ultraviolet
- Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati dalam
waktu beberapa menit.
- Dalam dahak pada suhu antara 30 – 37ºC akan mati dalam waktu lebih kurang 1
minggu.
- Kuman dapat bersifat dorman (tidur/tidak berkembang).
2.1.3.2 Cara Penularan TB
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak, namun
bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak
mengandung kuman dalam dahaknya dikarenakan hal tersebut bias terjadi oleh
karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ 5000 kuman/cc dahak
sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. [8]
2. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, untuk pasien TB BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto toraks positif sebesar 17%. [8]
3. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik
renik dahak infeksius tersebut. [8]
4. Ketika batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman TB ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik) dan dengan sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. [8]
7
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
8
sebelumnya atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) namun
kurang dari 1 bulan (< 28 dosis). [8]
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ 28 dosis) [Uyainah et al, 2014].
Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: [8]
- Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi). [8]
- Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir [Uyainah et al, 2014].
(BTA positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan). [8]
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up): adalah
pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat / default /
drop out yaitu pasien telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut – turut atau lebih sebelum masa pengobatan
selesai). [8]
- Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui. [8]
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. [8]
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat: [8]
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
Multi drug resistant (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R)
secara bersamaan.
Extensive drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
9
Resisten Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV : [8]
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien TB
dengan:
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan Anti Retroviral
(ART)
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
2) Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasienTB dengan :
Hasil tes HIV negatif sebelumnya
Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosa TB
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui : adalah pasien TB tanpa ada tanda
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB di tetapkan.
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik serta pemeriksaan penunjang lainnya. [6]
2.1.5.1 Gambaran klinik
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik: [6]
1. Gejala respiratorik
batuk ≥ 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
2. Gejala sistemik
demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
10
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Kelainan yang dijumpai pada pemeriksaan fisik tergantung dari organ yang terlibat.
[6] Umumnya pada awal perkembangan penyakit tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. [6] Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex
dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior selain itu pada pemeriksaan jasmani
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. [6]
2.1.5.3 Pemeriksaan Bakteriologis
1. Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH). [6]
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut sewaktu-pagi-
sewaktu (SPS) dengan cara: [8]
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Pada saat pulang,
terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi
pada hari kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(BAL), urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara
mikroskopik dan biakan: [6]
Pemeriksaan mikroskopik: [6]
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
11
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Pemeriksaan biakan kuman : pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara: [6]
1) Biakan:
a. Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh
b. Agar base media: Middle brook
c. Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)
d. BACTEC
2) Uji molekular:
a. PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping
b. Spoligotyping
c. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
d. MIRU / VNTR Analysis
e. PGRS RFLP
f. Genomic Deletion Analysis
3) Identifikasi M.tuberculosis dan uji kepekaan:
a. Hain test (uji kepekaan untuk R dan H)
b. Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
c. Gene X-pert (uji kepekaan untuk R)
4) Uji lainnya:
a. Uji tuberkulin, IGRAs, T-SPOT TB
b. Uji serologi ELISA, ICT, Mycodot dan IgG/IgM TB
2.1.5.4 Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks pasien tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: [6]
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
12
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif: [6]
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Diagnosis Tuberkulosis pada orang dewasa:
Diagnosis TB paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis yakni pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan
tes cepat. [8]
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan
klinis dan penunjang (setidak – tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai
dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB. [8]
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klnis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang
tidak memberikan perbaikan klinis. [8]
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. [8]
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB
paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis. [8]
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberculin.
[8]
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung: [8]
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(Sewaktu – Pagi - Sewaktu):
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh
uji dahak SPS hasilnya BTA positif.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
13
Gambar 2.1 Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti: hasil
tes HIV (+) atau terduga TB Resistan obat)
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014
Keterangan:
1) Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi pasien dalam rekam
medis. Untuk fasyankes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung tetap
dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV maupun resistensi OAT.
2) Hasil pemeriksaan BTA negatif pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak menyingkirkan diagnosis TB.
Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan
tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3) Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4) Pemberian antibiotika non-OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB termasuk golongan
14
kuinolon.
5) Untuk memastikan diagnosis TB.
6) Dilakukan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK).
7) Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan assesment lanjutan oleh dokter
untuk faktor-faktor yang bisa mengarah ke TB
15
Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination/FDC) yang terdiri
dari 2-4 obat dalam 1 tablet.
Dosis OAT tunggal dapat dilihat pada tabel 2.1 sedangkan dalam bentuk KDT pada tabel 2.2.
Tabel 2.1. Jenis dan dosis OAT tunggal
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg/kgBB/hari)
(mg/kgBB/hari) Harian Intermitten maks/hari <40 40-60 >60
(mg/kgBB/hari) (mg/kgBB/hari) (mg)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 300 300 30
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S* 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
* Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa
memperhatikan berat badan.
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, 2011
Tabel 2.2. Dosis OAT KDT
Berat Badan Fase Intensif 2-3 bulan Fase lanjutan 4 bulan
(kg) Harian RHZE Harian RH 3x/minggu RH
150/75/400/275 150/75 150/150
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, 2011
16
• Pasien TB ekstra paru
b. Kategori 2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)
Dosis paduan OAT KDT kategori 2 dapat dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini:
Tabel 2.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x/minggu
Badan (kg) RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab etambutol
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab etambutol
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab etambutol
≥ 71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+1000 mg Streptomisin inj. ( > do maks ) + 5 tab etambutol
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014
17
Tabel 2.4. Definisi kasus hasil pengobatan a)
Hasil Definisi
Sembuh Pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif sebelum pengobatan, dan
hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta
sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya negatif
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap
sama/perbaikan
Bila terdapat fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
Pengobatan Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak meiliki hasil
lengkap pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir pengobatan b)
Gagal Pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih
pengobatan dalam pengobatan.
Meninggal Pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama pengobatan
Lalai berobat Pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu 2 bulan berturut-turut atau
lebih
Pindah Pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan) berbeda dan hasil akhir
pengobatan belum diketahui
Pengobatan Jumlah pasien yang sembuh ditambah pengobatan lengkap.
sukses/berhasil
a)
Definisi untuk TB paru BTA positif dan negatif, dan TB ekstraparu
b)
Pemeriksaan sputum belum dilakukan atau hasilnya belum ada
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, 2011
2.1.8 Komplikasi
Pasien TB dapat mengalami komplikasi baik sebelum atau dalam masa ataupun
setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul seperti batuk darah,
penumotoraks, gagal napas, fibrosis paru, bronkiektasis, aspergilosis paru kronik, dan
penyakit paru obsruktif kronik. [6], [9]
18
maka merupakan dua obat yang sangat penting dalam pengobatan tuberkulosis (TB). Secara
umum, resistensi terhadap OAT dibagi menjadi tiga klasifikasi: [6]
Resistensi primer : Pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari satu bulan
Resistensi inisial : Tidak diketahui secara pasti apakah pasien mempunyai
riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
Resistensi sekunder : Pasien mempunyai riwayat pengobatan OAT selama
minimal satu bulan
2.2.2 Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) Global Report 2016, pada tahun 2015
terdapat estimasi 480 000 orang mengalami TB-MDR dan 100000 orang dengan rimfapicin-
resistant TB (RR-TB) yang membutuhkan pengobatan TB-MDR. [3] Terdapat sebanyak
250000 orang meninggal karena TB-MDR yang sebagian besar terjadi di Asia. [3] Kasus TB-
MDR yang terdeteksi adalah sebanyak 132 000 pasien, dengan total 125000 pasien memulai
pengobatan TB-MDR. [3] Jumlah pasien ini menunjukkan kenaikan sedikit kenaikan
dibanding tahun 2014 dimana terdapat 122000 kasus TB-MDR/RR-TB yang terdeteksi di
tahun 2014 [WHO, 2016]. Pada tahun 2013, hanya 52% dari pasien TB-MDR/RR-TB yang
berhasil diterapi, 17% pasien meninggal, 9% gagal (22% tidak menjalani pengobatan hingga
tuntas). [3] Menurut WHO Global Report 2016, Indonesia merupakan salah satu dari 27
negara dengan kasus TB-MDR terbanyak di dunia, dengan perkiraan sebanyak 6800 setiap
tahunnya, dengan 2,8% berupa kasus tuberkulosis baru dan 16% kasus pengobatan ulang. [3]
2.2.3 Etiologi
Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah
manusia akibat dari tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik
[10]. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat tersebut dapat ditinjau dari sisi [10]:
1) Petugas kesehatan, karena:
- Diagnosis tidak tepat
- Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat
- Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat
- Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat
2) Pasien, karena:
19
- Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
- Tidak teratur menelan paduan OAT
- Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya
- Gangguan penyerapan obat
3) Program Pengendalian TB, karena:
- Persediaan OAT kurang
- Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).
2.2.4 Faktor risiko
Pasien yang dicurigai atau suspek TB-MDR adalah: [6]
1. Pasien TB paru yang gagal terapi kategori 1.
2. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2, dibuktikan dengan
rekam medis dan riwayat penyakit dahulu.
3. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan
kategori 1.
4. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan
katergori 2.
5. Pasien TB paru yang pernah diobati di fasilitas non-DOTS, yang juga
mendapatkan OAT lini kedua contohnya kuinolon dan kanamisin.
6. Pasien TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai dalam menjalani pengobatan kategori 1
dan/atau kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, tinggal dekat dengan pasien TB-MDR yang
terkonfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR.
9. Pasien TB-HIV.
20
Kelompok 2 : Obat suntik. Kanamisin (Km), Amikasin (am), Kapreomisin (Cm),
Streptomisin (S)
Kelompok 3 : Fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), Levofloksasin (Lfx), Ofloksasin
(Ofx)
Kelompok 4 : Bakteriostatik OAT, lini kedua. Etionamid (Eto), Protionamid (Pto),
Sikloserin (Cs), Terzidone (Trd), PAS
Kelompok 5 : Obat yang belum diketahui efektivitasnya. Klofazimine (Cfz), Linezoid
(Lzd), Amoksiklav (Amx/clv), Tiosetazone (Thz), Imipenem/cilastin
(Ipm/cln), Hdosis tinggi, Klaritromisin (Clr)
Regimen standar TB-MDR di Indonesia adalah: 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Pemberian fase intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat
suntik diteruskan sekurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur
yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual seperti hasil kultur, sputum, foto toraks
dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat
suntik. Panduan yang direkomendasikan ialah dengan meneruskan pengobatan minimal 18
bulan setelah kultur konversi. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat dilakukan pada kasus
yang kronik dengan kerusakan paru luas. Untuk pemantauan selama pengobatan TB-MDR
dapat dilihat pada tabel 2.5.
21
Tabel 2.5. Pemantauan selama pengobatan TB-MDR
Pemantauan Frekuensi yang dianjurkan
Bulan pengobatan
0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi klinis
(termasuk BB)
Pengawasan
Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap
oleh Pengawas
Minum Obat
(PMO)
Pemeriksaan
dan biakan √ Setiap bulan sampai konversi, bila sudah konversi setiap 2 bulan
dahak
Uji kepekaan
√ Diulang bilamana perlu
obat
Foto toraks √ √ √ √
Kreatinin serum √ √ √ √ √ √ √
Kalium serum √ √ √ √ √ √ √
Thyroid
stimulating √ √ √ √
hormone (TSH)
Enzim hepar
√ Evaluasi secara periodik
(SGOT, SGPT)
Tes kehamilan √
Berdasarkan indikasi
Hb dan leukosit √
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, 2011
22
- Bila dalam pemeriksaan tiga kali berturut-turut dalam seminggu tidak ditemukan
BTA, penderita tersangka tersebut harus selalu berada dalam pengawasan dan
dianjurkan kembali sebulan kemudian untuk pemeriksaan dahak lagi.
- Bila dalam dahaknya ditemukan BTA, berikan penjelasan tentang pengobatan
yang harus dijalaninya.
- Penjelasan yang diberikan mencakup:
a. Tatacara minum obat.
b. Lama pengobatan.
c. Perlu berobat secara tekun dan teratur tanpa terputus untuk kesembuhan
penderita sendiri.
d. Bahwa berobat tidak teratur akan membahayakan diri sendiri dan orang lain
yang sering berhubungan dengannya.
e. Efek samping obat yang mungkin akan dialami oleh penderita selama minum
OAT.
- Susunlah jadwal minum OAT nersama dengan penderita dan pengawas minum
obat yang telah disepakati bersama, baik jadwal minum obat setiap hari untuk
bulan pertama maupun jadwal minum obat dua kali seminggu untuk bulan kedua
sampai dengan bulan keenam.
- Rimfapisin dianjurkan diminum ½ jam sebelum atau sesudah makan untuk
menjamin absorbsi maksimal oleh saluran pencernaan.
- Pemberian rimfapisin akan menyebabkan air liur, air mata, dan urin penderita
menjadi warna kemerahan.
- Bila penderita mengeluh mual, pusing dan muntah sesudah minum OAT, terdapat
beberapa cara untuk mengatasinya seperti:
a. Minum obat malam hari sebelum tidur
b. Minum obat sesudah makan
c. Dosis dibagi dua, setengah pagi hari dan setengah malam hari
d. Paduan obat jangka pendek boleh diberikan jangka wanita hamil atau wanita
yang sedang menyusui
23
e. Bagi wanita yang mendapat obat jangka pendek untuk tidak menggunakan
kontrasepsi hormonal karena keampuhan kontrasepsi hormonal tersebut akan
berkurang
f. Pengobatan harus segera dihentikan bila penderita mengalami gangguan
fungsi hati yang dapat diketahui dengan munculnya ikterus
g. Semua data penderita dicatat secara lengkap dalam kartu dan buku pencatatn
yang tersedia guna memantau dan pengendalian agar penderita tidak putus
obat
- Beri petunjuk kepada penderita untuk mencegah penyebaran penyakit dengan:
a. Menutup mulut saat batuk atau bersin
b. Menggunakan tempat dahak yang tertutup dan diisi dengan laruta lysol, bila
tidak mungkin keluarkan dahal di tempat yang terkena cahaya matahari
langsung
c. Menjaga rumah selalu terbuka di siang hari agar sirkulasi udara baik dan
sinar matahari dapat masuk
- Kunjungi penderita di rumahnya bila penderita tidak kontrol selama satu minggu.
Yakinkan penderita akan pentingnya pengobatan yang terus menerus. Jika
penderita tetap tidak datang, kunjungi lagi dalam seminggu. Bila masih tidak
berhasi, golongkan penderita sebagai “pelalai”. Bila penderita “pelalai” datang
berobat kembali ke puskesmas:
a. Periksa kembali dahak
b. Bila dahak positif, anggap sebagai penderita baru, dan mulai kembali
pengobatan
c. Bila dahak negatif, teruskan pengobatan dengan melanjutkan jadwal yang
telah berhenti pada saat penderita datang ke puskesmas yang terakhir
24
- Penderita tidak tahan terhadap obat
Pengobatan
Pengetahuan dan kesadaran akan
penularan infeksi TB beserta
pencegahannya
Sembuh Putus Obat/Gagal obat
25
BAB III
IDENTIFIKASI MASALAH
7
6
5
4
3
2
1
0
DESA
26
Gambar 1 Cakupan Kasus TB Paru BTA (+) di Wilayah Kerja Puskesmas Cikalongkulon
pada Tahun 2018
Berdasarkan grafik di atas, jumlah kasus baru TB paru tertinggi ditemukan di Desa
Neglasari, Kecamatan Cikalongkulon. Hal ini dapat berkaitan dengan pemahaman, kesadaran,
gaya hidup, dan infrastruktur lingkungan hidup warga di desa tersebut yang mempermudah
penularan infeksi TB. Selain itu, permasalahan lain yang ditemukan di Desa Neglasari terkait
masalah TB paru adalah adanya gambaran peningkatan jumlah kasus TB paru sejak tahun
2016 yang dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
2017
TAHUN
2016
2015
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
JUMLAH KASUS
Gambar 2 Cakupan Kasus TB Paru BTA (+) di Desa Neglasari, Kecamatan Cikalongkulon
27
(PIS-PK) di mana partisipasi keluarga dan masyarakat berperan penting dalam program ini.
Apabila terdeteksi keluarga dengan TB atau kasus kesehatan lainnya akan dirujuk ke
Puskesmas (UKP dan UKM) dengan beberapa implikasi kegiatan dan alur rujukan lainnya
sesuai kebutuhan. Beberapa tugas Puskesmas Cikalongkulon dalam program ini adalah
melakukan pemetaan wilayah dan keluarga yang berisiko, skrining terduga di dalam layanan,
pencatatan dan pelaporan, serta menyediakan akses pelayanan dan pengobatan TB paru.
Kegiatan penyuluhan masyarakat dan pelatihan kader pengawas minum obat (PMO) untuk
pasien terdiagnosis TB paru juga termasuk dalam program penanggulangan TB paru di
Puskesmas ini.
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan adalah pengalaman inderawi atau informasi yang diterima dan
disadari oleh seseorang. Informasi tersebut dapat diperoleh dari lingkungan sosial
maupun media cetak dan media elektronik. Pengetahuan adalah aspek kognitif yang
penting dan mempengaruhi persepsi dan sikap seseorang. Dari penelitian yang
dilakukan pada para warga desa neglasari kabupaten cikalongkulon diperoleh bahwa
pentingnya meningkatkan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis.
Pendidikan merupakan salah satu penyebab yang memepengaruhi pengetahuan
masyarakat. Berdasarkan data kuisoner yang diberikan kepada penderita tb dan non
penderita tb didapatkan hasil seperti pada digram berikut :
29
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Dari digram di atas, sebanyak 6 orang responden yang tamat SD, 4 orang
responden tidak tamat SD, 2 orang responden tamat SMP,
laki-laki
6 6
perempuan
30
Dari diagram tersebut didapatkan hasil yang mengikuti penyuluhan terdapat
...... laki dan perempuan .....
2. Pelayanan kesehatan
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes RI)
yang tertuang dalam UndangUndang Kesehatan tentang kesehatan ialah setiap upaya
yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di Indonesia menggunakan strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan WHO sejak
tahun 1995 (Slamet H, 2004). Penemuan penderita TB Paru dalam strategi DOTS
dilakukan secara pasif (passive case finding). Penjaringan tersangka TB Paru
dilaksanakan hanya pada penderita yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan
terutama Puskesmas sehingga penderita yang tidak datang masih menjadi sumber
penularan yang potensial. Strategi passive case finding kurang maksimal untuk
diterapkan terutama dalam percepatan penanganan penyakit TB yang telah menjadi
bahaya global (Depkes, 2002).
31
penderita yang tidak tercakup, baik untuk pemeriksaan maupun pengobatan menjadi
sumber penularan yang potensial.
4.2.1 Penyuluhan
32
dengan cara penyuluhan dan melakukan diskusi umum beserta sesi tanya jawab, maka
penulis membagikan kuisioner tentang pengetahuan penyakit tuberkulosis. Setelah
dilakukan penyuluhan dan diskusi umum beserta sesi tanya jawab, para warga
diberikan kuisioner lagi untuk mengetahui peningkatan pengetahuan warga sekaligus
untuk mengevaluasi keberhasilan penyuluhan beserta diskusi ini.
Kusioner tersebut terdiri dari 10 soal mengenai berbagai pertanyaan sekitar
penyakit tuberculosis dengan nilai total maksimum 10. Sistem penilaian kuisioner ini
adalah tiap satu nomer diberikan nilai satu, dengan nilai maksimal 10 untuk semua
nomer yang benar. Sistem penilaian ini menunjukkan tingkat pengetahuan para warga
mengenai tuberkulosis, dibagi menjadi tiga kategori yaitu dimasukkan dalam kategori:
1. Baik : nilai 8-10
2. cukup : nilai 5-7
3. kurang : nilai 0-4
Berikut ini adalah grafik hasil jawaban pretest dan post test saat penyuluhan:
33
Hasil Pre-Test
9
8
8
4 Hasil Pre-Test
3
2 2
2
0
Baik Cukup Kurang
Dari hasil kuisioner yang dibagikan sebelum penyuluhan (pre-test), data nilai yang diperoleh
sebanyak 2 orang mendapatkan nilai kurang, 2 orang mendapat nilai cukup, dan 8 orang yang
mendapat nilai baik.
Hasil Post-Test
8
7
7
5
4
4
Hasil Post-Test
3
2
1
1
0
Baik Cukup Kurang
34
Grafik 2. Hasil post test
Kemudian dari hasil data nilai kuisioner yang dibagikan setelah penyuluhan
(post test) diberikan didapatkan sebanyak 7 orang mendapat nilai baik, 4 orang
mendapat nilai cukup, dan 1 orang mendapat nilai kurang. Hal ini menunjukkan
peningkatan pengetahuan para warga mengenai tuberkulosis.
REFERENSI
35
[6] F. Isbaniyah, Z. Thabrani, P. Z. Soebandi, E. Burhan, Reviono and Soedarsono,
Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011, pp. 2-30.
[7] Centers for Disease Control and Prevention, CDC, 20 March 2016. [Online]. Available:
http://www.cdc.gov/tb/topic/basic/risk.htm. [Accessed 28 October 2018].
[8] A. Uyainah, A. Yuwono, A. Nawas, B. Wuryaningtyas, B. Sonata and B. Setyaningsih,
"Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis," Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, 2013.
[9] J. Chakaya , B. Kirenga and H. Getahun, "Long term complications after completion of
pulmonary tuberculosis treatment: a quest for a public health approach," Journal of
Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases, vol. 3, pp. 10-12, 2016.
[10] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, "Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu
Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat," Kemenkes RI, Jakarta, 2013.
[11] Departemen Kesehatan Republik Indonesia, "Pedoman Kerja Puskesmas," Departemen
Kesehatan RI, Jakarta, 1990.
36