BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui angka kejadian ISPA pada pasien Sukamaju periode
bulan bulan Januari 2016 - Desember 2016
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui angka kejadian ISPA berdasarkan umur, jenis
kelamin, dan keluhan utama yang dilakukan di Poliklinik Umum
Puskesmas Sukamaju.
b. Untuk meningkatkan pengetahuan pasien faktor-faktor risiko penyakit
ISPA
c. Untuk meningkatkan kesadaran pasien tentang pencegahan ISPA
1.4 Manfaat
a. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat agar dapat terhindar dari
penyakit ISPA, sehingga dapat membantu menurunkan prevalensi ISPA
pada anak.
b. Sebagai wawasan dan informasi tentang ISPA bagi masyarakat luas dan
dapat dikembangkan menjadi data-data untuk penelitian lanjutan bagi
para peneliti.
c. Sebagai wadah aplikasi ilmu penulis selama menempuh internship di
puskesmas Sukamaju
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Manusia
b.1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah
2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun
imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan
bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998
sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah
91,1%,demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006,
didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok
umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan
sebesar 17,9%.
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian
ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan,
terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak
laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak
perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),
didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar
58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
b.3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab
utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak
yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi
yang kurang memuaskan.Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain
cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk
mempunyai risikopneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
berstatus gizibaik/normal.
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai cross
sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA dengan status
gizianak balita menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit
ISPAdidapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak baik dibandingkan dengan
anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA (p = 0.038).
c. Lingkungan
c.1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah
40-70%, optimum 60%.Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala
Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban
ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.Berdasarkan hasil uji
regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097,
yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
c.2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
300C.Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C
keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.Suhu ruangan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar 4 kali.
c.3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30
Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum
harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens rate
ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan
sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).
c.4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9
m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang.
Dikatakan padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas
lantai rumah ≥4 m2/orang.
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan
proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di
rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak
padat.
c.5. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif.Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-
lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara
keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah
sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki
32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814
penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke
atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-
9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%.
Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena
mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang
merokok dalam rumah.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik diperoleh
nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang menderita
pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap
rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.
c.6. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut.
Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan
yang akan diterima oleh anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001),
didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total
perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke
dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa
ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak
berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih
banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang
berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke
pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah,
hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala
penyakit yang diderita oleh balitanya. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun
2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar
9 kali.
BAB III
METODE
3.5 Evaluasi
Dibahas pada Bab Diskusi
BAB IV
HASIL
Kader kesehatan
Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak
berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.
Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan
pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu
dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit
Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia)
dengan tablet parasetamol
Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.
Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah yang
terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat
diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) dengan antibiotik
kontrimoksasol.
Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Penyakit ISPA adalah salah satu penyakit yang banyak diderita bayi dan anak-anak,
penyebab kematian dari ISPA yang terbanyak karena pneumonia. Klasifikasi penyakit ISPA
tergantung kepada pemeriksaan dan tanda-tanda bahaya yang diperlihatkan penderita,
Penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA diperlukan kerjasama semua pihak, yaitu
peranserta masyarakat terutama ibu-ibu, dokter, para medis dam kader kesehatan untuk
menunjang keberhasilan menurunkan angka, kematian dan angka kesakitan sesuai harapan
pembangunan nasional.
6.2 Saran
Karena yang terbanyak penyebab kematian dari ISPA adalah karena pneumonia, maka
diharapkan penyakit saluran pernapasan penanganannya dapat diprioritaskan.Disamping itu
penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara
berkesinambungan, serta penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA yang sudah
dilaksanakan sekarang ini, diharapkan lebih ditingkatkan lagi.
1. 1.WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pedoman Interim WHO. Alih Bahasa: Trust Indonesia. Jakarta.
2. Depkes RI., 2011. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010. Jakarta.
3. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta.
4. WHO. 2011. Pneumonia Is The Leading Cause Of Death In
Children.http://www.who.int/maternal_child_adolescent/news_events/news-
5. /2011/pneumonia/en/index.html. Akses 4 Februari 2012.
6. WHO. 2008. Child Health Profile China. Geneva. http://www.who.int/gho-
/countries/chn.pdf. Akses 7 Maret 2012.
7. Badan Litbangkes. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional
2007. Depkes RI. Jakarta.
8. Gulo, R. R 2008. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) Pada Bayi di Kelurahan Ilir Gunungsitoli Kabupaten Nias tahun
2008.
9. Nur, Hidayati M. 2004. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ispa
Pada Balita Di Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang.http://repository.usu.ac.id/handle /123456789/14580.Akses 6 Februari 2012.
10. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lajut. Pustaka Obor Populer. Jakarta.
11. Alsagaft, Hood dan H. Abdul Mukty. 2005. Dasar-Dasar Penyakit Paru. Airlangga
University Press. Surabaya.
12. Depkes RI., 2008. ProfilKesehatan Indonesia tahun 2007. Jakarta.
13. Nur Muslihatun, Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Citramaya.Yogyakarta.