Anda di halaman 1dari 27

MINI PROJECT

“INTERVENSI PADA PASIEN ISPA”


PUSKESMAS SUKAMAJU, KABUPATEN LUWU UTARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru. ISPA salah satu penyebab utama kematian pada
anak di bawah 5 tahun. World Health Organization memperkirakan insidens
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka
kejadian ISPA pada balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun pada 13 juta anak balita di dunia golongan usia balita. Pada tahun 2000,
1,9 juta (95%) anak – anak di seluruh dunia meninggal karena ISPA, 70 % dari
Afrika dan Asia Tenggara.
Gejala ISPA sangat banyak ditemukan pada kelompok masyarakat di dunia,
karena penyebab ISPA merupakan salah satu hal yang sangat akrab di
masyarakat.ISPA menjadi perhatian bagi anak-anak (termasuk balita) baik
dinegara berkembang maupun dinegara maju karena ini berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh. Anak-anak dan balita akan sangat rentan terinfeksi penyebab
ISPA karena sistem tubuh yang masih rendah, itulah yang menyebabkan angka
prevalensi dan gejala ISPA sangat tinggi bagi anak-anak dan balita.
Prevalensi ISPA tahun 2007 di Indonesia adalah 25,5% (rentang: 17,5% -
41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai prevalensi di atas angka
nasional. Kasus ISPA pada umumnya terdeteksi berdasarkan gejala penyakit.
Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya.
Angka ISPA tertinggi pada balita (>35%), sedangkan terendah pada
kelompok umur 15 - 24 tahun.Prevalensi cenderung meningkat lagi sesuai dengan
meningkatnya umur.antara laki-laki dan perempuan relatif sama, dan sedikit lebih
tinggi di pedesaan. ISPA cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan
pendidikan dan tingkat pengeluaran per kapita lebih rendah.
Salah satu penyebab kematian akibat ISPA adalah Pneumonia dimana
penyakit ini disebabkan oleh infeksi Streptococus pneumonia atau Haemophillus
influenzae.Banyak kematian yang diakibatkan oleh pneumonia terjadi di rumah,
diantaranya setelah mengalami sakit selama beberapa hari.Program
pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan
berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi
dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka kesakitan
dan kematian tersebut masih tetap tinggi (Rasmaliah, 2004).Kematian akibat
pneumonia sebagai penyebab utama ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di
Indonesia pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus di antara 1.000 bayi/balita.
Berarti, akibat pneumonia, sebanyak 150.000 bayi/balita meninggal tiap tahun
atau 12.500 korban per bulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak per jam atau
seorang bayi/balita tiap lima menit.
Menurut survey kesehatan Indonesia, angka kematian Balita pada tahun
2007 sebesar 44/1000 kelahiran hidup, sementara perkiraan kelahiran
hidupdiperoleh 4.467.714 bayi. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung jumlah
kematian balita 196.579. Menurut Riskesdas penyebab kematian balita karena
pneumonia adalah 15,5%. Dan jumlah kematian balita akibat pneumonia setiap
harinya adalah 30.470 atau rata – rata 83 orang balita.
Berdasarkan data epidemiologi dan studi sejenis, sekarang ini sudah banyak
yang diketahui tentang masalah ISPA. Namun demikian masih ada beberapa hal
yang cenderung menjadi penting dan perlu diketahui lebih lanjut, misalnya saja
ISPA pada negara berkembang masih lebih banyak disebabkan oleh golongan
bakteri daripada golongan virus. Selain itu, perlu ditentukan jenis antibiotika yang
paling tepat mengingat pola resistensi bakteri terhadap antibiotika tertentu
cenderung berbeda menurut waktu maupun daerah, pengelolaan penderita ISPA
secara lebih bermutu di tingkat masyarakat, puskesmas, dan rumah sakit. Dari
masalah pokok tentang kecenderungan tersebut, jelaslah bahwa penentuan etiologi
ISPA menjadi bagian yang terpenting.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
yang menjadi masalah adalah bagaimanakah angka kejadian penyakit ISPA di
Puskesmas Sukamaju periode bulan Januari 2016 - Desember 2016

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui angka kejadian ISPA pada pasien Sukamaju periode
bulan bulan Januari 2016 - Desember 2016
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui angka kejadian ISPA berdasarkan umur, jenis
kelamin, dan keluhan utama yang dilakukan di Poliklinik Umum
Puskesmas Sukamaju.
b. Untuk meningkatkan pengetahuan pasien faktor-faktor risiko penyakit
ISPA
c. Untuk meningkatkan kesadaran pasien tentang pencegahan ISPA

1.4 Manfaat
a. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat agar dapat terhindar dari
penyakit ISPA, sehingga dapat membantu menurunkan prevalensi ISPA
pada anak.
b. Sebagai wawasan dan informasi tentang ISPA bagi masyarakat luas dan
dapat dikembangkan menjadi data-data untuk penelitian lanjutan bagi
para peneliti.
c. Sebagai wadah aplikasi ilmu penulis selama menempuh internship di
puskesmas Sukamaju
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ISPA


Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut,
dengan pengertian sebagai berikut:
2.1.1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2.1.2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan
pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas,
saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ
adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk
dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
2.1.3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari.

2.2. Etiologi ISPA


Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain
golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,
Herpesvirus.
2.3. Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan
atau stres.Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam
hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan
ingus encer serta demam dan nyeri kepala.Permukaan mukosa hidung tampak
merah dan membengkak.Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan
sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan
berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis,
faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis
dan pneumonia (radang paru).

2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease.Penularan melalui udara
dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung
unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
2.5. Diagnosa ISPA
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena
dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru
serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif
untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan
etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan
tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa
Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat
minum.Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek
biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia
lainnya.

2.6. Klasifikasi ISPA


2.6.1. Klasifikasi Berdasarkan Umur
a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a.1. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk
yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi,
demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5
ºC), pernafasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding
dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi
abdomen dan abdomen tegang.
a.2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60
kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
b.1. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai
dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding
dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.
b.2. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding
dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas)
tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit
walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang
adekuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding
dada, frekuensi pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
2.6.2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis
media, faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti
epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

3. Faktor Resiko ISPA


a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru.Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis.Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia.Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan
Echo.
Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003), mendapatkan bahwa bakteri
Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan sebagian besar
kematian 4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip
penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95%
S.pneumococcus kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika,
hampir 50% dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang
merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di
Arab Saudi dan Spanyol 60% S. pneumonie ditemukan resisten terhadap
antibiotika.
Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari
101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan
bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai
tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur.
Bakteri gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif
49 galur (47,6%). Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri
Streptococcus viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter
aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar
15,53%, Klebsiella sp 14galur sebesar 13,59%, Stapilococcus aureus 13 galur
sebesar 12,62%, Pneumococcus galur sebesar 1,94%, dan Sreptococcus
pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.

b. Manusia
b.1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah
2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun
imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan (2004), didapatkan
bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998
sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah
91,1%,demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006,
didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok
umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan
sebesar 17,9%.
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian
ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan,
terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak
laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak
perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),
didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar
58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
b.3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab
utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak
yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi
yang kurang memuaskan.Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain
cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk
mempunyai risikopneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
berstatus gizibaik/normal.
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai cross
sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA dengan status
gizianak balita menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit
ISPAdidapatkan 2,19 kali mempunyai status gizi tidak baik dibandingkan dengan
anak balita yang tidak menderita penyakit ISPA (p = 0.038).

b.4. Berat Badan Lahir


Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama
tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar
akibat infeksipada bayi baru lahir.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan berat badan lahir
<2.500 gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara kejadian pneumonia dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai
OR 2,2 (CI 95%; 1,481-4,751), artinya anak balita yang menderita pneumonia
risikonya 2,2 kali lebih besar pada anak balita yang BBLR.

b.5. Status ASI Eksklusif


Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya
akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama
selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu
ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin,
bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari
infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan
makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan
ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam
bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada
beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu
dengan komplikasi postnatal.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif menderita pneumonia
sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia 38,8%. Hasil uji statistic
diperoleh bahwa anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih
besar pada anak balita yang tidak mendapat ASI eksklusif.

b.6. Status Imunisasi


Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit
menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu.Pentingnya
imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan
upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti,
POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus,
pertusis.Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-
penyakit tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam
Kartu Menuju Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan, Polio
4x : 0-11 bulan, Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan. Selang
waktu pemberian imunisasi yang lebih dari 1x adalah 4 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita
dengan status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%;
2.929 – 4.413), artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali
lebih besar pada anak yang status imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan
hasil penelitian Afrida di Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian
penyakit ISPA.

c. Lingkungan
c.1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah
40-70%, optimum 60%.Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala
Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban
ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.Berdasarkan hasil uji
regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097,
yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
c.2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
300C.Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C
keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat.Suhu ruangan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar 4 kali.
c.3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30
Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum
harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens rate
ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan
sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).
c.4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9
m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang.
Dikatakan padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas
lantai rumah ≥4 m2/orang.
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan
proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di
rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak
padat.
c.5. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif.Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-
lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara
keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah
sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki
32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814
penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke
atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.
Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-
9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%.
Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena
mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang
merokok dalam rumah.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik diperoleh
nilai OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang menderita
pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap
rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.
c.6. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut.
Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan
yang akan diterima oleh anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001),
didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total
perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke
dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa
ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak
berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih
banyak mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang
berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke
pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah,
hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala
penyakit yang diderita oleh balitanya. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun
2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar
9 kali.
BAB III
METODE

3.1 Penetapan Topik Masalah


Sesuai pernyataan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan, maka
topik masalah dalam mini-project ini adalah “Bagaimanakah angka kejadian ISPA
pada pasien di Puskesmas Sukamaju”

3.2 Pengumpulan Data


3.2.1 Tempat dan Waktu Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Sukamaju Periode bulan
Januari 2016-Desember 2016
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data
secara primer saat melakukan pelayanan primer di Poliklinik Umum
Puskesmas Sukamaju.
3.2.3 Populasi dan Sampel Data
Populasi yang digunakan adalah pasien yang berobat di Poliklinik
Umum. Sedangkan teknik pengambilan sampling adalah accidental
sampling

3.3 Analisis Data


Data yang diperoleh berupa data kuantitatif dari hasil pelayanan primer di
poliklinik umum dan wawancara, dimana hubungan sebab-akibat dianalisa
berdasarkan tinjauan pustaka dan dideskripsikan secara naratif.

3.4 Diagnosis Komunitas dan Faktor Terkait


Pasien yang melakukan kunjungan di poliklinik umum akan dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara sistematis. Diagnosis ISPA pada balita
didasarkan pada adanya demam, batuk dan atau kesukaran bernafas disertai
peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur. Penentuan nafas cepat
dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan dengan menggunkan
sound timer. Batas nafas cepat adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.

3.5 Evaluasi
Dibahas pada Bab Diskusi
BAB IV
HASIL

1.1 Profil Komunitas Umum


4.1.1 Sosial Ekonomi dan Budaya
Dengan adanya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat khususnya
keluarga miskin maka masyarakat dapat menggunakan fasilitas kesehatan di
tingkat puskesmas tanpa dipungut bayaran.
Untuk menjamin akses penduduk Sulawesi Selatan terhadap pelayanan
kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka
sejak awal agenda Pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berupaya
untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan
Program Pelayanan Kesehatan Gratis yang tertuang pada Peraturan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan dan
Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Gratis.
 Perekonomian
Kecamatan Sukamaju sendiri mempunyai beberapa sektor potensi unggulan
di bidang perekonomian, antara lain:
1. Pertanian 5. Kehutanan
2. Perkebunan 6. Pertambangan
3. Perikanan 7. Perindustrian
4. Peternakan 8. Perdagangan
 Sosial Budaya
Budaya dan kebiasaan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sukamaju
tidak jauh dengan budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya,
yakni giat gotong royong dan perilaku kekeluargaan masih sangat menonjol dalam
kehidupan masyarakatnya.

1.2 Data Geografis


 Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Rampi
 Sebelah Timur berbatasan denagn kecamatan Malangke
 Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Bone-bone
 Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Mappedeceng
4.4 Sumber daya kesehatan yang ada
Sumber daya kesehatan merupakan unsur terpenting dalam meningkatkan pembangunan
kesehatan secara menyeluruh.Sumber daya kesehatan terdiri dari tenaga, sarana dan dana yang
tersedia untuk pembangunan kesehatan.
A. SARANA KESEHATAN
Ketersediaan sarana kesehatan yang cukup secara jumlah/kuantitas dan kualitas bangunan
merupakan salah satu komponen lain di dalam sumber daya kesehatan. Pembangunan sarana
kesehatan harus dilengkapi dengan peralatan medis, peralatan non medis, peralatan laboratorium
beserta reagensia, alat pengolah data kesehatan, peralatan komunikasi, kendaraan roda empat dan
kendaraan roda dua.
Di dalam kesehatan unit pelayanan kesehatan di bagi atas beberapa kategori yaitu Pondok
Bersalin Desa (Polindes), Poskesdes, Puskesmas Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), Rumah Sakit Umum dan unit pelayanan tehnis lainnya.
Setiap unit-unit pelayanan yang ada harus dapat memenuhi keterjangkauan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Pembangunan unit tersebut harus berpedoman terhadap populasi
penduduk yang akan dilayani sehingga fungsi unit pelayanan kesehatan dapat berjalan sesuai
target yang diharapkan.
B. TENAGA KESEHATAN
Penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan serta pembangunan
kesehatan memerlukan berbagai jenis tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan
melaksanakan upaya kesehatan dengan paradigma sehat, yakni yang lebih mengutamakan upaya
peningkatan dan pemeliharaan kesehatan serta pencegahan penyakit. Peningkatan kualitas harus
menjadi prioritas utama.
Dalam pembangunan kesehatan diperlukan berbagai jenis tenaga kesehatan yang memiliki
kemampuan melaksanakan upaya kesehatan dengan paradigma sehat, yang mengutamakan upaya
peningkatan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Secara rasio tenaga kesehatan dinilai atas kecukupan tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk yang dilayani. Jumlah tenaga kesehatan saat ini terdiri dari tenaga kesehatan yang
langsung melayani masyarakat dan tenaga kesehatan yang berada pada pelayanan administrasi.
Jumlah dan jenis sumberdaya kesehatan di Puskesmas Sukamaju tahun 2017 adalah sebesar 48
orang.
Tabel 3. Jumlah Tenaga SDM Kesehatan Puskesmas Sukamaju Tahun 2017
No. Jenjang Pendidikan Jumlah
1. Dokter Umum 2
2. Dokter Gigi 1
3. Perawat 13
4. Bidan 23
5. Perawat Gigi 1
6. Asisten Apoteker 1
7. Tata Usaha 4
8. Sopir 2
Total 48
BAB V
DISKUSI

5.1 Kejadian ISPA di Puskesmas Sukamaju.


Bedasarkan hasil data sekunder yang diambil diperoleh data kejadian ISPA di tahun 2016
ada 127 kasus di Puskesmas Sukamaju dan persentase penanganannya sebesar 52,37%. Kasus
terbanyak berasal dari desa Sukamaju dengan kasus penanganan sebesar 87,11% dan kasus
terendah dari desa Tulungindah sebesar 5,6%.
5.2 Faktor-faktor Risiko ISPA
Setelah dilakukan penyuluhan langsung terhadap pasien yang didiagnosis ISPA di
Poliklinik Umum Puskesmas Sukamaju, pasien lebih mengerti mengenai penyakit yang mereka
derita terutama faktor-faktor apa sajakah yang berkontribusi terhadap penyakit. kelembaban
ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar 28 kali. Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-
300C.Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah
tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar
CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. 30 Sirkulasi udara dalam rumah
akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari
luas lantai. Dan faktor resiko adanya perokok dalam rumah yang sama dengan penderita akan
meningkatkan resiko kejadian ISPA.
5.3 Pengobatan ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA, paling
sering adalah pneumonia.Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan atau disebut ’bayi muda’
yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk dan frekuensi pernfasannya secara
normal sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi bakteri pada kelompok usia ini dapat hanya
menampakkan tanda klinis yang spesifik, sehingga sulit untuk membedakan pneumonia dari
sepsis dan meningitis. Infeksi ini dapat cepat fatal pada bayi muda yang telah diobati dengan
sebaik-baiknya di rumah sakit dengan antibiotik parenteral. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi angka kematian karena pneumonia adalah dengan memperbaiki manajemen kasus
dan memastikan adanya penyediaan antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas
perawatan tingkat pertama dokter praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi angka
kematian karena pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak
yang mengalami ISPA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta keahlian klinis yang
lebih hebat.
5.4 Pelaksana pemberantasan
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala
Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagian
besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan
petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan
sangat'membantu menemukan kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan
antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlu segera dirujuk ke rumah
sakit. Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
• Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau saranadan tenaga
yang tersedia.
• Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA
kepada perawat atau paramedis.
• Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/penyakit dengan tanda-
tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila
dianggap perlu.
• Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit.
• Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu yang mempunyai
anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di
rumah,
• Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri wewenang mengobati
penderita penyakit ISPA,
• Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan penyuluhan
terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,
• Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan pemberantasan
penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas
pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target.

Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu


 Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang ada.
 Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA tertentu seperti
pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan stridor.
 Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.
 Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
 Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas sehubungan dengan
pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.

Kader kesehatan
 Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak
berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.
 Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan
pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu
dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit
 Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia)
dengan tablet parasetamol
 Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.
 Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah yang
terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat
diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) dengan antibiotik
kontrimoksasol.
 Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Penyakit ISPA adalah salah satu penyakit yang banyak diderita bayi dan anak-anak,
penyebab kematian dari ISPA yang terbanyak karena pneumonia. Klasifikasi penyakit ISPA
tergantung kepada pemeriksaan dan tanda-tanda bahaya yang diperlihatkan penderita,
Penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA diperlukan kerjasama semua pihak, yaitu
peranserta masyarakat terutama ibu-ibu, dokter, para medis dam kader kesehatan untuk
menunjang keberhasilan menurunkan angka, kematian dan angka kesakitan sesuai harapan
pembangunan nasional.

6.2 Saran
Karena yang terbanyak penyebab kematian dari ISPA adalah karena pneumonia, maka
diharapkan penyakit saluran pernapasan penanganannya dapat diprioritaskan.Disamping itu
penyuluhan kepada ibu-ibu tentang penyakit ISPA perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara
berkesinambungan, serta penatalaksanaan dan pemberantasan kasus ISPA yang sudah
dilaksanakan sekarang ini, diharapkan lebih ditingkatkan lagi.

Sukamaju, April 2018


PENDAMPING

dr. Nur Wely


REFERENSI

1. 1.WHO. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pedoman Interim WHO. Alih Bahasa: Trust Indonesia. Jakarta.
2. Depkes RI., 2011. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010. Jakarta.
3. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta.
4. WHO. 2011. Pneumonia Is The Leading Cause Of Death In
Children.http://www.who.int/maternal_child_adolescent/news_events/news-
5. /2011/pneumonia/en/index.html. Akses 4 Februari 2012.
6. WHO. 2008. Child Health Profile China. Geneva. http://www.who.int/gho-
/countries/chn.pdf. Akses 7 Maret 2012.
7. Badan Litbangkes. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional
2007. Depkes RI. Jakarta.
8. Gulo, R. R 2008. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) Pada Bayi di Kelurahan Ilir Gunungsitoli Kabupaten Nias tahun
2008.
9. Nur, Hidayati M. 2004. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ispa
Pada Balita Di Kelurahan Pasie Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang.http://repository.usu.ac.id/handle /123456789/14580.Akses 6 Februari 2012.
10. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lajut. Pustaka Obor Populer. Jakarta.
11. Alsagaft, Hood dan H. Abdul Mukty. 2005. Dasar-Dasar Penyakit Paru. Airlangga
University Press. Surabaya.
12. Depkes RI., 2008. ProfilKesehatan Indonesia tahun 2007. Jakarta.
13. Nur Muslihatun, Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Citramaya.Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai