Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses bakteri pada hepar relatif jarang ditemukan; namun, kelainan ini telah
dijelaskan sejak zaman Hippocrates (400 SM), dengan tinjauan pertama yang
dipublikasikan oleh Bright yang muncul pada tahun 1936, tinjauan klasik Ochsner
yang menyatakan drainase pembedahan sebagai terapi definitif; namun, meskipun
terdapat pendekatan yang lebih agresif terhadap penatalaksanannya, mortalitasnya
masih tetap pada angka 60 – 80%.
Perkembangan teknik radiologi yang baru, perbaikan dalam identifikasi
mikrobiologi, dan kemajuan teknik drainase, serta perbaikan perawatan suportif,
telah mengurangi mortalitas menjadi 5 – 30%; meskipun demikian, prevalensi
abses hepar masih tetap relatif tidak berubah. Jika tidak diobati infeksi ini masih
tetap secara seragam bersifat fatal.
Tiga bentuk utama abses hepar, yang dikelompokkan menurut etiologinya,
adalah sebagai berikut:
 Abses piogenik, yang paling sering bersifat polimikroba, yang
menyusun 80% dari kasus abses hepar di Amerika Serikat
 Abses amuba yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica
menyusun sekitar 10% kasus
 Abses jamur, paling sering disebabkan oleh spesies Candida, yang
menyusun kurang dari 10% kasus.

Untuk sumber edukasi terhadap pasien, lihat bagian Infection center and the
Digestive Disorder Center, serta Skin abscess and Antibiotics.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses hati merupakan salah satu bentuk dari abses viseral. Hati merupakan
organ intraabdominal yang paling sering mengalami abses. Abses hati terbagi
dalam 2 bentuk yaitu abses hati amubik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).
Abses hati piogenik dapat berupa abses tunggal maupun abses multipel. Abses
hati telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Namun hingga saat ini AHP masih
merupakan permasalahan kesehatan sehubungan dengan angka kesakitan dan
kematian yang masih cukup tinggi bila terlambat di diagnosis. Adanya
peningkatan pengetahuan dan teknologi di bidang bakteriologi, antibiotika, dan
drainase secara signifikan memberi perbaikan penanganan terhadap AHP.

Abses hati amuba adalah manifestasi ekstraintestinal paling umum dari


amubiasis. Dibandingkan dengan orang orang yang tingal di daerah endemic,
orang yang mengalami abses hati amuba setelah perjalanan ke daerah endemic
dan lebih cenderung berusia tua dan laki-laki. Terjadinya suatu abses hati amuba
pada orang yang belum bepergian ke atau tinggal di daerah endemic harus
meningkatkan kecurigaan keadaan immunosupresi, khususnya Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Faktor penjamu yang memberikan
kontribusi untuk tingkat keparahan penyakit adalah usia muda, kehamilan,
malnutrisi, alkoholisme, penggunaan glukokortikoid, dan keganasan.

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek,
status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hati didaerah perkotaan. Di Negara yang
sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemic
dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini
banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara
diagnostic maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya.

2
2.2 Epidemiologi
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan
prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS
antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada dekade ke – 6.
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita.
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis
hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah
sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia
menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang
tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria
dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai
berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan
tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.

Demografi terkait usia


Sebelum era antibiotika, abses hepar paling sering di dekade keempat dan
kelima kehidupan, yang terutama disebabkan oleh komplikasi appendisitis.
Dengan perkambangan teknik diagnostik yang lebih baik, pemberian antibiotika
secara dini, dan perbaikan kelangsungan hidup dari populasi umum, demografi
telah bergeser ke arah dekade keenam dan ketujuh kehidupan. Kurva frekuensi

3
memperlihatkan suatu puncak yang kecil pada periode neonatus diikuti dengan
peningkatan secara perlahan yang dimulai pada dekade keenam kehidupan.
Kasus abses hepar pada bayi telah dikaitkan dengan kateterisasi vena
umbilikalis dan sepsis.
Ketika abses terlihat pada anak-anak dan remaja, defisiensi imun yang
mendasarinya, malnutrisi berat, atau trauma seringkali ditemukan.

Demografi terkait jenis kelamin


Meskipun abses kadang memperlihatkan predileksi pada pria di dekade
yang lebih awal, tidak terdapat predileksi jenis kelamin. Pria memiliki prognosis
yang lebih buruk akibat abses hepar dibandingkan wanita.

2.3 Etiologi
Keterlibatan polimikroba sering ditemukan, dengan Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae sebagai dua patogen yang paling sering diisolasi (lihat
gambar dibawah). Laporan mengesankan bahwa K. Pneumoniae semakin banyak
menjadi penyebab yang menonjol.

Tabel : Hasil mikrobiologi dari 312 kasus abses hepar yang didapatkan dari
kepustakaan
Enterik Gram negatif %
E coli 20.5
K pneumoniae 16.0
Pseudomonas sp 6.1
Proteus sp 1.3
Lainnya 7.4
Aerob Gram positif
S milleri 12.2
Enterococcus sp 9.3
S. aureus/ S. Epidermidis 7.7
Streptococcus sp. 1.1

4
Organisme Anaerob
Bacteroides sp. 11.2
Streptococcus anaerob/Microaerofilik 6.1
Fusobacterium 4.2
Anaerob lainnya 1.9
Lain-lain
Actinomices 0.3
C. albicans 0.3

Enterobacteriaceae sangat menonjol ketika infeksi berasal dari bilier. Abses


yang melibatkan K pneumoniae telah dikaitkan dengan beberapa kasus
endoftalmitis.
Peran patogenik anaerob telah diremehkan hingga isolasi anaerob dari 45%
kasus abses hepar piogenik dilaporkan pada tahun 1974. Sejak saat itu, semakin
banyak angka keterlibatan anaerob yang telah dilaporkan, yang kemungkinan
karena meningkatnya kewaspadaan dan membaiknya teknik kultur. Anaerob yang
paling sering ditemukan adalah spesies Bacteroides, spesies Fusobacterium, dan
streptococcus mikroaerofilik dan anaerob. Sumber dari kolon biasanya merupakan
sumber awal infeksi.
Abses Staphylococcus aureus biasanya terjadi akibat penyebaran organisme
secara hematogen yang terlibat pada infeksi pada tempat jauh, seperti
endokarditis. S. Milleri tidak termasuk dalam anaerob maupun mikroaerofilik.
Mikroorganisme ini telah dikaitkan dengan baik itu abses monomikroba maupun
polimikroba pada pasien-pasien dengan penyakit Crohn, serta pada pasien lain
dengan abses hepar piogenik.
Abses hepar amuba paling sering disebabkan oleh E. Histolytica. Abses
hepar merupakan manifestasi ekstraintestinal yang paling sering dari infeksi ini.
Abses jamur terutama disebabkan oleh Candida albicans dan terjadi pada
individu dengan paparan terhadap antimikroba dalam jangka waktu yang lama,
keganasan hematologi, transplantasi organ padat, dan imunodefisiensi kongenital
dan didapat. Kasus-kasus yang melibatkan spesies Aspergillus telah dilaporkan.

5
Organisme lainnya yang dilaporkan dalam kepustakaan mencakup
Actinomyces spesies, Eikenella corrodens, Yersinia enterocolitica, Salmonella
typhi, dan Brucella melitensis.
Suatu serial kasus yang kecil di Taiwan meneliti abses hepar piogenik sebagai
menigestasi awal dari karsinoma hepatoseluler. Di wilayah dengan prevalensi
yang tinggi untuk abses hepar piogenik maupun karsinoma hepatoseluler, para
dokter harus mewaspadai kemungkinan karsinoma hepatoseluler yang mendasari
pada pasien-pasien dengan faktor risiko untuk penyakit ini.

2.4 Patofisiologi
Hati mendapatkan darah dari baik itu sirkulasi sistemik maupun sirkulasi
porta. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi diduga terjadi mengingat
peningkatan paparan tehadap bakteri. Namun, sel-sel Kupffer yang melapisi
sinusoid hati membersihkan bakteri dengan sangat efisien sehingga infeksi jarang
terjadi. Beberapa proses telah dikaitkan dengan terjadinya abses hepar (lihat
gambar dibawah).

Tabel. Etiologi yang mendasari 1086 kasus abses hepar yang dikompilasi dari
kepustakaan
Traktus biliaris 60.6%
Vena porta/ sistemik 23.8%
Kriptogenik 18.5%
Hematogen / seeding 14.7%
Ekstensi langsung 4.0%
Traumatika 2.9%
Lainnya
Infeksi sekunder kista/ tumor 2.9%
Pasca pembedahan 1.0%
Apendisitis biasanya merupakan penyebab utama abses hepar. Karena
diagnosis dan penatalaksanaan kondisi ini telah mengalami kemajuan,
frekuensinya sebagai penyebab abses hepar telah menurun menjadi 10%.
Penyakit pada traktus biliaris saat ini merupakan sumber tersering abses
hepar piogenik (PLA). Obstruksi aliran empedu memungkinkan proliferasi

6
bakteri. Penyakit batu pada saluran bilier, keganasan obstruktif yang menyerang
traktus biliaris, striktur, dan penyakit kongenital merupakan kondisi yang biasanya
menyebabkan hal ini. Pada keadaan yang bersumber dari kelainan pada bilier,
abses biasanya bersifat multipel, kecuali jika berkaitan dengan intervensi
pembedahan atau sten bilier menetap. Dalam keadaan ini, lesi yang soliter dapat
terlihat.
Infeksi pada organ-organ di bantalan porta dapat menyebabkan
tromboflebitis septik, yang dapat menyebabkan abses hepar. Emboli septik
dilepaskan ke sirkulasi portal, ditangkap oleh sinusoid hati, dan menjadi nidus
untuk pembentukan mikroabses. Mikroabses ini awalnya berjumlah multipel
namun biasanya bergabung menjadi suatu lesi soliter.
Pembentukan mikroabses juga dapat disebabkan oleh penyebaran organisme
secara hematogen berkaitan dengan bakteremia sistemik, seperti endokarditis dan
pielonefritis. Kasus-kasus juga dilaporkan pada anak-anak dengan kerusakan yang
mendasari dalam hal imunitasnya, seperti penyakit granulomatosa kronis dan
leukemia.
Sekitar 4% dari abses hepar terjadi akibat pembentukan fistula antara infeksi
intraabdomen lokal.
Meskipun telah terdapat kemajuan dalam pencitraan diagnostik penyebab
kriptogenik menyusun suatu proporsi kasus yang signifikan, eksplorasi
pembedahan telah mempengaruhi hal ini meskipun secara minimal. Lesi ini
biasanya bersifat soliter.
Trauma tembus pada hati dapat menginokulasikan organisme secara
langsung ke dalam parenkim hati, yang menyebabkan abses hepar piogenik.
Trauma tidak tembus juga dapat menjadi prekursor abses hepar piogenik dengan
menyebabkan nekrosis hepatika terlokalisasi, perdarahan intrahepatika, dan
kebocoran empedu. Lingkungan jaringan yang dihasilkan memungkinkan
pertumbuhan bakteri, yang dapat menyebabkan abses hepar piogenik. Lesi ini
biasanya bersifat soliter.
PLA telah dilaporkan sebagai infeksi sekunder akibat abses amuba, kavitas
kistik hidatidosa, dan tumor hepar metastasis dan primer. Ini juga dikenal sebagai

7
komplikasi transplantasi hati, embolisasi arteri hepatika dalam penatalaksanaan
karsinoma hepatoseluler, dan penelanan benda asing, yang menembus parenkim
hati. Trauma atau patologi hati yang terinfeksi secar sekunder menyusun sebagian
kecil kasus abses hepar.
Lobus hepatika kanan terkena lebih sering dibandingkan lobus hati kiri
dengan faktor 2:1. Keterlibatan bilateral terlihat pada 5% kasus. Predileksi untuk
lobus kanan hepar dapat dikaitkan dengan pertimbangan anatomi. Lobus kanan
hepar mendapatkan darah baik dari vena mesenterika superior maupun vena porta,
sementara lobus kiri hepar mendapatkan drainase dari mesenterika inferior dan
splenikus. Lobus kiri juga berisikan jaringan kanalikuli bilier yang lebih jarang
dan secara keseluruhan menyusun massa hepar yang lebih banyak. Penelitian-
penelitian menyatakan bahwa pengaruh aliran pada sirkulasi porta merupakan
penyebabnya.

2.5 Anamnesis
Gejala abses hepar yang paling sering mecncakup sebagai berikut (lihat
gambar dibawah):
 Demam (baik itu kontinyu atau spiking)
 Menggigil
 Nyeri kuadran kanan atas
 Anoreksia
 Malaise

Tabel. Gejala dan tanda yang terlihat pada 715 pasien yang didiagnosis
dengan abses hepar
Gejala % Tanda %
Demam 81.4 Nyeri RUQ 53.0
Penurunan berat badan 22.7 Hepatomegali 43.0
Mual/muntah 25.7 Ikterus 25.3
Anoreksia 25.6 Efusi pleura 14.3

8
Nyeri punggung kanan 24.2 Peninggian hemidiafragma 11.3
Kelemahan/malaise 21.1 Rales di basal paru kanan 6.3
Menggigil 9.8 Friction rub pada hepar 0.8
Nyeri abdomen 8.0
Berkeringat malam 4.1
Kaku 2.9
Diare 1.5
Pleurisy 1.5
Sesak napas 1.0
Batuk 0.8

Batuk atau cegukan akibat iritasi diafragma dapat dilaporkan. Nyeri alih ke
punggung kanan bisa ditemukan.
Individu dengan lesi soliter biasanya memiliki perjalanan yang lebih
perlahan dengan penurunan berat badan dan anemia akibat penyakit kronis.
Dengan gejala-gejala seperti itu, keganasan seringkali merupakan pertimbangan
awal.
Fever of unknown origin (FUO) seringkali dapat menjadi diagnosis awal
pada kasus yang bersifat lama. Abses multipel biasanya memperlihatkan tampilan
yang lebih akut, dengan gejala-gejala dan tanda-tanda toksisitas sistemik.
Tampilan yang afebris telah terdokumentasikan.

2.6 Pemeriksaan Fisik


Demam dan hepatomegali yang teraba lembut merupakan tanda yang paling
utama. Massa yang bisa terpalpasi tidak perlu ditemukan pada semua kasus. Nyeri
tekan pada midepigastrium, dengan atau tanpa massa yang terpalpasi,
mengesankan keterlibatan lobus kiri hepar
Penurunan suara napas di zona paru basal kanan, dengan tanda-tanda
ateletaksis dan efusi pada pemeriksaan atau secara radiologi, dapat ditemukan.
Friction rub pada pleura atau hepar dapat berkaitan dengan iritasi diafragma atau
inflamasi kapsula Glisson.

9
Ikterik dapat ditemukan pada sebanyak 25% dari kasus dan biasanya
berkaitan dengan penyakit traktus biliaris atau keberadaan abses multipel.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Kemajuan dalam teknik radiologi telah dihargai dengan perbaikan dalam hal
mortalitas. Berbagai teknik radiologi memiliki manfaat dan keterbatasan yang
berbeda berkenaan dengan pemanfaatan diagnostiknya (lihat gambar dibawah).

Tabel. Perbandingan prosedur radiologi yang digunakan dalam diagnosis abses


hepar.
Pemeriksaan Sensitivitas Temuan Keuntungan Keterbatasan
Ultrasound 80 – 90% Area Pemeriksaan Bergantung
hipoekoik ≥ 1 bedside untuk pada operator
cm diagnosis
Panduan untuk
drainase
terapeutik
CT scan 95 – 100% Massa yang Noninvasif,
Kontrast berbatas tegas, memungkinkan
W/IV hipodens evaluasi
terhadap area patologi yang
yang berada ada secara
disekitarnya, bersamaan.
tanda Membantu
peningkatan dalam drainase
penyerapan di terapeutik
bagian tepi
+/-, Double
target sign
pada
pemeriksaan

10
dinamis. Gas
terdeteksi pada
20% lesi
Pemeriksaan
Hepar
Technecium 80% Area lokal Mendeteksi lesi Tidak
penurunan berdiameter < 2 bermanfaat
ambilan, rim cm ketika bilirubin
sign > 3.
Galium 50 – 80% Area lokal
Penundaan
peningkatan
yang lama
ambilan
hingga
Indium 90% Area lokal Sel yang
diagnosis.
peningkatan terlokalisir pada
Tidak dapat
ambilan abses terlabeli.
membedakan
Membutuhkan
antara abses,
waktu yang
tumor, atau
paling sedikit
kista
dari semua scan
Harus
hati
mengonfirmasi
Dx

Tomografi terkomputerisasi
Tomografi terkomputerisasi (CT) dengan kontrast dan ultrasonografi masih
merupakan modalitas radiologi pilihan sebagai tindakan skrining dan juga dapat
digunakan sebagai teknik untuk memandu aspirasi dan drainase perkutan.
Dengan kemajuan dalam teknologi CT multidetektor, kualitas gambar telah
membaik secara dramatis, yang memungkinkan perbaikan deteksi. CT memiliki
sensitivitas sebesar 95 – 100% dalam keadaan ini (lihat gambar berikut).

Diperlihatkan temuan abses hepar pada pemeriksaan Tomografi


terkomputerisasi. Sebuah abses berseptum yang besar pada lobus kanan hati

11
terlihat. Abses berhasil diobati dengan drainase perkutan dan terapi
antimikroba.

Diperlihatkan temuan abses hepar pada pemeriksaan Tomografi


terkomputerisasi. Sebuah abses berseptum yang besar pada lobus kanan hati
terlihat. Abses berhasil diobati dengan drainase perkutan dan terapi
antimikroba.

Lesi pada evaluasi CT merupakan area yang berbatas tegas yang bersifat
hipodens terhadap parenkim hepar yang berada disekitarnya. Peningkatan
penyerapan perifer terlihat ketika kontrast intravena (IV) diberikan. Gas dapat
terlihat pada sebanyak 20% lesi.
CT lebih unggul dalam kemampuannya untuk mendeteksi lesi yang
berukuran kurang dari 1 cm. Teknik ini juga memungkinkan evaluasi terhadap
patologi yang mendasari, yang ada secara bersamaan di seluruh bagian abdomen
dan pelvis. Pemeriksaan sel darah putih (WBC) yang dilabeli dengan Indium
sedikit lebih sensitif dalam hal ini.
Sebuah penelitian retrospektif dilakukan dengan menggunakan rekam medis
pasien dari suatu kelompok yang terdiri atas 131 pasien dengan abses hepar
piogenik yang telah dikonfirmasi untuk menentukan karakteristik CT scan abses
tersebut yang disebabkan oleh infeksi monomikroba K pneumonieae berbanding
penyebab lainnya. Sebuah perbandingan dilakukan antara pasien abses hepar K
pneumoniae dan suatu kelompok perbandingan. Tercatat, hanya 70.2% dari kasus
yang ditetapkan sebagai abses hepar monomikroba K pneumoniae. Karakterisik
CT scan yang lebih berkemungkinan terlihat pada abses hepar monomikroba ini
adalah (1) abses tunggal, (2) keterlibatan unilobus, (3) tampilan padat, (4)
hubungan dengan tromboflebitis, dan (5) tampilan hematogen.

Ultrasonografi
Evaluasi ultrasonografi (sensitivitas, 80 – 90%) memperlihatkan massa
hipoekoik dengan tepi berbentuk ireguler. Septasi internal atau debris kavitas

12
dapat terdeteksi. Pemeriksaan ini memungkinkan evaluasi ketat traktus biliaris
dan aspirasi rongga ini secara bersamaan. Manfaat utama modalitas ini adalah
portabilitasnya dan manfaat diagnostiknya pada pasien-pasien yang terlalu kritis
untuk menjalani evaluasi radiologi yang memanjang atau untuk dipindahkan dari
lingkungan pemantauan. Dependensi operator mempengaruhi sensitivitas
keseluruhannya.

Pemeriksaan Radionuklida
Pemeriksaan awal digunakan dalam diagnosis. Pemeriksaan radionuklida
dengan Gallium dan technetium menggunakan fakta bahwa radiofarmasi ini
memiliki jalur ambilan, transportasi, dan ekskresi yang serupa dengan bilirubin
sehingga merupakan agen yang efektif dalam mengevaluasi penyakit hati.
Sensitivitasnya beragam dengan radiofarmasi yang digunakan, technetium (80%),
gallium (50 – 80%), dan indium (90%). Keterbatasannya mencakup keterlambatan
dalam diagnosis dan kebutuhan akan tindakan konfirmasi; oleh karena itu,
pemeriksaan ini tidak menawarkan manfaat dibandingkan dengan modalitas
pencitraan lainnya.

Radiografi Thoraks
Temuan radiografi thoraks akan ateletaksis basal, peninggian hemidiafragma
kanan, dan efusi pleura kanan ditemukan pada sekitar 50% kasus; sebelum
kemajuan dalam teknik radiologi, pemeriksaan ini bertindak sebagai petunjuk
diagnostik. Pneumonia dan penyakit pleura seringkali dipertimbangkan pada awal
karena temuan radiografi.

Aspirasi dan drainase perkutan


Aspirasi jarum perkutan

13
Dibawah panduan CT atau ultrasonografi, aspirasi jarum terhadap bahan di
rongga dapat dilakukan. Aspirasi jarum memungkinkan pengambilan bahan untuk
evaluasi mikrobiologi dan patologi yang cepat. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan tindakan diagnostik awal.

Drainase kateter perkutan


Drainase perkutan telah menjadi standar perawatan dan harus menjadi
intervensi pertama yang dipertimbangkan untuk kista yang berukuran kecil.
Manfaatnya mencakup biaya yang rendah, waktu pemulihan yang berkurang, dan
angka pemulihan pasca tindakan yang cepat; tindakan ini menghilangkan
kebutuhan untuk anestesi umum. Tindakan ini juga memungkinkan drainase
secara perlahan dan terkendali. Untuk kista yang berukuran lebih dari 5 cm, kista
yang mengalami ruptur, dan kista multilokus, drainase secara pembedahan secara
umum lebih direkomendasikan dibandingkan intervensi perkutan.
Sebuah kateter diletakkan dibawah panduan ultrasonografi atau CT melalui
Seldinger atau teknik trokar. Kateter dibilas setiap hari hingga outputnya kurang
dari 10 ml/hari atau kolapsnya rongga terlihat dengan CT serial.
Beberapa abses telah berhasil didrainase dengan metode ini. Kegagalan
untuk menunjukakn respon terhadap drainase kateter merupakan komplikasi
utama yang dilaporkan dan juga merupakan indikasi untuk intervensi
pembedahan. Komplikasi lainnya yang dilaporkan (jarang) adalah perdarahan
pada tempat kateter, perforasi organ berongga, dan peritonitis akibat tumpahnya
cairan rongga ke ruang intraperitoneal.
Kontraindikasi terhadap tindakan ini mencakup koagulopati; jalur akses
yang sulit ke rongga; peritonitis; dan/atau suatu abses berdinding tebal, multilokus
dan dengan penyulit, dengan pus yang kental.

2.8 Diagnosis Banding


Pemeriksaan laboratorium dapat mencakup hitung darah lengkap (CBC)
dengan pemeriksaan hitung jenis (untuk mengidentifikasi anemia penyakit kronis
atau leukositosis neutrofilik) dan pemeriksaan fungsi hati (hipoalbuminemia dan

14
peningkatan kadar alkaline fosfatase merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan; peningkatan kadar transaminase dan bilirubin bersifat beragam.
Kultur darah bersifat positif pada kasarnya 50% kasus. Kultur cairan abses harus
menjadi tujuan dalam menetapkan diagnosis mikrobiologi. Pengujian imunologi
enzim harus dilakukan untuk mendeteksi E.histolytica pada pasien-pasien apakah
itu dari area endemik atau yang telah bepergian ke area endemik.

2.9 Penatalaksanaan
A. Abses hati amebik
1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3
x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-
50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin

15
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.

4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga

16
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

B. Abses hati piogenik


 Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati
piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun
tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
 Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari
selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik
ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa
jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin
generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
 Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer.
 Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang
memerlukan manajemen operasi.

Pemantauan jangka panjang

17
Carilah sumber patologi abdomen yang mendasari secara agresif. Lakukan
tomografi terkomputerisasi (CT) dan pemeriksaan ultrasound serial setiap minggu
untuk mencatat drainase rongga abses yang adekuat. Terus lakukan evaluasi
radiologi untuk mendokumentasikan perkembangan terapi setelah pemulangan.
Perawatan terhadap drain mungkin dibutuhkan. Pertahankan drain hingga
output kurang dari 10 ml/hari.
Pantau kurva demam. Demam persisten setelah 2 minggu terapi mungkin
menunjukkan kebutuhan akan drainase yang lebih agresif.
Bagi pasien-pasien dengan keganasan yang mendasari, penatalaksanaan
definitif, seperti pengangkatan massa secara pembedahan, harus dikejar jika
benar-benar memungkinkan.
Pasien akan membutuhkan terapi antimikroba parenteral dalam jangka
panjang yang mungkin akan diteruskan setelah pemulangan. Pemantauan kadar
obat, fungsi ginjal dan hitung darah mungkin dibutuhkan. Nutrisi enteral
merupakan rute yang disukai kecuali jika dikontraindikasikan secara klinis.

Rangkuman Mengenai Pengobatan


Hingga kultur tersedia, pilihan agen antimikroba harus diarahkan pada
patogen yang paling sering terlibat. Regimen yang menggunakan kombinasi
penghambat betalaktamase/beta laktam, carbapenem, atau sefalosporin generasi
kedua dengan cakupan anaerob merupakan pilihan empiris yang sangat baik untuk
cakupan basil enterik dan anaerob. Metronidazole atau klindamisin perlu
ditambahkan untuk cakupan Bacteroides fragilis jika antibiotik lain yang
digunakan tidak menawarkan cakupan anaerob.
Abses amuba harus diobati dengan metronidazole, yang akan bersifat kuratif
pada 90% kasus. Metronidazole harus dimulai sebelum hasil uji serologi tersedia.
Pasien yang tidak menunjukkan respon terhadap metronidazole harus
mendapatkan chloroquine saja atau dalam kombinasi dengan emetine atau
dehidroemetine.

18
Agen antijamur harus dimulai jika abses jamur dicurigai dan setelah abses
didrainase secara perkutan atau secara pembedahan. Terapi awal untuk abses
jamur saat ini adalah amfoterisin B. Sediaan lipid mungkin menawarkan manfaat
yang sama yang mana pelengkapan obat terhadap setengah lipid memungkinkan
untuk konsentrasi pada hepatosit. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk bukti
yang definitif. Kasus keberhasilan penatalaksanaan dengan fluconazole setelah
kegagalan amfoterisin telah dilaporkan; namun, penggunaannya sebagai agen
awal masih diteliti.
Pada akhirnya, organisme yang diisolasi dan sensitivitas antibiotika harus
memandu pilihan akhir antimikroba.
Durasi penatalaksanaan masih selalu diperdebatkan. Rangkaian terapi yang
singkat (2 minggu) setelah drainase perkutan telah berhasil pada suatu rangkaian
pasien yang sedikit; namun, sebagian besar penelitian telah melaporkan rekurensi
abses bahkan setelah rangkaian penatalaksanaan yang lebih lama. Saat ini terapi
selama 4-6 minggu direkomendasikan untuk lesi soliter yang telah didrainase
secara adekuat. Abses multipel bersifat lebih problematik dan dapat
memubutuhkan waktu terapi hingga 12 minggu. Baik perkembangan klinis dan
radiografi pasien harus memandu lamanya penatalaksanaan.
Antibiotika
Rangkuman Kelas
Terapi antimikroba empiris harus menyeluruh dan harus mencakup semua
patogen yang berkemungkinan dalam konteks keadaan klinis tersebut.

Meropenem (Merrem)
Antibiotika carbapenem spektrum luas bakterisidal yang menghambat
sintesis dinding sel. Efektif terhadap sebagian besar bakteri Gram positif dan
Gram negatif.
Memiliki aktivitas yang sedikit lebih tinggi terhadap Gram negatif dan
aktivitas yang sedikit lebih rendah terhadap spesies Staphylococcus dan
Streptococcus dibandingkan dengan imipenem.

19
Imipenem dan cilastatin (Primaxin)
Untuk penatalaksanaan infeksi organisme multipel yang mana agen lainnya
tidak memiliki cakupan spektrum yang luas atau dikontraindikasikan karena
potensi toksisitas.

Cefuroxime (Ceftime)
Sefalosporin generasi kedua mempertahankan aktivitas Gram positif yang
dimiliki oleh sefalosporin generasi pertama; menambahkan aktivitas terhadap
Proteus mirabilis, Haemophilus influenza, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis. Kondisi pasien, keparahan infeksi, dan
kerentanan mikroorganisme menentukan dosis dan rute pemberian yang sesuai.

Cefotetan (Cefotan)
Sefalosporin generasi kedua yang diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh kokus Gram positif dan Batang Gram negatif yang rentan.
Dosis dan jalur pemberian bergantung pada kondisi pasien, keparahan
infeksi, dan kerenanan organisme kausatif.

Cefoxitin (Mefoxin)
Sefalosporin generasi kedua yang diindikasikan untuk infeksi akibat kokus
Gram positif dan Batang Gram negatif. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Gram negatif yang resisten terhadap sefalosporin atau penisilin dapat memberikan
respon terhadap cefoxitin.

Cefaclor (Ceclor)
Sefalosporin generasi kedua yang diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh kokus Gram positif dan batang Gram negatif yang rentan.
Tentukan dosis dan cara pemberian yang tepat berdasarkan kondisi pasien,
keparahan infeksi, dan kerentanan organisme kausatif.

Clindamisin (Cleocin)

20
Lincosamide untuk penatalaksanaan infeksi stapilokokus kulit dan jaringan
lunak yang serius. Juga efektif terhadap streptokokus aerob dan anaerob (kecuali
enterokokus). Menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan
menghambat disosiasi peptidyl t-RNA dari ribosom yang menyebabkan sintesis
protein dependen-RNA menjadi berhenti.

Metronidazole (Flagyl)
Antibiotika berbasis cincin imidazole aktif terhadap berbagai bakteria
anaerob dan protozoa. Digunakan dalam kombinasi dengan agen antimikroba
lainnya (kecuali untuk enterocolitis Clostridium difficile).

Agen antijamur
Rangkuman Kelas
Mekanisme kerjanya bisa melibatkan perubahan metabolisme RNA dan
DNA atau akumulasi peroksida intrasel yang bersifat toksik terhadap sel jamur.

Amphotericin B (AmBisome)
Dihasilkan oleh strain Streptomyces nodosus; dapat bersifat fungistatik atau
fungicidal. Berikatan pada sterol, seperti ergosterol, dalam membran sel jamur,
yang menyebabkan komponen intrasel mengalami kebocoran dengan kematian sel
jamur selanjutnya.

Fluconazole (Diflucan)
Antijamur oral sintesis (bistriazole spektrum luas) yang secara selektif
menghambat sitokrom P-450 dan demetilasi alfa sterol C-14.

2.10 Komplikasi
Komplikasi abses hepar dapat mencakup hal berikut:
 Sepsis

21
 Empiema akibat penyebaran langsung atau ruptur abses intrapleura
 Ruptur abses dengan akibat peritonitis
 Endoftalmitis ketika abses berkaitan dengan bakteremia K
pneumoniae.

2.11 Prognosis
Jika tidak diobati, abses hepar piogenik hampir selalu masih bersifat
mematikan. Dengan pemberian antibiotika dan tindakan drainase yang tepat pada
waktunya, mortalitas saat ini terjadi pada 5 – 30% kasus. Penyebab kematian yang
paling sering mencakup sepsis, kegagalan multiorgan, dan gagal hati.
Indikator untuk buruknya prognosis pada abses amuda mencakup kadar
bilirubin yang lebih dari 3.5 mg/dl, ensefalopati, hipoalbuminemia (yaitu, kadar
albumin serum < 2 g/dl), dan abses multipel; semuanya merupakan faktor
independen yang memprediksikan outcome yang buruk.
Suatu etiologi maligna yang mendasari dan skor Acute Physiology and
Chronic Health Evaluation (APACHE II) yang lebih dari 9 meningkatkan
mortalitas relatif sebesar 6.3 kali lipat dan 6.8 kali lipat, secara berturut-turut.
Chen dkk meneliti faktor prognostik untuk pasien usia lanjut dengan abses
hepar piogenik. Hasil dari penelitian tersebut, yang mengikutsertakan 118 pasien
yang berusia 65 tahun atau lebih dan 221 pasien dibawah usia 65 tahun,
menunukkan bahwa usia dan skor APACHE II sebesar 15 atau lebih pada saat
masuk rumah sakit merupakan faktor risiko untuk mortalitas. Bukti ini pada
akhirnya menyatakan bahwa outcome untuk pasien usia lanjut dengan abses hepar
piogenik berada pada tingkatan yang sama dengan pada pasien dengan usia lebih
muda. Para peneliti juga menemukan bahwa pada kelompok pasien yang lebih
muda, terdapat frekuensi pria yang lebih besar yang menderita alkoholisme, abses
kriptogenik, dan infeksi K. Pneumoniae.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah didalam parenkim hati .
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang

23
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

De Jong,. Sjamsuhidajat. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4. Jakarta : EGC.
Sabiston, David C. 2002. Buku Ajar Bedah Bagian I. Jakarta : EGC.

24
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Siti Aisyah Harahap
No. MR : 01.04.10.66
Umur : 6 tahun 2 bulan
Tanggal lahir : 24-07-2011
Alamat : Desa Sigama Ujung Gading, Padang Lawas, Sumatera Utara
Agama : Islam
Anak dari : Bonar Harahap

II. ANAMNESA PASIEN


Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapangan perut

25
Telaah : Nyeri seluruh lapangan perut telah di alami Os sejak 3 hari ini,
awalnya nyeri dirasakan pada perut kanan atas 2 hari di rumah, disertai
demam,demam bersifat hilang timbul, mual muntah tidak dijumpai, os sudah tidak
buang air besar selama 3 hari, serta dijumpai penurunan nafsu makan. Kemudian
os di bawa ke Rs. Gunung tua dan di rawat selama 1 minggu, kemudian Os di
rujuk ke Rs. Padang sidempuan, perut bertambah besar kemudian dilakukan
pemasangan NGT, keluar cairan berwarna hijau, juga dilakukan wash out selama
3 hari, os di rawat selama 5 hari, kemudian di rujuk ke RSU. Dr. Pirngadi dengan
diagnosa tumor intra abdomen. BAK dalam batas normal
Riwayat penyakit terdahulu : -
Riwayat pemakaian obat : rantidin
Paracetamol
antibiotik

III. Pemeriksaan Fisik

a. Status Present
Sensorium : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/i reguler
Frekuensi nafas: 20 x/i reguler
Suhu : 37.3 C
b. Status lokalisata
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Dada : suara nafas : vesikular,
suara tambahan : (-),

26
RR : 20 x/i, HR : 98x/i
Abdomen : inspeksi : asimetris, distensi (+)
Palpasi : hepar teraba 5 cm bawah arcus costa ,
nyeri tekan (+)
Perkusi : hipertimpani
Auskultasi : peristaltik (+) meningkat
Lingkar perut : 50cm
Genitalia : dalam batas normal
Ekstremitas : atas : dalam batas normal, bawah : dalam batas normal
NGT : terpasang, warna hijau

27
IV. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
WBC : 11.070 /uL ↑
HGB : 8,9 g/dl ↓
PLT : 258.000 /uL
Natrium : 145,00 mmol/L
Kalium : 3,90 mmol/L
Chlorida : 112,00 mmol/L
Total bilirubin : 0,34 mg/dl
Direct bilirubin: 0,26 mg/dl
Albumin : 2,10 g/dl
Ureum : 18,00 mg/dl
Creatinin : 0,32 mg/dl
Uric acid : 2,80 mg/dl
Glukosa ad R : 56,0 mg/dl

b. Foto

28
29
V. Diagnosa Kerja

Diffuse peritonitis d/t susp. Abcess liver


VI. Tatalaksana
- Puasa
- IVFD D 5% + NaCl 0,9 % 50 gtt/i
- Pasang kateter
- Konsultasi departemen anak
- Konsultasi anastesi untuk toleransi operasi
- Eksplorasi laparatomi + drainage abses

Jawaban dari Dept. Anak :

30
- IVFD D5% + Nacl 0,9% 40 gtt/i
- Inj Cefotaxime 750 mg /8jam/iv
- Inj. Ranitidin 15 mg/ 12jam/iv
- Transfusi 60 cc /12 jam kebutuhan 120 cc
- Koreksi albumin 20 % 50 ml

VII. Laporan Operasi

Pasien dalam posisi supine dengan GA ETT, dilakukan aseptik dan


antiseptik prosedur, dilakukan insisi transverse supra umbilical 2 jari, kutis,
subkutis, fascia, otot, peritoneum dibuka, tampak keluar cairan serous ± 50 cc,
identifikasi small bowel dan large bowel dalam batas normal. Identifikasi solid
organ tampak keluar pus, di evakuasi ± 250 cc cairan pus, zona VII, abses di
irigasi. Dilakukan kultur serta biopsi pada liver. Lapangan operasi di cuci dengan
NaCl 0,9 % berulang hingga kesan bersih. Dilakukan pemasangan draine di lobus
kanan atas, produksi cairan serohemoragik ±50 cc, draine kedua di lower hepar
produksi cairan serousa ±100cc. Kontrol perdarahan, lokasi operasi ditutup lapis
demi lapis. Operasi selesai.

31
32
Diagnosa post operasi : Post laparatomi d/t diffuse peritonitis d/t liver abcess
Terapi post operasi :
- Puasa sampai peristaltik (+)
- IVFD RL 25 gtt/i mikro
- PCT drip 150 mg/8jam
- Metronidazol drip 200 mg/8jam
- Inj. Ceftriaxon 300 mg/12 jam
- Inj gentamicyn 30 mg/12 jam

Rencana :
- Pantau keadaan umum, vital sign, urine output, drain
- Kultur pus
- Rawat luka

33
- Cek darah lengkap post operasi

WBC : 15.870 /uL ↑


HGB : 10,3 g/dl ↓
PLT : 240.000 /uL
HCT : 31,9 %

VIII. Follow up

Tanggal 19 Oktober 2017 (Rawatan I)


Keluhan Demam
Sensorium Compos mentis
Tekanan darah (TD) 100/70 mmHg
Frekuensi nadi (HR) 102 x/i
Frekuensi nafas (RR) 20 x/i
Temperatur (T) 38,70C
Status lokalisata Kepala : dalam batas normal
Thoraks
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikular, HR = 102 x/i regular,
desah (-), RR = 28 x/i regular, ronchi (-),
wheezing (-), ST = -
Abdomen
Inspeksi : simetris, terpasang drain dua, produksi
Drain I : serous hemorrage ± 50 cc/24 jam
Drain II : Serous ± 80 cc/24 jam
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), hepar, lien dan
renal tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Ekstremitas : dalam batas normal
Genitalia : dalam batas normal
Pemeriksaan penunjang WBC : 23.230 /uL ↑
HGB : 9,1 g/dl ↓

34
PLT : 263.000 /uL
HCT : 28,9 %
Albumin : 2,70 g/dl ↓
Natrium : 139,00 mmol/L
Kalium : 5,20 mmol/L
Chlorida : 104,00 mmol/L
Diagnosis Post laparatomy d/t diffuse peritonitis d/t liver
abcess + sepsis
Terapi - IVFD RL 25 gtt/i mikro
- PCT drip 140mg/8jam
- Metronidazole drip 200mg/8jam
- Inj meropenem 300 mg/8jam
- Inj gentamicyn 30mg/8jam → Aff
- Inj Ranitidin 20 mg/12 jam
- Diet M1
Rencana - Follow ketat
- Menunggu hasil kultur
- Menunggu hasil histopatologi
- Terapi lain sesuai dept. Anak.

35

Anda mungkin juga menyukai