Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Sejak lebih dari satu abad yang lalu, beberapa subtipe dari virus influenza A telah
menghantui manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang
manusia dan telah menyebabkan pandemi, sehingga tidak mengherankan jika
kewaspadaan global terhadap wabah pandemi flu burung mendapatkan perhatian yang
serius. Diawali pada tahun 1918 dunia dikejutkan oleh wabah pandemi yang disebabkan
virus influenza, yang telah membunuh lebih dari 40.000 orang, dimana subtipe yang
mewabah saat itu adalah virus H1N1 yang dikenal dengan “Spanish Flu”. Tahun 1957
kembali dunia dilanda wabah global yang disebabkan oleh kerabat dekat virus yang
bermutasi menjadi H2N2 atau yang dikenal dengan “Asian Flu” yang telah merenggut
100.000 jiwa meninggal. Pada tahun 1968, virus flu kembali menyebabkan wabah
pandemi dengan merubah dirinya menjadi H3N2. Mutan virus yang dikenal dengan
“Hongkong Flu” ini telah menyebabkan 700.00 orang meninggal dunia. Dunia kembali
dikagetkan dengan merebaknya avian influenza H5N1 yang pertama kali menyerang dan
menewaskan 6 orang penduduk Hongkong pada tahun 1997 dari 18 orang yang terinfeksi
(Horimoto T, Kawaoka Y. 2001). Untuk mengatasi kejadian ini Hongkong telah
melakukan pemusnahan unggas secara meluas dan efektif. Namun pada tahun 2003, 2
pasien terinfeksi H5N1 kembali diidentifikasi di provinsi Fujian, Cina. Setelah itu
timbullah 3 gelombang epidemi Avian lnfluenza atau yang populer disebut flu burung di
lndonesia.

Gelombang pertama terjadi antara Desember 2003 - Maret 2004, menyebabkan 35


kasus di Vietnam dan Thailand dengan CFR=68.6%. Gelombang kedua bulan Juli 2004 -
Oktober 2004 dengan 9 kasus dengan CFR=88.9%, juga di kedua negara tersebut.
Gelombang ketiga  yang dimulai pada bulan Desember  2004 dan masih berlangsung
hingga kini, telah menyebabkan lebih dari 70 kasus di Vietnam, Thailand, Cambodia, dan
Indonesia. Dengan CFR=84.2%.

1
Gambar 1.1 peta Penyebaran Infeksi Avian Influenza di dunia

Khusus di Indonesia, kasus flu burung ditemukan di Sulawesi Selatan yang


menyebabkan sedikitnya 12 ekor ayam mati. Ini adalah kasus kedua yang terjadi di
Indonesia pada tahun 2005, setelah kasus serupa di Bandung. Di Indonesia, hingga
tanggal 2 Mei 2006, telah ditemukan 33 kasus confirmed flu burung dengan kematian 24
orang dan lima kasus probable dengan kematian empat orang. Jumlah kasus ini terus
bertambah. Sampai saat ini, penyakit flu burung pada unggas telah menyerang 27 propinsi
dan tercatat 28 kasus pada manusia dengan 20 penderita diantaranya meninggal duinia
(berita terakhir 19 Februari 2006). Propinsi yang sudah terjangkit flu burung anatra lain:
Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, lampung, Jambi, Riau, Jawa Barat,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan,
NTB dan NTT. Dibawah ini merupakan tabel jumlah kasus flu burung dari Bulan Juli
2005 sampai Februari 2006.

2
Tabel 1.1
Jumlah Penderita Flu Burung Juli 2005-Februari 2006

Propinsi Flu Burung Dalam Penyelidikan

Penderita Meninggal Penderita Meninggal

DKI Jakarta 8 7 40 11

Banten 4 3 10 6

Jawa Barat 10 8 39 7

Jawa Tengah 1 0 1 1

Jawa Timur 0 0 1 0

Kalimantan Timur 0 0 4 1

Sulawesi Selatan 0 0 4 1

Lampung 3 0 2 1

DIY 0 0 1 1

Riau 0 0 3 0

Sumatra Barat 0 0 1 0

Perkembangan penyakit flu burung di Indonesia memang cukup mengkhawatirkan


karena rata-rata kematian manusia yang disebabkan penyakit flu burung melampaui rata-
rata kematian karena flu burung di dunia. Rata-rata kematian manusia karena flu burung
di dunia 53,3%, sedangkan di Indonesia mencapai 69,56%.

Flu burung merupakan salah satu new emerging disease yang sangat meresahkan
masyarakat. Angka kematian pada manusia yang terinfeksi penyakit ini sangat tinggi
dengan kecenderungan penambahan kasus yang semakin meningkat. Perkembangan yang
terjadi memungkinkan ke arah pandemi.

Mengingat tingginya potensi terjadinya pandemi flu burung yang menurut perkiraan
WHO akan dapat menelan korban 7,5 juta jiwa, maka diperlukan upaya bersama baik di
tingkat nasional maupun internasional yang dikonsentrasikan pada negara-negara yang
saat ini menghadapi permasalahan kasus flu burung pada manusia. Program pencegahan

3
dan pemberantasan sangat memerlukan peran serta pemerintah dalam mensosialisasikan
program yang dilakukan dan penyuluhan tentang penyakit flu burung di masyarakat.

I.2 PERMASALAHAN
Penulis ingin mengetahui tentang:

1. Etiologi, Gejala klinis, sumber penularan, pengobatan dan upaya pencegahan


penyakit Avian Influenza.

2. Apakah Avian Influenza merupakan salah satu new emerging disease.

3. Strategi pemerintah untuk melakukan pencegahan, pengendalian, dan


pemberantasan Avian Influenza

I.3 TUJUAN

Tujuan Umum
Mendapatkan informasi tentang new emerging disease Avian Influenza.

Tujuan Khusus:

1. Mendapatkan pengertian tentang new emerging disease.


2. Mendapatkan informasi tentang penyakit Avian Influenza dan pencegahannya.

I.4. MANFAAT
 Manfaat Bagi Penulis: dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis
mengenai new emerging disease Avian Influenza.

 Manfaat Bagi Mahasiswa, Civitas Akademika YARSI: diharapkan karya tulis ini
dapat memberi masukan bagi mahasiswa/i dan seluruh Civitas Akademika
mengenai new emerging disease Avian Influenza, serta diharapkan makalah ini
dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi seluruh civitas akademika.

 Manfaat Bagi Masyarakat :


o Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyakit Avian Influenza.
o Meningkatkan kewaspadaan masyarakat akan bahaya dari penyakit Avian
Influenza dan bagaimana cara pencegahan penyakit tersebut.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AVIAN INFLUENZA

2.1.1. DEFINISI

Flu burung adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza yang ditularkan oleh unggas yang dapat menyerang manusia. Nama
lain dari penyakit ini antara lain avian influenza.

2.1.2. ETIOLOGI

Virus penyebab influenza tergolong family Orthomyxoviridae. Virus


terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A, B, dan C. Virus Influenza A
bisa terdapat pada unggas, manusia, babi, kuda, dan kadang-kadang mamalia
yang lain, misalnya cerpelai, anjing laut, dan ikan paus. Namun, sebenarnya
hospes alaminya adalah unggas liar. Sebaliknya, virus influenza B dan C
hanya ditemukan pada manusia. Penyakit flu burung yang disebut pula Avian
Influenza disebabkan oleh virus influenza A. Virus ini merupakan virus RNA
dan mempunyai aktivitas haemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA).
Pembagian subtipe virus berdasarkan permukaan antigen, permikaan
haemaglutinin (HA), dan Neuraminidase (NA) yang dimiliknya. Saat ini, 15
jenis HA telah dikenali, mulai H1 samapai H15 dan 9 jenis NA, mulai N1
sampai N9. Di antara 15 subtipe HA, hanya H5 dan H17 yang bersifat ganas
pada unggas.

Variasi antigenik virus influenza sering ditemukan melalui drift dan


shift antigenik. Drift antigenik terjadi karena adanya perubahan struktur
antigenik yang bersifat minor pada permukaan antigen H dan atau N, sedankan
shift antigenik terjadi karena adanya perubahan yang bersifat dominan pada
struktur antigenik. Pengaturan kembali struktur genetik virus pada unggas dan
manusia diperkirakan merupakan suatu sebab timbulnya strain baru virus pada
manusia yang bersifat pandemik. Dalam ini, virus pada unggas dapat berperan

5
pada perubahan struktur genetik virus influenza pada manusia dengan
menyumbangkan gen pada virus galur manusia.

Penyebab flu burung pada unggas yang sangat ganas dan menular ke
manusia pada wabah akhir-akhir ini dinyatakan virus influenza A subtipe
H5N1, sama seperti yang ditemukan pada ayam dan manusia pada wabah flu
burung di Hongkong tahun 1997. Sebelum terjadinya flu burung di
Hongkong, di negara lainpernah pula ditemukan kejadian flu burung.

Tabel 2.1

Kejadian Flu Burung di Dunia

No Nama atau Negara Tahun Penyebab

1. Spanish Flu 1918-1919 Influenza A H1N1

2. Amerika Serikat 1983 dan 1986 Influenza A H5N2

3. Asian Flu 1957-1958 Influenza A H2N2

4. Hongkong Flu 1968-1969 Influenza A H3N2

5. Indonesia 1982 Influenza A H4N2

6. Hongkong 1998 Influenza A H9N1

7. Hongkong 2003 Influenza A H5N1

8. Vietnam 2004 Influenza A H5N1

9. Thailand 2004 Influenza A H5N1

Meskipun diberi nama flu burung (Avian Influenza), namun penyakit tidak
hanya menyerang burung meupun unggas saja. Flu burung dapat menyerang:

6
 Berbagai macam unggas termasuk berbagai jenis ayam, burung laut;
kalkun; burung-burung liar seperti pelikan, merak, walet, itik dan
sebagainya; demikian pula burung liar yang kini sudah menjadi burung
peliharaan seperti burung parkit, kakatua, nuri, dan beo.
 Babi, kuda , macan, ikan paus, cerpelai, dan diduga berbagai jenis
mamalia yang lain diduga dapat pula tertular flu burung.

Gambar 2.1 Ekologi penyakit Influenza

Unggas yang menderita flu burung dapat mengeluarkan virus


berjumlah besar dalam kotoran (feses) maupun sekreta yang dikeluarkannya.
Virus flu burung mampu bertahan hidup dalam air sampai 4 hari pada suhu 22
C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0 C. Di dalam tinja unggas dan dalam
tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, namun akan mati
pada pemanasan 60 C selama 30 menit atau 90 C selam satu menit. Virus
mempunyai masa inkubasi (jarak antara masuknya virus hingga terlihat gejala
pada penderita) yang pendek, yaitu antara beberapa jam samapai tiga hari,
tergantung pada jumlah virus yang masuk, rute kontak, dan spesies unggas
yang terserang.

2.1.3. GEJALA KLINIS

7
Tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) yang
ditimbulkan oleh virus flu burung sangat bervariasi tergantung jalur virus yang
menyerang, spesies unggas yang terserang, umur, lingkungan (kadar amoniak
dan ventilasi), dan adanya infeksi sekunder. Sejumlah subtipe virus influenza
A dapat menimbulkan penyakit parah pada spesies unggas tertentu, tetapi pada
spesies unggas lain tidak menimbulkan penyakit atau hanya menimbulkan
gejala yang sangat ringan. Virus Influenza A subtipe H5N1 lebih sering
menyerang ayam muda daripada yang lebih tua.

Pada burung-burung liar misalnya itik, angsa, burung camar, demikian


pula berbagai burung peliharaan lain yang sebenarnya dulu pun merupakan
burung liar, virus flu burung umumnya tidak menyebabkan sakit. Namun,
hewan tersebut sebagi reservoir yang dapat menularkan virus pada hewan lain
atau manusia. Hal inilah yang mengakibatkan pemberantasan flu burung
menjadi sulit karena masyarakat yang memelihara sejumlah unggas tidak
menyadari bahwa unggas mereka terserang flu burung. Dengan demikian,
ketika pemerintah melakukan program pemberantasan flu burung dengan
pemusnahan, masyarakat yang memiliki unggas masih dalam keadaan sehat
merasa keberatan dan tidak menyadari bahwa ada di sekitarnya dan melarang
unggas miliknya dimusnahkan.

Virus flu burung dapat menimbulkan gejala yang bervariasi pada


unggas ternak, seperti ayam dan kalkun, mulai gangguan pernapasan ringan
yang bersifat tidak patogen sampai penyakit bersifat fatal yang bersifat
patogen. Virus flu burung yang ganas HPAI (Highly Pathogenic Avian
Influenza) ditandai oleh proses penyakit yang cepat dan disertai tingkat
kematian tinggi. Kejadian penyakit kemungkinan berlangsung sangat cepat
dan unggas mati mendadak tanpa didahului gejala tertentu, kemudian
morbiditas dan mortalitas mencapai 100%.

8
Gambar 2.2 unggas yang terinfeksi

Gejala penyakit flu burung pada manusia antara lain seseorang akan
mengalami Infeksi Slauran Pernapasan Akut (ISPA) dengan gejala terjadinya
demam 38 C atau lebih, batuk, pilek, sakit tenggorokan, badan lemas, pegal
linu, nyeri otot, pusing, peradangan selaput mata (mata memerah), kadang-
kadang disertai mencret dan muntah. Keadaan di atas bisa berlanjut menjadi
gejala sesak nafas yang jarang terjadi pada seseorang yang terserang flu
manusia biasa. Dugaan penyakit flu burung dapat mengarah pada yang
bersangkutan apabila dalam seminggu terakhir mengunjungi peternakan yang
sedang terjangkit penyakit flu burung, kontak dengan unggas yang dicurigai
menderita flu burung, maupun bekerja pada suatu laboratorium yang sedang
memproses spesimen manusia atau hewan yang dicurigai menderita flu
burung.

2.1.4. DEFINISI KASUS

1. Kasus Suspek Avian Influenza

Kasus suspek adalah seseorang yang menderita demam (suhu > 38°C),
dengan salah satu gejala batuk, sakit tenggorokan, sesak yang diikuti satu
atau lebih keadaan:

 Tujuh hari terakhir pasien pernah kontak dengan unggas (ayam, itik,
burung, dan lain-lain) sakit atau mati mendadak yanng belum diketahui

9
penyebabnya atau babi serta produk mentah peternakan ( pupuk
kandang, telur yang masih kotor atau terkontaminasi, dan lain-lain).
 14 hari terakhir pasien pernah tinggal di daerah yang terdapat kematian
unggas yang tidak biasa.

 Tujuh hari terakhir pasien pernah kontak dengan penderita AI


konfirmasi.

 Tujuh hari terakhir pasien pernah kontak dengan spesimen AI H5N1


(pekerja laboratorium yang berkaitan dengan spesimen AI H5N1)

 Pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni (leukosit ≤ 3000/µl) dan


atau trombositopeni (trombosit ≤ 150.000/ µl).

 Ditemukan adanya titer antibodi pengenceran > 1 : 20 terhadap H5N1


dengan pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA
untuk influenza A tanpa subtipe.

 Foto dada menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat kedua sisi


paru yang makin meluas (foto serial)

ATAU

Kematian akibat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan


satu atau lebih gejala :

 Lekopeni atau limfopenia (hitung jenis relatif < 20 %) dengan atau


tanpa trombositopeni (trombosit ≤ 150.000/ µl).
 Foto dada menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat kedua
sisi paru yang makin meluas (foto serial).

2. Kasus Probable Avian Influenza

Kasus probable adalah kasus suspek disertai salah satu keadaan;

 Bukti laboratorium terbatas yang mengarah kepada virus influenza A


(H5N1), misal : Test HI yang menggunakan antigen H5N1

10
 Dalam waktu singkat berlanjut menjadi pneumonial gagal
pernafasan/ meninggal

 Terbukti tidak terdapat penyebab lain

3. Kasus Konvermasi Avian Influenza

Kasus kompermasi adalah kasus suspek atau probable Avian Influenza,


ditambah satu atau lebih keadaan:

 Kultur virus influenza A (H5N1) positif.


 RT-PCR influenza A (H5N1) positif di laboratorium yang diakui
WHO.

 Dengan uji immunofluorescense Assay ditemukan antigen positif


dengan menggunakan antibodi monoklonal A (H5N1)

 Peningkatan titer antibodi spesifik A (H5N1) pada spesimen serum


akut dan konvalesen sebesar empat kali atau lebih dengan uji
netralisasi.

2.1.5 MASA INKUBASI

Masa inkubasi virus influenza bervariasi antara 1 - 7 hari.

2.1.6 SUMBER DAN CARA PENULARAN

Penyakit Avian Influenza yang disebabkan virus Avian Influenza


subtipe H5N1 dapat cepat menyebar di antara populasi unggas dari satu
kandang ke kandang ynag lain dan dari satu peternakan ke peternakan alain.
Penularan penyakit dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan secara langsung adalah penularan dengan cara kontak langsung
antara hewan penderita flu burung dengan hewan lain yang peka maupun
manusia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, hingga saat ini
tidak ada bukti kuat yang mengarah adanya penularan dari manusia ke
manusia. Namun demikian, sejumlah penelitian masih terus dilakukan karena
influenza A berpoternsi melakukan mutasi, sehingga menghasilkan virus baru

11
yang sifatnya berbeda dengan virus sebelumnya, potensi lainnya adalah virus
melakukan persilangan dengan virus lain, sehingga menghasilkan virus baru
dengan kombinasi sifat keduanya. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan virus
dari saluran pernafasan, mata, dan feses. Jadi, jika hewan yang peka atau
manusia dapat pula mengalami penularan secara langsung bila mengalami
kontak material tersebut. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan
bukti kuat yang menyatakan bahwa Avian Influenza dapat menular dari
manusia ke manusia.

Gambar 2.3 Perubahan Segmen Genom Virus Avian Influenza pada Mix
Infection

Penularan secara tidak langsung dapat terjadi melalui udara yang


tercemar material atau debu yang mengandung virus Avian influenza dan
semua barang yang pernah mengalami kontak dengan penderita. Oleh karena
itu, alat-alat yang telah berhubungan dengan penderita Avian Influenza harus
didesinfeksi. Virus Avian Influenza mempunyai amplop, sehingga relatif
sensitif bila terkena zat kimia yang mengandung lipid, seperti deterjen. Virus
pun akan rusak oleh formalin, asam encer, panas, pH yang terlalu tinggi, dan
kekeringan, sehingga bahan-bahan kimia tadi bisa digunakan untuk melakukan
desinfeksi kandang maupun.

12
2.1.7 ORANG YANG BERESIKO TINGGI TERTULAR

Orang yang berisiko tingi tertular virus flu burung adalah:

1. Orang yang bekerja di laboratorium untuk memeriksa specimen


(sample) hewan yang diduga menderita penyakit flu burung atau
melakukan penelitian tentang flu burung.
2. Pekerja peternakan unggas seperti anak kandang, dokter hewan, mantra
hewan, maupun petugas kesehatan hewan lain yang sering melakukan
kontak dengan unggas yang dipotong.

3. Pekerja Rumah Potong Unggas (RPU) terutama yang berhubungan


langsung dengann unggas yang dipotong.

4. Pekerja kebun binatang yang langsung menagani binatang terutan


unggas.

5. Pemilik unggas dan keluarga atau pegawainya yang bertugas mengurus


unggas atau siapa pun yang sering melakukan kontak langsung denagn
unggas.

6. Penjual unggas dan orang yang bekerja di pasar burung.

7. Tukang masak yang bertugas mengolah unggas yang masih mentah.

8. Orang yang bekerja menangani produk yang dikeluarkan dari


peternakan seperti orang yang mengolah kotoran unggas, bulu, dan
darah untuk dijadikan pupuk, maupun pegawai perkebunan yang
menggunakan pupuk dari produk sisa peternakan unggas.

9. Orang yang tinggal di dekat peternakan atau kompleks pemukiman


padat unggas dengan sistem peternakan atau peliharaan yang tidak
benar, terutama jika dalam situasi wabah flu burung.

10. Semua orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan unggas.

2.1.8 DIAGNOSIS AVIAN INFLUENZA

13
Diagnosis terhadap kasus Avian Influenza pada unggas dapat
dilakukan dengan melihat gejala klinis yang terjadi, melihat perubahan
patologi anatomi, dan melakukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis
dengan melihat patologi anatomis, yaitu dengan pemeriksaan bangkai untuk
melihat perubahan jaringan setelah kematian, baik secara mikroskopis maupun
makroskopis. Sedangkan pada pmeriksaan laboratorium sampel, dibutuhkan
darah (serum), apus tenggorokan, maupun kotoran. Uji yang dilaksanakan saat
ini umumnya adalah:

1. Rapid Test : Rapid tes memerlukan virus dalam jumlah banyak


untuk menunjukan hasil positif dan tidak bisa membedakan
terserang Avian Influenza karena H5N1 atau subtipe lain.
2. HI (Hemaglutinasi Inhibisi) : Alat untuk melihat antibodi
terhadap Hemaglutinasi (H).

3. AGP (Agar Gel Presipitation) : Alat ini untuk melihat antibodi


terhadap Neuramidase (N).

4. VN (Virus Netralisasi) : Alat untuk mengetahui pembentukan


antibodi.

5. Isolasi Virus

6. PCR (Polimerase Chain Reaction) : Alat untuk memastikan


adanya virus Influenza A subtipe H5N1.

Pada manusia, selain pemeriksaan laboratoris di atas, ada pula


pemeriksaan laboratories yang meliputi:

 Pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan Hb, hitung


jenis leukosit, trombosit, Laju Endap Darah (LED), albumin,
globulin, SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, keratin kinase, serta
analisis gas darah.
 Pasien pemeriksaan mikrobiologi meliputi Rapid test, ELISA,
dan pmeriksaan antigen (HI,IF/FA).

14
Lebih lanjut, pasien flu burung melakukan pula foto toraks.

2.1.9 PENGOBATAN FLU BURUNG

Perlu ditekankan bahwa belum ada obat yang efektif untuk penyakit flu
burung. Hanya langkah pencegahan yang terbaik untuk menghadapi penyakit
flu burung. Pada hewan untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, hewan
yang terserang flu burung tidak diobati, tapi harus dibunuh dan bangkainya
dibakar atau dikubur.

Penelitian terhadap obat yang diberikan terhadap penderita flu burung


adalah obat antiviral (amantadin, rimantadin, oseltamivir/tamiflu dan
zananivir). Tetrapi sejumlah virus flu burung ternyata resisten , sehingga obat
tidak dapat bekerja. Saat ini pasien yang terserang flu burung di Indonesia
umumnya mendapat obat antiviral tamiflu. Namun, ternayata tamiflu tidak
efektif untuk mengobati flu burung karena hanya berfungsi mencegah
perbanyakan virus, tetapi tidak dapt mematikannya. Kemudian, obat hanya
berfungsi jika flu burung baru terjadi selama 48 jam saat virus flu burung
mengalami perbanyakan. Pnelitian yang dipublikasikan di jurnal kedokteran
New England “Journal of Medicine” menunjukkan pasien yang diobati
tamiflu, 24% sembuh dan yang tidak diobati tamiflu, 25% sembuh. Selain
diberikan tamiflu, pasien yang diduga menderita penyakit flu burung
mendapat perawatan suportif untuk menangani gejala yang terjadi dan
tindakan untuk mempertahankan kondisi tubuh agar tetap baik. Dengan
demikian, sistem kekebalan alami dapat berfungsi maksimal agar mampu
bertahan menghadapi penyakit flu burnug. Tindakan yang dilakukan pada
pasien yang menderita flu burung antara lain:

1. Pasien dirawat dalam ruang isolasi selama kurang lebih 7 hari


untuk menhindari penularan lewat udara. Meskipun sampai saat
ini belum ada bukti kuat bahwa flu burung dapat menular dari
manusia ke manusia, tetapi kita tetap harus mewaspadai
penyebaran virus dan kemungkinan virus melakukan mutasi
maupun “perkawinan” dengan virus flu burung subtipe lain dan
dapat menular antar manusia.

15
2. Pemberian oksigen jika terdapat sesak napas yang mengarah ke
gagal napas.

3. Pemberian infus dan minum banyak.

4. Pengobatan terhadap gejala flu seperti pemberian antipiretik,


dekongestan, dan antitusif.

5. Amantadin dan rimantadin sebagai penghambat hemaglutinin


pada awal infeksi (48 jam pertama) selama tiga samapai lima
hari 5mg/kg BB per hari dibagi 2 dosis. Jika penderita
mengalami penurunan fungsi hati dan ginjal, maka dosis
diturunkan.

6. Pemberian oseltamivir pada 48 jam pertama selama lima hari


untuk anak kurang 15 kg sebanyak 30mg 2 kali sehari; Berat
Badan lebih dari 15-23 kg sebanyak 45mg 2 kali sehari; Berat
Badan lebih dari 23-40 kg 60mg 2 kali sehari; Berat Badan
lebih dari 40 kg 75 mg 2 kali sehari, sedangkan untuk penderita
lebih dari 13 tahun 75 mg 2 kali sehari.

Pasien penderita flu burung dapat pulang setelah tidak mengalami


demam, tidak batuk, terdapat perbaikan foto toraks, dan pemeriksaan
laboratorium normal. Satu minggu setelah pulang, pasien harus kontrol ke
rumah sakit yang ditunjuk. Penanganan jenazah penderit aflu burung harus
secara khusus pula, yaitu ditutup dengan plastik atau bahan lain yang tidak
tembus air seperti kayu atau bahan lain yang tidak mudah tercemar dan idak
boleh disemayamkan lebih dari 4 hari.

2.1.10. UPAYA PENCEGAHAN

Upaya pencegahan penularan dilakukan dengan cara menghindari


bahan yang terkontaminasi tinja dan sekret unggas, dengan tindakan sebagai
berikut :

16
 Setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran
cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata renang)
 Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti tinja harus
ditatalaksana dengan baik ( ditanam / dibakar) agar tidak menjadi sumber
penularan bagi orang disekitarnya.

 Alat-alat yang dipergunakan dalam peternakan harus dicuci dengan


desinfektan

 Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan

 Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak pada suhu 80°C selama 1
menit, sedangkan telur unggas perlu dipanaskan pada suhu 64°C selama 5
menit.

 Melaksanakan kebersihan lingkungan.

 Melakukan kebersihan diri.

2.2 EMERGING DISEASE

New emerging disease adalah penyakit yang baru pertama kali


diidentifikasi atau infeksi yang sebelumnya tidak diketahui sedangkan
reemerging disease adalah munculnya kembali atau peningkatan jumlah kasus
infeksi dari penyakit yang sebelumnya tidak diketahui (Achmadi, 2008).

Menurut Partz dkk(1996) mendefinisikan emerging dan reemerging


infectious disease (REID) sebagai semua penyakit infeksi yang menunjukkan
gejala peningkatan pada masa-masa terakhir dan sekaligus menunjukkan
gejala kemungkinan ancaman peningkatan dalam waktu mendatang. Dengan

17
demikian, new emerging infectious disease (NEID) merupakan ancaman
dimasa mendatang yang harus diantisipasi kehadirannya.

NEID dan REID seringkali memberi karakter kejadian akut, menyebar


dalam tempo yang singkat, dan menimbulkan dampak luas terhadap kehidupan
masyarakat. Faktor yang berperan timbulnya NEID atau REID telah
diidentifikasi misalnya perubahan ekosistem, kepadatan penduduk, perubahan
perilaku penduduk, perubahan iklim dan sebagainya. Faktor lain adalah
kemampuan mikroba patogen untuk merubah sifat-sifat dirinya dari waktu ke
waktu (Krause, 1996). Misal mutasi yang menimbulkan perubahan sifat dan
resistensi tehadap obat-obatan.

Sebagian besar NEID merupakan zoonotik disease atau penyakit yang


bersumber binatang. Namun karena perubahan ekosistem dapat secara tiba-
tiba merebak tidak terkendali dengan sifat-sifat baru yang dimiliki. Berikut ini
merupakan contoh-contoh NEID dan REID:

a. Kelompok New Emerging Infectious Disease : SARS (2003), avian


influenza (2004), virus nipah (1985), Legionella pneumophillis
(1977), virus Ebola (1877) dan sebagainya.

b. Kelompok Re-Emerging Infectious Disease : malaria, TBC,


Dengue fever, DHF, Jappanese encephalitis dan lain-lain.

Influenza termasuk dalam Emerging Infectious Diseases yang


disebabkan oleh virus influenza dan ditularkan melalui droplet dan air born
diseases. Virus Influenza terdiri dari tiga tipe : A dan B yang terdapat pada
hewan dan manusia, dan C yang terutama terdapat pada hewan. Virus
Influenza memiliki antigen yang terdapat pada selubung protein yang disebut
Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA). Antigen ini selalu berubah-
ubah, yang menyebabkan daya tularnya juga berubah-ubah.

2.3. KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

Melalui keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan


tertanggal 4 Februari 2004, pemerintah telah menetapkan srategi untuk

18
melakukan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan Avian Influenza.
Srategi tersebut mempunyai dua tujuan yaitu : tujuan jangka pendek dan
tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek program adalah
mempertahankan daerah-daerah bebas flu burung dan melaksanakan
pengendalian di daerah tertular, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah
melaksanakan pemberantasan flu burung dengan arah pembebasan kembali
daerah tertular secara bertahap.

Daerah bebas ialah daerah propinsi atau pulau yang tidak pernah
tertular atau tidak pernah dilaporkan adanya flu burung. Daerah terancam
adalah daerah yang tidak ada kasus, tetapi berbatasan langsung sedaratan dan
tanpa batasan alam dengan daerah tertular. Kemudian, daerah tertular ialah
daerah yang dijumpai kasus Avian Influenza yang didiagnosis secara klinis,
patologi anatomis, epidemiologis dan konfirmasi secar laboratoris. Prinsip
pencegahan, pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza yang dilakukan
pemerintah meliputi lima hal, yakni :

 Mencegah kontak antara hewan yang peka dengan virus Avian Influenza

 Menghentikan produksi virus Avian Influenza oleh unggas tertular

 Meningkatkan resistensi hewan dengan cara vaksinasi

 Menghilangkan sumber penularan virus

 Meningkatan kesadaran masyarakat

Dalam melaksanakan prinsip dasar, pemerintah melakukan sembilan


tindakan yang merupakan satu kesatuan, yang dilakukan secara bersama –
sama. Berikut adalah kesembilan tindakan :

1. Pelaksanaan Biosekuriti secara ketat.

Biosekuriti adalah cara menangani ternak secara higienis. Tindakan


biosekuriti meliputi :

 Pengawasan lalu lintas dan tindakan karantina atau isolasi


lokasi peternakan tertular dan lokasi penampungan unggas
yang tertular.

19
 Dekontaminasi atau desinfeksi

2. Tindakan pemusnahan selektif unggas (depopulasi) di daerah tertular.

Depopulasi atau pemusnahan selektif merupakan tindakan untuk


mengurangi populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit.
Kemudian tindakan dilanjutkan dengan prosedur disposal, yaitu
prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap
bangkai unggas, telur, kotoran, bulu, alas kandang, dan pakan ternak
serta bahan dan peralatan lain yang tercemar tetapi tidak dapat
didesinfeksi secara efektif.

3. Pengebalan (vaksinasi).

Vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif produksi dalam


negeri atau impor yang strain virusnya homolog dengan subtipe
virus isolate lokal (strain H5) dan telah mendapatkan rekomendasi
dari pemerintah. Tindakan vaksinasi hanya boleh dilakukan di
daerah tertular secara massal terhadap seluruh unggas sehat
terancam (100% ) dengan cara penyuntikan satu per satu dan
apabila perlu dilakukan booster.

Gambar 2.4 proses vaksinasi pada unggas

4. Pengendalian lalu lintas.

Pengaturan ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan unggas hidup,


telur, produk unggas serta limbah peternakan harus memenuhi syarat –
syarat yang telah ditentukan.

20
5. Surveillans dan penelusuran.

Surveilans dan penelusuran dilakukan pada semua unggas yang rentan


(berisiko tinggi) terhadap penyakit dan sumber penyakit Avian Influenza.
Surveilans bertujuan menetapkan sumber infeksi di daerah yang baru tertular,
menetapkan sumber penyebaran atau perluasan penyakit di daerah tertular,
memantau epidemiologi dan dinamika penyakit untuk mengetahui
perkembangan pengendalian dan pemberantasan penyakit, menetapkan
perwilayahan (zoning) daerah bebas, daerah terancam, dan daerah tertular
penyakit, serta mendetekasi tingkat kekebalan kelompok (herd immunity)
setelah vaksinasi. Penelusuran (traching) dilaksanakan bersama surveilans.
Penelusuran dilakukan untuk menentukan sumber infeksi dan menekan secara
efektif penyebaran penyakit. Penelusuran dilakukan paling cepat 14 hari
sebelum timbulnya gejala penyakit sampai tindakan karantina mulai
diberlakukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan
penelusuran adalah asal dan jenis unggas, produk daging, telur, bulu, tulang,
darah dan lain-lain. Bahan perantara seperti semua kendaraan pengangkut
pakan, telur, unggas, maupun pengunjung peternakan, peralatan dan material
terkontaminasi kotoran ( feses) harus diperhatikan pula. Demikian pula,
semua orang yang berhubungan dengan unggas seperti peternak atau petugas
kandang, pedagang ternak, technical sevice penjual pakan, pengunjung, dan
lain-lain. Pelaksanaan survailans dan penelusuran dilakukan oleh balai
penelitian veteriner regional Bogor, yaitu Balai Penyelidikan dan Pengujian
Veteriner Regional (BPPVR) ,masing-masing wilayah dengan
mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimiliki serta berkoordinasi
dengan intansi terkait.

6. Peningkatan kesadaran masyarakat.

Program merupakan program sosialisasi tentang penyakit flu burung


kepada masyarakat dan peternak. Tindakan sosialisasi dilakukan
melalui media elektronik, media massa, penyebaran brosur. Sosialisasi
dapat pula diwujudkan sebagai program pendidikan kepada masyarakat
(Educational Programme) melalui seminar dan pelatihan dengan

21
bekerjasama dengan industri perunggasan dan asosiasi bidang
peternakan.

7. Pengisian kembali (restocking) unggas.

Pengisian kembali (restocking) unggas ke dalam kandang dapat


dilaksanakan paling cepat satu bulan setelah pengosongan kandang
dilakukan dan semua tindakan desinfeksi dan disposal selesai
dilaksanakan.

8. Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out).

Tindakan stamping out merupakan tindakan pemusnahan secara


menyeluruh, yaitu memusnahkan seluruh unggas yang sakit maupun
yang sehat pada peternakan dan semua unggas yang berada dalam
radius satu kilometer dari peternakan tertular. Tindakan dapat
dilaksanakan apabila timbul kasus flu burung di daerah bebas atau
terancam dan telah didiagnosis secara klinis, patologi anatomis, dan
epidemiologis serat dikonfirmasi secara laboratoris. Apabila stamping
out terlambat dilaksanakan dan penyebaran penyakit sudah semakin
luas, maka tindakan tidak dapat dilaksanakan dan diganti dengan
tindakan vaksinasi dan depopulasi.

9. Monitoring, pelaporan dan evaluasi.

Kegiatan monitoring bertujuan mengetahui keberhasilan suatu kegiatan


dan dampak serta permasalahan yang timbul saat kegiatan
dilaksanakan agar dalam perkembangan lebih lanjut dapat
disempurnakan kekurangannya. Pelaporan meliputi laporan situasi
penyakit dan perkembangan pelaksanaan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit, produsen serta nama vaksin yang digunakan
dan pendistribusiannya. Evaluasi pelaksanaan pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan flu burung bertujuan mengetahui
pencapaian target kegiatan, dampak keberhasilan, dan permasalahan
yang timbul di lapangan. Hal – hal yang dievaluasi antara lain
penyediaan dan distribusi sarana seperti vaksin, obat, maupun
peralatan.

22
2.4 WABAH FLU BURUNG

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas


penyakit flu burung yang sangat ditakuti oleh maayarakat sehubungan dengan
tingakat kematian tinggi pada unggas dan menyebabkan kerugian sangat besar
pada industri perunggasan di Indonesia, penularan penyakit pada manusia, dan
menggangu perekonomian nasional. Penanganan flu burung tidak dapat
diabaikan begitu saja karena jika wabah terus berlanjut dan menjadi epidemi
di seluruh Indonesia, bukan tidak mungkin berakibat lebih besar karena
lumpuhnya perekonomian nasional. Belum berhasilnya pemberantasan flu
burung di Indonesia kemungkinan karena hal berikut:

1. Unggas Liar Sebagai Reservoir

Salah satu kendala pemberantasan penyakit flu burung adalah flu


burung pada unggas liar maupun domestik tidak menimbulkan gejala
klinis apabila terinfeksi. Unggas liar hanya berfungsi sebagai reservoir,
sehingga tubuhnya dapat mengandung virus flu burung, tetapi unggas tidak
menampakkan gejala terserang penyakit flu burung (tampak sehat). Dalam
keadaan demikian, tanpa pemeriksaan laboratorium kita sangat sulit
membedakan antara unggas liar yang tubuhnya mengandung virus flu
burung dengan yang tidak mengandung virus flu burung. Demikian juga
dengan unggas air yang terinfeksi virus flu burunglebih dari satu jenis,
sehingga mengakibatkan penyebaran flu burung semakin meluas.

2. Sistem Peternakan dan Pemeliharaan Hewan di Indonesia

Sistem peternakan Indonesia umumnya masih tradisional. Di


Indonesia, masih banyak peternakan rakyat yang umumnya berskala kecil.
Mayoritas tiap keluarga di Indonesia terutama di desa, memilki ayam yang
dipelihara dengan dilepas pada siang hari untuk mencari makan. Ayam
yang dilepas akan melakukan kontak dengan unggas liar yang menjadi
reservoir penyakit flu burung maupun kontak dengan material yang
tercemar virus Avian Influenza sehingga memudahkan penularan penyakit.

23
3. Gaya Hidup Masyarakat Indonesia

Gaya hidup masyarakat Indonesia yang tidak sehat mungkin


menyebabkan penyakit flu burung mudah sekali menyebar di Indonesia.
Gaya hidup masyarakat Indonesia yang mempunyai risiko terjadinya
penyakit flu burung antara lain:

 Membiarkan unggas masuk ke dalam rumah dan membiarkannya


berkeliaran di sekitar rumah

 Tidak menggunakan sarung tangan dan tidak membersihkan diri


dengan air dan antiseptik setelah kontak dengan unggas.

 Membuang feses, bangkai unggas, maupun benda yang terkena


virus flu burung di sembarang tempat yang akan mudah
menyebarkan virus flu burung

 Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah untuk melakukan


depopulasi dan disposal maupun stamping out apabila unggas
terjangkit flu burung

4. Pelanggaran terhadap Aturan Pemerintah tentang Lalu Lintas Hewan

Di indonesia, umumnya lalu lintas hewan khususnya ternak


maupun produk-produknya yang merupakan sumber penularan virus
flu burung belum menampakkan yang positif meskipun peraturannya
telah ada. Pelanggaran akan memudahkan virus flu burung menyebar
dan saat ini sudah merambah ke 27 propinsi.

5. Banyak Masyarakat yang Belum Tahu tentang Flu Burung

Sampai saat ini kesadaran masyarakat untuk ikut


menyukseskan program pemerintah dalam pengendalian virus flu
burung. Masyarakat terutam yang tinggal di desa terpencil umumnya
banyak yang tidak tahu tentang penyakit flu burung, baik gejalanya,
cara pencegahannya, maupun tindakan yang harus dilakukan jika
wabah menyerang.

24
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Aspek Kedokteran

3.1.1 Kesimpulan

1. Flu burung atau Avian Infuenza adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh virus influenza yang ditularkan oleh unggas yang dapat
menyerang manusia.

2. Tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) yang


ditimbulkan oleh virus flu burung sangat bervariasi tergantung jalur virus
yang menyerang, spesies unggas yang terserang, umur, lingkungan (kadar
amoniak dan ventilasi), dan adanya infeksi sekunder.

25
3. Penyebab flu burung pada unggas yang sangat ganas dan menular ke
manusia adalah virus influenza A subtipe H5N1

4. Gejala penyakit Avian Inluenza pada manusia antara lain Infeksi Saluran
Napas Akut (ISPA), dengan gejala demam 38 C atau lebih, batuk pilek,
sakit tenggorokan, nyeri otot, kadang disertai mencret atau muntah.

5. Kasus flu burung pada manusia terbagi menjadi tiga macam, yaitu Kasus
Suspek, Kasus probabel, dan kasus konfirmasi Flu Burung.

6. Program pencegahan dan pemberantasan penyakit Avian Influenza sangat


memerlukan peran serta pemerintah dalam mensosialisasikan program
tersebut, salah satunya melalui penyuluhan tentang penyakit Avian
Influenza ke masyarakat.

3.1.2 Saran

a. Diperlukan penelitian di Indonesia mengenai obat yang efektif untuk


mematikan virus flu burung.

b. Diadakaan pemeriksaan spesimen virus flu burung di negeri sendiri.

c. Diperlukan kejasama lintas sektoral dengan berbagai pihak yang terkait


dalam menangani wabah flu burung

d. Memberikan penanganan yang tepat dan cepat pada kasus tersangka


flu burung.

3.2. Aspek Public Health

3.2.1 Kesimpulan

1. Flu burung merupakan salah satu new emerging disease karena penyakit
ini baru pertama kali diidentifikasi atau infeksi yang sebelumnya tidak
diketahui.

2. Pemerintah telah menetapkan srategi untuk melakukan pencegahan,


pengendalian, dan pemberantasan Avian Influenza.

26
3. Dalam melaksnakan strateginya pemerintah menggunakan 5 prinsip yaitu :
mencegah kontak antara hewan yang peka dengan virus Avian Influenza,
menghentikan produksi virus Avian Influenza oleh unggas tertular,
meningkatkan resistensi hewan dengan cara vaksinasi, menghilangkan
sumber penularan virus dan meningkatan kesadaran masyarakat.

4. Penyebab mewabahnya flu burung di Indonesia :

a. Adanya unggas liar yang berfungsi sebagai reservoir .

b. Sistem peternakan dan pemeliharaan hewan tidak memperhatikan


sistem pengamanan biologis (biosecurity) yang ketat.

c. Gaya hidup masyarakat yang tidak sehat.

d. Pelanggaran terhadap lalu-lintas hewan

e. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit flu burung

3.2.2 Saran

a. Memperbaiki sistem peternakan dan pemeliharaan hewan sehingga mencegah


penularan penyakit flu burung.

b. Mengubah gaya hidup masyarakat yang berpotensi untuk terjadinya


penyebaran flu burung

c. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut menyukseskan program


pemerintah dalam pengendalian flu burung

d. Peningkatan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan program


pencegahan flu burung seperti biosecurity, pemberian vaksin, depopulasi serta
stamping out.

e. Meningkat sistem monotoring, pelaporan dan evaluasi program pencegahan


penyakit flu burung.

27
28

Anda mungkin juga menyukai