Dosen pengampu :
Dr. Ir Arifin Tasrif, MSc, MM
19590824031001
Oleh :
Puspa Syifa Awalia
(NIRM 02.12.19.059)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dan
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari, penulisan makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi penulis
khususnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
PEMBAHASAN 3
Simpulan 21
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit
zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family
Orthomyxoviridae. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit hewan menular yang
bersifat akut. Umumnya penyakit ini menyerang unggas dan dapat juga menular pada
hewan lain seperti kucing, anjing, dan anjing (Komnas FBPI, 2009). Tetapi seiring
adanya perkembangan waktu dan virus, penyakit ini juga ikut menyerang babi dan
menyerang manusia. Penyakit flu burung banyak menarik perhatian karena
penularannya yang sangat cepat dengan angka kematian yang cukup tinggi. Flu
burung juga berpengaruh terhadap sektor perternakan, khususnya unggas, yang
mempunyai dampak besar terhadap ketersediaan daging (gizi) di masyarakat dan
sektor ekonomi para perternaknya (Widoyono, 2011).
Kasus flu burung di Indonesia bermula ditemukannya kasus pada unggas di
Pekalongan, Jawa Tengah, pada bulan Agustus 2003 (Widoyono, 2011). Sampai
tahun 2012 jumlah kasus terdapat 15 provinsi yang tertular Flu Burung, yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Terdapat 2 provinsi yang baru tertular
pada tahun 2012 yaitu Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat (Kemenkes, 2013b).
Penyakit ini terus menular pada unggas maupun pada manusia. Berdasarkan data
WHO (2014), di Indonesia kasus yang dikonfirmasi dari awal terjadinya flu burung
sampai tahun 2014 ini mencapai 195 orang dengan 163 orang meninggal dunia
(CFR=83,6%).
Meskipun kini, jumlah unggas atau manusia yang terserang flu burung sudah
berkurang. Namun, pencegahan harus tetap dilakukan. Apalagi pada saat kita
mengekspor dan mengimpor unggas dari negara lain yang merupakan area tertular flu
burung atau area bebas flu burung. Oleh karena itu, diperlukan tindakan karantina
1
terhadap pemasukan dan pengeluaran unggas ke, dari, dan di dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
1. Untuk mencegah untuk masuk, keluar, dan menyebarnya hama dan penyakit
hewan karantina ke, dari, dan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang
ditularkan melalui unggas
2. Sebagai cara untuk mengendalikan penyakit flu burung di Indonesia
2
PEMBAHASAN
Avian Influenza
A. ETIOLOGI
Penyebab avian influenza (AI) merupakan virus ss-RNA yang tergolong
family Orthomyxoviridae, dengan diameter 80-120 nm dan panjang 200-300 nm.
Virus ini memiliki amplop dengan lipid bilayer dan dikelilingi sekitar 500 tonjolan
glikoprotein yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi (HA) dan
enzimneuraminidase (NA). Virus influenza dibedakan atas 3 tipe antigenik
berbeda, yakni tipe A, B dan C. Tipe A ditemukan pada unggas, manusia, babi,
kuda dan mamalia lain, seperti cerpelai, anjing laut dan paus. Tipe B da C hanya
ditemukan pada manusia.
Virus AI tipe A tersusun atas 8 segmen gen yang memberikan 10 sandi
protein, yaitu polymerase basic-2 (PB2), polymerase basic-1 (PB1), polymerase
acidic (PA), hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP), neuraminidase (NA), matrix
(M) dan non-struktural (NS). Masing-masing segmen memberikan satu macam
sandi protein, kecuali segmen M memberikan sandi protein M1 dan M2, serta
3
segmen NS memberikan sandi protein NS1 dan NS2. Berat molekul protein
berturut-turut adalah: 87, 96, 85, 77, 50-60, 48-63, 24, 15, 26, dan 12 kDa. Protein
HA dan NA merupakan protein terpenting di dalam menimbulkan respons imun
dan sebagai penentu subtype virus AI. Berdasarkan perbedaan genetik antar virus
AI, sehingga sekarang telah diketahui adanya 16 subtipe hemaglutinin (H1-16) dan
9 subtipe neuraminidase (N1-9).
Virus AI mudah mati oleh panas, sinar matahari dan desinfektan (deterjen,
ammonium kuartener, formalin 2-5%, iodium kompleks, senyawa fenol,
natrium/alium hipoklorit). Panas dapat merusak infektifitas virus AI. Pada suhu
56ºC, virus AI hanya dapat bertahan selama 3 jam dan pada 60ºC selama 30 menit.
Pelarut lemak seperti deterjen dapat merusak lapisan lemak ganda pada selubung
virus. Kerusakan selubung virus ini mengakibatkan virus influenza menjadi tidak
infektif lagi. Faktor lain adalah pH asam, nonisotonik dan kondisi kering. Senyawa
ether atau sodium dodecylsulfate akan mengganggu amplop tersebut, sehingga
merusak protein hemaglutinin dan neuramidase. Media pembawa virus berasal dari
ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan, kotoran ayam, pupuk, alat
transportasi, rak telur (egg tray), serta peralatan yang tercemar. Strain yang sangat
ganas (virulen) dan menyebabkan Flu Burung adalah subtype A H5N1. Virus
tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari
30 hari pada 0°C.
2. Spesies Rentan
Burung-burung liar, Itik, burung puyuh, babi, kucing, kuda, ayam petelur, ayam
pedaging, ayam kampung, entok, angsa, kalkun, burung unta, burung merpati,
burung merak putih, burung perkutut serta manusia.
4
3. Pengaruh lingkungan
Virus AI dikenal sebagai virus yang mudah mengalami mutasi, yaitu perubahan
yang menyangkut nukleotida atau asam amino di dalam gen. Pengaruh perjalanan
waktu dan perbedaan inang telah menyebabkan perubahan tersebut terjadi. Sebagai
contoh, subtipe H5N1 yang menginfeksi manusia di Hongkong pada 1997
mengandung 8 segmen gen virus AI yang berasal dari unggas di Eurasia.
Meskipun virus ini berhasil dimusnahkan dengan jalan membakar semua unggas
yang ada di Hongkong, tetapi gen HA muncul sebagai donor pada H5N1 angsa di
Cina Tenggara. Munculnya genotipe baru ini sangat mematikan pada ayam tetapi
tidak pada itik. Selama 5 tahun berikutnya tidak ada variasi genetik dan baru pada
akhir 2002 terjadi mutasi. Tampaknya mutasi H5N1 ini menjadi cikal bakal flu
burung di Asia, terbukti menimbulkan kematian pada ayam dan korban jiwa
manusia
4. Sifat Penyakit
5
Virus influenza tergolong virus dengan genom bersegmen, sehinga mudah
mengalami mutasi. Mutas dapat terjadi melalui proses antigenic drift dan antigenic
shift, sehingga sulit dikenal oleh sistem kekebalan inang.
5. Cara Penularan
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi dan unggas
peka melalui saluran pernapasan, konjungtiva, lendir dan feses; atau secara tidak
langsung melalui debu, pakan, air minum, petugas, peralatan kandang, sepatu, baju
dan kendaraan yang terkontaminasi virus AI serta ayam hidup yang terinfeksi.
Unggas air seperti itik dan entog dapat bertindak sebagai carrier (pembawa virus)
tanpa menujukkan gejala klinis. Unggas air biasanya berperan sebagai sumber
6
penularan terhadap suatu peternakan ayam atau kalkun. Penularan secara vertikal
atau konginetal belum diketahui, karena belum ada bukti ilmiah maupun empiris.
Masa inkubasi bervariasi dari beberapa jam sampai 3 (tiga) hari pada individual
unggas terinfeksi atau sampai 14 hari di dalam flok.
6. Distribusi Penyakit
Dari bulan Agustus 2003 sampai Februari 2004 terjadi wabah penyakit unggas
yang menyebabkan kematian unggas sebesar 6,4% dari populasi unggas di wilayah
seluruh Propinsi yang ada di Pulau Jawa, Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi
Bali, Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Lampung. Spesies unggas tertular
yang dilaporkan adalah ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler), ayam buras,
itik, entok, angsa, burung unta, burung puyuh, burung merpati, burung merak
putih, burung perkutut.
Pada bulan April 2005 dilaporkan meningkat secara sporadis dan lebih banyak
menyerang ayam buras dan burung puyuh di beberapa daerah tertular di P. Jawa,
Sumatera Utara, dan Kaltimantan Timur, hingga akhir bulan Juli 2005, terjadi di
7
21 propinsi, 136 kabupaten/kota. Sementara itu berdasarkan laporan dari Dinas
Peternakan Propinsi Sumatera Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara masih terdapat
kasus kematian pada ayam buras sejumlah 200 ekor, sedangkan di Kota Jambi dan
Kabupaten Batanghari jumlah kematian unggas pada bulan Juli 2005 sebanyak 233
ekor. Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Kep. Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara,
dilaporkan masih terdapat kasus kematian unggas hinnga bulan Desember 2005.
Penetapan daerah tertular avian influenza dilihat berdasarkan adanya laporan kasus
kematian unggas yang disebabkan oleh virus avian influenza dengan diagnosa
klinis, patologi anatomi, epidemiologis, dan dikonfirmasi secara laboratoris.
B. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terlihat pada ayam penderita HPAI antara lain adalah, jengger,
pial, kelopak mata, telapak kaki dan perut yang tidak ditumbuhi bulu terlihat
berwarna biru keunguan. Adanya perdarahan pada kaki berupa bintik-bintik merah
(ptekhie) atau biasa disebut kerokan kaki. Keluarnya cairan dari mata dan hidung,
pembengkakan pada muka dan kepala, diare, batuk, bersin dan ngorok. Nafsu
makan menurun, penurunan produksi telur, kerabang telur lembek. Adanya
gangguan syaraf, tortikolis, lumpuh dan gemetaran. Kematian terjadi dengan
cepat. Sementara itu pada LPAI, kadang gejala klinis tidak terlihat dengan jelas.
2. Patologi
Pada nekropsi (bedah bangkai) yang terlihat adalah perdarahan umum, edema,
hiperemi atau ptekhie pada hampir seluruh bagian tubuh, kondisi ini sangat sulit
dibedakan dari ND ganas. Selain itu ditemukan edema subkutan. Perubahan pada
nekropsi mungkin sangat bervariasi sejalan dengan umur, spesies, dan
patogenisitas virus. Beberapa ciri lesi tipikal dapat berupa, edema subkutan pada
8
daerah kepala dan leher, kongesti dan ptekhie konjunctiva, trakea dilapisi mukus
atau hemorragik, kongesti dan timbunan urat dalam ginjal, ptekhie pada
proventrikulus, tembolok, usus, lemak abdominal dan peritoneum. Ovarium pada
ayam petelur terlihat hemorragik atau nekrotik, kantung telur terisi dengan kuning
telur yang ruptur sehingga sering terlihat adanya peritonitis dan peradangan pada
kantung udara. Sering pada ayam muda yang mati perakut terlihat adanya
dehidrasi dan kongesti otot yang parah.
3. Diagnosa
Diagnosa lapangan dengan melihat gejala klinis dan patologi anatomi. Secara
laboratorium diagnosa dapat ditegakkan secara virologis dengan cara inokulasi
suspensi spesimen (suspensi swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses atau
organ berupa trakea, paru, limpa, pankreas dan otak) pada telur berembrio umur 9
– 11 hari (3 telur per spesimen). Identifikasi dapat dilakukan secara serologis,
antara lain dengan uji Agar Gel Immunodifusion (AGID), uji Haemagglutination
Inhibition (HI). Penentuan patogenisitas virus dilakukan dengan cara
menyuntikkan isolat virus dari cairan alantois secara intravena (IV) pada 10 ekor
anak ayam umur 6 minggu atau 4 – 8 minggu. Jika mati 6 ekor atau lebih dalam 10
hari, atau Intravena patogenicity index (IVPI) > 1,2 dianggap HPAI. Secara
9
molekuler keberadaan virus AI dapat dideteksi dengan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR), real time RT-PCR atau sekuensing genetik.
4. Diagnosa Banding
Spesimen yang diambil untuk uji serologi adalah serum, sedangkan untuk uji
virologi adalah swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses, paru, limpa,
pankreas dan otak. Baik jaringan organ segar maupun spesimen swab harus
dikirim dalam media transpor ke laboratorium. Pengiriman specimen harus dijaga
dalam keadaan dingin dan dikirimkan ke Laboratorium Veteriner setempat.
10
a. jenis dan jumlah unggas
b. sehat dan layak untuk dilalulintaskan.
11
Tindakan karantina hewan berupa kegiatan 8P yaitu pemeriksaan, pengasingan,
pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pembebasan.
1. Pemeriksaan
Petugas karantina melakukan pemeriksaan kelengkapan, kebenaran &
keabsahan. unggas yang dikirim harus sesuai dengan jenis & jumlah.
Pemeriksaan kondisi fisik unggas apakah menunjukkan gejala sakit
Apabila telah sesuai antara dokumen dengan fisik serta unggas tidak
menunjukkan gejala penyakit, maka diterbitkan surat persetujuan bongkar
(KH-5) & dilanjutkan dengan penerbitan surat perintah masuk karantina
hewan sementara (KH-7).
Apabila dokumen yang disyaratkan tidak lengkap/tidak sesuai dengan
fisik, maka dilakukan tindakan penahanan (KH-8a), pemilik/yg
dikuasakan diberi waktu 3 hari untuk melengkapi.
Apabila setelah 3 hari dokumen belum dilengkapi, maka dilakukan
tindakan penolakan (KH-8b). Apabila dokumen sudah dilengkapi maka
dilakukan tindakan karantina di instalasi karantina hewan.
2. Pengasingan
Dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut unggas tertentu yang karena
sifatnya memerlukan waktu lama, sarana, dan kondisi khusus.
Lamanya waktu pengasingan sangat tergantung pada lamanya waktu yang
dibutuhkan bagi pengamatan, pemeriksaan, dan/atau perlakuan terhadap
media pembawa.
Lamanya waktu pengasingan digunakan sebagai dasar penetapan masa
karantina, yang terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh
pemiliknya kepada petugas karantina sampai dengan selesainya
pelaksanaan tindakan karantina.
12
3. Pengamatan
Dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut HPHK pada unggas dengan cara
mengamati timbulnya gejala HPHK pada media pembawa selama
diasingkan dengan menggunakan sistem semua masuk-semua keluar (all
in-all out). Pengamatan yang dimaksud ini merupakan observasi.
Pengamatan dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk pemasukan dari luar negeri dilakukan di instalasi karantina
atau pada tempat atau area pemasukan;
b. untuk pengangkutan antar area, diutamakan pada area
pengeluaran; atau
c. untuk pengeluaran ke luar negeri pengamatan disesuaikan dengan
permintaan negara tujuan.
Selain pengamatan sebagaimana yang dijelaskan di atas, pengamatan juga
dapat dilakukan untuk mengamati situasi HPHK pada suatu negara, area,
tempat. Pengamatan ini merupakan surveilans, yaitu kegiatan penyidikan
penyakit yang bertujuan untuk menetapkan status penyakit suatu negara,
area, atau tempat atau pemetaan HPHK.
Lama waktu pengamatan minimal 21 hari. Pengamatan yang dilakukan
untuk mengamati gejala klinis yang muncul selama pengamatan.
4. Perlakuan
Dilakukan pengambilan sampel darah (serum) untuk pengujian
laboratorium terhadap penyakit avian influenza dengan metode HA-HI.
Dilakukan apabila setelah dilakukan pemeriksaan atau pengasingan untuk
pengamatan ternyata media pembawa tertular atau diduga tertular HPHK.
Untuk pengambilan dan penanganan sampel dapat dilakukan dengan
tahap-tahap sebagai berikut :
a. Sampel ditempatkan dalam media transpor yang telah berisi
larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,0 – 7,4 dan
antibiotic (penisilin 2000 unit/ml, streptomisin 2 mg/ml,
13
gentamisin 50 μg/ml dan mycostatin 1000 unit/ml). Konsentrasi
media transpor dinaikkan menjadi 5 kali lipat apabila digunakan
untuk sampel swab kloaka dan feses.
b. Sampel harus segera diperiksa setelah diinkubasi selama 1 - 2 jam
dalam suhu ruangan. Tetapi apabila sampel tidak memungkinkan
untuk dikerjakan secepatnya, maka sampel harus disimpan pada
suhu 4°C selama 4 hari.
c. Untuk jangka waktu penyimpanan lebih dari 4 hari, sampel harus
disimpan pada suhu -80°C
5. Penahanan
Dilakukan apabila setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata persyaratan
karantina untuk pemasukan ke dalam atau dari suatu area ke area lain di dalam
wilayah negara RI belum sepenuhnya dipenuhi.
Dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan
karantina atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh menteri lain yang
terkait pada waktu pemasukan, transit, atau pengeluaran di dalam wilayah
negara RI.
Penahanan dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik
terhadap media pembawa dan diduga tidak berpotensi membawa dan
menyebarkan HPHK.
Selama masa penahanan dapat dilakukan tindakan karantina lain yang
bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya HPHK dan penyakit hewan
lainnya dan atau mencegah kemungkinan penularannya, menurut
pertimbangan dokter hewan karantina.
6. Penolakan
Dilakukan terhadap unggas yang dimasukkan ke dalam wilayah negara RI
dan/atau dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara RI apabila
ternyata:
14
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular HPHK tertentu
yang ditetapkan oleh pemerintah, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis
yang dilarang pemasukannya;
b. persyaratan karantina tidak seluruhnya dipenuhi;
c. setelah dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang harus
dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi; atau
d. setelah diberi perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan
dan/atau disucihamakan dari HPHK
Tindakan penolakan unggas dilakukan oleh petugas karantina hewan dan
berkoordinasi dengan penanggung jawab tempat pengeluaran.
Dalam hal tindakan penolakan tidak dapat dilakukan, terhadap unggas
dilakukan tindakan pemusnahan.
Tindakan penolakan diterbitkan Berita Acara Penolakan, dan tidak diterbitkan
sertifikat kesehatan (health certificate) serta tidak diperbolehkan keluar dari
wilayah Negara Republik Indonesia.
Biaya yang ditimbulkan akibat tindakan penolakan unggas menjadi beban dan
tanggung jawab pemilik atau kuasanya.
Jika penolakan tidak ditetapkan batas waktunya secara khusus, maka
penolakannya dilakukan pada kesempatan pertama. Tindakan penolakan
umumnya berkaitan dengan masalah kesiapan dan ketersediaan sarana alat
angkut. Oleh karena itu, penolakan dilakukan pada kesempatan pertama agar
instansi terkait lainnya ikut membantu pengiriman kembali media pembawa
tersebut setelah diputuskan untuk ditolak dan menjadikan pengiriman kembali
tersebut sebagai prioritas utama.
7. Pemusnahan
Dilakukan terhadap unggas yang dimasukkan ke dalam wilayah negara RI
dan/atau dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara RI apabila
ternyata:
15
a. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan
dilakukan pemeriksaan, tertular HPHK tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang
pemasukannya;
b. setelah dilakukan penolakan, media pembawa yang bersangkutan tidak
segera dibawa keluar dari wilayah negara RI atau dari area tujuan oleh
pemiliknya dalam batas waktu yang ditetapkan;
c. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular HPHK tertentu
yang ditetapkan oleh pemerintah; atau
d. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi
perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan/atau disucihamakan dari HPHK.
Tindakan pemusnahan harus memperhatikan risiko penyebaran HPHK.
Tindakan pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar, dikubur, dan/atau
dengan cara lain sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran hewan.
Tindakan pemusnahan dilakukan oleh petugas karantina, dan dituangkan
dalam Berita Acara Pemusnahan.
Pemilik atau kuasanya tidak berhak menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun
sebagai akibat tindakan pemusnahan unggas.
Biaya yang ditimbulkan akibat tindakan pemusnahan unggas menjadi beban
dan tanggung jawab pemilik atau kuasanya.
8. Pembebasan
Dilakukan terhadap unggas yang dimasukkan ke dalam wilayah negara RI
dan/atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara RI apabila
ternyata:
(a) setelah dilakukan pemeriksaan, tidak tertular HPHK;
(b) setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular HPHK;
(c) setelah dilakukan perlakuan, dapat disembuhkan dari HPHK; atau
(d) setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat
dipenuhi.
16
Dilakukan terhadap media pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam
wilayah negara RI atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara RI
apabila ternyata:
(a) setelah dilakukan pemeriksaan, tidak tertular HPHK;
(b) setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tidak tertular HPHK;
(c) setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari HPHK; atau
(d) setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat
dipenuhi.
Tindakan pembebasan dilakukan dengan penerbitan sertifikat kesehatan
(health certificate) dan kepada pemilik atau kuasanya dikenakan biaya jasa
karantina sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Metode Pengujian Avian Influenza
A. Haemagglutination (HA)
Merupakan uji untuk mengetahui titer virus (jumlah virus) terutama virus
yang dapat mengaglutinasi sel darah merah seperti AI
Dapat untuk mendeteksi antibodi dari sampel serum yang diperiksa
Uji positif ditandai dengan terjadi aglutinasi (terlihat butiran pasir di dasar
sumur) dari sel darah merah
17
B. Haemagglutination Inhibition (HI)
Pengujian untuk identifikasi virus yang dapat mengaglutinasi sel darah mereh
seperti AI
HI merupakan uji penghambat aglutinasi sehingga pada saat uji positif tidak
terjadi aglutinasi sel darah merah oleh virus karena adanya penghambatan
aglutinasi oleh antibodi anti virus yang ada dalam virus
Pada uji ini virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga tidak melekat
pada reseptor dari membrane sel darah merah sehingga aglutinasi sel darah
merah tidak terjadi
Hasil titer antibodi AI dianggap rendah apabila <4 log 2, titer antibodi AI
sedang antara 4 – 7 log2, titer antibodi AI tinggi apabila > 7 log 2.
Peraturan Menteri Pertanian No 28/OT 140/5/2008 menyatakan pemeriksaan
serologi yang dilakukan dengan uji HI yang menggunakan antigen H5 pada
unggas yang divaksinasi dengan vaksin AI dianggap protektif apabila titer
bereaksi positif ≥ 4 log2
18
Prinsip metode ini yaitu reaksi antara antigen dan antibody spesifik yang
dideteksi menggunakan konjugat (berisi antibodi sekunder yang
dikonjugasikan dengan enzim) dan substrat (berisi senyawa target enzim &
kromogen).
Target enzim di dalam substrat akan didegradasi enzim yang ada di dalam
konjugat, selanjutnya hasil degradasi akan bereaksi dengan kromogen
sehingga timbul warna yang tingkat intensitasnya akan diukur melalui alat
pembaca (ELISA plate reader) dalam bentuk kepadatan optic. Nilai kepadatan
optik berkorelasi positif dengan jumlah/kandungan antibodi yang dideteksi
Enzim yang paling banyak digunakan adalah Horseradish peroxidase dan
Alkaline phosphatase.
Enzim ini dapat dilabel baik pada antibodi maupun antigen yang akan
membentuk warna dengan penambahan suatu substrat.
Pengujian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan mengamati intensitas
warna yang terbentuk
19
Hasil Uji ELISA
20
PENUTUP
Simpulan
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
http://karantinasby.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/07/PERMENTAN-
TKH-UNGGAS-nomor-37-Tahun-2014.pdf
22