OLEH
FRIDAYANTI KUSUMA INDAH CAHYANI, S.KH
C 034 171 004
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KOASISTENSI LABORATORIUM DIAGNOSTIK
Mengetahui,
Ketua Program PPDH FK Unhas
Tanggal Pengesahan:
Tanggal Ujian :
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Kuasa
atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
laporan ini sebagai salah satu tugas mandiri bidang Laboratorium Diagnostik.
Sholawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi Wa Sallam yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi
semesta alam.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa di dalam laporan ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang di harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga laporan yang telah disusun ini dapat dipahami dan berguna bagi
siapapun yang membacanya. Terima kasih.
Penulis
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
test, ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay) dan PCR (Polymerase Chain
Reaction) (Kencana dkk., 2012; Bernadeta, 2015).
Pada laporan ini akan dibahas lebih mendalam mengenai isolasi dan
identifikasi virus Avian influenza menggunakan metode uji biologis telur ayam
bertunas (TAB).
1.2.Tujuan
Adapun tujuan dari laporan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui cara mendiagnosa Avian influenza pada ayam.
2. Untuk mengetahui cara isolasi dan identifikasi virus Avian Influenza
menggunakan metode uji biologis telur ayam bertunas (TAB).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi
Avian influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Influenza yang
termasuk dalam family orthomyxoviridae. Virus Influenza merupakan virus RNA
yang terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda yaitu virus Influenza tipe A, virus
Influenza tipe B, dan virus Influenza tipe C. Virus Influenza tipe A dapat
ditemukan pada unggas, manusia, babi, dan kuda, sedangkan virus Influenza tipe
B dan tipe C hanya ditemukan pada manusia dan bersifat kurang patogen dan
tidak menyebabkan wabah pandemik (Pudjiatmoko dkk., 2014; Zakarya dan
Heru, 2012).
6
neuramidase (N) berfungsi dalam proses pelepasan virus dari sel (budding)
(Zowalaty et al., 2013; Zakarya dan Heru, 2012; Hewajuli dan N.L.P.I, 2008).
Berdasarkan tingkat infeksi virus AI, maka virus tersebut dapat
dikelompokkan atas dua tingkatan infeksi yaitu highly pathogenic avian
influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI). Tingkatan infeksi
HPAI merupakan infeksi yang sangat patogen yang dapat menyebabkan penyakit
parah dengan angka kematian tinggi hingga mencapai 100% sedangkan Infeksi
unggas dengan virus low pathogenic avian influenza (LPAI) menyebabkan
penyakit atau menyebabkan penyakit ringan dan mungkin tidak terdeteksi. Virus
HPAI dan LPAI dapat menyebar dengan cepat melalui unggas. Virus Avian
influenza akan tetap infektif dalam feses selama 30 - 35 hari pada temperatur 40C
dan selama 7 hari pada temperatur 200C. Hal ini menunjukkan bahwa virus Avian
influenza dapat bertahan di lingkungan dalam kurun waktu dan suhu tertentu
(Chaudhary and Pahwa, 2013; Hewajuli dan N.L.P.I, 2008; Helmi dkk., 2016).
7
adalah keluarnya cairan dari mata dan hidung, perdarahan pada kaki,
pembengkakan pada wajah dan kepala, sianosis (pada kepala, wajah, pial,
jengger, kaki), gangguan saluran pernafasan, diare, tortikolis, paralisis pada
sayap, dan inkoordinasi pada kaki saat berjalan. Pada unggas penderita LPAI
menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan dan kadang gejala klinis tidak
terlihat dengan jelas. Gejala klinis LPAI yaitu gangguan saluran pernafasan,
depresi dan penurunan produksi telur (Zakarya dan Heru, 2012; Pudjiatmoko
dkk., 2014; Hewajuli dan N.L.P.I, 2008).
a b c d
Gambar 2. Gejala klinis pada ayam: a. cyanosis pada kepala; b. perdarahan
pada kaki; c. keluarnya cairan dari hidung dan paruh; d. pembengkakan pada
kepala (Sumber: Pudjiatmoko dkk., 2014).
2.5. Diagnosa
Diagnosa pada penyakit Avian influenza dapat dilakukan dengan melihat
gejala klinis, perubahan patologik pada hewan serta pengujian laboratorium yang
mendukung. Pengujian laboratorium yang dapat digunakan yaitu dengan metode
8
isolasi dan identifikasi virus dengan uji biologis menggunakan telur ayam
bertunas. Untuk peneguhan diagnosa pada penyakit ini dapat dilakukan beberapa
uji lainnya salah satunya yaitu uji serologi (Zakarya dan Heru, 2012).
Isolasi dan identifikasi virus Influenza dapat dilakukan dengan cara
inokulasi suspensi spesimen (suspensi swab hidung dan trakea, swab kloaka dan
feses atau organ berupa trakea dan paru-paru unggas yang terinfeksi) pada telur
ayam berembrio (bertunas) umur 9 – 11 hari (3 telur per spesimen) (Zakarya dan
Heru, 2012; Pudjiatmoko dkk., 2014).
Pada pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji HI
(Hemagglutination inhibition). Uji HI (Hemagglutination inhibition) dilakukan
untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus Avian influenza
tipe A. Uji HI merupakan uji yang relatif murah selain itu uji ini menunjukkan
spesifitas yang tinggi dalam mengidentifikasi strain virus (Zowalaty et al., 2013;
Zakarya dan Heru, 2012; Pudjiatmoko dkk., 2014).
2.7. Pengobatan
Pengobatan pada unggas yang terinfeksi hanya dilakukan untuk mengobati
infeksi sekunder dengan menggunakan antibiotik serta pemberian vitamin yang
digunakan sebagai pengobatan pendukung (supportif) karena belum ditemukan
obat yang dapat mengatasi penyakit ini (Pudjiatmoko dkk., 2014).
9
(desinfeksi), melakukan vaksinasi pada hewan yang dilakukan dengan tujuan
untuk mengurangi jumlah hewan yang peka terhadap infeksi dengan
meningkatkan sistem kekebalan hewan, melakukan pemusnahan terbatas
(depopulasi) terhadap unggas sakit dan unggas sehat yang sekandang untuk
mengurangi populasi unggas yang menjadi sumber penularan, melakukan
tindakan pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah
tertular baru, serta peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) dengan
melakukan sosialisasi (kampanye) penyakit Avian influenza kepada masyarakat
dan peternak (Zakarya dan Heru, 2012; Pudjiatmoko dkk., 2014).
10
BAB III
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Adapun alat yang digunakan pada uji biologis telur ayam bertunas (TAB)
yaitu gunting, scalpel, pinset, pipet, erlenmeyer, mortar dan spatel, sentrifuge,
tabung sentrifuge, inkubator telur, teropong telur, dan refrigerator (kulkas).
3.1.2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada uji biologis telur ayam bertunas
(TAB) yaitu:
a. Bahan Kimia
- Larutan PBS (-) pH 7,2-7,4
- Antibiotik
- Alkohol 70%
b. Bahan Biologis
- Spesimen swab trakea
- Telur ayam bertunas (berembrio)
3.2. Metode
3.2.1. Persiapan Spesimen (Swab Trakea)
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam persiapan spesimen yaitu:
- Cotton swab diambil dari media transport dengan menggunakan pinset.
- Media transport diambil sebanyak 1 ml, dimasukkan dalam eppendorf
tube atau tabung lainnya, kemudian ditambahkan antibiotik ke dalam
media transport (Penicillin 2000-10000 IU/ml, Streptomycin 2-10
mg/ml).
- Media tersebut disentrifuse 12000 rpm, selama 10 menit dan setelah itu
didiamkan selama 15 menit dalam suhu ruang sebelum disuntikkan ke
dalam telur.
11
3.2.2. Prosedur Pengujian
Prosedur pengujian yang dilakukan pada uji biologis telur ayam
bertunas (TAB) yaitu:
- Setiap sampel menggunakan 3-5 butir telur ayam bertunas umur 9-11
hari.
- Telur diperiksa dan diberi tanda penyuntikan, dipilih daerah yang sejauh
mungkin dari embrio.
- Daerah penyuntikan didisinfeksi dengan alkohol 70% atau dengan
larutan yodium 10%, kemudian dilubangi dengan jarum.
- Siapkan spesimen yang telah dipreparasi.
- Sebanyak 0,2 ml spesimen disuntikkan ke dalam ruang allantois telur
ayam bertunas.
- Tutup lubang suntikan pada telur dengan lilin/parafin.
- Inkubasikan telur pada suhu 35-370C, selama 4-7 hari. Peneropongan
dilakukan setiap hari dan dilakukan pengamatan terhadap embrio dalam
telur tersebut.
- Telur berembrio yang mati segera dipisahkan dan disimpan dalam
refrigerator.
- Telur berembrio yang masih hidup diamati hingga akhir pengamatan,
dan disimpan dalam refrigerator setelah akhir pengamatan.
- Telur bertunas diambil dari refrigerator, diletakkan pada tempat telur
dan diolesi dengan alkohol 70%.
- Telur dibuka dengan menggunakan gunting atau pinset steril disekitar
kantong hawa (hati-hati kantong hawa sobek dan cairan allantoisnya
tumpah).
- Dengan pinset atau gunting steril, robek selaput allantois telur.
- Cari daerah chorio allantois yang terletak di depan embrio.
- Cairan allantois dipanen dengan menggunakan pipet. Jangan sampai
pecah kantong kuning telurnya dan jangan ikut terbawa albumin
telurnya.
12
- Cairan chorio allantois kemudian diuji aktifitas Hemaglutinasinya (tes
HA cepat), dengan mengamati adanya aglutinasi antara cairan allantois
dan RBC 10%.
- Masukkan cairan chorio allantois yang positif uji HA cepat ke dalam
tabung steril.
- Hasil uji HA positif dilanjutkan dengan uji HI dengan menggunakan
antigen spesifik terhadap AI, (HA positif bereaksi silang dengan virus
Influenza tipe A atau dengan serotype Paramyxovirus lainnya).
13
BAB IV
HASIL
14
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Pembahasan
Kasus pada laporan ini terjadi di wilayah kerja BBvet Maros. Kasus
suspect AI pada unggas selain didiagnosa melalui gejala klinis juga didiagnosa
dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosa Laboratorium dilakukan pada
sampel spesimen dari ayam suspect AI tersebut.
Spesimen yang digunakan sebagai sampel dari kasus suspect AI adalah
swab trakea. Swab trakea digunakan sebagai sampel karena kemungkinan besar
banyak terdapat virus pada sampel tersebut. Menurut Saif (2008), virus AI dapat
ditemukan pada trakea, orofaringeal atau kloaka dari unggas hidup atau mati.
Umumnya virus HPAI dan LPAI berreplikasi di saluran pernapasan dan usus.
Spesimen tersebut diperiksa menggunakan metode isolasi dan identifikasi
virus sesuai standar OIE 2009 dan 2012 . Isolasi dan identifikasi virus dilakukan
dengan uji biologis pada telur ayam bertunas umur 10 hari. Menurut Zakarya
dan Heru (2012) serta Pudjiatmoko dkk (2014) bahwa isolasi dan identifikasi
virus Influenza dapat dilakukan dengan cara inokulasi suspensi spesimen
(suspensi swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses atau organ berupa
trakea dan paru-paru unggas yang terinfeksi) pada telur ayam berembrio
(bertunas) umur 9 – 11 hari (3 telur per spesimen).
Sebelum disuntikkan pada telur ayam bertunas, spesimen swab trakea
terlebih dahulu dipreparasi hingga menjadi supernatan. Supernatan yang telah
diperoleh kemudian disuntikkan pada ruang allantois telur ayam bertunas SAN
(specific antibody negative). Setelah dilakukan penyuntikkan, lubang tempat
suntikkan di tutup menggunakan lilin atau paraffin. Telur tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 35-370C, selama 4-7 hari. Peneropongan dilakukan setiap
hari untuk memeriksa keadaan embrio pada telur tersebut.
Pada hari ke-5 pengamatan, embrio pada telur tersebut ditemukan telah
mati sehingga dapat dilakukan pengujian selanjutnya dengan uji HA cepat untuk
15
mengetahui ada tidaknya agen hemaglutinin dan membuktikan bahwa embrio
pada telur tersebut mati akibat infeksi virus. Sebelum melakukan uji HA cepat,
telur tersebut disimpan dalam refrigerator (kulkas) selama 24 jam.
Uji HA cepat dilakukan dengan mengambil cairan allantois dari telur.
Cairan tersebut digunakan karena virus dapat tumbuh dengan baik pada cairan
allantois. Cairan allantois yang telah diambil menggunakan pipet mikro
kemudian diteteskan pada plate kaca, lalu diteteskan RBC 10% sebanyak 1 tetes.
Cairan allantois dan RBC 10% pada plate tersebut dihomogenkan dengan cara
menggoyang-goyangkannya membentuk angka 8, setelah itu dilihat apakah
terjadi aglutinasi (penggumpalan). Hasil dinyatakan positif apabila terjadi
penggumpalan pada campuran antara cairan allantois dan RBC 10%.
Hasil yang diperoleh pada uji HA cepat adalah negatif karena tidak terjadi
penggumpalan saat pencampuran cairan allantois dan RBC 10%. Hal ini terjadi
karena cairan allantois tersebut tidak mengandung virus. Adanya hasil negatif
yang diperoleh membuktikan bahwa kematian embrio pada telur ayam bertunas
bukan diakibatkan oleh virus melainkan akibat faktor lain. Menurut Zakarya dan
Heru (2012) bahwa umumnya, jika terdapat virus dalam sampel, akan terjadi
reaksi hemaglutinasi pada campuran antara cairan allantois dan eritrosit ayam.
Hasil negatif yang diperoleh pada uji HA cepat menyebabkan uji lanjutan
seperti uji HI (Hemagglutination inhibition) tidak perlu dilakukan. Hal ini karena
tidak ditemukan adanya virus pada cairan allantois yang akan digunakan sebagai
antigen pada uji HI (Hemagglutination inhibition).
16
BAB VI
6.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari laporan ini yaitu pada uji biologis TAB, embrio
ditemukan mati pada hari ke-5 namun pada uji lanjutan dengan metode uji HA
cepat diperoleh hasil negatif karena tidak terjadi penggumpalan saat
pencampuran antara cairan allantois telur dan RBC 10%. Hal ini terjadi karena
cairan allantois tersebut tidak mengandung virus. Adanya hasil negatif yang
diperoleh membuktikan bahwa kematian embrio pada telur ayam bertunas bukan
diakibatkan oleh virus melainkan akibat faktor lain.
6.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu isolasi virus Avian influenza perlu
dilakukan beberapa kali menggunakan spesimen dari ayam lain yang terinfeksi
serta melakukan diagnosa penyakit dengan metode lainnya agar diperoleh hasil
yang diinginkan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Bernadeta, Elisa., Iis Yuanita., Lisnawaty Silitonga. 2015. Deteksi Antibodi Terhadap
Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka
Raya. Jurnal Ilmu Hewani Tropika: Vol. 4 No. 1.
Chaudhary, S. Pahwa, V.K. 2013. Avian Influenza. Journal of Universal College of
Medical Science: Vol.1 No. 3.
Helmi, Teuku Z., Charles RT., Wayan TA., Aris H., M Isa. 2016. Isolasi dan
Identifikasi Virus Avian Influenza pada Berbagai Spesies Unggas Secara
Serologis dan Molekuler. Jurnal Kedokteran Hewan: Vol. 10 No. 1.
Hewajuli, Dyah Ayu dan N.L.P.I. Dharmayanti. 2008. Karakterisasi dan Identifikasi
Virus Avian Influenza (Ai). Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor.
Kencana, Gusti Ayu Yuniati, I Gusti Ngurah KM, Suardana, Ida Bagus K., I Nyoman
MA., Ni Made KD., Gusti Ngurah NP. 2012. Pelacakan Kasus Flu Burung
pada Ayam dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction. Jurnal
Veteriner: Vol. 13 No. 3: 303-308.
Kusumastuti, Aprilia., Syamsidar, Agustin ZP., Arini N., Gusti Ayu YK. 2015.
Identifikasi Secara Serologi Galur Virus Flu Burung Subtipe H5N1 Clade 2.1.3
dan Clade 2.3.2 pada Ayam Petelur. Jurnal Veteriner. Vol. 16 No. 3: 371-382.
OIE. 2009. Terrestrial Manual.
OIE. 2012. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals
(mammals, birds and bees), Seventh Edition Volume 1. Paris.
Pudjiatmoko dkk. 2014. Manual Penyakit Unggas Cetakan ke-2. Kementrian
Pertanian, Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan hewan, Direktorat
Kesehatan hewan. Jakarta.
Saif. Y.M. 2008. Diseases of Poultry, Twelfth Edition. Blackwell Publishing.
Australia.
Zakarya, Faizal dan Heru Susetya. 2012. Epidemologi Zoonosis di Indonesia: Avian
influenza. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
18
Zowalaty, Mohamed E El., Stephen AB., Mohamed IH., Hossam MA. 2013. Avian
Influenza: Virology, Diagnosis and Surveillance. Future Microbiol: 8(9). 1209–
1227: ISSN 1746-0913.
19
LAMPIRAN
20
Lubang suntikan pada telur ditutup Telur diinkubasi
dengan lilin
21
RBC 10% diteteskan pada plate kaca Cairan allantois dan RBC 10%
menggunakan mikropipet dihomogenkan dan dilihat reaksi
aglutinasinya
22