1.2 Tujuan
1. Mengetahui pemeriksaan feses dan organ terinfeksi cacing dengan metode natif,
metode sedimen, dan metode apung.
2. Mengetahui adanya telur dan larva cacing parasit dalam sampel.
3. Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh orang yang diperiksa feses dan
organnya
Scalpel
Gunting Bedah
Pinset
Gelas Plastik
Rafia
Bahan:
1. Saluran pencernaan anjing
2. Saluran pencernaan ayam
3. NaCl fisiologis
Pemeriksaan Feses
Sampel feses diambil dari :
1. RPH Pegirian Surabaya (sapi, babi)
2. Kebun Binatang Surabaya (jerapah, merak, rusa, babi rusa, ayam ketawa,
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Alat:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Gelas
Bahan:
1. Air
2. Larutan gula gula jenuh
3. Aquadest
2.2 Cara Kerja
2.2.1 Pemeriksaan Feses Metode Natif
1. Membuat suspensi tinja dengan perbandingan 1 bagian tinja dan 10
bagian air kemudian disaring.
2. Mengambil satu atau dua tetes larutan feses dengan menggunakan pipet
pada object glass.
3. Menutup tetesan larutan feses tadi dengan cover glass.
4. Mengamati dengan mikroskop dengan perbesaran 40x dan 100x.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
pipet
8. Ambil hasil sedimentasi dengan pipet, letakkan di atas objek glass dan
tutup dengan cover glass
9. Periksa telur cacing dengan mikroskop perbesaran 100x 400x
2.2.4 Bedah saluran pencernaan unggas dan ruminansia
1. Mengambil feses terlebih dahulu untuk pemeriksaan feses natif, sedimen
dan apung
2. Kemudian dilakukan pembedahan dimulai dari oseophagus hingga ke anus
3. Melakukan pemeriksaan cacing pada isi lambung dan usus dengan
menggunakan saringan
4. Ketika ditemukan cacing dalam saluran pencernaan kemudian dikoleksi
2.2.5
sebagai pengawet dan perekat cacing pada cover glass. Larutan bibit Carmine
dibuat dengan cara berikut:
1. Memasukkan asam glacial ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan
H2O sama banyak.
2. Menambahkan Carmine (bubuk) berlebih.
3. Menyunbat erlenmeyer dengan penyumbat tabung berlubang untuk
memasukkan termometer ke dalam tabung.
4. Memanaskan pada penangas air suhu 96-100C selama 15 menit.
5. Mendinginkan tabung dan isinyasecara cepat (dimasukkan ke dalam air
dingin) dan membiarkan bubuk Carmine yang tidak larut mengendap.
6. Kemudian menyaring dengan kertas saring.
7. Filtrat yang diperoleh merupakan larutan bibit Carmine.
8. Saat akan digunakan diencerkan dengan alkohol 70% dengan
perbandingan 1:2.
9. Alkohol asam dibuat dengan cara: 20 ml Alkohol 70% + 4-5 tetes HCl.
Alkohol basa dibuat dengan cara: 20 ml Alkohol 70% + NaHCO 2
secukupnya.
Cacing yang digunakan pada pembuatan preparat permanen dengan
pewarnaan Semichen-Acetic Carmine dapat berupa cacing segar (fresh) maupun
yang telah diawetkan dalam medium reservasi (alkohol gliserin 5%). Adapun
teknik pewarnaannya adalah sebagai berikut:
1. Mengambil cacing, kemudian difiksasi di antara dua object glassdan kedua
2.
3.
4.
selama 24 jam.
Setelah itu dimasukkan ke dalam alkohol 70% selama 5 menit.
Memindahkan ke dalam larutan Carmine yang sudah diencerkanselama
5.
6.
7.
8.
9.
menit, alkohol 85% selama 5 menit, dan alkohol 95% selama 5 menit.
Dilakukan mounting dalam larutan HungsI selama 20 menit
Cacing diambil dari larutan Hungs I, kemudiandiletakkan pada object
Hari
sampel
Metode
pemeriksaan
hasil
Jumat,
03 Juni
2016
Kuda (Citraland)
natif
Strongyloides westeri
Sapi pegirian I
natif
Toxocara vitulorum
Gastrothylax crumenifer
Senin,
06 juni
2016
Selasa,
07 Juni
2016
Sapi pegirian II
natif
Toxocara vitulorum
Kambing (lekok)
natif
Paramphistomum cervi
natif
Gnatostoma spinigerum
apung
Toxocara cati
Sapi (Bojonegoro)
Cairan rumen
natif
Natif
Toxocara vitulorum
Fasciola gigantica
Feses ayam
Natif
Ascaridia galli
Kuda (Kenpark)
Natif
Strongylus sp.
Babi (pegirian) II
Natif
Trichuris suis
Natif
Ascaris lumbricoides
Anjing
Harimau sumatera
Rusa timur
Natif
apung
apung
Apung dan
natif
Apung dan
natif
Natif
Toxocara canis
Echinochasmus perystiatus
Strongilus sp.
kucing
Merak
Anjing II
ayam
Heterakis gallinarum
Anchilostoma caninum
Reilletina sp.
Gambar 1. Telur
cacing strongyloides
Morfologi :
Cacing betina parasitic panjangnya 8-9 mm dan berdiameter 80-95
mikron, telur berembrio berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran 40-52 x 32-40
mikron. Masa prepaten sekitar 2 minggu.
Siklus hidup :
Siklus hidup cacing ini memiliki generasi parasitik dan generasi bebas.
Generasi bebas yaitu jantan dan betina sedangkan generasi parasitik hanya
memiliki cacing betina yang menghasilkan telur berembrio. Dan masing generasi
memiliki 4 stadium larva yaitu L1, L2, L3 dan L4. Pada stadium L1
(rhabditiform) cacing menetas dari telur yang dikeluarkan melalui feses host yang
terinfeksi.
Siklus hidup homogenik berlangsung dengan jalur melewati tubuh hospes,
siklus ini dimulai dari Larva stadium I dapat berkembang langsung menjadi larva
stadium 3 yang infektif, kemudian siklus hidup heterogenik yaitu siklus hidup di
luar tubuh hospes dimana terdapat cacing jantan dan betina kawin diluar tubuh
hospes dan akan dapat memproduksi larva infektif. Bila kondisi lingkungan
menunjang akan membentuk siklus heterogenik yang dominan dan bila tidak
menunjang siklus homogenik yang dominan.
Pada siklus heterogenik larva stadium I ditransformasikan secara cepat
sehingga dalam 48 jam terbentuk cacing jantan dan betina bebas yang dewasa
kelamin. Melalui kopulasi, betina bebas memproduksi telur yang akan menetas
dalam beberapa jam dan kemudian mengalami metamorfosa menjadi larva
infektif. Hanya satu generasi larva yang diproduksi oleh betina bebas.
Pada siklus homogenik larva stadium I cepat mengalami perubahan
menjadi larva III (infektif) yakni sekitar 24 jam pada suhu 27 0C. Larva infektif
10
(filaform) yang berkembang dalam feses atau tanah lembab yang terkontaminasi
feses, kemudian menembus kulit dan masuk ke dalam darah yang menuju ke
jantung dan sampai di paruparu. Di paruparu larva menembus dinding kapiler
masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai
epiglotis. Selanjutnya larva tertelan dan masuk kedalam saluran pencernaan yang
mencapai bagian atas dari intestinum, disinilah cacing betina menjadi dewasa.
Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara
partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama
pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telurnya. Telur
kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva
rhabditiform ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari hospes melalui
tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi
hospes yang sama atau hewan lainya. Dapat pula larva rhabditiform ini
berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah.
Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur
yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform yang
kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform.
Kadangkala pada hewan tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah
menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh hewan tersebut dan
menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang
menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Patogenesis :
11
Transimisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang
terkontaminasi, atau per-oral. Transmisi juga mungkin dapat terjadi
transplancental (dari ibu janin yang di kandungnya) dan transmammary ( dari ibu
ke bayinya melalui air susu ). Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit
menimbulkan cutaneus larva migrans dan visceral larva migrans. Larva ini
kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung
kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler terbawa pulmonal dan
penetrasi kedalam aveoli paru-paru. Di duga saat keluar dari kapiler pulmonal
parasit menyebabkan perdarahan dan menimbulkan inflantrasi selular pada paruparu. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrate yang menyebar pada
gambaran radiologis paru (loeffers pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang di
timbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran pernafasan
disebut dengan sindroma loeffler.Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas
atas, sampai ke esophagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Disana
parasit ini dengan cepat berkmbang menjadi dewasa. Cacing betina lalu
berkambang biak secara parthenogenesis. Hewan betina juga berkembang biak
melaui kopulasi yang terjadi di duodenum atau jejunum.
Pengobatan :
- Ivermectin
Jangka waktu : Infeksi tanpa komplikasi: 1 atau 2 hari infeksi yang menyebar
Perluas pengobatan setidaknya 5-7 hari atau sampai parasit dimusnahkan, lebih
efektif daripada Albendazole, lebih baik ditoleransi dibandingkan thiabendazole
- Albendazole: Dosis: 400 mg PO tawaran selama 3 hari untuk infeksi tanpa
komplikasi dan 7-10 hari untuk hyperinfection
- Thiabendazole: Dosis: 25 mg / kg tawaran selama 2 hari (maksimal, 3 g/hari)
12
2. Gnatostoma spinigerum
Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Phylum
: Nematoda
Class
: Secernentea
Order
: Spirurida
Family
: Gnathostomatidae
Genus
: Gnathostoma
Species
: Gnathostoma spinigerum
13
Cacing dewasa mempunyai bulbus yang diliputi 4-8 baris duri-duri yang
melengkung dan runcing
Siklus hidup :
Di alam, definitif host (babi, kucing, anjing, satwa liar) cacing dewasa
yang berada dalam tumor yang menyebabkan mereka berhubung dgn lambung
perut di dinding. Mereka mengeluarkan telur yang unembryonated ketika kelur
bersama kotoran. Telur menjadi embryonated dalam air, dan telur mulai tahap
awal larva. Oleh kerang-kerangan (Cyclops, pertama antara host), larva pertama
berkembang ke tahap larva kedua. Setelah proses menelan oleh Cyclops dengan
ikan, katak, atau ular (antara kedua host) , tahap kedua larva bermigrasi ke dalam
daging dan berkembang ke tahap larva ketiga. tahap larva ketiga berkembang
menjadi parasit dewasa di dinding perut atau larva kedua pada host perantara
(hewan seperti burung, ular, dan katak) yang tahap-ketiga larva tidak berkembang
lebih lanjut tetapi tetap infective ke predator. Manusia menjadi terinfeksi oleh
14
makan ikan atau unggas kurang matang yang mengandung tahap-ketiga larva, atau
dilaporkan oleh air minum yang mengandung infektif larva tahap-kedua di
Cyclop.
Patologi klinis
Benjolan di bawah kulit dapat berpindah-pindah(larvamigrans/ creeping
eruption), selulitas orbita, eosinofilia, hematuria, hemoptisis, pembengkakan
faring.
Diagnosis dan Pengobatan :
Diagnosa dengan melihat adanya cacing dewasa dan melalui reaksi
immunologi(tes kulit).
Pengobatan dilakukan dengan pembedahan untuk mengeluarkan cacing atau
pengobatan dengan Albendazole atau ivermectin
Pencegahan :
Bila anda pemilik dan penggemar anjing dan daerah anda sudah terjangkit
penyakit jantung hendaknya anda harus hati-hati karena setiap saat anjing anda
akan terancam akan serangan cacing jantung termasuk anda tentunya. Karena
cacing jantung dapat menular kemanusia lewat perantara nyamuk. Pemeriksaan
darah anjing secara teratur, hal ini untuk memastikan terinfeksi tidaknya anjing
tersebut.
3. Ascaridia gali
Ditemukan pada pemeriksaan saluran pencernaan ayam pasar keputran II.
Klasifikasi :
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Nematoda
Ordo
: Ascaridida
15
Super Famili
Famili
Genus
Spesies
Habitat
: Subuluroidea
: Heterakidae
: Ascaridia
: Ascaridia galli
: Usus halus
Gambar 4. Telur
B
Gambar 3. Cacing Ascaridia galli
cacing
Ascaridia galli
Inang definitif :
Ayam,
kalkun
Bagian kepala diperbesar untuk menunjukkan bagian mulut dan mempunyai 3 bibir besar
16
Bagian caudal Ascaridia galli jantan Bagian ekor Ascaridia galli betina
tebal
Spikula sama panjang berukuran : 1-2,4 cm
Vulva terletak pada bagian pertengahan tubuh
Siklus Hidup
Klasifikasi
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
:
:
:
:
:
:
Nematoda
Adenophorea
Trichurida
Trichuridae
Trichuris
Trichuris Suis
berparasit pada sekum (Anonimous, 2004). Cacing ini sering disebut Whipworm
/cacing cambuk. Morfologinya hampir sama dengan Trichuris trichura yang
menginfeksi manusia dan primata lain, namun belum ada bukti kongkret yang
menyatakan bahwa kedua parasit tersebut dapat saling bertukar induk semang
seperti halnya cacing Ascaris sp pada sapi dan manusia (Soulsby, 1982).
Trichuris dapat menginfeksi beberapa jenis hewan yaitu sapi, domba,
kambing, babi dan anjing. Habitat atau predileksinya adalah pada caecums.
Trichuris mempunyai beberapa spesies
:
T. Ovis pada caecum kambing dan domba
T. Discolor pada caecum dari sapi
T. Vulvis pada anjing
T. Suis pada babi
T. Trichiura pada manusia
Morfologi
Cacing ini disebut dengan cacing cambuk dengan salah satu satu ujung
tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis. Bagian anterior panjang dan tipis kirakira dua kali bagian posterior, ujung posterior cacing jantan bergulung kedorsal
19
dalam bentuk spiral. Vulva terletak antara batas anterior dan posterior. Cacing
jantan panjangnya 30-80 mm dan betina 35 75 mm, telur mempunyai kulit
tebal kecoklatan dengan dua sumbat dikedua ujungnya. Ukukran telur 50-80 x
21-42 u.
Distribusi Geografis
T. Trichiura, Vulpis T. Dan T. Suis T. Dicolor ditemukan di seluruh dunia,
tetapi yang paling lazim dalam hangat, iklim lembab. Mereka jarang atau tidak
ada di kering, sangat panas, atau sangat dingin daerah.
Siklus hidup
Penularan terjadi secara langsung melalui telur infektif (L2), telur sangat
resisten, perkembangan didalam induk semang berlangsung didalam lumen usus
dan massa prepaten 2-3 bulan. Cacing ini melekat pada caecum (Smith and
Stevenson, 1970).
5. Heterakis gallinarum
Klasifikasi
Class
: Secernentea
Subclass : Rabditia
Ordo
: Rabditia (Oxyurata)
Family
: Heterakoidea
Genus
: Hetrakis gallinarum
20
21
tertelan oleh ayam maka telur tersebut akan menetas dalam usus buntu (sekum),
kemudian larvae hasil tetasan itu akan bebas hidup di dalam usus buntu (sekum).
Mencapai usia dewasa pada hari ke 2830, Ukuran tubuh yang jantan Cacing
jantan panjangnya 3-4 mm, diameter 120-470 mikron, betina panjangnya 815mm, berwarna putih dengan ekor memanjang.
Cara Penularan
Cacing dari golongan Nematoda seperti Heterakis sp dalam penularannya
umumnya terjadi secara langsung, yaitu dari ayam yang sakit dan mengeluarkan
telur yang infektif kepada ayam yang sehat yang memakan telur yang infektif
tersebut sehingga ayam yangsehat menjadi sakit. Tetapi untuk jenis Capillaria sp
dalam penularannya secara langsung tetapi juga ada yang melalui inang perantara
(intermediate host) seperti cacing tanah.Berbeda dengan golongan Nematoda,
untuk golongan Cestoda atau Cacing pita, hampir semua jenis dalam
penularannya selalu memakai inang perantara, apakah itu serangga (seperti lalat,
semut ataupun belalang) siput, keong atau udang dan kepiting.
Patogenitas / Keganasan Dan Gejala Klinis
Heterakis gallinarum, Ascaridia, dan Capillaria sp merupakan penyebab
yang sangat dominan dalam penyebaran cacingan pada unggas. Adapun gejala
klinis yang biasanya muncul tidak begitu spesifik seperti lesu, lemah, kurang
napsu makan, keterlambatan pertumbuhan kadang ada kematian. Ascaridiasis
yang parah dapat menyebabkan berkurangnya berat badan karena menghambat
absorpsi nutrisi pada usus halus dan Ascaridia juga kadang dapat bermigrasi ke
oviduct melalui kloaka yang dapat mengganggu pada proses pengerabangan telur.
22
23
24
: Trematoda
: Paramphistomatidae
Genus
: Paramphistomum
Spesies : Paramphistomum cervi
Habitat: rumen dan retikulum
Inang definitif: kambing, domba, sapi dan ruminansia lain
Host Indermediate : Siput air (Lymnaea sp., Planorbis sp, Bulinus sp,
Fossaria sp, dll).
Gambar telur cacing gastrothylax
Morfologi :
25
Dewasa berwarna merah muda wkt masih hidup, memanjang circular pada
pot transversal
Ukuran cc dewasa: 9 18x15 mm
Caecum terletak pada tepi anterior testis
Testis berlobi dan horizontal
Ovari di sebelah posterior caecum dan testis
Uterus terletak pada pertengahan tubuh
Ukuran telur: 115-135X 60-70 mikron
Predileksi
Inang perantara
: Siput air
26
pear
Bagian ventral sedikit konkaf dan bagian dorsal sedikit konveks
Memiliki oral sucker pada ujung anterior dan ventral sucker yang besar di
Habitat :
Paramphistomum cervi dewasa hidup di dalam rumen ruminansia, sampai
cacing dewasa bertelur melewati feses hewan tersebut. Suhu optimal air untuk
telur berkembang adalah 27C. Mirasidium hidup di dalam air dimana telur-telur
tersebut menetas dan disimpan. Sporokista, redia, dan serkaria semuanya hidup di
dalam inang perantara siput. Serkaria pada akhirnya keluar dari inang perantara
kererumputan dalam air dengan tujuan agar termakan oleh inang definitif.
Siklus Hidup :
Telur Paramphistomum cervi dikeluarkan bersama tinja hospes ke dalam
air. Telur bersel tunggal menetas setelah berkembang menjadi mirasidium.
Kemudian mirasidium keluar dari dinding telur. Mirasidium berenang mencari
inang perantara (siput) yang hanya mampu hidup selama 24 jam, sampai bertemu
inang peratara atau mirasidium akan mati. Ketika menembus dinding inang
perantara mirasidium menggunakan cytolitic enzyme yang dapat menghancurkan
kulit siput, menembus hepatopankreas. Mirasidium berkembang menjadi
27
28
mengakibatkan gangguan kerja rumen dan makanan tidak dapat dicerna dengan
sempurna.
Pengendalian dan pencegahan :
Pengendalian penyakit parasitic terutama yang disebabkan oleh cacing
Paramphistomum cervi tidak hanya dilakukan dengan pengobatan ternak yang
terinfeksi, tetapi juga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya reinfeksi pada
ternak. Pencegahan paramphistomiasis dapat dilakukan dengan drainage di daerah
rawa-rawa, pemberantasan siput dengan molluscida, dan menutup genangan air.
Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum cervi dengan
pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber
infeksi untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di
padang rumput. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan
menghindarkan ternak dari penggembalaan di padang rumput ketika musim hujan.
3. Fasciola gigantica
Ditemukan pada pemeriksaan feses Sapi III RPH Pegirian.
Lokasi ditemukan : Sapi pegirian
Predileksi : Predileksi Fasciola Gigantica adalah di hati sapi.
29
: Trematoda
Subclass : Digenea
Order
: Echinostomida
Family
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Species
: Fasciola gigantica
Morfologi :
Fasciola hepatica menjadi cacing dewas mempunyai bentuk pipih seperti
daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. pada bagian anterior berbentuk seperti
kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira
1mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang
besarnya kira-kira 1,6 mm. Saluran pencernaan panjang dan bercabang-cabang
sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabng-cabang.
Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikrondikeluarkan melalui saluran empedu
hospes bersama dengan tinja dsari tubuh hospes dalam keadaan belum matang.
30
Siklus Hidup
Cacing Fasciola sp. bertelur didalam kantong empedu dan telur keluar
mengikuti aliran empedu didalam ductus choleductus dan mencapai lumen
duodenum, kemudian telur bersama feses keluar saat defikasi.
Pada kondisi lingkungan yang mendukung (air tergenang, suhu (26oC ),
PH) telur akan menetas (17 hari ) dan terbebaslah larva mirasidium. Mirasidium
mutlak harus berada dalam air dan berenang mencari hospes intermidier ( HI )
serasi ialah golongan siput Lymnaea tumentosa (di Australia ), L. truncatula
(Eropa). Didalam tubuh siput tersebut mirasidium berubah menjadi sporokista
yang memperbanyak diri dengan pembelahan sel secara transversal. Di dalam
tubuh sporokista terbentuk banyak redia, pada masing-masing redia induk,
31
terbentuk banyak redia anak ( cercaria ) yang berekor. Kemudian cercaria keluar
dari tubuh siput dan berenang didalam air, dalam waktu 20-21 hari hari setelah
memasuki tubuh siput.
Pada kondisi menunjang cercaria berenang di air dan mencari tumbuhan air
atau rerumputan untuk segera melekat dan ekor dilepaskan dan tubuhnya
membentuk zat zat viskus dan berubah bentuk menjadi metacercaria . Infeksi
pada host terjadi bila memakan rumput yang ditempeli metacercaria . di dalam
duodenum kista pecah dan keluarlah cacing muda. Dalam waktu 24 jam cacing
muda sampai dalam ruang peritonium sesudah menembus dinding usus. Sekitar 48 hari sesudah infeksi, sebagaian besar cacing telah menembus kapsul hati dan
migrasi dalam parenkim hati. Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu
dan minggu ke-7 telah sampai dalam saluran empedu dan delapan minggu setelah
infeksi cacing telah bertelur.
Patogenesis
Setelah hospes definitif memakan rumput yang tercemar metaserkaria, maka
metaserkaria pecah didalam duodenum setelah bercampur dengan asam pepsin
dalam abomasum dan dilanjutkan dengan gertakan trypsin dan empedu dalam
duodenum. Kalau serkaria langsung termakan diduga akan hancur/mati karena
pengaruh asam pepsin dalam abomasum. Setelah kista pecah maka keluarlah
fasciola muda dalam usus halus.
Setelah 24 jam infeksi , fasciola muda telah ditemukan dalam rongga
peritonium , dan 4-6 hari setelah infeksi sebagian besar Fasciola muda telah
menembus kapsul hati dan bermigrasi dalam parenkhim hati. Umumnya cacing
muda mencapai hati dengan cara menembus dinding usus, masuk ke ruang
32
peritonium dan seterusnya menyerbu hati. Migrasi dalam hati memerlukan waktu
5-6 minggu, pada minggu ke-7 cacing telah masuk ke saluran empedu dan
selanjutnya menjadi dewasa. Derajat kerusakan tergantung pada banyak
sedikitnya metaserkaria yang menginfeksi/tertelan. Kerusakan terjadi pada
parenkhim hati dan saluran empedu.
Inang antara Fasciola gigantica : Lymnea rubiginosa merupakan siput endemik di
Indonesia. Sedangkan inang definitif adalah hewan ternak.
Habitat : pada saluran empedu
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan menghindarkan ternak untuk tidak digembalakan
pada daerah pengembalan yang tergenang air. Penggunanan bebek yang
digembalakan pada sawah-sawah sehabis panen untuk memberantas siput.
Phylum : Platyhelmintes
33
Class
:Cestoda
Ordo
:Cyclophyllidea
Family
:Davaineidae
Genus
:Raillietina
Spesies
:Raillietina Echinobotrida
Morfologi
Raillietina echinobothrida, panjangnya mencapai 250 mm dengan lebar
1-4 mm. Skoleksnya bergaris tengan 250-450 mikron, sedang rostelum bergaris
tengah 100-250 mikron yang dilengkapi dengan dua baris kait-kait sebanyak 200250 yang panjangnya 10-13 mikron. Alat penghisapnya juga dilengkapi dengan 8 15 baris duri-duri dengan ukuran 5-15 mikron. Lubang kelaminnya hampir selalu
unilateral, terletak di tengah-tengah atau sedikit di belakang tengah-tengah sisi
proglottid. Uterus berakhir dengan kapsul yang mengandung 6-12 telur. Kantong
sirrus berjarak sepertiga dari saluran ekskretori dan relatif besar, panjang 130-190
mikron. Testes berjumlah antara 20-45 buah dalam tiap segmen. Ciri khas cacing
ini yaitu segmen posterior akan melepaskan diri pada suatu bentukan yang mirip
jendela terletak di pertengahan segmen. Akan tetapi bentukan tersebut tidak selalu
ditemukan pada setiap individu.
34
Penyebaran cacing Cestoda pada ayam sangat dipengaruhi oleh adanya inang
antara. Telur cacing Cestoda yang termakan oleh inang antara akan menetas di
dalam saluran pencernaannya.Telur yang menetas berkembang menjadi onkosfir
yaitu telur yang telah berkembang menjadi embrio banyak sel yang dilengkapi
dengan 6 buah kait.
Onkosfir selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid dalam waktu 3 minggu
setelah telur termakan oleh inang antara. Sistiserkoid tetep tinggal di dalam tubuh
inang antara sampai dengan inang antara tersebut dimakan oleh inang definitif
yaitu ayam.
Setelah ayam memakan inang antara yang mengandung sistiserkoid, maka
sistiserkoid terbebaskan oleh adanya aktivitas enzim pencernaan. Segera setelah
sistiserkoid bebas, skoleksnya mengalami evaginasi dan melekatkan diri pada
dinding usus. Segmen muda terbentuk di daerah leher dan akan berkembang
menjadi segmen yang matang dalam waktu 3 minggu. Pada saat segmen atau
strobila berproliferasi di dinding leher, dinding sistiserkoid akan mengalami
degenerasi dan menghilang. Selanjutnya sistiserkoid berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam usus ayam dalam waktu 20 hari
Berdasarkan beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa masing-masing
spesies cacing dari genus Raillietina spp mempunyai inang antara yang berbedabeda. Raillietina tetragona menggunakan semut dari genus tetramorium dan
Pheidole serta lalat Musca domestica sebagai inang antara. Raiilietina
echinobothrida menggunakan inang antara semut jenis yang sama dengan
35
36
Diagnosis
Diagnosis penyakit didasarkan atas gejala klinik yang tampak dan sejarah
timbulnya penyakit. Selain itu dapat pula dengan melakukan pemeriksaan tinja
secara mikroskopis dimana akan ditemukan proglottid masak yang lepas atau telur
cacing yang keluar bersama tinja. Kelemahan pemeriksaan ini adalah tidak selalu
berhasil karena progolttid masak tidak dikeluarkan bersama tinja terus-menerus.
Pada pemeriksaan pasca mati akan didapat diagnosis yang memuaskan karena
ditemukan spesies cacingnya. Teknik diagnosis yang lain adalah dengan melihat
bungkul-bungkul pada mukosa usus dimana cacing mengkaitkan diri pada infeksi
R. echinobothrida, Enteritis Catharallis chronica, hyperplasia dinding usus pada
tempat cacing melekatkan diri dan perdarahan serta pengelupasan selaput lendir
usus.
37
yang optimal maka dalam waktu paling sedikit 5 hari akan berkembang menjadi
telur infektif yang mengandung embrio ( Levine, 1994 ).
38
39
40
karena cacing dewasa. Gejala klinis yang muncul juga tergantung kepada seberapa
berat infestasi parasit, yang bergantung kepada jumlahnya. Gejala klinis dapat
mencakup pembesaran abdomen, kegagalan pertumbuhan, muntah dan diare.
Infeksi dalam jumlah sedikit dapat menghasilkan jumlah telur yang sedikit pula
dalam feses, karena itu diagnosis akurat membutuhkan prosedur uji pengapungan
telur.
Hewan yang mengalami infestasi cacing yang berat dapat menunjukkan
gejala kekurusan, bulu kusam, perbesaran perut (pot-belly), juga gangguan usus
yang antara lain ditandai dengan sakit perut (kolik). Obstruksi usus baik parsial
maupun total, dan dalam keadaan ekstrim terjadi perforasi usus hingga tampak
gejala peritonitis. Pada beberapa kasus bisa menunjukkan anemia, muntah, diare
atau konstipasi. Pada kasus yang sangat berat tapi jarang terjadi, bisa terdapat
obstruksi usus. Gejala batuk dapat teramati sebagai akibat adanya migrasi
melalaui sistema respirasi. Pada hewan muda, migrasi larva dapat berakibat
pneumonia.
Adanya cacing yang banyak menyebabkan penurunan bahan makanan
yang diserap, hingga terjadi hipoalbuninemia, yang selanjutnya menyebabkan
kekurusan dengan busung perut (asites).
Diagnosa
Untuk diagnosa dengan cara pemeriksaan tinja adalah yang paling umum,
dapat juga diikuti pemeriksaan patologi anatomi dan klinik. Diagnosa cacingan
kadang-kadang tidak selalu didasarkan ditemukannya telur atau larva cacing
didalam pemeriksaan tinja, baik secara visual, natif, metode apung atau
pemeriksaan endapan. Riwayat cattery tempat penderita tumbuh sering dapat
41
digunakan sebagai pegangan dalam penentuan diagnosis antara lain batuk, pilek,
anoreksia, kadang-kadang diare, perut membesar dan menggantung, dan bahkan
konvulsi merupakan petunjuk kuat dalam menentukan diagnosa. Diagnosa
pascamati penting untuk menegakkan diagnosis. Cacing toxocara yang belum
dewasa dapat ditemukan didalam mukosa usus. Untuk hewan dewasa
diagnosisnya lebih mudah. Pemeriksaan feses untuk menemukan telur Toxocara
cati pada feses menggunakan prosedur pengapungan telur.
Pemeriksaan patologi anatomi Dalam pemeriksaan pasca mati jaringan
tampak anemis dan hidramis. Hati tampak pucat, membesar dengan beberapa
bagian mengalami pendarahan titik atau ecchymosae. Paru-paru tampak pucat,
jantung membesar, pucat, dengan kemungkinan terjadinya hidropericardium.
Saluran pencernaan pucat dengan beberapa tempat terjadi pendarahan titik.
Rongga perut berisi cairan transudat.
Toxocara canis
Habitat dan Inang definitif : Usus halus anjing dan serigala
Morfologi :
-Panjang cacing jantan:10 cm & Betina 18 cm
-Cervical alae (=pelebaran kutikula) lebar
-Tubuh bag anterior bengkok ke ventral
-Cacing jantan : memp terminal tail(ekor), caudal alae dan spikula
-Organ kelamin betina meluas ke bagian anterior dan posterior dan berakhir
padavulva
42
Pengobatan
Obat yang umum dipakai dan efektifitasnya, aplikasi per oral:
Pencegahan
Dilakukan dengan cara pemberian obat cacing secara teratur, higienitas
pakan dan lingkungan, dan kontrol terhadap populasi hospes intermedier dan
paratenik. Pemeriksaan feses harus dilakukan segera setelah anak kucing lepas
masa sapih; 4 8 minggu setelah treatment berakhir; pemeriksaan reguler setahun
sekali dan pemberian obat cacing hendaknya dilakukan minimal 1 tahun sekali.
43
Toxocara vitullorum
44
: Nemathelminthes
: Nematoda
: Strongylida
: Ancylostomatidae
: Ancylostoma
: Ancylostoma caninum
: Usus halus
: Anjing, Kucing, Serigala, Coyotr, Manusia
:
45
Terdapat sepasang gigi dorsal yang berbentuk segitiga dan sepasang gigi
ventro lateral
Siklus Hidup :
Telur keluar dari hospes bersama dengan feses. Pada stadium L1 dan L2
larva bebas di tanah. Larva infektif (L3) masuk ke dalam tubuh hospes
melalui peroral atau percutan kemudian masuk ke dalam aliran darah dan
menuju ke paru paru, saat batuk larva dapat masuk kembali ke dalam
saluran pencernaan dan menjadi cacing dewasa pada usus halus.
Patogenesis : Dermatitis, gangguan pernafasan, batuk batuk dan anemia.
Terapi : Mebendazole, albendazole, thiabendazole, fenbendazole, tetremisole,
pyrantel pamoat.
6. Moniezia benedeni
Ditemukan pada pemeriksaan organ Sapi RPH Pegirian ditemukan cacing
46
Moniezia benedeni
Klasifikasi :
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo
: Anoplocephalidae
Famili : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia
Spesies : Moniezia benedeni
Morfologi :
Masing-masing telur dikelilingi oleh 3 lapisan yaitu lapisan paling luar
Viteline membrane, lapisan tengah Albuminous membrane, dan lapisan dalam
Chitine membrane. Bentuk mirip buah pear yang dilengkapi sepasang hooks/kait
yang bersilang satu dengan lainnya dan struktur ini disebut piriform apparatus.
Siklus hidup :
Telur cacing dikeluarkan bersama feses penderita (host) satu persatu atau dalam
keadaan berkelompok dalam segmen yang terlihat sebagai butiran-butiran beras.
Bila segmen-segmen dimakan oleh familia oribatidae maka dindingnya akan
sobek dan seluruh telur termakan oleh tungau tersebut. Di dalam tungau,
oncosphere akan tumbuh membesar dan mencapai jumlah 14 sel. Setelah 8
minggu oncosphere mempunyai 12 kait. Dan pada minggu ke 15 akan menjadi
47
Pada
infeksi
ringan
menyebabkan
gangguan
pencernaan
dan
pertumbuhan lambat. Gejala klinis pada umumnya tidak jelas dan biasanya
terlihat kelemahan dan kekurusan. Pada infeksi yang berat bisa menimbulkan
anemia, diare profus, pertumbuhan lambat, kekurusan, kelemahan dan bisa
bersifat fatal terutama sering terjadi pada anak sapi.
Terapi :
Antelmintik yang sering digunakan adalah dichlorophene 300-600 mg per kg
berat badan dan Yomesan 75 mg per kg berat badan.
Fasciola gigantica
Ascaridia galli
Mecistocirrus digitatus
Monezia benedeni
Railletina Echinobothrida
Ancylostoma caninum
Fasciola gigantica
Moniezia benedeni
Ascaridia galli
Ascaris Lumbricuides
Railletina Echinobothrida
Mecistocirrus digitatus
48
BAB 4 KESIMPULAN
Dari praktikum pemeriksaan telur pada feses dan pemeriksaan bedah saluran
cerna yang telah dilakukan, didapat hasil berupa ditemukannya :
1. Ancylostoma caninum
Ditemukan pada pemeriksaan feses metode natif anjing di RM. Immanuel Kawanua.
2. Fasciola gigantica
Ditemukan pada pemeriksaan bedah saluran pencernaan sapi RPH Pegirian
3. Paramphistomum cervi
Ditemukan pada pemeriksaan bedah saluran pencernaan sapi RPH Pegirian
49
4. Monezia benedeni
Ditemukan pada pemeriksaan feses sapi RPH Pegirian
5. Ascaridia galli
Ditemukan pada pemeriksaan feses metode natif ayam pasar keputran II
6. Railletina echinobothrida
Ditemukan pada pemeriksaan feses metode natif ayam pasar keputran II
DAFTAR PUSTAKA
Ramadan, H.H, Najwah Y.A.Z. 1992. Morphology and Life History of Ascaridia
galli in the Domestic Fowl that are Raised in Jeddah. Department
of Zoology, Girls College. Jeddah, Saudi Arabia
Sumarni, N. 2008. Efektivitas Tepung Daun Jarak (Jatropha Curcass Linn)
Sebagai Anticacing Ascaridia Galli Dan Pengaruhnya Terhadap
Performa Ayam Kampung. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi
Dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Susilo, J. 2013. Ascaridia galli setia menemani ayam kampung dan itik. Majalah
Infovet. Medik Veteriner Balai Veteriner Lampung.
http://bvetlampung.ditjennak.pertanian.go.id/ascaridia-galli-setiamenemani-ayam-kampung-dan-itik/ [31 Oktober 2015]
Wahyuni, I. 2014. Deteksi Reaksi Silang Protein Raillietina tetragona dengan
Antibodi Ascaridia galli menggunakan Uji ELISA. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga
Boray J .C . 1969 . Studies on intestinal Paramphistomosis in sheep due to
Paramphistomum ichikawai Fukui, 1922. Vet. Med. Review. 4 :
290-308.
Gupta, R .P ., P.D . Malik dan O .P . Gautam .1981 . Efficacy Resorantel against
Paramphistomiasis in naturally infected sheep . Trop. Anim. Hlth.
and Prod. 13 : 35-36.
Horak, I .G . 1967 . Host parasite relationship of P. microbothrium Fischorder .
1901 . In experimentally infested ruminants with particular
reference to sheep . Onderstepoort J. Vet. Res. 30 : 145-153.
Soulsby, E.J.L . 1965 . Text-boo k of Clinical Parasitology vol 1 . Helminths .
Blackwell Sc . Publ . Oxford.
51