Anda di halaman 1dari 51

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu penyakit parasit ialah ilmu yang mempelajari penyakit yang disebabkan
oleh parasit. Parasitologi ialah pengetahuan yang berhubungan dengan parasit. Parasit
adalah organisme yang hidup pada atau didalam organisme lain, dikenal sebagai induk
semang. Parasit dalam arti luas dapat berupa hewan, tanaman, virus, bakteri, protozoa,
cacing dan arthropoda.
Helmintiasis (ilmu penyakit cacing) banyak menyerang peternakan-peternakan di
seluruh Indonesia. Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi hewan.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi
prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini
merupakan masalah kesehatan hewan yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang
disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada
dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk
berkembangnya cacing dengan baik.
Faktor penyebab timbulnya penyakit karena adanya interaksi antara hospes
(ternak), agen penyakit (infeksi cacing) dan lingkungan. Lingkungan menentukan
pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen
penyakit. Pada lingkungan tropis basah, tingkat infeksi cacing pada ternak cukup
tinggi. Telur-telur cacing masuk ke dalam tubuh ternak melalui hijauan yang
dikonsumsi dan berkembang dalam saluran pencernaan. Bagian usus halus dan
lambung tempat cacing menghisap darah akan mengalami iritasi dan kerusakan
mukosa usus. Kerusakan mukosa usus mengakibatkan gangguan penyerapan
nutrisi dan pencernaan sehingga membuat ternak tampak kurus (Setiawan, 2008).
Pemeriksaan feses secara rutin sangat diperlukan untuk mengidentifikasi
adanya parasit gastrointestinal pada ternak, terutama jenis dan derajat infeksinya.
Dengan mengetahui jenis cacing yang menginfeksi maka segera dapat dilakukan
pengobatan dengan jenis antelmintika yang tepat, sehingga pengobatannya
menjadi lebih efektif.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pemeriksaan feses dan organ terinfeksi cacing dengan metode natif,
metode sedimen, dan metode apung.
2. Mengetahui adanya telur dan larva cacing parasit dalam sampel.
3. Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh orang yang diperiksa feses dan
organnya

BAB 2 PELAKSANAAN KEGIATAN


2.1 Alat dan Bahan
Bedah Saluran Pencernaan Karnivora Kecil dan Unggas
Sampel saluran pencernaan diambil dari:
1. RM. Immanuel Kawanua (saluran pencernaan anjing)
2. Pasar wonokromo (saluran pencernaan ayam)
Alat:
1.
2.
3.
4.
5.

Scalpel
Gunting Bedah
Pinset
Gelas Plastik
Rafia

Bahan:
1. Saluran pencernaan anjing
2. Saluran pencernaan ayam
3. NaCl fisiologis
Pemeriksaan Feses
Sampel feses diambil dari :
1. RPH Pegirian Surabaya (sapi, babi)
2. Kebun Binatang Surabaya (jerapah, merak, rusa, babi rusa, ayam ketawa,
3.
4.
5.
6.
7.
8.

beruang madu, harimau, unta, singa, kijang, itu, dara )


RSHP UNAIR (anjing, kucing)
Pasar Keputran (ayam)
Tulungagung
Bojonegoro
Benowo
Feses dari RM. Immanuel Kawanua

Alat:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tabung sentrifuge plastic


Pipet
Object glass
Cover glass
Mikroskop
Mortir

7. Gelas
Bahan:
1. Air
2. Larutan gula gula jenuh
3. Aquadest
2.2 Cara Kerja
2.2.1 Pemeriksaan Feses Metode Natif
1. Membuat suspensi tinja dengan perbandingan 1 bagian tinja dan 10
bagian air kemudian disaring.
2. Mengambil satu atau dua tetes larutan feses dengan menggunakan pipet
pada object glass.
3. Menutup tetesan larutan feses tadi dengan cover glass.
4. Mengamati dengan mikroskop dengan perbesaran 40x dan 100x.

2.2.2 Pemeriksaan Feses Metode Apung


1. Membuat suspensi tinja dengan perbandingan 1 bagian tinja dan 10
bagian air. Saring dan filtrat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus.
2. Disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 1500 RPM.
3. Hal ini diulang beberapa kali sampai supernatan jernih, pelarut dibuang
dan diganti dengan larutan gula sampai 1 cm dari mulut tabung, lalu
disentrifuge dengan cara yang sama.
4. Meletakkan tabung sentrifugasi pada rak tabung dan peelahan ditetesi
dengan larutan gula sampai cairan tersebut terlihat cembung pada mulut
tabung sentrifugasi.
5. Meletakkan gelas penutup secara perlahan diatas tabung sentrifus,
dibiarkan 10 menit kemudian diambil dan diletakkan diatas gelas
obyek, kemudian diperiksa dibawah mikroskop.
2.2.3 Pemeriksaan feses metode sedimentasi
1. Saring suspensi feses yang telah dibuat pada metode natif dengan
menggunakan saringan teh

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tampung filtratnya dalam gelas plastik


Masukkan filtrat tersebut ke dalam tabung sentrifuse hingga 12 ml
Lakukan sentrifugasi dengan kecepatam 1500 rpm selama 5 menit
Buang supernatan, endapan ditambah air hingga 12 ml
Lakukan sentrifugasi dengan kecepatam 1500 rpm selama 5 menit
Setelah jernih, buang supernatan dan sisakan sedikit lalu aduk dengan

pipet
8. Ambil hasil sedimentasi dengan pipet, letakkan di atas objek glass dan
tutup dengan cover glass
9. Periksa telur cacing dengan mikroskop perbesaran 100x 400x
2.2.4 Bedah saluran pencernaan unggas dan ruminansia
1. Mengambil feses terlebih dahulu untuk pemeriksaan feses natif, sedimen
dan apung
2. Kemudian dilakukan pembedahan dimulai dari oseophagus hingga ke anus
3. Melakukan pemeriksaan cacing pada isi lambung dan usus dengan
menggunakan saringan
4. Ketika ditemukan cacing dalam saluran pencernaan kemudian dikoleksi
2.2.5

untuk pembuatan preparat kering dan basah


Pembuatan Preparat Permanen Pewarnaan Semichen-Acetic Carmine
Hungs digunakan untuk proses mounting, sedangkan Hungs II digunakan

sebagai pengawet dan perekat cacing pada cover glass. Larutan bibit Carmine
dibuat dengan cara berikut:
1. Memasukkan asam glacial ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan
H2O sama banyak.
2. Menambahkan Carmine (bubuk) berlebih.
3. Menyunbat erlenmeyer dengan penyumbat tabung berlubang untuk
memasukkan termometer ke dalam tabung.
4. Memanaskan pada penangas air suhu 96-100C selama 15 menit.
5. Mendinginkan tabung dan isinyasecara cepat (dimasukkan ke dalam air
dingin) dan membiarkan bubuk Carmine yang tidak larut mengendap.
6. Kemudian menyaring dengan kertas saring.
7. Filtrat yang diperoleh merupakan larutan bibit Carmine.
8. Saat akan digunakan diencerkan dengan alkohol 70% dengan
perbandingan 1:2.

9. Alkohol asam dibuat dengan cara: 20 ml Alkohol 70% + 4-5 tetes HCl.
Alkohol basa dibuat dengan cara: 20 ml Alkohol 70% + NaHCO 2
secukupnya.
Cacing yang digunakan pada pembuatan preparat permanen dengan
pewarnaan Semichen-Acetic Carmine dapat berupa cacing segar (fresh) maupun
yang telah diawetkan dalam medium reservasi (alkohol gliserin 5%). Adapun
teknik pewarnaannya adalah sebagai berikut:
1. Mengambil cacing, kemudian difiksasi di antara dua object glassdan kedua
2.

ujung glass diikat menggunakan tali rafia.


Kemudian memasukkan object glass+cacing ke dalam alkohol gliserin 5%

3.
4.

selama 24 jam.
Setelah itu dimasukkan ke dalam alkohol 70% selama 5 menit.
Memindahkan ke dalam larutan Carmine yang sudah diencerkanselama

5.

8 jam bergantung ketebalan kutikula cacing.


Melepas cacing yang difiksasi di antara dua object glass, kemudian

6.
7.

memasukkan ke dalam alkohol asam selama 2 menit.


Kemudian dimasukkan kedalam alkohol basa selama 20 menit.
Kemudian melakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol 70% selama 5

8.
9.

menit, alkohol 85% selama 5 menit, dan alkohol 95% selama 5 menit.
Dilakukan mounting dalam larutan HungsI selama 20 menit
Cacing diambil dari larutan Hungs I, kemudiandiletakkan pada object

glass yang bersih.


10. Meneteskan larutan Hungs II secukupnya di atas cacing tersebut,
kemudian ditutup dengan cover glass.
11. Preparat dikeringkan dalam inkubator pada suhu 370C. Kemudian preparat
permanen dikeringkan dalam inkubator pada suhu 37C, lalu diletakkan
2.2.6
1.
2.
3.

pada suhu ruang untuk pendinginan dan siap digunakan.


Pembuatan Preparat Basah
Mengambil cacing dan melakukan identifikasi.
Memasukkan ke dalam pot plastik yang telah berisi formalin 10%.
Pemberian label.

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN


Sampel feses didapatkan dari:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian


Kebun Binatang Surabaya (KBS)
Pasar Wonokromo
RSH Pendidikan Universitas Airlangga
Rumah Bubut Unggas Wonorejo
RM. Immanuel Kawanua (saluran pencernaan anjing)
Pasar Keputran

3.1 Hasil Pemeriksaan Feses (Positif Telur Cacing)

Hari

sampel

Metode
pemeriksaan

hasil

Jumat,
03 Juni
2016

Kuda (Citraland)

natif

Strongyloides westeri

Sapi pegirian I

natif

Toxocara vitulorum
Gastrothylax crumenifer

Senin,
06 juni
2016

Selasa,
07 Juni
2016

Sapi pegirian II

natif

Toxocara vitulorum

Kambing (lekok)

natif

Paramphistomum cervi

natif

Gnatostoma spinigerum

apung

Toxocara cati

Sapi (Bojonegoro)
Cairan rumen

natif
Natif

Toxocara vitulorum
Fasciola gigantica

Feses ayam

Natif

Ascaridia galli

Kuda (Kenpark)

Natif

Strongylus sp.

Babi (pegirian) II

Natif

Trichuris suis

Babi (pegirian) III

Natif

Ascaris lumbricoides

Anjing
Harimau sumatera
Rusa timur

Natif
apung
apung
Apung dan
natif
Apung dan
natif
Natif

Toxocara canis
Echinochasmus perystiatus
Strongilus sp.

kucing

Merak
Anjing II
ayam

Heterakis gallinarum
Anchilostoma caninum
Reilletina sp.

TELUR CACING NEMATODA


1. Strongyloides Westeri
Klasifikasi :
Phylum
: Nemathelminthes
sub class
: Secernentea
class
: Nematoda
ordo
: Rhabditida
superfamily : Subuluroidea
Family
: Strongyloididae
Genus
: Strongyloides.
Predileksi
: mukosa usus halus
Host
: kuda, keledai, babi dan zebra

Gambar 1. Telur
cacing strongyloides
Morfologi :
Cacing betina parasitic panjangnya 8-9 mm dan berdiameter 80-95
mikron, telur berembrio berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran 40-52 x 32-40
mikron. Masa prepaten sekitar 2 minggu.

Siklus hidup :
Siklus hidup cacing ini memiliki generasi parasitik dan generasi bebas.
Generasi bebas yaitu jantan dan betina sedangkan generasi parasitik hanya
memiliki cacing betina yang menghasilkan telur berembrio. Dan masing generasi
memiliki 4 stadium larva yaitu L1, L2, L3 dan L4. Pada stadium L1
(rhabditiform) cacing menetas dari telur yang dikeluarkan melalui feses host yang
terinfeksi.
Siklus hidup homogenik berlangsung dengan jalur melewati tubuh hospes,
siklus ini dimulai dari Larva stadium I dapat berkembang langsung menjadi larva
stadium 3 yang infektif, kemudian siklus hidup heterogenik yaitu siklus hidup di
luar tubuh hospes dimana terdapat cacing jantan dan betina kawin diluar tubuh
hospes dan akan dapat memproduksi larva infektif. Bila kondisi lingkungan
menunjang akan membentuk siklus heterogenik yang dominan dan bila tidak
menunjang siklus homogenik yang dominan.
Pada siklus heterogenik larva stadium I ditransformasikan secara cepat
sehingga dalam 48 jam terbentuk cacing jantan dan betina bebas yang dewasa
kelamin. Melalui kopulasi, betina bebas memproduksi telur yang akan menetas
dalam beberapa jam dan kemudian mengalami metamorfosa menjadi larva
infektif. Hanya satu generasi larva yang diproduksi oleh betina bebas.
Pada siklus homogenik larva stadium I cepat mengalami perubahan
menjadi larva III (infektif) yakni sekitar 24 jam pada suhu 27 0C. Larva infektif

10

(filaform) yang berkembang dalam feses atau tanah lembab yang terkontaminasi
feses, kemudian menembus kulit dan masuk ke dalam darah yang menuju ke
jantung dan sampai di paruparu. Di paruparu larva menembus dinding kapiler
masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai
epiglotis. Selanjutnya larva tertelan dan masuk kedalam saluran pencernaan yang
mencapai bagian atas dari intestinum, disinilah cacing betina menjadi dewasa.
Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara
partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama
pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telurnya. Telur
kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva
rhabditiform ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari hospes melalui
tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi
hospes yang sama atau hewan lainya. Dapat pula larva rhabditiform ini
berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah.
Cacing dewasa betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur
yang segera mentas dan melepaskan larva non infektif rhabditiform yang
kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform.
Kadangkala pada hewan tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah
menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh hewan tersebut dan
menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang
menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Patogenesis :

11

Transimisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari tanah yang
terkontaminasi, atau per-oral. Transmisi juga mungkin dapat terjadi
transplancental (dari ibu janin yang di kandungnya) dan transmammary ( dari ibu
ke bayinya melalui air susu ). Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit
menimbulkan cutaneus larva migrans dan visceral larva migrans. Larva ini
kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke jantung
kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler terbawa pulmonal dan
penetrasi kedalam aveoli paru-paru. Di duga saat keluar dari kapiler pulmonal
parasit menyebabkan perdarahan dan menimbulkan inflantrasi selular pada paruparu. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrate yang menyebar pada
gambaran radiologis paru (loeffers pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang di
timbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran pernafasan
disebut dengan sindroma loeffler.Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas
atas, sampai ke esophagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Disana
parasit ini dengan cepat berkmbang menjadi dewasa. Cacing betina lalu
berkambang biak secara parthenogenesis. Hewan betina juga berkembang biak
melaui kopulasi yang terjadi di duodenum atau jejunum.
Pengobatan :
- Ivermectin
Jangka waktu : Infeksi tanpa komplikasi: 1 atau 2 hari infeksi yang menyebar
Perluas pengobatan setidaknya 5-7 hari atau sampai parasit dimusnahkan, lebih
efektif daripada Albendazole, lebih baik ditoleransi dibandingkan thiabendazole
- Albendazole: Dosis: 400 mg PO tawaran selama 3 hari untuk infeksi tanpa
komplikasi dan 7-10 hari untuk hyperinfection
- Thiabendazole: Dosis: 25 mg / kg tawaran selama 2 hari (maksimal, 3 g/hari)
12

Efek samping : mual, muntah, diare, pusing dan gangguan neuropsikiatri.


Pencegahan :

Peningkatan tinja sanitasi di daerah endemik


Menghindari kontak dengan kulit berpotensi terkontaminasi tanah.
Lakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat untuk benar-benar
memperhatikan kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan.
Periksa semua najing, kucing, kera yang kontak dekat dengan manusia,
obati binatang yang terinfeksi cacing ini.

2. Gnatostoma spinigerum
Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Phylum

: Nematoda

Class

: Secernentea

Order

: Spirurida

Family

: Gnathostomatidae

Genus

: Gnathostoma

Species

: Gnathostoma spinigerum

Gambar 2. Telur cacing Gnathostoma spinigerum


Predileksi : Cacing dewasa yang hidup di dinding usus mamalia pemakan ikan.

13

Inang definitif: mamalia pemakan ikan (kucing,anjing, harimau, dan manusia).


Inang perantara : Siklops sebagai hospes perantara pertama dan ikan air tawar
sebagai hospes perantara kedua.
Morfologi

Cacing dewasa mempunyai bulbus yang diliputi 4-8 baris duri-duri yang
melengkung dan runcing

Cacing jantan mempunyai panjang 11-25mm

Cacing betina mempunyai panjang 25-54mm

Telur berukuran 65 x 36 mikron, salah satu ujungnya terdapat tonjolan


jernih berisi morula

Larva stadium III mempunyai panjang 5mm, kepala berbulbus dengan 4


baris duri-duri, badan berduri, esophagus 1/3 bagian anterior badan

Siklus hidup :
Di alam, definitif host (babi, kucing, anjing, satwa liar) cacing dewasa
yang berada dalam tumor yang menyebabkan mereka berhubung dgn lambung
perut di dinding. Mereka mengeluarkan telur yang unembryonated ketika kelur
bersama kotoran. Telur menjadi embryonated dalam air, dan telur mulai tahap
awal larva. Oleh kerang-kerangan (Cyclops, pertama antara host), larva pertama
berkembang ke tahap larva kedua. Setelah proses menelan oleh Cyclops dengan
ikan, katak, atau ular (antara kedua host) , tahap kedua larva bermigrasi ke dalam
daging dan berkembang ke tahap larva ketiga. tahap larva ketiga berkembang
menjadi parasit dewasa di dinding perut atau larva kedua pada host perantara
(hewan seperti burung, ular, dan katak) yang tahap-ketiga larva tidak berkembang
lebih lanjut tetapi tetap infective ke predator. Manusia menjadi terinfeksi oleh

14

makan ikan atau unggas kurang matang yang mengandung tahap-ketiga larva, atau
dilaporkan oleh air minum yang mengandung infektif larva tahap-kedua di
Cyclop.
Patologi klinis
Benjolan di bawah kulit dapat berpindah-pindah(larvamigrans/ creeping
eruption), selulitas orbita, eosinofilia, hematuria, hemoptisis, pembengkakan
faring.
Diagnosis dan Pengobatan :
Diagnosa dengan melihat adanya cacing dewasa dan melalui reaksi
immunologi(tes kulit).
Pengobatan dilakukan dengan pembedahan untuk mengeluarkan cacing atau
pengobatan dengan Albendazole atau ivermectin
Pencegahan :
Bila anda pemilik dan penggemar anjing dan daerah anda sudah terjangkit
penyakit jantung hendaknya anda harus hati-hati karena setiap saat anjing anda
akan terancam akan serangan cacing jantung termasuk anda tentunya. Karena
cacing jantung dapat menular kemanusia lewat perantara nyamuk. Pemeriksaan
darah anjing secara teratur, hal ini untuk memastikan terinfeksi tidaknya anjing
tersebut.
3. Ascaridia gali
Ditemukan pada pemeriksaan saluran pencernaan ayam pasar keputran II.
Klasifikasi :
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Nematoda
Ordo
: Ascaridida
15

Super Famili
Famili
Genus
Spesies
Habitat

: Subuluroidea
: Heterakidae
: Ascaridia
: Ascaridia galli
: Usus halus

Gambar 4. Telur

B
Gambar 3. Cacing Ascaridia galli

cacing

Ascaridia galli
Inang definitif :

Ayam,

kalkun

dan unggas lainnya.


Morfologi

Bagian kepala diperbesar untuk menunjukkan bagian mulut dan mempunyai 3 bibir besar
16
Bagian caudal Ascaridia galli jantan Bagian ekor Ascaridia galli betina

Wilayah vulva pada Ascaridia galli betina

Gambar. Morfologi Ascaridia galli (Schrank 1788; Freeborn 1923;


Ramadan and Najwah, 1992)
Lokasi ditemukan : di usus halus ayam dari Pasar Keputran dan wonokromo.
Predileksi : Predileksi Ascaridia galli adalah di usus halus.
Ciri Khas:
Panjang cacing dewasa mencapai 2,5 10 cm
Tubuh bagian posterior cacing jantan mempunyai alae yang kecil dan

dilengkpai dengan 10 pasang papila yang kecil dan gemuk


Bagian mulut mempunyai 3 bibir besar
Esofagus tidak membentuk bulbus
Precloacal sucker berbentuk sirkuler dan diliputi oleh lapisan kutikula yang

tebal
Spikula sama panjang berukuran : 1-2,4 cm
Vulva terletak pada bagian pertengahan tubuh

Siklus Hidup

Gambar 1. Siklus hidup cacing Ascaridia galli


(Kusumamihardja, 1992; Sumarni, 2008)
Siklus hidup Ascaridia galli terjadi secara langsung yaitu telur
dikeluarkan bersama tinja dan akan berkembang menjadi telur infektif yang
berisi larva infektif (L2) selama 8-10 hari dalam kondisi optimum pada suhu
17

30-33o C dan kelembaban 80%. Selanjutnya telur infektif akan menetas di


dalam duodenum inang yang memakannya, larva tahap dua (L2) keluar dan
hidup pada lumen usus selama 8 hari. Selanjutnya berkembang dalam mukosa
usus yang disebut fase jaringan, di mana L2 mengalami molting menjadi larva
(L3) pada hari ke-7 atau ke-8, kemudian L3 akan mengalami molting menjadi
larva 4 (L4) pada hari ke-14 atau ke-15. Kemudian L4 kembali ke lumen usus
dan berkembang menjadi cacing dewasa selama kurang lebih 6-8 minggu
setelah infeksi (Soulsby, 1986; Sumarni, 2008). Seluruh masa perkembangan
cacing sejak telur nfektif ditelan hingga dewasa membutuhkan waktu 50 hari
(Larry, 1996; Sumarni, 2008).
Patogenesis
Cacing Ascaridia galli menyebabkan infeksi yang cukup serius
terutama pada ayam umur 3 bulan. Cacing ini melakukan penetrasi pada
mukosa usus halus ayam sehingga akan terbentuk lesi. Cacing Ascaridia galli
dapat menyebabkan hemoragi, enteritis, emasiasi, anemia, dan diare sehingga
ayam menjadi lemah dan produksi telur menurun. Pada infeksi yang berat usus
mengalami obstruksi (Soulsby, 1988; Wahyuni, 2014).
Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen, sanitasi
kandang dan lingkungan, pembasmian lalat (sebagai vektor mekanik), dan
desinfeksi ketat. Pengobatan untuk pencegahan pada pullet diberikan umur 5
minggu, diulang setiap 4 minggu sampai umur 21 minggu. Pemberian vitamin A
bermanfaat untuk membantu penyembuhan mukosa usus yang mengalami
kerusakan.
4. Trichuris suis
18

Klasifikasi
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

:
:
:
:
:
:

Nematoda
Adenophorea
Trichurida
Trichuridae
Trichuris
Trichuris Suis

Gambar telur cacing


trichuris suis
Morfologi

dan Siklus Hidup


Cacing Trichuris sp

berparasit pada sekum (Anonimous, 2004). Cacing ini sering disebut Whipworm
/cacing cambuk. Morfologinya hampir sama dengan Trichuris trichura yang
menginfeksi manusia dan primata lain, namun belum ada bukti kongkret yang
menyatakan bahwa kedua parasit tersebut dapat saling bertukar induk semang
seperti halnya cacing Ascaris sp pada sapi dan manusia (Soulsby, 1982).
Trichuris dapat menginfeksi beberapa jenis hewan yaitu sapi, domba,
kambing, babi dan anjing. Habitat atau predileksinya adalah pada caecums.
Trichuris mempunyai beberapa spesies
:
T. Ovis pada caecum kambing dan domba
T. Discolor pada caecum dari sapi
T. Vulvis pada anjing
T. Suis pada babi
T. Trichiura pada manusia
Morfologi
Cacing ini disebut dengan cacing cambuk dengan salah satu satu ujung
tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis. Bagian anterior panjang dan tipis kirakira dua kali bagian posterior, ujung posterior cacing jantan bergulung kedorsal

19

dalam bentuk spiral. Vulva terletak antara batas anterior dan posterior. Cacing
jantan panjangnya 30-80 mm dan betina 35 75 mm, telur mempunyai kulit
tebal kecoklatan dengan dua sumbat dikedua ujungnya. Ukukran telur 50-80 x
21-42 u.
Distribusi Geografis
T. Trichiura, Vulpis T. Dan T. Suis T. Dicolor ditemukan di seluruh dunia,
tetapi yang paling lazim dalam hangat, iklim lembab. Mereka jarang atau tidak
ada di kering, sangat panas, atau sangat dingin daerah.
Siklus hidup
Penularan terjadi secara langsung melalui telur infektif (L2), telur sangat
resisten, perkembangan didalam induk semang berlangsung didalam lumen usus
dan massa prepaten 2-3 bulan. Cacing ini melekat pada caecum (Smith and
Stevenson, 1970).
5. Heterakis gallinarum
Klasifikasi
Class

: Secernentea

Subclass : Rabditia
Ordo

: Rabditia (Oxyurata)

Family

: Heterakoidea

Genus

: Hetrakis gallinarum

Predileksi : sekum yang umum di temukan pada ayam dan burung


Inang : unggas

20

Gambar telur cacing heterakis gallinarum


Morfologi
cacing jantan mempunyai pengisap preanal bagian tepinya mengeras,
speculum sama besar, tidak mempunyai gubernakulum. Betina mempunyai
vulva tedapat di pertengahan tubuh. Cacing jantan panjangnya 3-4 mm, diameter
120-470 mikron, spikulum kanan panjangnya 0,85-2,80 mm dan spikulum kanan
0,37-1,10 mikron sedangkan betina panjangnya 8-15mm, telurnya berbentuk
elips ukuran dinding 63-75x36-48 mikron, Heterakis gallinarum berwarna putih
dengan ekor halus dan memanjang pada yang dewasa morfologi dari telur
Heterakis gallinarum, bentuk telur elips berdinding tebal berukuran 63-75 x 3648 mikron.
Siklus Hidup
Siklus cacing ini sangat sederhana dan langsung. Telur yang keluar
bersama kotoran dari ayam yang sakit atau cacingan akan menjadi infektif dalam
waktu 1012 hari pada kondisi yang optimal. Bila telur cacing yang infektif itu

21

tertelan oleh ayam maka telur tersebut akan menetas dalam usus buntu (sekum),
kemudian larvae hasil tetasan itu akan bebas hidup di dalam usus buntu (sekum).
Mencapai usia dewasa pada hari ke 2830, Ukuran tubuh yang jantan Cacing
jantan panjangnya 3-4 mm, diameter 120-470 mikron, betina panjangnya 815mm, berwarna putih dengan ekor memanjang.
Cara Penularan
Cacing dari golongan Nematoda seperti Heterakis sp dalam penularannya
umumnya terjadi secara langsung, yaitu dari ayam yang sakit dan mengeluarkan
telur yang infektif kepada ayam yang sehat yang memakan telur yang infektif
tersebut sehingga ayam yangsehat menjadi sakit. Tetapi untuk jenis Capillaria sp
dalam penularannya secara langsung tetapi juga ada yang melalui inang perantara
(intermediate host) seperti cacing tanah.Berbeda dengan golongan Nematoda,
untuk golongan Cestoda atau Cacing pita, hampir semua jenis dalam
penularannya selalu memakai inang perantara, apakah itu serangga (seperti lalat,
semut ataupun belalang) siput, keong atau udang dan kepiting.
Patogenitas / Keganasan Dan Gejala Klinis
Heterakis gallinarum, Ascaridia, dan Capillaria sp merupakan penyebab
yang sangat dominan dalam penyebaran cacingan pada unggas. Adapun gejala
klinis yang biasanya muncul tidak begitu spesifik seperti lesu, lemah, kurang
napsu makan, keterlambatan pertumbuhan kadang ada kematian. Ascaridiasis
yang parah dapat menyebabkan berkurangnya berat badan karena menghambat
absorpsi nutrisi pada usus halus dan Ascaridia juga kadang dapat bermigrasi ke
oviduct melalui kloaka yang dapat mengganggu pada proses pengerabangan telur.

22

Heterakis gallinarum, cukup patogen, dalam jumlah yang banyak dapat


menyebabkan kekurusan, peradangan sekum, nodulasi dinding sekum dalam
sampai hepatik granuloma. Heterakis gallinarum juga merupakan pembawa
Histomonas meleagridis yang merupakan penyebab penyakit blackhead.
Diagnosa
Berdasarkan gejala klinis yang di timbulkan seperti yang telah di jelaskan
di atas. Melalui pemeriksaan laboratorium dengan metode natif dan metode apung
sampel yang di periksa adalah feces, di amati di bawah mikroskop.
Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan :
1. Peningkatan pelaksanaan sanitasi seperti penyemprotan insektisida di
lingkungan sekitar dan di dalam kandang baik tanah sekitar atau pada litter
sebelum ayam masuk yang berguna agar dapat memutus mata rantai inang
perantara terutama untuk siklus hidup cacing yang memerlukan inang
perantara seperti cacing pita.
2. Jangan mencampurkan terlalu berdekatan antara flock yang berlainan usia
dan strain untuk menghindari terjadinya penularan dan penyebaran parasit.
3. Dalam pemeliharaan ayam, semakin cepat ayam tidak kontak dengan tanah
atau postal akan semakin kecil ayam tertular cacing.
4. Jaga agar air ataupun pakan ayam tidak tertular dengan telur cacing,
gunakan selalu air minum ayam yang terkontrol kebersihannya.

23

5. Lakukan selalu otopsi, seksi, pembedahan terhadap ayam-ayam yang mati


atau diduga terkena infeksi kecacingan (ayam terlihat anemia / pucat atau
kurus misalnya).
6. Programkan pemberian obat cacing secara periodic baik untuk Nematoda
(cacing gelang) ataupun Cestoda (cacing pita).
Pengobatan :
1. Piperazine paling umum dan efektif dalam mengontrol dan mengobati
kecacingan yang disebabkan oleh cacing jenis cacing gelang Ascaridia sp.
Berikan dosis sesuai dengan anjuran pembuat obat. Pemberian secara
periodik untuk preparat obat ini dapat dilakukan paling cepat setiap bulan
(tergantung di kandang model apa ayam dipelihara) paling lambat setiap 2
bulan sekali.
2. Levamisole paling umum dan efektif dalam mengontrol dan mengobati
kecacingan yang disebabkan oleh cacing jenis cacing Ascaridia sp,
Heterakis sp dan Caillaria sp. Berikan dosis sesuai dengan anjuran
pembuat obat. Pemberian secara periodik untuk preparat obat ini dapat
dilakukan setiap 2 bulan (tergantung di kandang model apa ayam
dipelihara) paling lambat setiap 3 bulan sekali.
3. Butynorate yang dikombinasikan dengan piperazine dan phenothiazine
atau Chlorophene dan Niclosamide Railietina sp atau Davainea sp yang
diaplikasikan pemberiannya melalui pakan cukup efektif untuk
mengontrol dan mengobati kecacingan yang disebabkan oleh cacing jenis

24

(cacing pita). Berikan dosis sesuai dengan anjuran pembuat obat.


Pemberian secara periodik untuk preparat obat ini dapat dilakukan paling
cepat setiap 4 bulan (tergantung di kandang model apa ayam dipelihara)
paling lambat setiap 6 bulan sekali. Dalam mengontrol agar ayam tidak
terinfeksi oleh cacing pita, harus dilakukan secara terpadu dengan kontrol
insektisida, dan hewan lain yang merupakan inang perantaranya.
TELUR CACING TREMATODA
1. Gastrothylax crumenifer
Klasifikasi:
Phyllum : Platyhelminthes
Class
Family

: Trematoda
: Paramphistomatidae

Genus
: Paramphistomum
Spesies : Paramphistomum cervi
Habitat: rumen dan retikulum
Inang definitif: kambing, domba, sapi dan ruminansia lain
Host Indermediate : Siput air (Lymnaea sp., Planorbis sp, Bulinus sp,
Fossaria sp, dll).
Gambar telur cacing gastrothylax
Morfologi :

25

Dewasa berwarna merah muda wkt masih hidup, memanjang circular pada

pot transversal
Ukuran cc dewasa: 9 18x15 mm
Caecum terletak pada tepi anterior testis
Testis berlobi dan horizontal
Ovari di sebelah posterior caecum dan testis
Uterus terletak pada pertengahan tubuh
Ukuran telur: 115-135X 60-70 mikron

4. Pengobatan : Levamisole paling umum dan efektif dalam mengontrol dan


mengobati kecacingan yang disebabkan oleh cacing jenis cacing Ascaridia
sp, Heterakis sp dan Caillaria sp. Berikan dosis sesuai dengan anjuran
pembuat obat. Pemberian secara periodik untuk preparat obat ini dapat
dilakukan setiap 2 bulan (tergantung di kandang model apa ayam
dipelihara) paling lambat setiap 3 bulan sekali.
2. Paramphistomum cervi
Lokasi

: Daerah tropis dan subtropis yaitu Asia

Predileksi

: Rumen dan retikulum ruminansia(sapi, kambing, domba)

Inang perantara

: Siput air

Gambar cacing Paramphistomum cervi

26

Ciri khas / identifikasi :

Tubuh tebal dan membulat pada potongan transversal


Merupakan conical fluke cacing yang bentuknya mengerucut seperti buah

pear
Bagian ventral sedikit konkaf dan bagian dorsal sedikit konveks
Memiliki oral sucker pada ujung anterior dan ventral sucker yang besar di

bagian subterminal posterior


Intestinal caecal sederhana
Tidak memiliki faring dan esofagus
Testis sedikit berlobi dan terletak di sebelah anterior ovarium
Ukuran cacing dewasa sekitar 5-13 mm x 2-5 mm
Ukuran telur sekitar 114-176 m x 73-100 m

Habitat :
Paramphistomum cervi dewasa hidup di dalam rumen ruminansia, sampai
cacing dewasa bertelur melewati feses hewan tersebut. Suhu optimal air untuk
telur berkembang adalah 27C. Mirasidium hidup di dalam air dimana telur-telur
tersebut menetas dan disimpan. Sporokista, redia, dan serkaria semuanya hidup di
dalam inang perantara siput. Serkaria pada akhirnya keluar dari inang perantara
kererumputan dalam air dengan tujuan agar termakan oleh inang definitif.
Siklus Hidup :
Telur Paramphistomum cervi dikeluarkan bersama tinja hospes ke dalam
air. Telur bersel tunggal menetas setelah berkembang menjadi mirasidium.
Kemudian mirasidium keluar dari dinding telur. Mirasidium berenang mencari
inang perantara (siput) yang hanya mampu hidup selama 24 jam, sampai bertemu
inang peratara atau mirasidium akan mati. Ketika menembus dinding inang
perantara mirasidium menggunakan cytolitic enzyme yang dapat menghancurkan
kulit siput, menembus hepatopankreas. Mirasidium berkembang menjadi
27

sporocyst (sporokista) dalam waktu 11 hari. Dalam sporokista akan terbentuk


redia-redia dalam waktu 10 hari dengan cercaria-cercaria (serkaria) di dalamnya.
Redia sudah mempunyai ciri-ciri seperti cacing dewasa. Serkaria merupakan
bentuk larva infektif dan harus menemukan hospes definitif untuk
menyempurnakan daur hidupnya. Masuknya kedalam hospes definitif dapat
melalui terminumnya air oleh hospes yang di dalamnya terdapat serkaria berenang
atau serkaria tersebut membungkus diri di dalam kista (metaserkaria) yang
menempel pada rumput dan termakan oleh hospes definitif. Bila metaserkaria
termakan oleh hospes definitif, kista akan pecah dalam usus ruminansia dan
keluar cacing muda yang akan migrasi ketempat yang disukai.
Patogenesis
Infeksi Paramphistomum cervi cacing muda menyebabkan pendarahan,
bengkak serta merah di dalam duodenum dan abomasum. Hal ini dapat
menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infeksi massal, pertumbuhan
cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat lebih lama. Cacing
akan menyebabkan perubahan hilangnya epitel dari rumen yang menganggu
kapasitas reasorbsi. Cacing muda yang menembus masuk kedalam sub mukosa
akan menyebabkan peradangan usus, nekrosis sel dan erosi vili-vili mukosa.
Cacing muda dalam jumlah banyak yang berada di dalam usus halus dapat
menyebabkan kematian pada sapi. Cacing dewasa yang berada di dalam rumen
dan retikulum akan menghisap bagian permukaan mukosa sehingga menyebabkan
kepucatan pada mukosa. Papilla rumen pada sapi yang terinfeksi
Paramphistomum cervi akan mengalami degenerasi sehingga perubahan tersebut

28

mengakibatkan gangguan kerja rumen dan makanan tidak dapat dicerna dengan
sempurna.
Pengendalian dan pencegahan :
Pengendalian penyakit parasitic terutama yang disebabkan oleh cacing
Paramphistomum cervi tidak hanya dilakukan dengan pengobatan ternak yang
terinfeksi, tetapi juga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya reinfeksi pada
ternak. Pencegahan paramphistomiasis dapat dilakukan dengan drainage di daerah
rawa-rawa, pemberantasan siput dengan molluscida, dan menutup genangan air.
Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum cervi dengan
pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber
infeksi untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di
padang rumput. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan
menghindarkan ternak dari penggembalaan di padang rumput ketika musim hujan.
3. Fasciola gigantica
Ditemukan pada pemeriksaan feses Sapi III RPH Pegirian.
Lokasi ditemukan : Sapi pegirian
Predileksi : Predileksi Fasciola Gigantica adalah di hati sapi.

29

Gambar A. Telur cacing fasciola gigantica B.cacing Fasciola gigantica


Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class

: Trematoda

Subclass : Digenea
Order

: Echinostomida

Family

: Fasciolidae

Genus

: Fasciola

Species

: Fasciola gigantica

Morfologi :
Fasciola hepatica menjadi cacing dewas mempunyai bentuk pipih seperti
daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. pada bagian anterior berbentuk seperti
kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira
1mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang
besarnya kira-kira 1,6 mm. Saluran pencernaan panjang dan bercabang-cabang
sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabng-cabang.
Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikrondikeluarkan melalui saluran empedu
hospes bersama dengan tinja dsari tubuh hospes dalam keadaan belum matang.

30

Siklus Hidup

Gambar siklus hidup Fasciola hepatica

Cacing Fasciola sp. bertelur didalam kantong empedu dan telur keluar
mengikuti aliran empedu didalam ductus choleductus dan mencapai lumen
duodenum, kemudian telur bersama feses keluar saat defikasi.
Pada kondisi lingkungan yang mendukung (air tergenang, suhu (26oC ),
PH) telur akan menetas (17 hari ) dan terbebaslah larva mirasidium. Mirasidium
mutlak harus berada dalam air dan berenang mencari hospes intermidier ( HI )
serasi ialah golongan siput Lymnaea tumentosa (di Australia ), L. truncatula
(Eropa). Didalam tubuh siput tersebut mirasidium berubah menjadi sporokista
yang memperbanyak diri dengan pembelahan sel secara transversal. Di dalam
tubuh sporokista terbentuk banyak redia, pada masing-masing redia induk,

31

terbentuk banyak redia anak ( cercaria ) yang berekor. Kemudian cercaria keluar
dari tubuh siput dan berenang didalam air, dalam waktu 20-21 hari hari setelah
memasuki tubuh siput.
Pada kondisi menunjang cercaria berenang di air dan mencari tumbuhan air
atau rerumputan untuk segera melekat dan ekor dilepaskan dan tubuhnya
membentuk zat zat viskus dan berubah bentuk menjadi metacercaria . Infeksi
pada host terjadi bila memakan rumput yang ditempeli metacercaria . di dalam
duodenum kista pecah dan keluarlah cacing muda. Dalam waktu 24 jam cacing
muda sampai dalam ruang peritonium sesudah menembus dinding usus. Sekitar 48 hari sesudah infeksi, sebagaian besar cacing telah menembus kapsul hati dan
migrasi dalam parenkim hati. Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu
dan minggu ke-7 telah sampai dalam saluran empedu dan delapan minggu setelah
infeksi cacing telah bertelur.
Patogenesis
Setelah hospes definitif memakan rumput yang tercemar metaserkaria, maka
metaserkaria pecah didalam duodenum setelah bercampur dengan asam pepsin
dalam abomasum dan dilanjutkan dengan gertakan trypsin dan empedu dalam
duodenum. Kalau serkaria langsung termakan diduga akan hancur/mati karena
pengaruh asam pepsin dalam abomasum. Setelah kista pecah maka keluarlah
fasciola muda dalam usus halus.
Setelah 24 jam infeksi , fasciola muda telah ditemukan dalam rongga
peritonium , dan 4-6 hari setelah infeksi sebagian besar Fasciola muda telah
menembus kapsul hati dan bermigrasi dalam parenkhim hati. Umumnya cacing
muda mencapai hati dengan cara menembus dinding usus, masuk ke ruang

32

peritonium dan seterusnya menyerbu hati. Migrasi dalam hati memerlukan waktu
5-6 minggu, pada minggu ke-7 cacing telah masuk ke saluran empedu dan
selanjutnya menjadi dewasa. Derajat kerusakan tergantung pada banyak
sedikitnya metaserkaria yang menginfeksi/tertelan. Kerusakan terjadi pada
parenkhim hati dan saluran empedu.
Inang antara Fasciola gigantica : Lymnea rubiginosa merupakan siput endemik di
Indonesia. Sedangkan inang definitif adalah hewan ternak.
Habitat : pada saluran empedu
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan menghindarkan ternak untuk tidak digembalakan
pada daerah pengembalan yang tergenang air. Penggunanan bebek yang
digembalakan pada sawah-sawah sehabis panen untuk memberantas siput.

TELUR CACING CESTODA


1. Railletina echinobothrida

Phylum : Platyhelmintes

33

Class

:Cestoda

Ordo

:Cyclophyllidea

Family

:Davaineidae

Genus

:Raillietina

Spesies

:Raillietina Echinobotrida

Morfologi
Raillietina echinobothrida, panjangnya mencapai 250 mm dengan lebar
1-4 mm. Skoleksnya bergaris tengan 250-450 mikron, sedang rostelum bergaris
tengah 100-250 mikron yang dilengkapi dengan dua baris kait-kait sebanyak 200250 yang panjangnya 10-13 mikron. Alat penghisapnya juga dilengkapi dengan 8 15 baris duri-duri dengan ukuran 5-15 mikron. Lubang kelaminnya hampir selalu
unilateral, terletak di tengah-tengah atau sedikit di belakang tengah-tengah sisi
proglottid. Uterus berakhir dengan kapsul yang mengandung 6-12 telur. Kantong
sirrus berjarak sepertiga dari saluran ekskretori dan relatif besar, panjang 130-190
mikron. Testes berjumlah antara 20-45 buah dalam tiap segmen. Ciri khas cacing
ini yaitu segmen posterior akan melepaskan diri pada suatu bentukan yang mirip
jendela terletak di pertengahan segmen. Akan tetapi bentukan tersebut tidak selalu
ditemukan pada setiap individu.

Siklus Hidup Raiilietina spp

34

Penyebaran cacing Cestoda pada ayam sangat dipengaruhi oleh adanya inang
antara. Telur cacing Cestoda yang termakan oleh inang antara akan menetas di
dalam saluran pencernaannya.Telur yang menetas berkembang menjadi onkosfir
yaitu telur yang telah berkembang menjadi embrio banyak sel yang dilengkapi
dengan 6 buah kait.
Onkosfir selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid dalam waktu 3 minggu
setelah telur termakan oleh inang antara. Sistiserkoid tetep tinggal di dalam tubuh
inang antara sampai dengan inang antara tersebut dimakan oleh inang definitif
yaitu ayam.
Setelah ayam memakan inang antara yang mengandung sistiserkoid, maka
sistiserkoid terbebaskan oleh adanya aktivitas enzim pencernaan. Segera setelah
sistiserkoid bebas, skoleksnya mengalami evaginasi dan melekatkan diri pada
dinding usus. Segmen muda terbentuk di daerah leher dan akan berkembang
menjadi segmen yang matang dalam waktu 3 minggu. Pada saat segmen atau
strobila berproliferasi di dinding leher, dinding sistiserkoid akan mengalami
degenerasi dan menghilang. Selanjutnya sistiserkoid berkembang menjadi cacing
dewasa di dalam usus ayam dalam waktu 20 hari
Berdasarkan beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa masing-masing
spesies cacing dari genus Raillietina spp mempunyai inang antara yang berbedabeda. Raillietina tetragona menggunakan semut dari genus tetramorium dan
Pheidole serta lalat Musca domestica sebagai inang antara. Raiilietina
echinobothrida menggunakan inang antara semut jenis yang sama dengan

35

Raiilietina tetragona. Sedangkan Raillietina cesticillus mempunyai inang antara


berupa kumbang dan lalat Musca domestica.
Cacing yang hidup dalam saluran pencernaan akan mengambil makanan
dengan cara menyerap sari makanan dari induk semangnya pada mukosa usus.
Apabila tingkat infeksi cukup berat, induk semang akan mengalami hypoglicemia
dan hypoproteinemia yang nyata.
Gejala Klinis
Gejala klinis akibat cacing Cestoda pada ayam dipengaruhi antara lain oleh
status pakan atau keadaan gizi ternak, jumlah infeksi dan umur ayam. Pada
beberapa jenis infeksi, gejala umum pada ayam muda biasanya ditunjukkan oleh
adanya penurunan bobot badan, hilangnya napsu makan, kekerdilan, diare dan
anemia. Penurunan produksi telur dan kesehatan secara umum juga merupakan
gejala umum akibat infeksi cacing Cestoda.
Cacing Cestoda dalam jumlah besar akan banyak mengambil sari makann
dari tubuh inangn sehingga tidak jarang menyebabkan hypoglicemia dan
hypoproteinemia.
Raillietina echinobothrida menyebabkan diare berlendir tahap dini. Raillietina
echinobothrida dan Raillietina tetragona menyebabkan pembentukan nodul-nodul
pada dinding saluran pencernaan. Diantara kedua jenis cacing Cestoda tersebut,
yang paling banyak meninmbulkan kerusakan adalah Raillietina echinobothrida.
Raiillietina tetragona dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan produksi
telur pada ras-ras ayam tertentu.

36

Diagnosis
Diagnosis penyakit didasarkan atas gejala klinik yang tampak dan sejarah
timbulnya penyakit. Selain itu dapat pula dengan melakukan pemeriksaan tinja
secara mikroskopis dimana akan ditemukan proglottid masak yang lepas atau telur
cacing yang keluar bersama tinja. Kelemahan pemeriksaan ini adalah tidak selalu
berhasil karena progolttid masak tidak dikeluarkan bersama tinja terus-menerus.
Pada pemeriksaan pasca mati akan didapat diagnosis yang memuaskan karena
ditemukan spesies cacingnya. Teknik diagnosis yang lain adalah dengan melihat
bungkul-bungkul pada mukosa usus dimana cacing mengkaitkan diri pada infeksi
R. echinobothrida, Enteritis Catharallis chronica, hyperplasia dinding usus pada
tempat cacing melekatkan diri dan perdarahan serta pengelupasan selaput lendir
usus.

TELUR CACING ASCARIASIS


Pengertian Toxocara sp.
1. Etiologi

Toxocara cati berpledeleksi di dalam usus halus kucing. Cacing jantan


panjangnya 3 7 cm, spikulumnya tidak sama besar dan bersayap. Cacing betina
panjangnya 4 12 cm. Telur berukuran 65 75 mikron. Kucing jantan dan anak
kucing bertindak sebagai hospes definitif dari Toxocara cati. (hubner et al., 2001).
Telur infektif di keluarkan bersama feses. Feses yang mengandung Toxocara sp
jatuh di tanah dengan temperatur 10 35 C dan kelembaban 85 % serta kondisi

37

yang optimal maka dalam waktu paling sedikit 5 hari akan berkembang menjadi
telur infektif yang mengandung embrio ( Levine, 1994 ).

Gambar telur cacing Toxocara cati


2. Epidemiologi
Infeksi T. Cati tidak terbatas untuk anak kucing semua umur dapat terkena.
3. Morfologi
Toxocara canis berjenis kelamin jantan mempunyai ukuran panjang yang
bervariasi antara 3,6 8,5 cm, sedangkan Toxocara canis betina mempunyai
ukuran antara 5,6 10 cm. Toxocara cati berjenis. Kelamin jantan berukuran
antara 2,5 7,8 cm, sedangkan Toxocara cati betina berukuran 2,5 14 cm, dan
Toxocara vitulorum jantan berukuran 25 cm, sedangkan yang betina berukuran
30 cm. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti
lanset, sedangkan pada Toxocara cati berbentuk sayap yang lebih lebar, sehingga
kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor Toxocara canis dan
Toxocara cati hampir sama, untuk yang berjenis kelamin jantan ekornya
berbentuk seperti tangan dan dengan jari yang sedang menunjuk ( digitiform ),
sedangkan untuk yang berjenis kelamin betina bentuk ekornya bulat meruncing.

38

Telurnya mirip A. lumbricoides, tetapi bentuknya bulat, telur berukuran 65 75


mikron. Cacing ini terdapat pada usus halus. Manusia terinfeksi secara kebetulan
dangan menelan telur infektif. Apabila telur menetas, larva dalam usus tidak bisa
menjadi dewasa dan larva mengembara pada alat alat viseral. (Jangkung, 2002).
Siklus hidup
Toxocara cati memiliki siklus hidup yang kompleks dan sangat efektif.
a. Ingesti telur (infeksi langsung)
Setelah kucing memakan telurnya infektif yang mengandung larva stadium kedua,
telur menetas dan larva stadium ketiga memasuki dinding usus halus. Larva
bermigrasi melalui sistema sirkulasi dan dapat menuju ke sistema respirasi atau
organ dan jaringan lain dalam tubuh. Jika memasuki jaringan tubuh, mereka dapat
mengkista (dilapisi dinding dan inaktif). Larva tersebut dapat tetap mengkista
dalam jaringan berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ini adalah pola migrasi yang
lebih umum terlihat pada kucing dewasa. Pada kucing yang sangat muda, larva
bergerak dari sirkulasi ke sistema respirasi, dibatukkan dan memasuki saluran
digesti lagi. Larva kemudian menjadi cacing dewasa. Cacing betina dewasa
bertelur, telur dikeluarkan lewat feses. Telur tetap ada di lingkungan dalam waktu
10 14 hari sampai menjadi infektif.
b. Ingesti hospes paratenik
Jika kucing menelan hospes paratenik seperti tikus, cacing tanah atau kumbang
yang memiliki larva yang mengkista, migrasi mirip dengan ingesti telur berlarva.
Larva dilepaskan dari hospes paratenik saat termakan dan dicerna. Larva
memasuki sirkulasi, mengadakan migrasi ke organ, misalnya sistem respirasi.
c. Larva melalui air susu

39

Selama periode perinatal, larva dormant (stadium 1) yang ada di tubuh


induk dapat mulai bermigrasi ke glandula mammae, berubah menjadi larva
stadium lalu ke dalam air susu. Anak kucing dapat terinfeksi melalui air susu.
Larva yang tertelan menjadi larva stadium ketiga dan keempat, dan selanjutnya
menjadi dewasa dalam usus anak kucing. Jika larva dikeluarkan melalui feses
anak kucing sebelum larva tersebut dewasa, larva tersebut dapat menginfeksi
induk saat menjilati anaknya. Sekitar 4 minggu setelah kucing memakan telur
infektif, cacing telah dewasa dalam usus, dan telur dikeluarkan lagi.
Patogenesis
Dalam usus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitifnya
dengan menyebabkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi dari sirkulasi.
Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase migrasi
yang meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui. Keparahannya
bergantung kepada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun larva. Perjalanan
larva infektif T. cati melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menyebabkan
terjadinya edema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang mengalami edema
mengakibatkan batuk, dipsnoe, selesma, dengan eksudat yang berbusa dan kadang
mengandung darah. Perjalanan larva lewat lambung, pada yang berat
menyebabkan distensi lambung, diikuti oleh muntah, dan mungkin disertai
keluarnya cacing yang belum dewasa didalam bahan yang dimuntahkan
(vomitus).
Gejala klinis
Berdasarkan pada siklus hidup, gejala klinis yang muncul pada kucing
mencakup gejala yang muncul karena migrasi larva dan gejala klinis yang muncul

40

karena cacing dewasa. Gejala klinis yang muncul juga tergantung kepada seberapa
berat infestasi parasit, yang bergantung kepada jumlahnya. Gejala klinis dapat
mencakup pembesaran abdomen, kegagalan pertumbuhan, muntah dan diare.
Infeksi dalam jumlah sedikit dapat menghasilkan jumlah telur yang sedikit pula
dalam feses, karena itu diagnosis akurat membutuhkan prosedur uji pengapungan
telur.
Hewan yang mengalami infestasi cacing yang berat dapat menunjukkan
gejala kekurusan, bulu kusam, perbesaran perut (pot-belly), juga gangguan usus
yang antara lain ditandai dengan sakit perut (kolik). Obstruksi usus baik parsial
maupun total, dan dalam keadaan ekstrim terjadi perforasi usus hingga tampak
gejala peritonitis. Pada beberapa kasus bisa menunjukkan anemia, muntah, diare
atau konstipasi. Pada kasus yang sangat berat tapi jarang terjadi, bisa terdapat
obstruksi usus. Gejala batuk dapat teramati sebagai akibat adanya migrasi
melalaui sistema respirasi. Pada hewan muda, migrasi larva dapat berakibat
pneumonia.
Adanya cacing yang banyak menyebabkan penurunan bahan makanan
yang diserap, hingga terjadi hipoalbuninemia, yang selanjutnya menyebabkan
kekurusan dengan busung perut (asites).
Diagnosa
Untuk diagnosa dengan cara pemeriksaan tinja adalah yang paling umum,
dapat juga diikuti pemeriksaan patologi anatomi dan klinik. Diagnosa cacingan
kadang-kadang tidak selalu didasarkan ditemukannya telur atau larva cacing
didalam pemeriksaan tinja, baik secara visual, natif, metode apung atau
pemeriksaan endapan. Riwayat cattery tempat penderita tumbuh sering dapat

41

digunakan sebagai pegangan dalam penentuan diagnosis antara lain batuk, pilek,
anoreksia, kadang-kadang diare, perut membesar dan menggantung, dan bahkan
konvulsi merupakan petunjuk kuat dalam menentukan diagnosa. Diagnosa
pascamati penting untuk menegakkan diagnosis. Cacing toxocara yang belum
dewasa dapat ditemukan didalam mukosa usus. Untuk hewan dewasa
diagnosisnya lebih mudah. Pemeriksaan feses untuk menemukan telur Toxocara
cati pada feses menggunakan prosedur pengapungan telur.
Pemeriksaan patologi anatomi Dalam pemeriksaan pasca mati jaringan
tampak anemis dan hidramis. Hati tampak pucat, membesar dengan beberapa
bagian mengalami pendarahan titik atau ecchymosae. Paru-paru tampak pucat,
jantung membesar, pucat, dengan kemungkinan terjadinya hidropericardium.
Saluran pencernaan pucat dengan beberapa tempat terjadi pendarahan titik.
Rongga perut berisi cairan transudat.
Toxocara canis
Habitat dan Inang definitif : Usus halus anjing dan serigala
Morfologi :
-Panjang cacing jantan:10 cm & Betina 18 cm
-Cervical alae (=pelebaran kutikula) lebar
-Tubuh bag anterior bengkok ke ventral
-Cacing jantan : memp terminal tail(ekor), caudal alae dan spikula
-Organ kelamin betina meluas ke bagian anterior dan posterior dan berakhir
padavulva

42

Gambar Toxocara canis

Pengobatan
Obat yang umum dipakai dan efektifitasnya, aplikasi per oral:

Piperazine salts 6 minggu/lebih


Pyrantel pamoat/praziquantel 4 minggu/lebih atau 1,5 lbs/lebih
Milbemycin 6 minggu/lebih atau 1,5 lbs/lebih
Selamectin 8 minggu/lebih atau 2,6 7,5 kg
Yang direkomendasikan adalah Revolution yang berisi
Selamectin 60 mg.

Pencegahan
Dilakukan dengan cara pemberian obat cacing secara teratur, higienitas
pakan dan lingkungan, dan kontrol terhadap populasi hospes intermedier dan
paratenik. Pemeriksaan feses harus dilakukan segera setelah anak kucing lepas
masa sapih; 4 8 minggu setelah treatment berakhir; pemeriksaan reguler setahun
sekali dan pemberian obat cacing hendaknya dilakukan minimal 1 tahun sekali.

43

Toxocara vitullorum

Gambar telur cacing Toxocara vitullorum


Cara penularan :
Melalui air susu pd 3 minggu pertama laktasi Milk born transmission
Peroral (telur infektif termakan)
Prenatal infection
Patogenesis :
Terlihat nayata pada anak sapi post natal infection dan yang dilahirkan dari induk
yang terinfeksi (prenatal infection)
Gejala klinis :
Diare, kekurusan , nafas bau asam butirat, nafsu makan turun, kelemahan dan,
bisa terjadi anemia
DIAGNOSIS :
Pemeriksaan feses dari anak sapi (3-6 bl)
Pemeriksaan susu induk menyusui (3 mg pertama)
Bedah pasca mati pada anak sapi
PENGENDALIAN :
1. Sapi bunting harus bebas cacing, Tx/ antelmintik sbl kawin pertengahan
bunting post partus
2. Anak sapi umur 2 minggu yg positif terinfeksi obati
Pengobatan dan pencegahan :
Piperazin (drug of choice) : 220 mg/kg BB/po
Fenbendazole (Panacur) : 7.5 mg/kg BB

44

TELUR CACING ANCHILOSTOMA


1. Anchilotoma caninum
Ditemukan pada pemeriksaan feses anjing pitbull dan anjing di RM.
Immanuel Kawanua

Gambar : telur cacing Ancylostoma caninum

Gambar : cacing Ancylostoma caninum


Klasifikasi
Phylum
Kelas
Ordo
Family
Genus
Spesies
Habitat
Inang Definitif
Deskripsi

: Nemathelminthes
: Nematoda
: Strongylida
: Ancylostomatidae
: Ancylostoma
: Ancylostoma caninum
: Usus halus
: Anjing, Kucing, Serigala, Coyotr, Manusia
:

45

Panjang cacing jantan 10-12mm, betina 14-16mm

Cacing tampak kaku, warna cacing abu-abu atau kemerahan tergantung


ada tidaknya darah dalam saluran pencernaan

Terdapat sepasang gigi dorsal yang berbentuk segitiga dan sepasang gigi
ventro lateral

Bursa kopulatrix berkembang dengan baik dan mempunyai spikula yang


panjangnya 0,8-0,95mm

Tidak terdapat dorsal cone

Vulva terletak pada 2/5 bagian tubuh dari anterior

Siklus Hidup :
Telur keluar dari hospes bersama dengan feses. Pada stadium L1 dan L2
larva bebas di tanah. Larva infektif (L3) masuk ke dalam tubuh hospes
melalui peroral atau percutan kemudian masuk ke dalam aliran darah dan
menuju ke paru paru, saat batuk larva dapat masuk kembali ke dalam
saluran pencernaan dan menjadi cacing dewasa pada usus halus.
Patogenesis : Dermatitis, gangguan pernafasan, batuk batuk dan anemia.
Terapi : Mebendazole, albendazole, thiabendazole, fenbendazole, tetremisole,
pyrantel pamoat.
6. Moniezia benedeni
Ditemukan pada pemeriksaan organ Sapi RPH Pegirian ditemukan cacing

46

Moniezia benedeni

Klasifikasi :
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo
: Anoplocephalidae
Famili : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia
Spesies : Moniezia benedeni
Morfologi :
Masing-masing telur dikelilingi oleh 3 lapisan yaitu lapisan paling luar
Viteline membrane, lapisan tengah Albuminous membrane, dan lapisan dalam
Chitine membrane. Bentuk mirip buah pear yang dilengkapi sepasang hooks/kait
yang bersilang satu dengan lainnya dan struktur ini disebut piriform apparatus.
Siklus hidup :
Telur cacing dikeluarkan bersama feses penderita (host) satu persatu atau dalam
keadaan berkelompok dalam segmen yang terlihat sebagai butiran-butiran beras.
Bila segmen-segmen dimakan oleh familia oribatidae maka dindingnya akan
sobek dan seluruh telur termakan oleh tungau tersebut. Di dalam tungau,
oncosphere akan tumbuh membesar dan mencapai jumlah 14 sel. Setelah 8
minggu oncosphere mempunyai 12 kait. Dan pada minggu ke 15 akan menjadi
47

bentuk cyctecercoid. Dalam perkembangan hidupnya, temperatur dan kelembapan


serta keadaan sekelilingnya sangat berpengaruh.
Gejala klinis penyakit :
Bentuk akut dapat terjadi intoksikasi akibat dari racun yang dihasilkan oleh cacing
dewasa.

Pada

infeksi

ringan

menyebabkan

gangguan

pencernaan

dan

pertumbuhan lambat. Gejala klinis pada umumnya tidak jelas dan biasanya
terlihat kelemahan dan kekurusan. Pada infeksi yang berat bisa menimbulkan
anemia, diare profus, pertumbuhan lambat, kekurusan, kelemahan dan bisa
bersifat fatal terutama sering terjadi pada anak sapi.
Terapi :
Antelmintik yang sering digunakan adalah dichlorophene 300-600 mg per kg
berat badan dan Yomesan 75 mg per kg berat badan.

1.2 Pembuatan Preparat


3.2.1 Pembuatan Preparat Permanen
1.
2.
3.
4.
5.

Fasciola gigantica
Ascaridia galli
Mecistocirrus digitatus
Monezia benedeni
Railletina Echinobothrida

3.2.2 Hasil Pembuatan Preparat Basah


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Ancylostoma caninum
Fasciola gigantica
Moniezia benedeni
Ascaridia galli
Ascaris Lumbricuides
Railletina Echinobothrida
Mecistocirrus digitatus

48

BAB 4 KESIMPULAN
Dari praktikum pemeriksaan telur pada feses dan pemeriksaan bedah saluran
cerna yang telah dilakukan, didapat hasil berupa ditemukannya :
1. Ancylostoma caninum
Ditemukan pada pemeriksaan feses metode natif anjing di RM. Immanuel Kawanua.
2. Fasciola gigantica
Ditemukan pada pemeriksaan bedah saluran pencernaan sapi RPH Pegirian
3. Paramphistomum cervi
Ditemukan pada pemeriksaan bedah saluran pencernaan sapi RPH Pegirian
49

4. Monezia benedeni
Ditemukan pada pemeriksaan feses sapi RPH Pegirian
5. Ascaridia galli
Ditemukan pada pemeriksaan feses metode natif ayam pasar keputran II
6. Railletina echinobothrida
Ditemukan pada pemeriksaan feses metode natif ayam pasar keputran II

DAFTAR PUSTAKA

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated


NNNN2Animals. London: Bailliere Tindall.
Subekti, S.B., Koesdarto, Kusnoto dan Sosiawati, S.M. 2013. Helmintiasis
Veteriner. Laboratorium Helmintologi. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Subekti, S.B., Koesdarto, Kusnoto dan Sosiawati, S.M. 2012. Helmintologi
Kedokteran Hewan. Laboratorium Helmintologi. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Subekti, S.B., Koesdarto, Kusnoto dan Sosiawati, S.M. 2013. Penuntun Praktikum
Helmintologi Kedokteran Hewan. Laboratorium Helmintologi.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
50

Ramadan, H.H, Najwah Y.A.Z. 1992. Morphology and Life History of Ascaridia
galli in the Domestic Fowl that are Raised in Jeddah. Department
of Zoology, Girls College. Jeddah, Saudi Arabia
Sumarni, N. 2008. Efektivitas Tepung Daun Jarak (Jatropha Curcass Linn)
Sebagai Anticacing Ascaridia Galli Dan Pengaruhnya Terhadap
Performa Ayam Kampung. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi
Dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Susilo, J. 2013. Ascaridia galli setia menemani ayam kampung dan itik. Majalah
Infovet. Medik Veteriner Balai Veteriner Lampung.
http://bvetlampung.ditjennak.pertanian.go.id/ascaridia-galli-setiamenemani-ayam-kampung-dan-itik/ [31 Oktober 2015]
Wahyuni, I. 2014. Deteksi Reaksi Silang Protein Raillietina tetragona dengan
Antibodi Ascaridia galli menggunakan Uji ELISA. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga
Boray J .C . 1969 . Studies on intestinal Paramphistomosis in sheep due to
Paramphistomum ichikawai Fukui, 1922. Vet. Med. Review. 4 :
290-308.
Gupta, R .P ., P.D . Malik dan O .P . Gautam .1981 . Efficacy Resorantel against
Paramphistomiasis in naturally infected sheep . Trop. Anim. Hlth.
and Prod. 13 : 35-36.
Horak, I .G . 1967 . Host parasite relationship of P. microbothrium Fischorder .
1901 . In experimentally infested ruminants with particular
reference to sheep . Onderstepoort J. Vet. Res. 30 : 145-153.
Soulsby, E.J.L . 1965 . Text-boo k of Clinical Parasitology vol 1 . Helminths .
Blackwell Sc . Publ . Oxford.

51

Anda mungkin juga menyukai