Anda di halaman 1dari 32

1

LAPORAN KOASISTENSI PPDH GELOMBANG XX

Departemen Parasitologi Exlaboratorium Helminthologi


Tanggal 1 – 7 April 2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Prevalensi penyakit helminthiasis di Indonesia tergolong cukup tinggi
sehingga penyakit hal ini menjadi fokus dalam dunia veteriner terutama pada
hewan ternak yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tingginya penyakit
helminthiasis berkaitan dengan iklim tropis Indonesia, kelembaban yang tinggi
memberikan lingkungan yang mendukung bagi cacing.
Bidang kedokteran hewan secara spesifik mempelajari tentang
parasitologi, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang parasit. Parasit
adalah organisme yang hidup pada organisme lain dan atas beban organisme yang
ditumpanginya yang disebut sebagai inang (host). Parasit dalam arti luas dapat
berupa kapang/jamur, virus, bakteri/kuman, protozoa, cacing (helminth), atau
arthropoda, serta semua organisme yang merugikan inangnya.
Kontrol terhadap penyakit helminthiasis sangat perlu dilakukan
mengingat manusia adalah satu inang definitif dari suatu species cacing. Dokter
hewan dengan motto “Manusia Mriga Satwa Sewaka” juga harus menjaga
kesehatan manusia melalui kesehatan hewan untuk menciptakan One World One
Health. Menjaga kesehatan manusia melalui hewan dapat diwujudkan melalui
pengadaan bahan pangan asal hewan yang sehat, sebagai contoh daging babi yang
bebas dari hydatic cyst.
Pengetahuan tentang klasifikasi, morfologi, fisiologi dan siklus hidupnya
sangat penting dalam memahami patogenesis, penularan, penyebaran, pengobatan
penyakit, serta pencegahannya. Usaha pencegahan penyakit helminth dapat
dilakukan dengan memutus siklus hidup parasit tersebut dengan melakukan
kontrol terhadap vektor terutama pada saat siklus hidupnya berada pada titik
2

terlemah, misalnya pada waktu parasit meninggalkan inang, selama berada di


lingkungan, atau pada saat memasuki inang.
Beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit parasit, yaitu:
(1) mengurangi sumber infeksi dengan tindakan terapi, (2) pengawasan sanitasi
air, makanan, keadaan tempat hidup dan sampah, (3) pemberantasan inang antara
dan vector.

1.2. Tujuan
1.2.1. Mengidentifikasi jenis telur cacing pada pemeriksaan berbagai sampel
feses
1.2.2. Mengidentifikasi jenis cacing dewasa yang didapatkan dari bedah
saluran pencernaan hewan
1.2.3. Menentukan diagnosa serta tindakan penanganan terhadap adanya
infeksi parasit cacing.
3

BAB II
MATERI DAN METODE

2.1. Alat-alat dan Bahan


- Alat yang digunakan: - Bahan yang digunakan:
1. Gelas plastik 1. Alkohol 70%, 85%, 95%.
2. Pipet Pasteur 2. Hung’s I
3. Tabung ukur 3. Hung’s II
4. Cawan petri 4. Larutan bibt carmin
5. Sendok plastik 5. Alkohol asam dan basa
6. Batang pengaduk 6. Alkohol gliserin
7. Rak tabung 7. Formalin
8. Saringan 8. NaCl fisiologis
9. Object glass dan cover 9. Gula jenuh
glass 10. Air
10. Pot salep
11. Sentrifuge
12. Tabung sentrifuge
13. Peralatan bedah dan bak
seksi

2.2. Cara Kerja Pemeriksaan Sampel Tinja Dengan Metode Natif, Metode
Sedimentasi, Metode Apung
A. Tujuan :
- Untuk menemukan telur atau larva helminth pada sampel feses
- Untuk membedakan telur atau larva spesies cacing yang terdapat pada
feses beberapa hewan
B. Cara Kerja :
1) Metode Natif
- Mengoleskan feses secukupnya pada object glass steril dengan lidi
atau ujung glass pengaduk yang kecil
4

- Meneteskan 1-2 tetes air pada feses tersebut, kemudian campur


dengan lidi atau ujung glas pengaduk yang kecil
- Menutuppreparat feses dengan cover glass
- Memeriksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan
perbesar pada pembesaran hingga 400x saat menemukan bentukan
seperti telur untuk melihat lebih jelas dan lebih mudah dalam
mengidentifikasitelur ccacing
2) Metode Sedimentasi
- Membuat suspensi dengan satu bagian feses dan 10 bagian air
- Menyaring dengan saringan teh dan filtratnya ditampung dalam
gelas plastik.
- Memasukkan dalam tabung, kemudian mensentrifuge dengan
kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit
- Membuang supernatan (bagian jernih) lalu masukkan air kemudian
lakukan sentrifuge lagi hingga diperoleh supernatan yang jernih
- Membuang supernatan, ambil sedimen dan oleskan pada object
glass (teteskan dengan pipet Pasteur)
- Menutup preparat dengan cover glass
- Memeriksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x dan
perbesar pada pembesaran hingga 400x saat menemukan bentukan
seperti telur untuk melihat lebih jelas dan lebih mudah dalam
mengidentifikasi telur ccacing
3) Metode Pengapungan dengan Metode Fulleborn
- Membuat suspensi tinja dengan perbandingan 1 bagian tinja dan 10
bagian air. Menyaring suspensi dan memasukkan filtrat pada tabung
sentrifuge
- Melakukan sentrifugasi selama 2-5 menit dengan kecepatan 1500
rpm
- Mengulangi sentrifugasi beberapa kali sampai supernatan jernih,
membuang pelarut dan mengganti dengan larutan gula jenuh sampai
11 ml pada tabung, lalu mensentrifuge kembali dengan cara yang
sama
5

- Meletakkan tabung sentrifuge pada rak tabung dan pelan-pelan


ditetesi dengan larutan NaCl jenuh sampai cairan terlihat cembung
pada mulut tabung sentrifugasi
- Meletakkan cover glass pelan-pelan di atas tabung sentrifuge,
biarkan 1-2 menit, kemudian mengambil cover glass dan
meletakkannya di atas object glass, kemudian memeriksa preparat
di bawah mikroskop pembesaran 100x dan perbesar pada
pembesaran hingga 400x saat menemukan bentukan seperti telur
untuk melihat lebih jelas dan lebih mudah dalam mengidentifikasi
telur ccacing

2.3. Cara Kerja Bedah Saluran Cerna


1) Saluran Pencernaan Karnivora
Untuk saluran pencernaan karnivora yang dipakai adalah saluran
pencernaan anjing. Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu:
- Saluran pencernaan (anjing, ayamdan biawak) yang telah didapatkan
dilakukan pembedahan pelan-pelan dengan menggunakan gunting
atau scalpel.
- Memisahkan feses dengan menggunakan scalpel dan memeriksa untuk
mengidentifiksasi telur cacing maupun mengoleksi cacing dewasa
saluran pencernaan anjing.
- Melakukan scrapping dengan scalpel untuk mencari kemungkinan
adanya scoleks cacing pita, terutama apabila terdapat peradangan dan
mukosa tampak hiperemis.

2.4. Cara Kerja Pembuatan Preparat Permanen (Dengan Pewarnaan


Semichen- Acetic Carmine)
- Melakukan fiksasi cacing dengan diantara dua objek glass, kemudian
kedua objek glass diikat dengan tali rafia.
- Memasukkan obyek glass beserta cacing kedalam alkohol gliserin 5%
selama 24 jam.
6

- Dilanjutkan dengan memasukkan kedalam alkohol 70% selama 5


menit.
- Setelah itu, memindahkan kedalam larutan Carmine yang sudah
diencerkan, dan diabiarkan selama ± 8 jam bergantung ketebalan
kutikula cacing.
- Kemudian cacing dilepas dari fiksasi (objek glass) dan dimasukkan
kedalam alkohol asam selama 2 menit.
- Memindahkan kedalam alkohol basa selama 2 menit.
- Setelah itu dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol sebagai
berikut:
Alkohol 70% selama 5 menit
Alkohol 85% selama 5 menit
Alkohol 95% selama 5 menit
- Melakukan mounting kedalam larutan Hung’s selama 20 menit.
- Kemudian cacing diambil dalam larutan Hung’s I, diletakkan pada
objek glass yang dibersihkan dan diteteskan larutan Hung’s II
secukupnya diatas cacing, kemudian ditutup dengan cover glass.
- Preparat permanen dikeringkan kedalam incubator pada suhu 370C,
kemudian ditaruh pada suhu ruang untuk pendingin kemudian
identifikasi dibawah mikroskop.
7

BAB III
HASIL PEMERIKSAAN

Identifikasi telur cacing dilakukan pada sampel yang diperoleh dari


hewan-hewan seperti: ayam, biawak, anjing, kucing, unta, sapi, serta merpati
dengan menggunakan metode pemeriksaan natif, sedimen dan apung.
Hari, Pemeriksaan
No Tanggal Sampel Asal Keterangan
Pemeriksaan Natif Sedimen Apung

Telur
Feses
Pegirian - + + Trichostrongylus
Kamis, domba 1
spp.
1
13-04-2017 Feses RSH Telur Spiroserca
+ + +
anjing FKH UA lupi

Feses Telur Heterakis


Jombang + + +
ayam 1 gallinae

Feses Telur Ascaridia


Jombang + + +
ayam 2 galli

Feses
Jombang + + + Telur Raillietina sp.
Senin, ayam 1
2.
17-04-2017 Feses Telur Capillaria
Jombang + + +
ayam 1 annulota

Feses
Pegirian + + + Telur Fasciola sp.
sapi

Feses Surabaya Telur Ancylostoma


+ + +
anjing Selatan coninum

Feses
Pegirian + + + Telur Ascaris suum
Selasa, babi 3
3.
18-04-2017 Feses
Pegirian + + + Telur Trichoris sp.
babi 5
8

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Telur Cacing


Hasil pemeriksaaan telur cacing pada sampel yang telah kami uji adalah
sebagai berikut :
1. Trichostrongylus sp. pada feses domba asal RPH Pegirian Surabaya

2. Spirocerca lupi pada feses anjing asal RSH UA

3. Heterakis gallinae pada feses ayam kampung asal Jombang


9

4. Ascaridia galli pada feses ayam kampung asal Jombang

5. Raillietina sp. pada feses ayam kampung asal Jombang

6. Capillaria annulata pada feses ayam kampung asal Jombang

7. Fasciola sp. pada feses sapi asal RPH Pegirian Surabaya


10

8. Ancylostoma caninum pada feses anjing asal Surabaya Selatan

9. Ascaris suum pada babi asal RPH Pegirian Surabaya

10. Trichuris sp. pada babi asal RPH Pegirian Surabaya

B. Bedah Saluran Pencernaan


Pada pembedahan saluran cerna, didapatkan cacing sebagai berikut :
1. Ascaris suum pada babi asal RPH Pegirian Surabaya
11

2. Eurytrema pancreaticum pada sapi asal RPH Pegirian Surabaya

3. Fasciola sp. pada sapi asal RPH Pegirian Surabaya

4. Ancylostoma caninum pada anjing asal Karangpilang Surabaya

5. Moniezia sp. pada domba asal RPH Pegirian Surabaya


12

6. Ascaridia galli pada ayam dan burung liar asal Gresik

7. Raillietina tetragona pada ayam asal Pasar Wonokromo Surabaya

8. Haemonchus contortus pada kambing asal RPH Pegirian Surabaya

9. Mecistocirrus digitatus pada kambing asal RPH Pegirian Surabaya

Penjelasan mengenai klasifikasi, morfologi, siklus hidup dan patogenesis dari


species telur cacing dan cacing yang telah diidentifikasi adalah sebagai berikut.
13

1. Heterakis gallinarum
Klasifikasi:
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Phasmidia
Ordo : Ascarididea
Superfamili : Subuluroidea
Famili : Heterakidae
Genus : Heterakis
Spesies : Heterakis gallinarum
Habitat : sekum
Host :ayam kalkun, itik, angsa dan sejumlah burung lainnya
Morfologi:
- Telur kokoh, berdinding halus, berukuran 65-80 x 35-46 µm.
- Panjang cacing jantan 7-13 mm, sedangkan cacing betina 10-15 mm.
- Terdapat lateral alae yang besar di samping tubuh yang meluas ke
posterior.
- Esofagus bagian posterior membentuk bulbus.
- Ekor cacing jantan dilengkapi alae yang besar, menonjol dan sirkuler,
terdapat precloacal sucker dan 12 pasang papillae.
- Spikula pada cacing jantan tidak sama, sebelah kanan langsing panjang
± 2 mm, sedangkan yang kiri mempunyai alae yang lebar dengan
ukuran 0,65-0,7 mm.
- Vulva terbuka ke belakang terletak di pertengahan tubuhnya.
Siklus hidup:
Telur berkembang di luar tubuh dan mencapai stadium infektif (telur
mengandung larva stadium II) dalam waktu 14 hari pada temperature 27 oC. telur
sangat resisten dan mungkin tetap hidup dalam tanah selama beberapa bulan.
Apabila inang menelan telur infektif, dalam waktu 1-2 jam setelah infeksi akan
menetas di intestin. Dalam waktu ± 4 hari, cacing muda berada dekat dengan
sekum dan beberapa luka terjadi di epitel glandula.
14

Larva stadium II memerlukan waktu 2-5 hari di dalam epitel glandula


sebelum berkembang lebih lanjut di lumen. Moulting menjadi larva stadium III
pada hari ke-6 setelah infeksi dan moulting menjadi larva stadium IV pada hari
ke-10 setelah infeksi. Moulting menjadi larva stadium V terjadi pada hari ke-15
setelah infeksi. Periode prepaten 24-30 hari setelah infeksi.
Cacing tanah dapat bertindak sebagai vektor mekanis. Larva stadium II dapat
ditemukan dalam tubuh cacing tanah. Infeksi terjadi apabila unggas menelan
cacing tanah yang mengandung larva stadium II.
Patogenesis:
Dampak infeksi akan tampak jelas pada infeksi yang berat, menyebabkan
mukosa sekum menebal dan hemorrhagi. Kepentingan ekonomis pada infeksi H.
gallinarum terletak pada perannya sebagai karier penularan protozoa Histomonas
meleagridis yang menyebabkan blackhead (enterohepatitis). Protozoa tersebut
tetap hidup di dalam telur H. gallinarum dalam jangka waktu yang panjang.
2. Ascaris suum
Klasifikasi:
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamily : Ascaridoidea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides varietas suum
Habitat : usus halus
Host :babi, domba, sapi, anjing dan manusia
Morfologi:
- Telur bulat, ukuran 50-70 x 40-50 µm, mempunyai lapisan luar dan
lapisan albuminous yang tebal.
- Panjang cacing jantan 15-25 cm, diameter 3 mm.
- Panjang cacing betina sampai 41 cm, diameter 5 mm.
- Kutikula relatif tebal.
- Panjang esofagus ± 6,5 mm dan bentuknya sederhana.
15

- Cacing jantan dilengkapi spikula yang panjangnya 2 mm.


- Lubang vulva membuka pada 1⁄3 bagian tubuh dari anterior, vagina
pendek dan di posteriornya terdapat uterus.
Siklus hidup:
Telur keluar bersama feses, kemudian berkembang hingga mencapai
larva stadium II tanpa menetas. Larva stadium II ini merupakan stadium
infektif yang dapat dicapai dalam waktu ± 10 hari atau tergantung pada
temperatur sekitarnya. Bila kena sinar matahari langsung atau pada keadaan
yang sangat panas, telur akan mati dalam waktu beberapa minggu.
Infeksi dapat terjadi karena inang memakan pakan yang mengandung
telur infektif atau telur infektif yang melekat pada puting susu induknya
tertelan anak babi. Setelah telur termakan, kemudian menetas di dalam usus
halus dan larva menembus dinding usus. Larva kemudian menuju hepar
melalui rongga peritoneum, tetapi sebagian besar melalui aliran darah hepato-
portal.
Larva dapat mencapai liver dalam waktu 24 jam setelah infeksi. Dari
liver, larva akan terbawa aliran darah menuju jantung dan paru-paru, larva
dapat tertahan pada kapiler paru-paru dan sebagian terus mengikuti aliran
darah arteri dan mencapai organ limpa dan ginjal. Sebagian besar larva
mengalami moulting menjadi larva stadium III pada hari ke-4 dan ke-5
setelah infeksi, pada saat ini larva banyak tinggal di dalam liver dan ada yang
di paru-paru.
Larva yang di kapiler paru-paru akan keluar dari kapiler paru-paru
menuju alveoli dan melalui duktus alveolar menuju bronkhioli, kemudian ke
bronchus dan trachea. Kemudian migrasi ke faring dan dapat tertelan. Larva
stadium III akan sampai di usus pada hari ke-7 sampai ke-8 setelah infeksi.
Pada usus halus akan mengalami moulting menjadi larva stadium IV pada
hari ke-14 sampai 24 setelah infeksi dan larva stadium V (cacing muda)
terjadi pada hari ke-21 sampai 29 setelah infeksi. Cacing dewasa terjadi pada
hari ke-50 sampai 55 setelah infeksi dan telur ditemukan pada feses pada hari
ke-60 sampai 62 setelah infeksi.
16

Patogenesis:
Kemungkinan yang terjadi di dalam hepar adalah kerusakan jaringan,
perdarahan terutama di sekitar vena intralobularis yang diikuti oleh infiltrasi
berat eosinophil, kemudian terjadi absorbsi dan regenerasi. Septa
intralobularis dapat mengalami kerusakan sehingga sel-sel hepar antarlobus
saling melekat dan mengandung fibroblast yang berlebihan. Pada keadaan
kronis dapat menyebabkan Hepatitis Interstitial Focal Chronic.
Setelah hewan sembuh, terjadi fibrosis tampak bintik-bintik putih yang
dikenal dengan “Milk Spot Liver” di bawah kapsul hati, fibrosis dapat
menyeluruh jika hepar terserang hebat. Hal ini akan berakibat terjadinya parut
luka yang tetap selama hidup atau bila terjadi regenerasi dari jaringan hati
maka bekas luka dapat hilang, terutama terjadi pada babi dewasa.
Larva yang migrasi ke paru-paru dapat menyebabkan lesi pada jaringan
paru-paru dan menyebabkan perdarahan kecil yang meluas di dalam alveoli
dan bronkhioli yang diikuti oleh penghancuran epitel alveoli. Terjadi juga
edema dan infiltrasi eosinophil dan sel-sel lain di sekitar paru.Pada infeksi
berat oleh larva Ascaris dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan
bronkhioli.
Cacing dewasa di dalam usus halus memakan isi usus dan merusak
mukosa usus. Bila cacing dewasa terdapat dalam jumlah yang besar dan
membentuk anyaman seperti simpul dapat menyebabkan penyumbatan lumen
usus dan mengganggu peristaltik usus. Pada infeksi yang berat dapat
menyebabkan perforasi usus dan dapat mengakibatkan peritonitis. Karena
sifat cacing A. suum yang senang mengembara, maka cacing-cacing yang
migrasi ke dalam lambung akan menyebabkan muntah, juga dapat migrasi ke
saluran empedu sehingga menimbulkan gejala ichterus.
3. Trichostrogylus axei
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Superfamily : Strongyloidea
17

Famili : Trichostrongylus
Genus : Trichostrongylus
Spesies : Trichostrongylus axei
Habitat : abomasum
Host : kambing, domba, sapi, menjangan, babi, kuda, keledai, manusia
Morfologi:
- berukuran kecil, langsing, berwarna coklat kemerahan
- tidak memiliki bukal kapsul
- bursa kopulatrik memiliki lateral rays yang panjang
- dorsal rays tidak begitu nyata
- ventro-lateral rays lebih kecil dari pada ventral rays
- spikula kokoh, kaku dan berwarna coklat, unequal (tidak sama dalam
bentuk dan ukurannya)
- memiliki gubernakulum
- uterus bercabang (amphidelp)
- telur berbentuk oval dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama
feses
Siklus hidup:
Telur keluar bersama feses hospes yang mengandung blastomer (8-32 sel).
Telur akan berubah menjadi larva stadium I, stadium II, dan stadium III
(infektif). larva stadium III dapat terbntuk dalam kondisi yang mendukung
yakni pada suhu 270C serta O2 dan H2O yang cukup. larav ini ada pada
rerumputan. Ketika larva infektif ini termakan inang maka akan mengalami
ekdisis kedua secara lengkap sebelum siklus parasitik dimulai. Moulting
terdiri atas dua fase yaitu stimulus dari inang yang menyebabkan larva
mengeluarkan cairan / sekreta moulting, penghancuran selubung (sheat) oleh
cairan yang terdapat pada sheat kemudian larva keluar. Stimulus oelh inang
karena adanya unionised component bicarbonate, carbon dioxide buffer,
undissociated CO2. Temperatur 370C dan pada pH 7,3. Mekanisme oleh
cairan exseating belum jelas diketahui tetapi diperkirakan enzimatis.
18

Patogenesis:
Larva infektif filariform termakan oleh hospes definitif dan sistem
pencernaan. proses migrasi larva menuju mukosa usus halus menimbulkan
kerusakan pada mukosa usus. Kerusakan mukosa ini berupa adanya ulcer dan
perdaraha, yang mana darh akan terikut bersama feses dan nampak feses
berdarah. Diare berdarah juga dapat terjadi sebagai akibat dari meningkatnya
kontraksi usus karena infestasi cacing Trichostrongylus axei. Lesi yang parah
dapat menyebakan ruptura lesi dan perdarahan hebat.
4. Spirocerca lupi
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Spiruridae
Famili : Spirocercidae
Genus : Spirocerca
Spesies : Spirocerca lupi
Habitat : oesophagus, lambung dan dinding aorta
Host : anjing
Morfologi:
- cacing dewasa berwarna merah terang
- ukuran cacing dewasa 40 mm (jantan) hingga 80 mm (betina)
- telur berdinding tebal dengan larva didalamnya
- ukuran telur 34 µm x 13 µm
Siklus hidup:
Anjing terinfeksi dengan memakan host perantara (biasanya kumbang
kotoran) atau host transport (misalnya ayam, reptil, atau hewan pengerat).
Larva bermigrasi melalui coeliac artery ke thoracic aorta, dimana mereka
biasanya bertahan selama 3 bulan. telur keluar melalui feses 3-6 bulan setelah
infeksi.
Setelah termakan, L3 bertahan di dalam asam lambung anjing selama
beberapa jam dan menembus lapisan serosa dalam 1 atau 2 hari. Larva L3
membutuhkan waktu 1 minggu hingga 10 hari untuk sampai di thoracic aorta
19

melewati coeliac arteries. Setelah berada di dalam aorta, Larva L3 bertahan


selama 3 bukan hingga bermaturasi menjadi L4, sebelum bermigrasi beberapa
bulan setelahnya menuju bagian caudal dari thoracic aorta. Larva L4
bermigrasi ke dalam dinding aorta, yang dapat menyebabkan luka atau
kerusakan yang serius. Migrasi ini dapat mengakibatkan aortic rupture /
aneurysm secara mendadak dan parah (tergantung pada dosis infeksi), atau
dapat asymptomatic. ciri pathognomonic diatas adalah ciri yang paling
konsisten pada spirocercosis.
Setelah melewati fase pergantian kulit, saat L5 (dewasa) mencapai
lapisan submucosa dari oesofagus mereka menjadi dewasa, berkembang biak
dan betina meletakkan telur mikroskopis. Jantan dan betina dapat dibedakan
pada 2 bulan pasca infeksi, tetapi nodul-nodul oesofagus membutuhkan 3-9
bulan untuk berkembang. Betina membuat lubang di bagian mukosa, tetapi
kemudian kembali ke submukosa atau jaringan otot untuk pengembangan
sempurna. tiap harinya hampir 2000 telur/gram feses yang dikeluarkan
melalui interior dari oeasofagus dan menuju ke feses melalui lubang kecil
yang terlihat seperti puting yang memerah pada endoskopi. Umumnya
sebanyak 2000 telur/gram feses/hari dikeluarkan melalui feses, dengan
periode puncak peletakan telur pada 5-7 bulan pasca infeksi. Cacing dewasa
dapat bertahan didalam nodul selama 2 tahun.
Patogenesis:
Infeksi cacing dapat menyebabkan iritasi parah pada oesofagus dan
cacing meresponnya dengan meletakkan telur pada jaringan luka fibrous dan
jaringan yang membengkak (salah satu tipe “pre-fibroma”). meskipun hal
tersebut bukan tumor, prefibroma supuratif, atau fibromata yang berganda;
bentuknya sangat besar (bahkan lebih besar dari buah anggur di beberapa
pasien) dan menyebabkan banyak kerusakan. Pada pasien biasanya terdapat
1-4 granulomata, setiap granulomata terdapat 6-30 cacing. Pada awalnya
jaringan nodul sebenarnya lebih mirip dengan jaringan yang mengalami
abses/fibroma yang memiliki fibrin, cairan, jaringan ikat longgar, dan
necrosis; saat itu menjadi nodul ganas, sel raksasa bertambah dan aktivasi sel
radang menjadi lebih jelas.
20

Spondylitis, tanda khas dari spirocercosis, diperkirakan berasal dari


migrasi menyimpang oleh beberapa larva cacing yang meninggalkan aorta.
Spondylitis sangat spesifik untuk spirocesrcosis. Hal ini bahkan telah diamati
bahwa migrasi intraspinal oleh cacing dapat menyebabkan sindrom yang khas
seperti “acute intervertebral disk”. Dideskripsikan bahwa beberapa jenis
anjing mengalami nekrosis kelenjar ludah diduga dikarenakan oleh vagal
afferent dysfunction (seperti patogenesis dari hypertrophic osteopathy). Dapat
juga mengakibatkan pyothorax, dan S. Lupi diperkirakan sebagai penyebab
yang potensial dari sindrom ini.
5. Fasciola gigantica
Klasifikasi :
Filum : Platyhelmintes
Kelas : Trematoda
Ordo : Echinostomida
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies :Fasciola gigantica
Habitat :Saluran empedu
Host :Kambing, domba, sapi dan ruminansia lain, babi, kuda, anjing,
kucing, kelinci, kanguru, gajah dan manusia
Morfologi :
- Bentuk pipih seperti daun, bagian anterior tubuh lebih besar daripada
posterior.
- Ventral sucker terletak sejajar dengan bahu dan besarnya sama dengan
oral sucker.
- Bersifat hermaphrodite, memiliki panjang 20-30 mm dan lebar 13 mm,
berwarna coklat muda dan transparan.
- Ukuran telur F. gigantica 150-190 x 70-140 mikron, mempunyai satu
operculum di salah satu ujungnya.
- Kutikula dilengkapi dengan duri tajam.
- Testes mempunyai beberapa cbang terletak ditengah.
21

- Ovari berlobi terletak di sebelah kanan garis tengah tubuh, disebelah


anterior testes.
- Uterus terletak di bagian anterior testes.
Siklus hidup :
Telur F. gigantica masuk duodenum bersama-sama cairan empedu dan
keluar bersama feses inang definitive. Pada suhu 26oC dan kelembaban
optimum, telur akan menetas setelah 10-12 hari dan menghasilkan larva
stadium I (miracidium). Miracidium memerlukan siput dari genus Lymnea
untuk perkembangan selanjutnya.Miracidium menembus secara aktif ke dalam
tubuh siput air dengan melepaskan selubung silianya dan berkembang menjadi
sporokista. Setiap sporokista membentuk 5-8 redia dan gumpalan redia yang
terbentuk akan keluar dan berkembang menjadi redia I dengan mempunyai
alat gerak dan juga saluran pencernaan seperti sekum. Di dalam redia terdapat
gumpalan redia yang berbentuk sama dengan redia I, disebut redia anak.
Redia anak akan berkembang menjadi cercaria. Cercaria meninggalkan siput
pada minggu ke-4 sampai ke-7 setelah penularan bila ada rangsangan sinar
dan melalui alat pengeluaran siput tersebut. Dalam waktu 2 menit sampai 2
jam, cercaria menempel pada rumput atau tanaman air, setelah melepaskan
ekor membentuk metacercaria yang infektif. Infeksi terjadi pada inang
definitif apabila memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi
metacercaria.
Setelah kista metacercaria masuk dalam duodenum, maka keluarlah
cacing muda dari kista dan menembus dinding duodenum inang, kemudian
memasuki rongga abdominal dalam waktu 24 jam setelah infeksi. Pada hari
ke-4 sampai ke-6 setelah infeksi, sebagian besar cacing muda sudah
menembus pembungkus hati dan migrasi ke dalam jaringan hati.Beberapa
cacing muda mungkin mencapai hati melalui aliran darah.Migrasi di dalam
parenkim hati terjadi selama 8 minggu.Setelah minggu ke-7, cacing muda
mulai memasuki saluran empedu dan tumbuh menjadi cacing dewasa.Setelah
minggu ke-8 dan seterusnya, telur cacing ditemukan dalam saluran atau cairan
empedu dan dapat juga ditemukan dalam tinja.
Patogenesis :
22

Kejadian infeksi F. gigantica dapat berjalan secara akut sampai kronis,


tergantung pada derajat infeksi cacing pada hepar.Kejadian infeksi yang akut
disebabkan penularan secara tiba-tiba oleh cacing dalam jumlah yang besar
pada hepar inang.Selanjutnya terjadi kerusakan yang hebat pada parenkim hati
yang menyebabkan timbulnya perdarahan dalam cavum peritoneal. Cacing
tersebut akan memakan jaringan dan menghancurkan parenkim hepar. Hewan
penderita dapat mati beberapa hari setelah terlihat gejala klinis dan pada bedah
bangkai akan tampak hati yang membesar, pucat dan rusak, tampak adanya
perdarahan pada permukaan cavum peritoneal, juga kerusakan selubung hati
dan tampak adanya perdarahan pada hepar.
Cacing dewasa akan merusak epitel saluran empedu, sehingga akan
menyebabkan foci-foci nekrotik. Selain itu, juga terjadi pembentukan jaringan
fibrosa yang berlebihan sehingga saluran empedu akan mengalami penebalan.
Pada saluran empedu juga akan terlihat adanya pengapuran, yang selanjutnya
terbentuk cirrhosis hepatis. Selain kerusakan pada saluran empedu, F.
gigantica juga akan mengakibatkan hewan penderita mengalami kekurangan
darah.
23

6. Ascaridia galli
Klasifikasi :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Subuloroida
Famili : Heterakidae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
Habitat : Usus halus
Host : Ayam, kalkun, dan unggas lainnya
Morfologi :
- Panjang cacing dewasa mencapai 2,5 – 10 cm.
- Tubuh bagian posterior cacing jantan mempunyai alae yang kecil dan
dilengkapi dengan 10 pasang papilla yang kecil dan gemuk.
- Bagian mulutnya mempunyai 3 bibir besar.
- Esofagus tidak membentuk bulbus.
- Precoacal sucker berbentuk sirkuler dan diliputi oleh lapisan kutikula
yang tebal.
- Spikula sama panjang berukuran : 1-2,4 cm.
- Vulva terletak pada bagian pertengahan tubuh.
- Bentuk telur oval dengan dinding halus tidak bersegmen
- Ukuran telur : 73-92 x 45-57 mikron.
Siklus hidup :
Telur A. galli yang dikeluarkan bersama feses inang akan berkembang
menjadi stadium infektif dalam waktu ± 10 hari di udara terbuka.
Perkembangan selanjutnya, telur menjadi larva stadium II yang sangat kuat
(resisten) dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Pada stadium II ini, larva
mampu bertahan hidup lebih dari 3 bulan di tempat yang teduh/terlindung,
namun akan segera mati bila keadaan kering dan cuaca panas sekalipun larva
dalam tanah sedalam ± 15 cm.
24

Infeksi dapat terjadi dengan termakannya telur infektif bersama pakan


atau minum, dapat juga melalui cacing tanah yang menelan telur A. galli
kemudian ayam memakan cacing tanah tersebut (penularan secara mekanis).
Telur cacing yang termakan oleh inang akan menetas menjadi larva
stadium III di dalam usus pada hari ke-8 setelah infeksi, kemudian larva hidup
bebas di dalam intestine. Pada hari ke-9 sampai ke-10, larva stadium III akan
menembus mukosa usus kemudian berkembang menjadi larva stadium IV
pada hari ke-14 sampai ke-15 setelah infeksi. Hari ke-17 sampai 18, cacing
muda akan keluar dari mukosa usus menuju lumen intestine dan menjadi
dewasa pada minggu ke-6 sampai ke-8. Sekitar hari ke-100, telur A. galli
sudah dapat ditemukan dalam feses inang.Pada kasus infeksi yang berat, dapat
terjadi larva menembus mukosa usus terlalu dalam dan ikut aliran darah
menuju hepar kemudian ke paru-paru.
Patogenesis :
Telur yang termakan inang akan menetas dan berkembang menjadi larva
stadium III. Selanjutnya larva menembus mukosa intestin.Penetrasi larva ini
dapat mengakibatkan enteritis hemorrhagis dan kerusakan dinding usus,
sedangkan pada ayam muda dapat mengakibatkan anemia, diare, nafsu makan
turun, serta haus yang berlebihan.Ayam muda lebih peka daripada ayam tua
karena mukus intestinum pada ayam tua lebih banyak dibandinga ayam muda
dan pada mukus itulah dibentuk antibodi parasit. Sehingga dengan adanya
peningkatan jumlah mukus pada intestin ayam tua akan menjadi faktor
penghambat perkembangan larva cacing A. galli.
Perkembangan larva stadium III menjadi larva stadium IV berada dalam
mukosa intestin, kemudian larva stadium IV akan menjadi cacing muda dan
keluar dari mukosa menuju lumen berkembang menjadi dewasa. Infeksi yang
hebat dari cacing dewasa A. galli dapat mengakibatkan obstruksi, perforasi
usus dan kematian.
7. Raillietina sp.
Klasifikasi :
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Eucestoda (Cestoda)
25

Ordo : Davaineidea
Famili : Davaineidae
Genus : Raillietina
Spesies : Raillietina tetragona
Habitat : Usus halus
Host : Ayam, burung merpati, dan unggas lainnya
Inang Perantara :
- R. tetragona :Musca domestica, semut genus Tetramorium dan Pheidole.
26

Morfologi :
- Panjang cacing dewasa mencapai 25 cm
- Telur dikeluarkan dalam bentuk egg capsule, dibentuk pada uterus atau
dalam organ par uterin.
- Terdapat 2 sucker berbentuk oval dan pada sucker dilengkapi dengan kait-
kait kecil.
Siklus hidup :
Segmen yang matur dikeluarkan bersama feses dan telur menetas setelah
tertelan oleh inang perantara, di mana embrio berkembang menjadi
sistiserkoid ± 3 minggu selama musim panas.Unggas terinfeksi karena
memakan inang perantara yang terinfeksi.Cacing dewasa dapat dicapai ± 14
hari. Onkosfer dapat tahan hidup ± 5 hari pada lingkungan yang lembab, tetapi
pada keadaan lingkungan yang kering dan beku akan cepat mati.
Patogenesis :
Cacing ini mengadakan penetrasi yang cukup dalam pada mukosa dan
menyebabkan enteritis dan sering menyebabkan perdarahan pada infeksi
berat. Cacing muda mengadakan penetrasi dengan ujung anterior cukup
dalam pada mukosa dan sub mukosa duodenum sehingga menyebabkan
bentukan nodul-nodul yang dapat dibedakan dengan nodul Tuberculosis.
Nodul dari cacing ini dapat dilihat pada permukaan peritonial dan
mengandung jaringan nekrotik dan leukosit.
Selama stadium awal, cacing muda dapat ditemukan menggantung di dalam
lumen usus halus.Cacing dewasa dapat ditemukan di bagian posterior usus
halus.
8. Capillaria sp.
Klasifikasi :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Adenophorea
Ordo : Spirurida
Superfamili : Trichuroidea
Famili : Capillariidae
27

Genus : Capillaria
Spesies : Capillaria columbae
Capillaria obsignata
Habitat : Usus halus
Host : Ayam, burung merpati, kalkun, dan beberapa burung liar
Morfologi :
- Telur berjajar (barrel-shaped) di uterus cacing betina
- Tubuh kecil dan langsing
- Bagian posterior tubuh tidak begitu jelas perbedaannya dengan bagian
anterior.
28

Siklus hidup :
Telur cacing dikeluarkan bersama tinja inang, pada kondisi lingkungan
yang optimum dalam waktu 12-36 jam akan menetas menjadi larva stadium
pertama. Kemudian dalam waktu ± 1 minggu larva stadium 3 (infektif)
terbentuk. Penularan pada inang yang lain dapat dengan bermacam-macam
cara, yaitu: per oral, per cutan, prenatal dan juga dapat secara colostral atau
lactogenic infection.
Patogenesis :
Gejala klinis dari infeksi A. caninum antara lain: anemia hidremia,
kadang-kadang udema, kelemahan dan kekurusan, pada keadaan penyakit
yang lebih lanjut terjadi eosinofilia. Anemia dapat terjadi berhubungan
dengan hilangnya darah pada proses penghisapan darah oleh cacing. Darah
yang hilang rata-rata ± 0,8 ml/ekor/hari. Permulaan hilangnya darah kira-kira
hari ke-4 setelah infeksi bersamaan dengan moulting ke-4 dan perkembangan
buccal capsul.Puncak hilangnya darah terjadi pada hari ke 10-15 setelah
infeksi dan juga pada hari ke-20 setelah infeksi, yaitu saat dikeluarkannya
telur cacing.
9. Ancylostoma caninum
Klasifikasi :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Superfamili : Ancylostomatoidea
Famili : Ancylostomatidae
Subfamili : Ancylostominae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma caninum
Habitat : Usus halus
Host : Anjing, serigala, rubah, kucing, karnivora liar, dan kadang
manusia
Morfologi :
- Panjang cacing jantan 10-12 mm, betina 14-16 mm.
29

- Cacing ini tampak kaku, berwarna abu-abu atau kemerahan, tergantung


ada tidaknya darah dalam saluran pencernaan.
- Bagian anterior membuka ke dorsal dan oral aperture mengarah ke
anterodorsal. Bukal kapsul dalam, tidak ada dorsal cone, pada dasarnya
terdapat sepasang gigi dorsal yang berbentuk segitiga dan sepasang gigi
ventro lateral.
- Bursa kopulatrik berkembang dengan baik, mempunyai spikula yang
panjangnya 0,8-0,95 mm.
- Vulva terletak pada 2/5 bagian tubuh dari anterior.
- Ukuran telur 56-75 x 34-47 mikron, dan berisi ± 8 sel ketika keluar
bersama feses.
30

Siklus hidup :
Telur cacing dikeluarkan bersama tinja inang, pada kondisi lingkungan
yang optimum dalam waktu 12-36 jam akan menetas menjadi larva stadium
pertama. Kemudian dalam waktu ± 1 minggu larva stadium 3 (infektif)
terbentuk. Penularan pada inang yang lain dapat dengan bermacam-macam
cara, yaitu: per oral, per cutan, prenatal dan juga dapat secara colostral atau
lactogenic infection.
Di dalam tubuh inang, larva mencari pembuluh darah dan mengikuti
aliran darah melalui jantung menuju paru-paru.Sebagian besar larva tertinggal
di dalam kapiler paru-paru → alveoli → laring → faring, kemudian
dibatukkan dan kembali ke usus halus.Beberapa larva yang dapat mencapai
peredaran darah sistemik melalui kapiler paru-paru menuju berbagai organ
yang menyebabkan perdarahan kecil-kecil dan kemudian mati.
Pada hewan bunting, larva dapat mencapai fetus (prenatal
infection).Pada anak anjing, larva diam tidak berkembang sampai lahir dan
berkembang sampai stadium dewasa.Pada infeksi per oral, larva migrasi
menuju paru-paru, tetapi sering mengadakan penetrasi ke dalam dinding
lambung atau dinding usus dan tinggal selama beberapa hari sebelum kembali
ke lumen usus. Cacing mencapai stadium dewasa pada inang dalam waktu
14-20 hari.Pada infeksi prenatal, periode prepaten ± 13 hari.
Patogenesis :
Gejala klinis dari infeksi A. caninum antara lain: anemia hidremia,
kadang-kadang udema, kelemahan dan kekurusan, pada keadaan penyakit
yang lebih lanjut terjadi eosinofilia. Anemia dapat terjadi berhubungan
dengan hilangnya darah pada proses penghisapan darah oleh cacing. Darah
yang hilang rata-rata ± 0,8 ml/ekor/hari. Permulaan hilangnya darah kira-kira
hari ke-4 setelah infeksi bersamaan dengan moulting ke-4 dan perkembangan
buccal capsul.Puncak hilangnya darah terjadi pada hari ke 10-15 setelah
infeksi dan juga pada hari ke-20 setelah infeksi, yaitu saat dikeluarkannya
telur cacing.Anak anjing yang mengalami penularan prenatal maupun
kolostral dapat mengalami anemia yang parah sehingga menyebabkan
kematian dalam waktu 3 minggu setelah dilahirkan. Semua anak anjing yang
31

baru dilahirkan tampak menderita bila tertular A. caninum karena persediaan


zat besi (Fe) dalam tubuhnya terbatas dan air susu yang diperoleh juga
merupakan makanan yang hanya mengandung sedikit Fe.
Diare tampak pada hari ke-4 setelah infeksi, yaitu ketika larva stadium
IV mencapai usus dan pada hari ke-8 setelah infeksi tampak diare bercampur
darah dan cairan mukus. Akibat penularan per-kutan, terjadi lesi-lesi pada
kulit, terutama pada kaki.Lesi dapat berupa eksema basah sampai
ulserasi.Kadang-kadang infeksi sangat berat menyebabkan kelainan pada
paru-paru pada hari ke-1 sampai ke-5 setelah infeksi.
10. Moniezia sp.
Klasifikasi :
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Eucestoda (Cestoda)
Ordo : Anoplocephalidea
Famili : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia
Spesies : Moniezia sp.
Habitat : Usus halus
Host : Domba, kambing, sapi serta ruminansia lain
Inang perantara :Tungau genus Galumna, Oribatula, Peloribates,
Protoscheloribates, Scheloribates, Scutovertex, Zygoribatula.
Morfologi :
- Sucker prominen/menonjol
- Segmen lebih lebar dari pada panjang, dan tiap-tiap segmen mengandung
2 alat genital organ
- Ovarium dan vitelin gland berbentuk cincin pada kedua sisi
- Testes tersebar di bagian sentral atau berkumpul di bagian kedua sisi
- Tepi posterior tiap-tiap proglotid terdapat satu deret Interproglotidal
glands tersusun seperti cincin-cincin kecil (Moniezia expansa) atau
Interproglotidal glands tersusun pendek dan berderet rapat pada bagian
tengah segmen (Moniezia benedini)
32

- Telur berbentuk segitiga mengandung pyriform apparatus yang tumbuh


baik dan berukuran 56-67 mikron diameternya.
Siklus hidup :
Sistiserkoid berkembang di dalam Oribatedmitesdari genus Galumna,
Peloribates, Protoscheloribates, Scheloribates, Scutovertex dan Zygoribatula.
Telur cacing dikeluarkan bersama tinja inang definitif satu persatu atau
berkelompok dalam segmen yang terlihat seperti butiran beras. Bila segmen
dimakan oleh Familia Oribatidae maka dinding segmen akan sobek dan
seluruh telur akan termakan oleh mites, selanjutnya onkosfer akan tumbuh
membesar dan dalam 15 minggu menjadi bentuk sistiserkoid. Suhu dan
kondisi lingkungan sangat mempengaruhi proses perkembangan telur. Misal :
pada suhu 6ºC perlu waktu 7 bulan untuk mencapai bentuk sistiserkoid,
sedangkan pada suhu 26º-28ºC perlu waktu 3-4 bulan. Kambing,domba dan
sapi akan terinfeksi bila memakan mites yang mengandung sistiserkoid yang
infektif, biasanya bersama rumput.
Patogenesis :
Pada umumnya anak kambing, domba, dan sapi di bawah umur 6 bulan
paling sering terinfeksi. Infeksi yang hebat pada kambing dan domba
berhubungan erat dengan jumlah oribated mites yang ada di padang rumput.
Bila penggembalaan dilakukan pada padang rumput yang sama atau tetap
maka jumlah mites akan banyak sekali baik pada rumput maupun tanah.
Mitesini mempunyai kebiasaan pada malam hari/senja naik ke ujung rumput
atau bagian rumput yang gelap dan pada siang hari bersembunyi di dasar
rumput yang tidak tercapai oleh sinar arau di permukaan tanah (bersifat
fototrpisme negative). Cacing muda maupun dewasa dapat menimbulkan
iritasi pada usus sehingga menyebabkan gangguan pencernaan pada usus.
Bentuk akut dapat terjadi intoksikasi akibat dari racun yang dihasilkan
(diekskresi) oleh cacing dewasa.Pada infeksi ringan menyebabkan gangguan
pencernaan dan pertumbuhan lambat.Gejala klinis pada umumnya tidak jelas
dan biasanya terihat kelemahan dan kekurusan. Pada infeksi yang berat bisa
menimbulkan anemia, diare profus, pertumbuhan lambat, kekurusan,
kelemahan dan bisa bersifat fatal terutama sering terjadi pada anak sapi.

Anda mungkin juga menyukai