BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Prevalensi penyakit helminthiasis di Indonesia tergolong cukup tinggi
sehingga penyakit hal ini menjadi fokus dalam dunia veteriner terutama pada
hewan ternak yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tingginya penyakit
helminthiasis berkaitan dengan iklim tropis Indonesia, kelembaban yang tinggi
memberikan lingkungan yang mendukung bagi cacing.
Bidang kedokteran hewan secara spesifik mempelajari tentang
parasitologi, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang parasit. Parasit
adalah organisme yang hidup pada organisme lain dan atas beban organisme yang
ditumpanginya yang disebut sebagai inang (host). Parasit dalam arti luas dapat
berupa kapang/jamur, virus, bakteri/kuman, protozoa, cacing (helminth), atau
arthropoda, serta semua organisme yang merugikan inangnya.
Kontrol terhadap penyakit helminthiasis sangat perlu dilakukan
mengingat manusia adalah satu inang definitif dari suatu species cacing. Dokter
hewan dengan motto “Manusia Mriga Satwa Sewaka” juga harus menjaga
kesehatan manusia melalui kesehatan hewan untuk menciptakan One World One
Health. Menjaga kesehatan manusia melalui hewan dapat diwujudkan melalui
pengadaan bahan pangan asal hewan yang sehat, sebagai contoh daging babi yang
bebas dari hydatic cyst.
Pengetahuan tentang klasifikasi, morfologi, fisiologi dan siklus hidupnya
sangat penting dalam memahami patogenesis, penularan, penyebaran, pengobatan
penyakit, serta pencegahannya. Usaha pencegahan penyakit helminth dapat
dilakukan dengan memutus siklus hidup parasit tersebut dengan melakukan
kontrol terhadap vektor terutama pada saat siklus hidupnya berada pada titik
2
1.2. Tujuan
1.2.1. Mengidentifikasi jenis telur cacing pada pemeriksaan berbagai sampel
feses
1.2.2. Mengidentifikasi jenis cacing dewasa yang didapatkan dari bedah
saluran pencernaan hewan
1.2.3. Menentukan diagnosa serta tindakan penanganan terhadap adanya
infeksi parasit cacing.
3
BAB II
MATERI DAN METODE
2.2. Cara Kerja Pemeriksaan Sampel Tinja Dengan Metode Natif, Metode
Sedimentasi, Metode Apung
A. Tujuan :
- Untuk menemukan telur atau larva helminth pada sampel feses
- Untuk membedakan telur atau larva spesies cacing yang terdapat pada
feses beberapa hewan
B. Cara Kerja :
1) Metode Natif
- Mengoleskan feses secukupnya pada object glass steril dengan lidi
atau ujung glass pengaduk yang kecil
4
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN
Telur
Feses
Pegirian - + + Trichostrongylus
Kamis, domba 1
spp.
1
13-04-2017 Feses RSH Telur Spiroserca
+ + +
anjing FKH UA lupi
Feses
Jombang + + + Telur Raillietina sp.
Senin, ayam 1
2.
17-04-2017 Feses Telur Capillaria
Jombang + + +
ayam 1 annulota
Feses
Pegirian + + + Telur Fasciola sp.
sapi
Feses
Pegirian + + + Telur Ascaris suum
Selasa, babi 3
3.
18-04-2017 Feses
Pegirian + + + Telur Trichoris sp.
babi 5
8
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Heterakis gallinarum
Klasifikasi:
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Phasmidia
Ordo : Ascarididea
Superfamili : Subuluroidea
Famili : Heterakidae
Genus : Heterakis
Spesies : Heterakis gallinarum
Habitat : sekum
Host :ayam kalkun, itik, angsa dan sejumlah burung lainnya
Morfologi:
- Telur kokoh, berdinding halus, berukuran 65-80 x 35-46 µm.
- Panjang cacing jantan 7-13 mm, sedangkan cacing betina 10-15 mm.
- Terdapat lateral alae yang besar di samping tubuh yang meluas ke
posterior.
- Esofagus bagian posterior membentuk bulbus.
- Ekor cacing jantan dilengkapi alae yang besar, menonjol dan sirkuler,
terdapat precloacal sucker dan 12 pasang papillae.
- Spikula pada cacing jantan tidak sama, sebelah kanan langsing panjang
± 2 mm, sedangkan yang kiri mempunyai alae yang lebar dengan
ukuran 0,65-0,7 mm.
- Vulva terbuka ke belakang terletak di pertengahan tubuhnya.
Siklus hidup:
Telur berkembang di luar tubuh dan mencapai stadium infektif (telur
mengandung larva stadium II) dalam waktu 14 hari pada temperature 27 oC. telur
sangat resisten dan mungkin tetap hidup dalam tanah selama beberapa bulan.
Apabila inang menelan telur infektif, dalam waktu 1-2 jam setelah infeksi akan
menetas di intestin. Dalam waktu ± 4 hari, cacing muda berada dekat dengan
sekum dan beberapa luka terjadi di epitel glandula.
14
Patogenesis:
Kemungkinan yang terjadi di dalam hepar adalah kerusakan jaringan,
perdarahan terutama di sekitar vena intralobularis yang diikuti oleh infiltrasi
berat eosinophil, kemudian terjadi absorbsi dan regenerasi. Septa
intralobularis dapat mengalami kerusakan sehingga sel-sel hepar antarlobus
saling melekat dan mengandung fibroblast yang berlebihan. Pada keadaan
kronis dapat menyebabkan Hepatitis Interstitial Focal Chronic.
Setelah hewan sembuh, terjadi fibrosis tampak bintik-bintik putih yang
dikenal dengan “Milk Spot Liver” di bawah kapsul hati, fibrosis dapat
menyeluruh jika hepar terserang hebat. Hal ini akan berakibat terjadinya parut
luka yang tetap selama hidup atau bila terjadi regenerasi dari jaringan hati
maka bekas luka dapat hilang, terutama terjadi pada babi dewasa.
Larva yang migrasi ke paru-paru dapat menyebabkan lesi pada jaringan
paru-paru dan menyebabkan perdarahan kecil yang meluas di dalam alveoli
dan bronkhioli yang diikuti oleh penghancuran epitel alveoli. Terjadi juga
edema dan infiltrasi eosinophil dan sel-sel lain di sekitar paru.Pada infeksi
berat oleh larva Ascaris dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan
bronkhioli.
Cacing dewasa di dalam usus halus memakan isi usus dan merusak
mukosa usus. Bila cacing dewasa terdapat dalam jumlah yang besar dan
membentuk anyaman seperti simpul dapat menyebabkan penyumbatan lumen
usus dan mengganggu peristaltik usus. Pada infeksi yang berat dapat
menyebabkan perforasi usus dan dapat mengakibatkan peritonitis. Karena
sifat cacing A. suum yang senang mengembara, maka cacing-cacing yang
migrasi ke dalam lambung akan menyebabkan muntah, juga dapat migrasi ke
saluran empedu sehingga menimbulkan gejala ichterus.
3. Trichostrogylus axei
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Superfamily : Strongyloidea
17
Famili : Trichostrongylus
Genus : Trichostrongylus
Spesies : Trichostrongylus axei
Habitat : abomasum
Host : kambing, domba, sapi, menjangan, babi, kuda, keledai, manusia
Morfologi:
- berukuran kecil, langsing, berwarna coklat kemerahan
- tidak memiliki bukal kapsul
- bursa kopulatrik memiliki lateral rays yang panjang
- dorsal rays tidak begitu nyata
- ventro-lateral rays lebih kecil dari pada ventral rays
- spikula kokoh, kaku dan berwarna coklat, unequal (tidak sama dalam
bentuk dan ukurannya)
- memiliki gubernakulum
- uterus bercabang (amphidelp)
- telur berbentuk oval dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama
feses
Siklus hidup:
Telur keluar bersama feses hospes yang mengandung blastomer (8-32 sel).
Telur akan berubah menjadi larva stadium I, stadium II, dan stadium III
(infektif). larva stadium III dapat terbntuk dalam kondisi yang mendukung
yakni pada suhu 270C serta O2 dan H2O yang cukup. larav ini ada pada
rerumputan. Ketika larva infektif ini termakan inang maka akan mengalami
ekdisis kedua secara lengkap sebelum siklus parasitik dimulai. Moulting
terdiri atas dua fase yaitu stimulus dari inang yang menyebabkan larva
mengeluarkan cairan / sekreta moulting, penghancuran selubung (sheat) oleh
cairan yang terdapat pada sheat kemudian larva keluar. Stimulus oelh inang
karena adanya unionised component bicarbonate, carbon dioxide buffer,
undissociated CO2. Temperatur 370C dan pada pH 7,3. Mekanisme oleh
cairan exseating belum jelas diketahui tetapi diperkirakan enzimatis.
18
Patogenesis:
Larva infektif filariform termakan oleh hospes definitif dan sistem
pencernaan. proses migrasi larva menuju mukosa usus halus menimbulkan
kerusakan pada mukosa usus. Kerusakan mukosa ini berupa adanya ulcer dan
perdaraha, yang mana darh akan terikut bersama feses dan nampak feses
berdarah. Diare berdarah juga dapat terjadi sebagai akibat dari meningkatnya
kontraksi usus karena infestasi cacing Trichostrongylus axei. Lesi yang parah
dapat menyebakan ruptura lesi dan perdarahan hebat.
4. Spirocerca lupi
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Spiruridae
Famili : Spirocercidae
Genus : Spirocerca
Spesies : Spirocerca lupi
Habitat : oesophagus, lambung dan dinding aorta
Host : anjing
Morfologi:
- cacing dewasa berwarna merah terang
- ukuran cacing dewasa 40 mm (jantan) hingga 80 mm (betina)
- telur berdinding tebal dengan larva didalamnya
- ukuran telur 34 µm x 13 µm
Siklus hidup:
Anjing terinfeksi dengan memakan host perantara (biasanya kumbang
kotoran) atau host transport (misalnya ayam, reptil, atau hewan pengerat).
Larva bermigrasi melalui coeliac artery ke thoracic aorta, dimana mereka
biasanya bertahan selama 3 bulan. telur keluar melalui feses 3-6 bulan setelah
infeksi.
Setelah termakan, L3 bertahan di dalam asam lambung anjing selama
beberapa jam dan menembus lapisan serosa dalam 1 atau 2 hari. Larva L3
membutuhkan waktu 1 minggu hingga 10 hari untuk sampai di thoracic aorta
19
6. Ascaridia galli
Klasifikasi :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Superfamili : Subuloroida
Famili : Heterakidae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
Habitat : Usus halus
Host : Ayam, kalkun, dan unggas lainnya
Morfologi :
- Panjang cacing dewasa mencapai 2,5 – 10 cm.
- Tubuh bagian posterior cacing jantan mempunyai alae yang kecil dan
dilengkapi dengan 10 pasang papilla yang kecil dan gemuk.
- Bagian mulutnya mempunyai 3 bibir besar.
- Esofagus tidak membentuk bulbus.
- Precoacal sucker berbentuk sirkuler dan diliputi oleh lapisan kutikula
yang tebal.
- Spikula sama panjang berukuran : 1-2,4 cm.
- Vulva terletak pada bagian pertengahan tubuh.
- Bentuk telur oval dengan dinding halus tidak bersegmen
- Ukuran telur : 73-92 x 45-57 mikron.
Siklus hidup :
Telur A. galli yang dikeluarkan bersama feses inang akan berkembang
menjadi stadium infektif dalam waktu ± 10 hari di udara terbuka.
Perkembangan selanjutnya, telur menjadi larva stadium II yang sangat kuat
(resisten) dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Pada stadium II ini, larva
mampu bertahan hidup lebih dari 3 bulan di tempat yang teduh/terlindung,
namun akan segera mati bila keadaan kering dan cuaca panas sekalipun larva
dalam tanah sedalam ± 15 cm.
24
Ordo : Davaineidea
Famili : Davaineidae
Genus : Raillietina
Spesies : Raillietina tetragona
Habitat : Usus halus
Host : Ayam, burung merpati, dan unggas lainnya
Inang Perantara :
- R. tetragona :Musca domestica, semut genus Tetramorium dan Pheidole.
26
Morfologi :
- Panjang cacing dewasa mencapai 25 cm
- Telur dikeluarkan dalam bentuk egg capsule, dibentuk pada uterus atau
dalam organ par uterin.
- Terdapat 2 sucker berbentuk oval dan pada sucker dilengkapi dengan kait-
kait kecil.
Siklus hidup :
Segmen yang matur dikeluarkan bersama feses dan telur menetas setelah
tertelan oleh inang perantara, di mana embrio berkembang menjadi
sistiserkoid ± 3 minggu selama musim panas.Unggas terinfeksi karena
memakan inang perantara yang terinfeksi.Cacing dewasa dapat dicapai ± 14
hari. Onkosfer dapat tahan hidup ± 5 hari pada lingkungan yang lembab, tetapi
pada keadaan lingkungan yang kering dan beku akan cepat mati.
Patogenesis :
Cacing ini mengadakan penetrasi yang cukup dalam pada mukosa dan
menyebabkan enteritis dan sering menyebabkan perdarahan pada infeksi
berat. Cacing muda mengadakan penetrasi dengan ujung anterior cukup
dalam pada mukosa dan sub mukosa duodenum sehingga menyebabkan
bentukan nodul-nodul yang dapat dibedakan dengan nodul Tuberculosis.
Nodul dari cacing ini dapat dilihat pada permukaan peritonial dan
mengandung jaringan nekrotik dan leukosit.
Selama stadium awal, cacing muda dapat ditemukan menggantung di dalam
lumen usus halus.Cacing dewasa dapat ditemukan di bagian posterior usus
halus.
8. Capillaria sp.
Klasifikasi :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Adenophorea
Ordo : Spirurida
Superfamili : Trichuroidea
Famili : Capillariidae
27
Genus : Capillaria
Spesies : Capillaria columbae
Capillaria obsignata
Habitat : Usus halus
Host : Ayam, burung merpati, kalkun, dan beberapa burung liar
Morfologi :
- Telur berjajar (barrel-shaped) di uterus cacing betina
- Tubuh kecil dan langsing
- Bagian posterior tubuh tidak begitu jelas perbedaannya dengan bagian
anterior.
28
Siklus hidup :
Telur cacing dikeluarkan bersama tinja inang, pada kondisi lingkungan
yang optimum dalam waktu 12-36 jam akan menetas menjadi larva stadium
pertama. Kemudian dalam waktu ± 1 minggu larva stadium 3 (infektif)
terbentuk. Penularan pada inang yang lain dapat dengan bermacam-macam
cara, yaitu: per oral, per cutan, prenatal dan juga dapat secara colostral atau
lactogenic infection.
Patogenesis :
Gejala klinis dari infeksi A. caninum antara lain: anemia hidremia,
kadang-kadang udema, kelemahan dan kekurusan, pada keadaan penyakit
yang lebih lanjut terjadi eosinofilia. Anemia dapat terjadi berhubungan
dengan hilangnya darah pada proses penghisapan darah oleh cacing. Darah
yang hilang rata-rata ± 0,8 ml/ekor/hari. Permulaan hilangnya darah kira-kira
hari ke-4 setelah infeksi bersamaan dengan moulting ke-4 dan perkembangan
buccal capsul.Puncak hilangnya darah terjadi pada hari ke 10-15 setelah
infeksi dan juga pada hari ke-20 setelah infeksi, yaitu saat dikeluarkannya
telur cacing.
9. Ancylostoma caninum
Klasifikasi :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Superfamili : Ancylostomatoidea
Famili : Ancylostomatidae
Subfamili : Ancylostominae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma caninum
Habitat : Usus halus
Host : Anjing, serigala, rubah, kucing, karnivora liar, dan kadang
manusia
Morfologi :
- Panjang cacing jantan 10-12 mm, betina 14-16 mm.
29
Siklus hidup :
Telur cacing dikeluarkan bersama tinja inang, pada kondisi lingkungan
yang optimum dalam waktu 12-36 jam akan menetas menjadi larva stadium
pertama. Kemudian dalam waktu ± 1 minggu larva stadium 3 (infektif)
terbentuk. Penularan pada inang yang lain dapat dengan bermacam-macam
cara, yaitu: per oral, per cutan, prenatal dan juga dapat secara colostral atau
lactogenic infection.
Di dalam tubuh inang, larva mencari pembuluh darah dan mengikuti
aliran darah melalui jantung menuju paru-paru.Sebagian besar larva tertinggal
di dalam kapiler paru-paru → alveoli → laring → faring, kemudian
dibatukkan dan kembali ke usus halus.Beberapa larva yang dapat mencapai
peredaran darah sistemik melalui kapiler paru-paru menuju berbagai organ
yang menyebabkan perdarahan kecil-kecil dan kemudian mati.
Pada hewan bunting, larva dapat mencapai fetus (prenatal
infection).Pada anak anjing, larva diam tidak berkembang sampai lahir dan
berkembang sampai stadium dewasa.Pada infeksi per oral, larva migrasi
menuju paru-paru, tetapi sering mengadakan penetrasi ke dalam dinding
lambung atau dinding usus dan tinggal selama beberapa hari sebelum kembali
ke lumen usus. Cacing mencapai stadium dewasa pada inang dalam waktu
14-20 hari.Pada infeksi prenatal, periode prepaten ± 13 hari.
Patogenesis :
Gejala klinis dari infeksi A. caninum antara lain: anemia hidremia,
kadang-kadang udema, kelemahan dan kekurusan, pada keadaan penyakit
yang lebih lanjut terjadi eosinofilia. Anemia dapat terjadi berhubungan
dengan hilangnya darah pada proses penghisapan darah oleh cacing. Darah
yang hilang rata-rata ± 0,8 ml/ekor/hari. Permulaan hilangnya darah kira-kira
hari ke-4 setelah infeksi bersamaan dengan moulting ke-4 dan perkembangan
buccal capsul.Puncak hilangnya darah terjadi pada hari ke 10-15 setelah
infeksi dan juga pada hari ke-20 setelah infeksi, yaitu saat dikeluarkannya
telur cacing.Anak anjing yang mengalami penularan prenatal maupun
kolostral dapat mengalami anemia yang parah sehingga menyebabkan
kematian dalam waktu 3 minggu setelah dilahirkan. Semua anak anjing yang
31