Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK

PARASITOLOGI
IDENTIFIKASI ENDOPARASIT DARAH DAN FESES PADA ANJING
SERTA KUCING

Oleh:
Jeffrey Matheus Manurung S.KH B94134331
Noorsyakilah Binti Mohamud S.KH

B94134340

Di bawah bimbingan:
Dr. drh. Upik Kesumawati M.Si
Dr. drh. Yusuf Ridwan M.Si

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki potensi
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Keanekaragaman tersebut dapat
terlihat dari beraneka ragamnya spesies hewan yang dapat ditemukan di wilayah
Indonesia. Keanekaragaman spesies tersebut, terutama hewan tidak luput dari
berbagai serangan penyakit. Salah satunya adalah penyakit yang diakibatkan oleh
infestasi parasit.
`Parasit adalah organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lain
sebagai inang dan menggunakan inang tersebut sebagai sumber makanan, bisa
berada selamanya atau hanya sementara (Hadi & Soviana 2010). Berdasarkan
lokasinya, parasit dibedakan menjadi endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit
adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inangnya meliputi berbagai jenis cacing
dan protozoa. Parasit dapat berpindah-pindah melalui vektor berupa arthropoda
atau invertebrata lain. Kebanyakan infeksi parasit dapat membahayakan jika
jumlahnya meningkat pada tubuh (Ashadi 1994).
Inang dibedakan menjadi inang antara dan inang definitif. Inang antara
adalah inang sementara yang digunakan oleh parasit untuk melangsungkan
sebagian daur hidupnya. Inang definitif adalah inang akhir parasit untuk
menyelesaikan daur hidupnya dan mengambil nutrisi dari inang tersebut.
Keberadaan parasit akan merugikan hewan peliharaan terutama apabila
keberadaan sangat banyak. Beberapa kerugian yang dapat ditimbulkan antara lain
penurunan berat badan, penurunan nilai estetika dan bahaya penularan pada
manusia.
Jenis parasit yang akan dibahas dalam laporan ini adalah mengenai
endoparasit yang ditemukan pada hewan-hewan yang diperiksa. Keberadaan dan
siklus hidup entoparasit tidak luput dari hewan yang menjadi inangnya.
Parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan
makanan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran parasit dalam tubuh inang
dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar atau lingkungan
meliputi habitat dan lingkungan inang, serta kesediaan makanan yang cukup bagi
inang untuk menunjang kehidupan parasit. Faktor dari dalam meliputi kondisi
tubuh tempat parasit bermukim, yaitu saat berada pada organ tubuh sehingga
pengetahuan tentang habitat parasit pada tubuh hospes serta daerah
penyebarannya akan sangat membantu diagnosis.
Tujuan
Tujuan kegiatan ini ialah untuk melatih mahasiswa PPDH dalam
melakukan teknik diagnostik parasit dari koleksi sampel endoparasit, pembuatan
preparat, serta dapat melakukan identifikasi entoparasit pada hewan yang terdapat
di lingkungan sekitar sehingga dapat mengupayakan cara pengendalian yang
tepat.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 2014 sampai 6 Januari
2015. Sampel darah dan feses diperoleh dari RSH IPB dan Gerbang Mas
Laladon. Pengujian feses dan darah dilakukan di Laboratorium Endoparasit,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu darah, feses, formalin 2%, larutan pengapung,
air akuadest, giemsa, methanol, alkohol, dan methylen blue. Alat yang digunakan
yaitu kapas, syringe, coolbox, tabung EDTA, gelas objek, sentrifuse, cover glass,
tusuk gigi, gelas Baerman, gelas, sendok, timbangan, gelas ukur, pipet tetes,
kamar hitung McMaster, dan mikroskop, saringan, saringan bertingkat, mortar,
tempat pemupukan feses, dan hematochrit tube.
Koleksi Sampel Darah
Pengambilan darah pada anjing dan kucing diambil pada vena cephalica
antebrachii anterior. Letak pengambilan darah terlebih dahulu diolesi dengan
kapas alkohol, selanjutnya darah diambil sebanyak kurang lebih 3 mL dari
masing-masing hewan menggunakan syringe. Darah yang telah diambil
dimasukkan dalam tabung EDTA dan disimpan dalam coolbox untuk dibuat
preparat ulas darah. Pengambilan sampel untuk diagnosa penyakit khusus
memerlukan waktu yang tepat juga, misalnya dalam pemeriksaan microfilaria
parasit Dirofilaria pada anjing pengambilan darah pada pukul 22.00-02.00.
Pembuatan Preparat Ulas Darah
Darah diteteskan di atas gelas objek untuk dibuat preparat ulas darah
kemudian dikeringkan selama 1-2 menit. Preparat tersebut difiksasi menggunakan
methanol selama 3 menit dan dikeringkan beberapa saat. Preparat yang sudah
kering direndam dengan pewarna Giemsa 10% dan didiamkan selama 15 menit.
Setelah itu dibilas dengan aquades atau air mengalir dan didiamkan hingga kering.
Preparat diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 100 menggunakan
minyak imersi.
Metode Modified Knott Test
Pemeriksaan microfilaria dapat dilakukan dengan metode Modified Knott
Test. Darah dimasukkan dalam tabung EDTA sebanyak 1 ml dan ditambah
formalin 2 % sebanyak 9 ml, kemudian campuran dihomogenkan. Campuran
disentrifugasi dengan kecepatan 500 rpm selama 20 menit. Kemudian cairan
supernatant dibuang dan sedimen diamati menggunakan mikroskop dengan
penambahan setetes methylen blue menggunakan perbesaran 40x10.

Metode Hematocrite Centrifudge Tube


Pemeriksaan microfilaria juga dapat dilakukan dengan metode ini dengan
memasukkan sampel darah ke dalam microhematocrit tube. Kemudian
disentrifuse selama 3 menit. Plasma di atas buffy coat diambil dan dilihat di
bawah mikroskop.
Metode Rapid Test Kit
Prinsip Rapid Heartworm Ag Test Kit 2.0 adalah immmunoassay chromatographic
untuk mendeteksi secara kualitatif antigen Dirofilaria immitis pada anjing dalam
serum, plasma ataupun darah anjing. Kit ini memiliki simbol T (Test line) dan
C (Control line). Hasil yang positif menunjukkan garis merah pada T
sedangkan hasil negatif akan menunjukkan garis merah pada C.
Koleksi Sampel Feses
Sampel Feses diperoleh dengan cara mengambil langsung Feses segar dari
kandang ataupun mengambil dari rektum hewan menggunakan jari (pada domba)
dan termometer (pada kucing dan anjing). Sampel yang didapat dimasukkan ke
kantong plastik transparan dan diberi identitas jenis hewan, tempat dan tanggal
pengambilan. Sampel kemudian dibawa untuk diamati di laboratorium.
Penyimpanan feses dalam kulkas (suhu 4-5C)
Pemeriksaan Feses secara Kualitatif
Metode pemeriksaan Feses secara kualitatif yang dilakukan ada 3 yaitu
metode natif, pengapungan (flotasi) sederhana, dan sedimentasi.
Metode Natif
Metode ini merupakan metode pemeriksaan telur cacing yang paling
sederhana. Pemeriksaan natif bertujuan untuk melihat keberadaan telur cacing di
dalam feses. Satu sampai dua tetes air diteteskan pada gelas objek. Feses diambil
sedikit menggunakan tusuk gigi kemudian dihomogenkan dengan air dan ditutup
dengan kaca penutup. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop perbesaran 10 x
10.
Metode Pengapungan (flotasi) sederhana
Prinsip metode ini adalah memisahkan telur cacing dengan partikel feses
lainnya dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis (BJ) antara keduanya dengan
bantuan larutan pengapung. Feses ditimbang sebanyak 4 gram kemudian
dimasukkan ke dalam gelas. Larutan pengapung sebanyak 56 mL ditambahkan
pada gelas dan dihomogenkan. Campuran feses dan larutan pengapung disaring
menggunakan saringan. Campuran tersebut dituangkan ke dalam tabung reaksi
hingga penuh (permukaannya cembung). Kaca penutup diletakkan di atas
permukaan tabung reaksi. Setelah 15-20 menit, kaca penutup diangkat kemudian
diletakkan pada gelas objek untuk diamati dengan mikroskop perbesaran 10 x 10.
Pada saat mengangkat kaca penutup tidak disarankan untuk menggeser kaca

penutup karena telur yang berada di permukaan dapat bergeser ke samping


ataupun tumpah.
Sedimentasi
Sedimentasi tidak hanya digunakan untuk pemeriksaan feses secara
kualitatif, namun dapat juga digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif. Feses
ditimbang sebanyak 4 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas. Kemudian
Aquades ditambahkan secukupnya ke dalam gelas dan dihomogenkan. Campuran
Feses dan aquades disaring menggunakan saringan teh, ditempatkan dalam gelas
Baermann. Ke dalam gelas Baermann ditambahkan aquades hingga gelas penuh
dan didiamkan selama 10-15 menit. Setelah endapan terpisah, bagian air yang
jernih dibuang, lalu endapan yang tersisa ditambahkan aquadest baru. Prosedur
yang sama dilakukan hingga air terlihat jernih. Kemudian sisa endapan disaring
menggunakan saringan bertingkat. Saringan p
ertama dan kedua disemprot dengan aquades agar telur cacing yang masih
tertinggal dapat lolos. Saringan terakhir disemprot dengan posisi dibalik dan
endapannya ditampung dalam cawan khusus. Larutan methylen blue diteteskan
sebanyak 2 tetes kemudian diamati dengan mikroskop stereo.
Pemeriksaan Feses secara Kuantitatif
Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan menggunakan metode McMaster.
Sampel Feses ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam gelas.
Sebanyak 58 mL larutan pengapung ditambahkan ke dalam gelas dan
dihomogenkan. Campuran tersebut disaring menggunakan saringan dan
dihomogenkan lagi dengan cara memindahkan campuran dari gelas ke gelas yang
lain minimal 3 kali. Campuran dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster
menggunakan pipet kemudian dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran 10
x 10.
Jumlah telur cacing dalam tiap gram Feses dapat dihitung dengan cara:
TTGT =

n = jumlah telur yang ditemukan


w = berat Feses
V total = volume larutan pengapung dan Feses
V hitung = volume cairan yang dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemeriksaan Darah Pada Anjing Dan Kucing
Pemeriksaan darah dan feses dilakukan terhadap hewan anjing dan kucing
untuk mengetahui ada atau tidaknya protozoa dan helmint yang menginfeksi
hewan tersebut. Sampel terdiri dari 3 ekor anjing dan 3 ekor kucing. Pemeriksaan
feses dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk memeriksa keberadaan telur

cacing dan ookista dalam feses. Pemeriksaan darah dilakukan dengan mewarnai
darah dengan giemsa. Hasil pemeriksaan parasit darah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pemeriksaan darah
Hewan
Anjing
1
Anjing
2
Anjing
3
Kucing
1
Kucing
2
Kucing
3

Tempat

Ulas Darah

Tingkat
parasitemia
(%)

RSH IPB

Negatif

Negatif

RSH IPB

Negatif

Negatif

RSH IPB

Negatif

Negatif

Gerbang
Mas
Gerbang
Mas
Gerbang
Mas

Cytauxzoon
felis
Cytauxzoon
felis
Cytauxzoon
felis

0,008
0,005
0,007

Metode Metode
Knott
HCT
Test
Negatif Negatif

Metode
Rapid
Test Kit
Negatif

Negatif

Negatif

NA

Negatif

Negatif

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA = Not Available

Etiologi
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ditemukan parasit darah Cytauxzoon
felis yang telah menginfeksi kucing dan menyebabkan penyakit cytauxzoonosis.
Cytauxzoonosis adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor dan sering berakibat
fatal terhadap kucing. Cytauxzoonosis biasanya terjadi pada daerah spesifik yang
berkolerasi dengan tingkat keberadaan vektor caplak seperti di Amerika Selatan,
Amerika Tengah dan Atlantik Tengah (Birkenheuer et al. 2006). Aktivitas vektor
juga dipengaruhi oleh musim sehingga tingkat kejadian penyakit cytauxzoonosis
lebih tinggi pada akhir musim panas (April Juni) dan rendah pada akhir musim
panas (Augustus September) (Fry Jk 2012). Menurut Lewis (2011), kedua fase
nimfe dan dewasa sangat aktif pada bulan Maret Mei sehingga dapat
mentransmisikan infeksi . Vektor caplak yang berperan dalam transmisi penyakit
ini dari hewan kucing liar ke kucing domestik antara lain adalah caplak
Amblymomma americanum dan Dermacentor variabilis ( Edwards et al. 2010).
Menurut Lewis (2011), caplak A. americanum adalah caplak utama yang
berperan dalam transmisi penyakit ini. Inang reservoir bagi parasit darah C. felis
adalah kucing hutan (Lynx rufus) dan dapat disebarkan pada kucing domestik
(Felis domesticus). Parasit ini tidak dapat menginfeksi pada hewan laboratorium,
hewan ternak dan satwa liar. Adapun klasifikasi parasit darah C. felis menurut
Suliman (2009) adalah :
Ordo : Piroplasmida
Famili : Theilerridae
Genus : Cytauxzoon
Spesis : Cytauxzoon felis
Morfologi

Menurut Suliman (2009) parasit darah C. felis berbentuk cincin bulat


anaplasmoid dan sebesar ujung pin yang terdapat dalam sitoplasma sel darah
merah. Ukuran diameter parasit ini berkisar antara 0.8 2.3m dengan rata rata
1,64 m.

Gambar 1 Morofologi C. felis dalam sel darah merah


Siklus Hidup
Transmisi penyakit C. felis membutuhkan vektor caplak seperti A.
Americanum di lingkungan. Dalam tubuh inang, C. Felis mengalami dua tahap
yaitu tahap skizogoni (reproduksi aseksual) dan tahap merogoni. Vektor caplak
akan memakan eritrosit yang terinfeksi piroplasma seperti pada kasus yang terjadi
pada kucing hutan yang merupakan inang reservoir bagi parasit darah ini.
Reproduksi fase seksual terjadi dalam usus caplak membentuk ookinetes yang
kemudian akan bermigrasi ke kelenjar ludah. Di kelenjar ludah, ookinata akan
berubah dari merogeni membentuk sporozoit. Pada saat caplak tersebut berpindah
ke kucing yang lain, caplak juga akan memindahkan sporozoit. Di dalam tubuh
inang, sporozoit kemudian menginfeksi sel mononuklear yang kemudian
mengalami tahap skizogoni membentuk skizon. Skizon yang menginfeksi sel
mononuklear dapat dideteksi 12 hari setelah infeksi. Skizon ini banyak terdapat
dalam kelenjar getah bening, limpa, paru paru dan sumsum tulang. Mortalitas
bergantung dengan perkembangan skizon dalam mononuklear fagosit dibanding
dengan tingkat parasitemia. Skizon yang menginfeksi sel mononuklear kemudian
akan mengalami ruptur dan melepaskan piroplasma (merozoit) yang akan
menginfeksi sel darah merah. Skizon ditemukan di dalam sel mononuklear 1 3
hari sebelum piroplasma dapat diidentifikasi di dalam sel darah merah. Di dalam
sel darah merah ,piroplasma akan bereproduksi secara aseksual. Kucing hutan
yang terinfeksi akan menunjukkan gejala klinis, dan biasanya akan sembuh dan
menjadi hewan karier. Kucing domestik yang terinfeksi oleh C.felis akan
menunjukkan gejala klinis yang parah akibat replikasi skizon yang banyak
sehingga menyebabkan penyempitan pembuluh darah, kerusakan organ dan
Disseminated intravascular coagulation (DIC). Parasit darah C.felis juga dapat
ditransmisi melalui transfusi darah dari hewan yang terinfeksi C.felis (Lewis
2011).

Gambar 2 Siklus hidup C. felis pada kucing hutan


Patogenesis
Pada saat infeksi akut, fase skizogeni akan menyebabkan terjadinya
banyak perubahan patologi pada organ hewan. Laden skizon pada makrofag
menyebabkan penyumbatan pembuluh vena kecil dan kapiler pada organ dalam
tubuh inang terutama pada hati, paru paru, limpa dan kelenjar getah bening.
Penyumbatan pembuluh darah ini mengakibatkan jaringan di sekitar mengalami
hipoksia sehingga memicu pelepasan sitokin inflammasi yang kemudian
menyebabkan kegagalan fungsi organ, sindrom inflammasi sistemik dan
disseimnated intravascular coagulation (DIC). Tingkat keberadaan skizon
berkolerasi dengan tingkat keparahan penyakit.
Gejala Klinis
Kucing domestik yang terinfeksi dengan Cytauxzoonosis akan
menunjukkan gejala
letargi, anoreksia, demam tinggi, ikterus, takipnea,
limpadenopati, hepatomegali dan splenomegali. Abnormalitas yang ditemukan
pada saat pemeriksaan darah antara lain adanya benda inflammasi dan DIC,
neutropenia, neutrofilia, trombositopenia, dan anemia non-regeneratif. Pada

pemeriksaan biokimia, terjadi hiperbilirubinemia, penurunan aktivitas enzim hati,


pre-renal azotemia, hiperglikemia, gangguan pada asam basa dan elektrolit,
hipoalbunemia dan hipokolesterolemia. Pada pemeriksaan urinalisis sering
menunjukkan terjadinya bilirubinaria. Meskipun demikian gejala di atas tidak
patognomonis untuk penyakit Cytauxzoonosis.
Tingkat Parasitemia
Hasil yang diperoleh dalam perhitungan tingkat persentase parasitemia
C.felis dalam kasus ini semuanya dibawah 0, 1%. Menurut Dailey et al. (2001)
melaporkan bahwa tingkat parasitemia C. felis dalam sel darah merah adalah
rendah dan bervariasi tergantung spesis kucingnya. Derajat parasitemia pada
kucing masih ringan dan belum menunjukkan gejala klinis. Tingkat persentase
paresitemia dihitung menggunakan rumus :
X 100.

Faktor Resiko
Hal-hal yang menjadi faktor resiko dari kejadian penyakit Cytauxzoonosis
yaitu:
Manajemen pemeliharaan kucing dan anjing yang bebas di
lingkungan dan sehingga paparan terhadap gigitan vektor caplak
tinggi.
Tidak ada kaitan dengan shewan yang pernah terinfeksi FIV dan
/atau FeLV.
Tidak kontagius antara kucing lain.
Diagnosis
Diagnosa untuk penyakit cyatauxzoonosis secara umum dapat dilakukan
dengan membuat preparat ulas darah yang diwarnai dengan pewarnaan giemsa
atau Romannowsky untuk membedakan C.felis dengan parasit darah yang lain.
Identifikasi parasit darah sulit dilakukan pada awal terjadinya infeksi karena
eritrosit yang terinfeksi masih dalam jumlah sedikit. Pemeriksaan laboratorium
dapat dilakukan untuk melihat perubahan patologi klinik seperti anemia nonregeneratif, leukopenia dan trombositopenia. Pemeriksaan radiografi dapat
dilakukan untuk melihat hepatosplenomegali, perubahan pada paru paru akibat
edema, kongesti ataupun konsolidasi dan kardiomegali. Pemeriksaan
ultrasonografi pada rongga abdomen juga dapat melihat penyumbatan pembuluh
darah. Pemeriksaan secara sitologi pada organ limpa, paru paru dan ginjal juga
dapat dilakukan untuk melihat skizon. Skizon juga dapat dilihat di dalam kelenjar
getah bening, hati dan sumsum tulang. Polymerasa Chain Reaction (PCR)
merupakan diagnosa yang paling tepat pada penderita yang tingkat
eritroparasitemia masih rendah dan digunakan juga sebagai screening test untuk
mengetahui lebih lanjut distribusi geografi infeksi C.felis.
Pengobatan

Pengobatan pada kucing yang terinfeksi oleh cytauxzoonosis dapat


dilakukan dengan memberikan terapi supportif cairan kristaloid untuk
mengurangkan komponen penyebab pre-renal azotemia, dehidrasi dan
memperbaiki perfusi organ. Sebagai tambahan, terapi pemberian heparin dapat
dilakukan untuk mengatasi DIC yang kompleks. Transfusi darah atau terapi darah
dapat dilakukan untuk mengatasi anemia akibat hemolisis dan koagulopati akibat
DIC. Beberapa praktisi menggunakan NSAID (Non streoidal anti-inflammatory
drugs) atau glukokortikoid (prednisolon) sebagai analgesik dan anti-piretik.
Pemberian obat antimikrobial (enrolfloksasin, doksisiklin, dan/atau sodium
ampisilin) pada kucing yang menderita cytauxzoonosis tidak memberikan efek
maksimal karena tidak memiliki antiprotozoa.
Di Amerika, imidocarb diproprionate diinjeksi secara intramuskular
dengan dosis dari 2 5 mg/kg pada hewan yang terinfeksi cytauxzoonosis.
Kelangsungan hidup hewan yang diberikan obat ini hanya 25% dan obat ini tidak
mampu untuk mengeliminasi parasit pada hewan karier. Kombinasi terapi
atovaquone dan azithromycin dengan terapi supportif dapat memberikan
kelangsungan hidup sebesar 60 % dibanding dengan pemberian imidocarb. Di
Afrika dan Afrika Selatan, pemberian terapi diminazene digunakan untuk
mengobati hewan yang menderita Trypanosomiasis dan Bebesiosis. Tingkat
kelangsungan hidup hewan dengan pemberian obat ini sebesar 83%.
Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya transmisi
cytauxzoonosis pada kucing antara lain adalah dengan memelihara kucing di
dalam rumah untuk menghindari kontak kucing peliharaan dengan kucing
domestik liar yang terinfeksi. Kucing harus diberikan obat anti caplak yang dapat
bertahan lama di tubuh kucing seperti Frontline dan Revolution spot.
Pemeriksaan Feses Pada Anjing Dan Kucing
Pada pemeriksaan feses secara kualitatif dan kuantitatif pada sampel anjing
dan kucing tidak ditemukan telur cacing. Dengan demikian derajat infeksi cacing
pada anjing dan kucing adalah ringan atau tidak ada sama sekali. Faktor penyebab
kemungkinan tidak ditemukannya cacing pada pemeriksaan sampel adalah waktu
pengambilan sampel yang tidak tepat (telur belum dikeluarkan bersama feses) dan
penyebaran telur cacing pada tinja yang tidak merata (Kusumamiharja.1995;
Hansen & Perry. 1994) serta kemungkinan hewan memang tidak terinfeksi cacing.
Hasil pemeriksaan feses dapat dilhat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pemeriksaan feses
Hewan
Natif
Pengapungan
Anjing 1
Negatif
Negatif
Anjing 2
Negatif
Negatif
Anjing 3
Negatif
Negatif
Kucing 1
Negatif
Negatif
Kucing 2
Negatif
Negatif
Kucing 3
Negatif
Negatif

Pengendapan
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

TTGT
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Gejala klinis kecacingan berhubungan dengan nilai derajat infeksi. Infeksi


parasit dengan derajat sedang ditunjukkan dengan perubahan patologi anatomi
dan histopatologi yang belum tentu menunjukkan gejala klinis. Sedangkan pada
derajat infeksi yang ringan tubuh inang masih mampu mengatasi infeksi tersebut
sehingga tidak menunjukkan gejala klinis (Gillespie 2006). Kejadian infeksi
kecacingan yang tinggi dapat disebabkan oleh pakan dan air yang telah
terkontaminasi tinja yang mengandung telur cacing serta lingkungan yang
merupakan bagian siklus hidup cacing parasit. Infeksi parasit sampai
menimbulkan gejala klinis pada inang dapat terjadi ketika kekebalan tubuh inang
turun, yang dapat disebabkan oleh stress, masa kehamilan, kondisi fisik yang
buruk, umur tua atau hewan sedang sakit. Faktor lain munculnya kasus
kecacingan pada anjing dan kucing terkait dengan agen penyakit yaitu semakin
banyak jumlah larva infektif di lingkungan maka peluang munculnya kasus
kecacingan juga akan semakin besar dan begitu sebaliknya. Lingkungan yang
sesuai memungkinkan telur-telur cacing yang keluar bersama feses anjing menetas
dan berkembang menjadi larva infektif yang akan menginfestasi inang baru. Hal
ini berarti bahwa semakin ideal kondisi lingkungan semakin banyak peluang
munculnya kasus kecacingan akan semakin besar. Perlu diperhatikan juga tentang
sanitasi lingkungan tempat tinggal inang. Sanitasi yang buruk, khususnya jika
feses tidak dibersihkan secara teratur, dapat menjadi sumber infeksi ulang yang
parah dan berkelanjutan (Reinecke, 1983). Melalui keterangan dari pemilik,
hewan memang telah diberikan obat cacing sebelumnya dan rutin dilakukan setiap
6 bulan sekali untuk mencegah terjadinya penyakit kecacingan, melalui hasil
pemeriksaan feses dapat disimpulkan obat yang diberikan memberikan efek
positif dengan tidak ditemukannya telur cacing.

KESIMPULAN
Hasil pemeriksaan darah kucing yang terinfeksi cytauxzoonosis masih
dalam derajat parasitemia ringan dan belum menunjukkan gejala klinis. Namun
langkah pencegahan perlu diambil untuk menghindari infeksi pada kucing makin
serius. Cytauxzoonosis dapat menjadi penyakit yang bersifat fatal bagi hewan
peliharaan kucing.

DAFTAR PUSTAKA
Ashadi, G. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univerity
Press.
Birkenheuer AJ, Valensi Am, Tucker, MD Levy, MG Breitschwerdt. 2006.
Cytauxzoon felis infection in cats in the mid-Atlantic states: 34 cases (1998
2004). J. Am. Vet. Med. Assoc. 228 : 568 571.
Dailey F. Pauline MR, Kenneth SL. 2001. Cytauxzoonoziz in Cats : An
Overwiew. Athens : The University of Georgia.
Edwards AC, Reichard MV, Meinkoth JH, Snider TA, Meinkoth KR, Heinz RE,
Little SE. 2010. Confirmtation of Amblyomma americannum (Acari
:Ixodidae) as a vector for Cytauxzoon felis (Piroplasmorida : Theileridae )
to domestic cats. J.Med.Ent. 47 : 890 896.

Fry Jk. 2012. Feline Cytauxzoonosis. Houston : Gulf Coast Veterinary Specialist.
Gillespie TR.2006.Noninvasive assessment of gastrointestinal parasite infections
in free-ranging primates. Intern J Primat. 27:1129-1143.
Hadi UK, S. Soviana. 2010. Ektoparasit: pengenalan, identifikasi, dan
pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hansen J, Perry B.1994.The epidemiology, diagnosis and control of helminth
parasites of ruminants [Internet]. [diunduh 11 juni 2013]. Tersedia
pada:http://www.articlebase.Com/ print/473820.
Kusumamihardja S. 1995.Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia.Bogor (ID):Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
Lewis K. 2011. Cytauxzoon felis : An emerging feline pathogen and potential
therapy [thesis]. Missouri (COL): University of Missouri.
Reinecke, R.K. 1983. Veterinary Helminthology. Butterworths, Durban.
Suliman EG. 2009. Detection the infection with Babesia spp. Cytauxzoon felis
and Haemobaronella felis in stray cats in Mosul. Iraqi Journal of Veterinary
Sciences. 23 (1) : 49 95.

Anda mungkin juga menyukai