Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIK

PARASITOLOGI

OLEH

KELOMPOK 4C1

1. Angelina S. Bheja, S.K.H


2209020014
2. Marianus T. Sado, S.K.H
2209020009
3. Serviana B. Papang, S.K.H
2209020021

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ruminansia merupakan ternak yang termasuk ke dalam kelompok hewan
bertulang belakang, mempunyai rahang, memiliki kaki berkuku genap dan tanduk
yang strukturnya berongga, menyusui anaknya dan mempunyai sistem pencernaan
makanan yaitu memamahbiak. Lambung ruminansia terdiri atas empat bagian
yaitu rumen, reticulum, omasum dan abomasum. Contoh hewan yang termasuk
ruminansia adalah sapi dan kambing (Khasanah, 2009). Sapi merupakan ternak
ruminansia yang paling dikenal di daerah tropis. Secara tradisional pakan ternak
ruminansia berasal dari limbah pertanian yang merupakan pakan berserat kasar
tinggi. Sekitar 60% sampai 75% pakan ternak sapi dalam bentuk serat kasar terdiri
atas karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan ligin (Jusmaldi, 2002).
Kambing adalah jenis ternak yang tergolong dalam ruminansia kecil dan kambing
Kacang merupakan bangsa kambing lokal yang ada di Indonesia. Menurut Abadi
et al. (2015) kambing Kacang memiliki bobot badan lebih kecil jika dibandingkan
dengan bangsa kambing lainnya. Selain itu, kambing Kacang juga memiliki
keunggulan yaitu tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan
baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk dalam kondisi pemeliharaan
yang sangat sederhana serta kambing ini dapat dimanfaatkan sebagai penghasil
daging dan kulit (Pamungkas et al., 2009).
Umumnya sapi dan kambing ini dipelihara secara tradisional dalam skala
kepemilikan kecil sehingga pemeliharaannya kurang diperhatikan dan dapat
menyebabkan hewan mudah terserang oleh parasit. Kambing Kacang memiliki
kelebihan dan peranan yang sangat penting tetapi ternak ini sangat rentan
terserang oleh penyakit. Salah satu penyakit utama pada ternak kambing adalah
penyakit parasiter saluran pencernaan (Winarso, 2018). Parasit terdiri dari 2 jenis
yaitu ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar tubuh inang, sedangkan
endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh inang. Endoparasit
merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh hospes (inang) sehingga penyakit
yang disebabkan dapat bersifat lokal maupun sistemik. Parasit memiliki
kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan hospes sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis yang serius (Natadisastra dan Agoes, 2009).
Endoparasit dapat ditemukan pada otak, hati, paru-paru, jantung, ginjal, kulit,
otot, darah, dan saluran pencernaan. Hewan ternak yang terinfeksi endoparasit
biasanya lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Penyakit parasit gastrointestinal akibat infeksi cacing merupakan
penyakit dalam tubuh yang menginfeksi saluran pencernaan ternak ruminansia
seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, dan mamalia lainnya. Penyakit
parasit akibat infeksi cacing tidak langsung menyebabkan kematian hewan ternak,
namun 4 menyebabkan kerugian dari segi ekonomi, diantaranya penurunan berat
badan, penurunan kualitas daging, jeroan dan kulit, penurunan produktivitas
ternak sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, dan bahaya penularan
pada manusia dapat terjadi (Rahayu, 2015).

1.2 Tujuan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui jenis endoparasit pada
hewan menggunakan metode natif, pengapungan dan sedimentasi.
BAB II
METODOLOGI

2.1 Pengambilan Sampel


2.1.1 Pengambilan sampel feses kambing
Sampel fases Kambing diambil secara langsung dari rektal dengan
menggunakan sarung tangan plastik. Feses yang diambil sebagai sampel
kurang lebih 15 g kemudian dimasukkan ke dalam pot sampel kemudian di
tambahkan formalin 10% dengan cara dibasahi pada kapas dan ditaruh pada
pot sampel, lalu dimasukan pada coolbox untuk selanjutnya dibawa ke
Laboratorium Parasitologi untuk identifikasi telur cacing saluran
pencernaan.

2.1.2 Pengambilan sampel feses sapi


Sampel feses Sapi diambil ketika sapi defekasi dan dimasukan
kedalam pot sampel dan ditambahkan formalin 10 % dengan cara dibasahi
pada kapas dan ditaruh pada pot sampel, lalu dimasukan pada coolbox untuk
selanjutnya dibawa ke Laboratorium Parasitologi untuk identifikasi telur
cacing saluran pencernaan.

2.2 Metode Pemeriksaan Natif


Metode Natif (Balai Veteriner, 2014) Pertama sampel feses diambil
dengan menggunakan lidi, kemudian sampel feses diletakkan diatas slide glass,
dan ditambahkan sedikit air. Lalu sampel ditutup dengan menggunakan cover
glass. Sampel kemudian diamati dibawah mikroskop dan dilanjutkan pada
metode sedimentasi.

2.3 Metode Sedimentasi


Uji Sedimentasi feses mamalia adalah uji kualitatif untuk mendiagnosa adanya
cacing trematoda pada hewan mamalia dengan menemukan telur cacing pada
pemeriksaan mikroskopik sampel feses. Prosedur kerja metode Sedimentasi adalah:
1. Menimbang 4 gram sampel feses lalu memasukkan ke dalam beaker glass
200 ml;
2. Mengaduk dengan pengaduk hingga feses hancur (homogen);
3. Menyaring suspensi dengan saringan dan buanglah debris yang tersaring
4. Mendiamkan selama 10 menit, kemudian cairan bagian atas dibuang dan
menyisakan filtrat ± 10 ml;
5. Menambahkan air pada filtrat dalam tabung kerucut hingga penuh dan
mendiamkan selama 10 menit kemudian membuang lagi cairan bagian atas
dan menyisakan 5 ml;
6. Menuangkan filtrat ke gelas objek dan ditutup cover lalu di periksa pada
mikroskop(Winarso,2020).
2.4 Metode Pengapungan
Metode pengapungan sederhana merupakan pemeriksaan kualitatif yang
lebih akurat dari pada pemeriksaan natif. Metode ini menggunakan perbedaan
berat jenis antara telur parasite dengan material di dalam feses, dengan demikian
penggunaan larutan dengan berat jenis tertentu mampu memisahkan secara
selektif berdsarkan daya apung nya. Larutan pengapung yang digunakan adalah
larutan gula jenuh, pengguaan larutan pengapungan efektif untuk telur
nematoda, cestoda dan ookista (Winarso, 2020).
Prosedur kerja:
1. Ambil feses 1 g dan aduk bersama larutan pengapung di dalam gelas
plastik.
2. Saring dan tampung pada gelas lain.
3. Tuangkan suspensi yang sudah disaring ke dalam tabung reaksi pada rak
tabung
4. Tambahkan larutan pengapung hingga meniscus isi tabung menjadi
cembung
5. Tutup dengan cover glass
6. Diamkan selama 5-10 menit untuk telur parasit mengapung ke bagian atas
tabung
7. Angkat cover glass kearah atas dan tempelkan pada objek glass
8. Amati dibawah mikroskop

2.5 Metode Mc Master


Cara kerja metode Mc. Master Uji E.P.G (Egg Per Gram) Mc. Master
adalah uji kuantitatif untuk menghitung banyaknya telur cacing per gram tinja.
Metode uji E.P.G Mc. Master merupakan uji pengapungan yang prinsipnya
bahwa telur cacing akan mengapung di dalam pelarut mempunyai berat jenis
lebih besar dari satu (Winarso, 2020).
Prosedur kerja metode Mc.Master adalah:
1. Menimbang 2 gram feses, lalu menambahkan larutan gula jenuh
sebanyak 58 ml, lalu mengaduk rata dalam beaker glass hingga
homogeny sehingga mendapatkan 60 ml suspense.
2. Menyaring menggunakan saringan, menampung filtrat dalam beaker
glass lain.
3. Selanjutnya suspensi dihomogenkan dan diambil subsample dengan
pipet untuk diisikan kedalam kamr hitung.
4. suspense dihomogenkan setiap kali diambil subsample untuk mengisi
kamar hitung
5. Setelah suspensi dimasukkan ke dalam kamar hitung, lalu amati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 X
Kalkulasi Hasil Pengamatan : untuk menngetahui Nilai TTGT nya dihitung
menggunakan rumus
jumlah telur 60 ml
x
0,3 ml 2 gram
¿ jumlah telur X 100 TTGT
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kasus 1 Suspect Helminthiasis Pada Sapi


3.1.1. Sinyalemen
Nama: Salomon Teti
Alamat: Nasipanaf
Jenis hewan: Sapi
Ras: Sapi Bali
Umur: 2 tahun
Jenis Kelamin: Betina
3.1.2. Anamnesa
Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, ternak sapi dipelihara
secara semi-intensif dimana sapi akan di gembalakan ke padang
pengembalaan pada pagi hari dan akan dimasukan ke kandang pada sore hari,
Serta belum pernah diberikan vitamin maupun antihelmintik.
3.1.3. Gejala Klinis
Gejala klinis yang Nampak pada sapi terlihat adanya kekusaman pada
rambut sapi dan Body Condition Score sapi yang rendah atau kekurusan.

Gambar Ternak Sapi Bali


3.1.4. Diagnosa Sementara
Berdasarkan anamnesa dengan peternak dan gejala klinis yang terlihat
maka ternak sapi di duga mengalami infestasi parasite gastrointestinal dan
juga gejala klinis kekurusan atau Body Condition Score yang rendah
dikarenakan asupan nutrisi yang kurang dikarenakan pakan yang diberikan
hanya rumput dari padang penggembalaan serta kondisi lingkungan yang
panas sehingga ketersediaan rumput pada padang terbatas.
3.1.5. Peneguhan Diagnosa
Peneguhan diagnose dilakukan dengan melalukan pemeriksaan feses
ternak sapi menggunakan metode natif, apung dan sedimentasi.
1. Metode Natif
Metode ini merupakan metode cepat dalam melakukan pemeriksaan
feses metode ini merupakan yang kurang efektif karena tidak bisa
memisahkan telur cacing dan debris pada feses (Winarso, 2020).

2. Metode Pengapungan
Metode ini merupakan pemeriksaan kualitatif yang lebih akurat
dibandingkan dengan metode natif, metode ini mengguanakan prinsip
berat jenis antara telur parasite dengan material didalam feses sehingga
hasil yang didapatkan lebih jernih. Penggunaan metode ini digunakan
pada telur cacing nematode, cestoda dan ookista (Winarso, 2020).

3. Metode Sedimentasi
Metode ini merupakan pemeriksaan telur cacing dengan jenis
trematoda hal ini dikarenakan telur trematoda memiliki ukuran dan
berat yang besar sehingga pada metode pengapungan telur tidak
terpisahkan dari debris, sehingga perlu dilakukan metode sedimentasi
(Winarso, 2020). Berdasarkan hasil pemeriksaan feses ternak sapi
ditemukan adanya dua jenis telur cacing Telur cacing yang pertama
memiliki ciri-ciri berwarna coklat dan memiliki operculum dikedua
ujung telur sehingga diidentifikasi sebagai telur cacing Trichuris sp.
Hal ini sesuai dengan peryataan Hamid (2017) bahwa telur Trichuris
berwarna cokelat, memiliki sumbat di kedua ujung, telur berisi granula
dan tidak memiliki blastomer.
Gambar Telur cacing Trichuris

1.1.6. Siklus hidup nematode Strongyle


Siklus hidup dari cacing jenis nematode Strongyle terdiri dari telur,
empat stadium larva, dan dewasa (Levine, 1990). Habitat cacing Nematoda
dewasa di dalam saluran gastrointestinal inang definitif. Telur yang
diproduksi oleh cacing betina dewasa keluar bersama tinja. Telur berembrio
akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva stadium 1 (L1) yang
berkembang dan ekdisis menjadi larva stadium 2 (L2). Selanjutnya larva
stadium 2 (L2) mengalami ekdisis menjadi larva stadium (L3) namun
kutikulanya tidak dilepas setelah ekdisis sebelumnya sehingga larva stadium

3 (L3) memiliki kutikula rangkap arva infektif dapat masuk ke tubuh


ruminanisia melalui beberapa cara diantaranya yaitu lewat pakan, minum.
Pada cacing Trichuris, setelah larva stadium 3 (L3) masuk bersama pakan
selanjutnya larva akan menetas di dalam usus. Kemudian larva menuju sekum
dan menempel pada bagian mukosa sekum untuk berkembang menjadi
dewasa (Levine, 1990). Infeksi cacing dari genus Trichuris akan
menimbulkan radang mukosa sekum, nekrose, haemoragi, oedema mukosa
sekum pada sejumlah cacing dewasa adanya diare, kekurusan dan kulit kering
pada ternak sapi (Subekti et al., 2011).
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses ternak sapi ditemukan adanya dua
jenis telur cacing Telur cacing yang kedua memiliki ciri-ciri memiliki bentuk
oval, berkerabang tipis dan didalmnya terdapat banyak sel yang disebut
blastomer yang diidentifikasi sebagai telur cacing strongyle. Hal ini sejalan
dengan yang ditemukan oleh Mukti et al. (2016) bahwa telur tipe strongyle
memiliki bentuk elips atau lonjong dan bagian sisinya berbentuk seperti tong,
berkerabang tipis, serta mengandung blastomer yang jumlahnya bervariasi.

Gambar telur Strongyle

Menurut Taylor, et. al. (2015), telur cacing Strongyle Memiliki


karakteristik yang khas yaitu memiliki dinding yang tipis dan mengandung
embrio yang sedang berkembang dalam berbagai fase. Jenis telur strongyle
memiliki panjang 99,70 µm-108,26 µm dan diameter 63,24 µm-66,11 µm.
Telur yang ditemukan memiliki dinding tipis, berbentuk lonjong, memiliki
ruang udara yang banyak, dan mengandung embrio yang sedang berkembang.
Menurut Taylor, et. al. (2015), cacing ini memiliki predileksi di usus halus
dan sering menimbulkan radang usus.
1.1.7. Siklus Hidup Strongyle
Siklus hidup dari cacing jenis nematode Strongyle terdiri dari telur,
empat stadium larva, dan dewasa (Levine, 1990). Habitat cacing Nematoda
dewasa di dalam saluran gastrointestinal inang definitif. Telur yang
diproduksi oleh cacing betina dewasa keluar bersama tinja. Telur berembrio
akan menetas di luar tubuh inang menjadi stadium larva stadium 1 (L1) yang
berkembang dan ekdisis menjadi larva stadium 2 (L2). Selanjutnya larva
stadium 2 (L2) mengalami ekdisis menjadi larva stadium (L3) namun
kutikulanya tidak dilepas setelah ekdisis sebelumnya sehingga larva stadium
3 (L3) memiliki kutikula rangkap arva infektif dapat masuk ke tubuh
ruminanisia melalui beberapa cara diantaranya yaitu lewat pakan, minum,
atau penetrasi kulit, Pada cacing Strongylus, larva stadium 3 (L3) masuk ke
dalam saluran pencernaan dengan menembus mukosa usus halus kemudian
berdiam diri selama 7 hari dan mengalami pergantian kulit menjadi larva
stadium 4 (L4), selanjutnya larva keluar dari mukosa usus halus ke lumen
usus dan menjadi dewasa.
Infeksi cacing dari genus Strongyle akan menimbulkan radang mukosa
sekum, nekrose, haemoragi, oedema mukosa sekum pada sejumlah cacing
dewasa adanya diare, kekurusan dan kulit kering pada ternak sapi (Subekti et
al., 2011). Hasil pemeriksaan TCPGT dapat diketahui jumlah telur cacing per
gram tinja dan derajat keparahan infeksi kecacingan. Berdasarkan keterangan
standar infeksi, maka infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi ringan jika jumlah
telur 1-499 butir per gram, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur 500 -
5000 butir per gram dan infeksi berat ditunjukkan jika telur yang dihasilkan
lebih dari 5000 butir per gram feses ternak (Sari,2014).
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses terdapat telur cacing jenis
trichuris dan strongyle tetapi infestasinya masih dikategorikan ringan hal ini
karenakan pada pemeriksaan jumlah telur cacing pada satu lapang pandang
masih tergolong sedikit yaitu dibawah 10 sehingga tidak dapat menjadi
penyebab utama ternak sapi mengalami kekurusan, faktor nutrisi bisa menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan ternak sapi mengalami kekurusan.

3.2. Kasus 2 Suspect Helminthiasis Pada Kambing


3.2.1. Sinyalemen
Nama pemilik: Bapak Yesaya Abjena
Alamat: Desa Oben, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang
Jenis hewan: Kambing
Ras: Kambing kacang
Umur: 3 bulan
Warna rambut: cokelat kemerahan
Jenis kelamin: betina
3.2.2. Anamnesa
Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, ternak kambing
dipelihara secara intensif di dalam kandang, belum pernah diberikan vitamin
maupun antihelmintik.
3.2.3. Gejala klinis
Gejala klinis yang nampak pada kambing terlihat adanya kekusaman
pada rambut sapi dan Body Condition Score kambing yang rendah atau
kekurusan.
Kambing suspect helmintiasis

3.2.4. Diagnosa sementara


Berdasarkan anamnesa dengan peternak dan gejala klinis yang terlihat
maka ternak kambing di duga mengalami infestasi parasite gastrointestinal
dan juga gejala klinis kekurusan atau Body Condition Score yang rendah
dikarenakan asupan nutrisi yang kurang dikarenakan pakan yang diberikan
hanya daun lamtoro.
3.2.5. Peneguhan diagnosa
1. Metode Natif
Metode ini merupakan metode cepat dalam melakukan pemeriksaan
feses metode ini merupakan yang kurang efektif karena tidak bisa
memisahkan telur cacing dan debris pada feses (Winarso, 2020).

Gambar. Pemeriksaan natif pada feses kambing

2. Metode Pengapungan
Metode ini merupakan pemeriksaan kualitatif yang lebih akurat
dibandingkan dengan metode natif, metode ini mengguanakan prinsip
berat jenis antara telur parasite dengan material didalam feses sehingga
hasil yang didapatkan lebih jernih. Penggunaan metode ini digunakan
pada telur cacing nematode, cestoda dan ookista (Winarso, 2020).

Gambar. Metode apung feses kambing

3. Metode Sedimentasi
Metode ini merupakan pemeriksaan telur cacing dengan jenis
trematoda hal ini dikarenakan telur trematoda memiliki ukuran dan
berat yang besar sehingga pada metode pengapungan telur tidak
terpisahkan dari debris, sehingga perlu dilakukan metode sedimentasi
(Winarso, 2020). Berdasarkan hasil pemeriksaan feses ternak kambing
ditemukan adanya dua jenis telur cacing. Telur cacing yang pertama
memiliki ciri-ciri berwarna coklat dan memiliki operculum dikedua
ujung telur sehingga diidentifikasi sebagai telur cacing Trichuris sp.
Hal ini sesuai dengan peryataan Hamid (2017) bahwa telur Trichuris
berwarna cokelat, memiliki sumbat di kedua ujung, telur berisi granula
dan tidak memiliki blastomer.
Metode sedimentasi

3.2.6. Trichuris
Trichuris merupakan jenis cacing nematoda dan bentuk telur cacing ini
ditemukan berwarna cokelat, memiliki saluran terbuka di kedua ujung yang
menonjol. Hal serupa juga ditemukan oleh Hamid (2017) bahwa telur
Trichuris berwarna cokelat, memiliki sumbat di kedua ujung, telur berisi
granula dan tidak memiliki blastomer (Gambar 1).

Gambar 1. Telur cacing tricurris spp (100X)


3.2.7. Strongyloid
Strongyloid termasuk jenis cacing nematoda dengan bentuk telur cacing
Strongyloid yang ditemukan yaitu memiliki bentuk oval, berkerabang tipis
dan didalmnya terdapat banyak sel yang disebut blastomer (Gambar 3). Hal
ini sejalan dengan yang ditemukan oleh Mukti et al. (2016) bahwa telur tipe
strongyloid memiliki bentuk elips atau lonjong dan bagian sisinya berbentuk
seperti tong, berkerabang tipis, serta mengandung blastomer yang jumlahnya
bervariasi (Gambar 3). Siklus hidup dari cacing jenis nematoda terdiri dari
telur, empat stadium larva dan dewasa (Levine, 1990). Habitat cacing dewasa
berada pada saluran gastrointestinal inang defenitif.

Gambar 3. Telur cacing strongyloid (100x)

3.3. Dypilidium caninum


Cacing Dipylidium caninum yang ditemui berwarna putih, memiliki
segmen yang disebut proglotid yang menyerupai biji mentimun. Hal ini

a b
seperti yang dilaporkan oleh Rahmadani (2015) bahwa cacing Dipylidium
caninum termasuk dalam filum platyhelmintes, kelas cestoda, family
dipylididae, genus dipylidium, spesies dipylidium caninum, berwarna putih,
memiliki segmen yang disebut proglotid (Patricia et al., 2008) (Gambar 4).

Gambar 4. a.Cacing dewasa Dipylidium caninum, b.Cacing dewasa


Dipylidium caninum di bawah mikroskop (10x)

Siklus hidup dari pinjal anjing dan kutu anjing merupakan hospes
pertama dari Dipylidium caninum. Apabila telur Dipylidium caninum
tertelan oleh hospes perantara, maka onkosfir akan keluar dari telur dan
menembus dinding usus hospes perantara (pinjal) dan selanjutnya akan
berkembang menjadi larva infektif yang disebut larva sistiserkoid (Gambar

5).
Gambar 5. Siklus hidup Dipylidium caninum
Apabila hospes perantara (pinjal) tertelan oleh hospes defenitif, maka
larva sistiserkoid akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus
hospes defenitif serta tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa pada
usus halus setelah 20 hari (Solusby, 1982) (Gambar 5). Pada pemeriksaan
yang dilakukan hanya dapat mengidentifikasi jenis genus saja karena pada
pemeriksaan ini hanya dilakukan pengamatan secara morfologi dari telur
cacing yang ditemukan disesuaikan dengan literatur yang ada dan dapat
diduga kelompok kelas dan genusnya adalah sama.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian pada sampel feses sapi dan kambing


menyatakan positif helminthiasis, dimana terdapat telur cacing trichuris dan
strongyle pada sapi dan kambing yang dengan menggunakan metode natif
(pemeriksaan parasit secara cepat), pengapungan lebih akurat daripada
pemeriksaan natif dengan hasil pandangan yang lebih jernih dengan
menggunakan larutan gula jenu serta metode sedimentasi untuk mendeteksi
adanya telur trematoda yang jarang ditemukan dengan metode natif karena
telur cacing trematoda memiliki ukuran yang besar dan berat.
DAFTAR PUSTAKA

Abadi T, Lestari CMS, Purbowati T. 2015. Pola Pertumbuhan Bobot Badan


Kambing Kacang Betina di Kabupaten Grobogan. Animal Agricoulture
Journal, 4(1): 93-97.

Agoes Ridad. Natadisastra Djaenudin. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari


Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2009.

Balai Veteriner. 2014. Penuntun Teknis Pengujian Laboratorium Parasitologi.


Balai Veteriner Lampung. Bandar Lampung.

Jusmaldi. “Keragaman Protozoa Simbion Dalam Rumen Sapi dan Kerbau Lumpur
di Sumatera Barat”. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana Insitut Pertanian
Bogor, 2002.

Khasanah Usmaul. “Identifikasi Ciliata di Dalam Rumen Sapi Brahaman Cross,


Peranakan Ongole, Sumba Ongole dan Frisien Holstein dari Daerah
Lampung”. Skripsi. Jakarta: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 2009.

Levine, N. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta. 124-288.

Mukti T, Oka IBM, Dwinata IM. 2016. Prevalensi Cacing Nematoda Saluran
Pencernaan pada Kambing Peternakan Ettawa di Kecamatan Siliragung,
Kabbupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Indonesia Mediscus Veterinus,
5(4): 330-336.

Pamungkas FA, Batubara A, Doloksaribu M, Sihite E. 2009. Potensi Plasma


Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Sumatra Utara: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Patricia NO. Leonor JM.Infeksi Di Nelson MS. 2008. Infestasi Dipylidium
caninum pada anak prasekolah. Presentasi Kasus dan Tinjauan Lliteratur.

Rahayu Sri. “Prevalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan Pada Sapi Bali (Bos
sondaicus) di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang”. Skripsi: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 2015.

Rahmadani, Suci. 2015. Evaluasi Helmintiasis pada Anjing Penderita Diare di


Klinik Hewan Makasar. Universitas Hasanuddin [Skripsi].

Sari, I.K. 2014. Prevalensi Dan Derajat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada
Sapi Peranakan Ongole (Po) Dan Limousin Di Kecamatan Tikung
Kabupaten Lamongan.1-65

Soulsby EJL. 1982. Helminthis, Anthropods and Protozoa of Domesticated


Animals. New York: Academic Press.

Subekti, S., S. Mumpuni., S. Koesdarto. H. Puspitawati dan Kusnoto. 2011. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Helmints. Airlangga University Press. Surabaya.

Winarso A. 2018. Infeksi Parasit Gastrointestinal pada Kambing di Kupang,


ARSHI Vet Lett, 2(2): 25-26.

Winarso A. 2020. Teknik Diagnosis Laboratorik Parasitologi Veteriner Parasit


Sistem Digesti.Veternry Indie Publisher.

Anda mungkin juga menyukai