Anda di halaman 1dari 15

STUDI PUSTAKA PENYAKIT PADA HEWAN

“African Swine Fever”

Oleh:

Serviana Bupu Papang

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Ternak babi merupakan salah satu ternak yang menjadi penyedia dan penyumbang sumber
protein hewani selain unggas dan sapi (Jayanata et al., 2016). Peternakan babi merupakan salah
satu usaha yang menghasilkan produk berprotein dan sebagai penyumbang pendapatan di
bidang ekonomi yang tinggi (Kojo et al., 2014). Salah satu ancaman keberlangsungan usaha
peternakan babi adalah ganggung kesehatan. Gangguan kesehatan dapat menurunkan
produksivitas babi yang mengakibatkan kerugian pada peternak babi. Penyakit ternak babi
terbagi menjadi dua yaitu penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Penyakit-penyakit
tersebut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari babi itu sendiri maupun faktor dari luar
seperti serangan virus dan bakteri (Manik et al., 2018). Salah satu penyakit pada babi adalah
African swine fever (ASF).
African Swine Fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika adalah penyakit
menular pada babi yang dapat menyebabkan kematian pada babi hingga 100% sehingga
mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi industri peternakan babi dunia
(Alcrodo et al., 2017). ASF merupakan penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang
disebabkan oleh virus DNA beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus
(OIE, 2019b; Dixon et al., 2020). Virus ini menyebabkan demam berdarah dengan tingkat
kematian yang tinggi pada babi domestik dan babi liar. Gejala klinis dari ASF meliputi demam
tinggi, nafsu makan menurun, perdarahan pada kulit dan organ dalam, kematian pada 4-10 hari,
dan ada hewan yang ditemukan mati tanpa gejala apapun. Diagnosis dilakukan berdasarkan
gejala klinis yang tampak, perubahan patologis dan histopatologis serta pemeriksaan
laboratorium. (OIE, 2019).
ASF pertama kali dilaporkan di Kenya pada tahun 1920 dan saat ini ASF telah menyebar
ke Asia termasuk Indonesia (Montgomery, 1921). Penyakit ASF terbatas di Afrika kemudian
menyebar ke Eropa, Amerika Selatan dan Karibia pada pertengahan abad terakhir (Costard et
al., 2012). Penyebaran ASF di Indonesia pertama kali dilaporkan berdasarkan kasus kematian
babi di Sumatera Utara (Sendow, 2020). Pada September 2019 OIE melaporkan bahwa Timor
Leste telah masuk dalam salah satu negara yang terinfeksi ASF (OIE, 2019). Menurut Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan (2020), telah terjadi kematian babi di wilayah NTT sebanyak
4.888 ekor yang tersebar di 6 kecamatan. Sedangkan pada juli 2020 terjadi kematian ternak
babi sekitar 24.822 dimana kematian ternak babi di Kota Kupang sekitar 249 ekor (Bere, 2020).

1.2. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini yaitu untuk mengetahui etiologi, epidemiologi, patagonesisi,
gejala klinis, teknik diagnose laboratorium dan pengendalian atau penanganan penyakit ASF.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Etiologi

African swine fever (ASF) merupakan penyakit menular pada babi, yang menyebabkan
demam dengan tingkat kematian 100% (OIE, 2011). Penyakit ASF disebabkan oleh virus
ASF, yang merupakan virus DNA beruntai ganda genus Asfivirus. Hingga saat ini virus ASF
hanya memiliki satu serotipe meskipun terdapat 23 genotipe dengan virulensi yang bervariasi
(Rodriguez et al. 2015). Meskipun virus ASF mempunyai satu serotipe, namun penelitian
terakhir menyatakan bahwa virus ASF dapat dikelompokkan menjadi 8 serogroup
berdasarkan hemadsorption inhibition assay (HAI) pada biakan jaringan. Molekul DNA
ASFV berukuran 170-190 kbp, genom virus ini mengkode sekitar 50 protein struktural dan
protein non struktural lainnya (Schulz et al., 2017). Adanya hemadsorption, merupakan
patognomonik adanya virus ASF yang membedakan dengan virus Classical Swine Fever
(CSF) (Malogolovkin et al., 2015). Virus ASF merupakan virus yang sangat unik, hidup
dalam makrofag darah sehingga antibodi yang ditimbulkan tidak cukup untuk menetralkan
virus sehingga penggunaan vaksin masih belum efektif (Dixon et al., 2013). Hal ini berbeda
dengan virus Hog Cholera atau Classical Swine Fever, dimana virus CSF dapat
menetralkan antibodi yang ditimbulkan dan tidak mempunyai kemampuan
hemadsoption (Sánchez-Vizcaíno et al., 2015).

2.2. Epidemiologi
Penyakit ASF pertama kali ditemukan di Afrika Kenya pada tahun 1921, yang kemudian
menyebar di sebagian besar sub-Sahara Afrika termasuk di Pulau Madagaskar, sehingga penyakit
ini menjadi endemik di Afrika pada babi (FAO, 2018). Situasi ASF di Asia, pertama kali terjadi
di Cina pada tahun 2018 (Zhao et al., 2019), penyakit ini telah menyebar ke Mongolia (Januari
2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong dan Korea Utara (Mei
2019), Laos (Juni 2019) dan kemudian ke Myanmar (Agustus 2019), Philipina, Korea Selatan
dan Timor Leste (September 2019). Kejadian ASF yang terjadi di Timor Leste menyebabkan
kewaspadaan bagi Indonesia khususnya di Pulau Timor karena berbatasan langsung dengan
Timor Leste. Kejadian wabah ASF pertama di Timor Leste dilaporkan terjadi di Dili setelah 27
September 2019 (OIE, 2019), sedangkan Indonesia masih dinyatakan bebas ASF hingga bulan
September 2019, namun pada bulan Oktober 2019 dilaporkan banyak kematian pada babi di
Sumatera Utara. TTS (Timor Tengah Selatan), Kabupaten Kupang, kota Kupang, Kabupaten
Lembata, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Nele (FAO, 2021).

2.3. Patogenesis
Penularan virus ASF pada babi liar atau babi domestik melalui beberapa cara yaitu dapat
ditularkan melalui kontak langsung (direct contact) maupun tidak langsung (indirect contact)
serta melalui gigitan kutu caplak (Ornithodorus sp) yang telah mengandung virus ASF. Virus
ASF dapat ditransmisikan melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi dan atau produk
hewan yang telah terkontaminasi virus ASF (Rev et al., 2020). Penularan secara kontak langsung
melalui cairan tubuh hewan yang terinfeksi seperti air liur, sekresi pernapasan, urin dan feses,
sedangkan kontak tidak langsung melalui fomit atau benda-benda lain yang tercemar virus ASF
termasuk pemberian pakan sampah (swill feeding) baik dari pesawat maupun restoran yang
mengandung daging babi yang tercemar virus ASF, kendaraan pengangkut babi yang terinfeksi,
pakaian dan peralatan makan babi yang telah tercemar virus ASF dan melalui lalu lintas babi
sakit (Kipanyula & Nong’ona, 2017).
Gambar 1. Siklus transmisi African swine fever (Sumber: FAO, 2017)

Awalnya, virus ASF menginfeksi babi melalui rute oral-nasal. Kemudian virus bereplikasi
di tonsil dan jaringan limfoid hingga terjadi viremia (Salguero, 2020). Menurut Blome et al
(2013) ASFV akan berada pada anak babi yang mengalami viremia primer kira-kira 8 jam
setelah terinfeksi, sedangkan untuk babi yang mengalami viremia sekunder (Ornithodoros) akan
terdeteksi dari 15-24 jam dan apabila setelah 30 jam maka virus ASF dapat ditemukan pada
semua organ tubuh babi yang terinfeksi. Setelah viremia dan virus berhasil mencapai sistem
limfatik maka akan terjadi limfopenia, dapat mempengaruhi endotelium pembuluh darah
(hemoragi), serta terjadi trombositopenia. Jika hal ini dibiarkan berhari-hari maka babi akan
mengalami edema paru-paru, lesi pada endotel, serta dapat mengakibatkan kematian. Pada
infeksi kronis patogenesis virus ASF tidak memiliki karakteristik yang khas. Tetapi dapat
ditunjukan dengan adanya komplemen autoimun dan lesi dari deposisi imun kompleks dengan
komplemen pada jaringan seperti ginjal, paru-paru, dan kulit (Andersson, 2011).
Virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama dalam darah, feses dan jaringan,
produk daging babi mentah atau kurang matang. Virus ASF dapat terdeteksi pada daging dengan
dan tanpa tulang dan daging giling selama 105 hari, pada daging yang diasinkan 182 hari, daging
yang diasap 30 hari, daging yang dimasak (minimal 30 menit pada 70°C) 0 hari, daging kering
300 hari, daging dalam keadaan dingin 110 hari, daging beku 1.000 hari, jeroan babi 105 hari,
kulit/lemak (bahkan dikeringkan) 300 hari, darah disimpan pada suhu 4°C 18 bulan, kotoran
pada suhu kamar 11 hari, darah membusuk 15 minggu dan kandang babi yang terkontaminasi 1
bulan (BeltránAlcrudo et al., 2017: Mazur-Panasiuk et al., 2019b), sedangkan pada pinjal
berkulit lunak (soft ticks) seperti Ornithodoros erraticus dapat bertahan hingga 5 tahun,
sementara itu, umur O. erraticus dapat mencapai 20 tahun (Boinas et al., 2011).

2.4. Gejala Klinis


Menurut OIE (2019b) manifestasi ASF dapat dikelompokan menjadi 4 bentuk yaitu,
perakut, akut, subakut dan kronis. Bentuk perakut biasanya ditandai dengan masa inkubasi yang
cepat serta kematian tiba-tiba yang terjadi dalam 1-3 hari sebelum hewan menunjukan adanya
gejala klinis (Beltrán-Alcrudo et al., 2017). Selanjutnya ada bentuk akut yang paling banyak
ditemui pada laporan kasus ASF (Sánchez-Vizcaíno et al., 2015). Bentuk ini memiliki masa
inkubasi 4-19 hari dengan kematian dapat terjadi dalam 4-10 hari untuk strain yang sangat
virulen atau 11-15 hari untuk strain dengan virulensi menengah. Bentuk akut ini memiliki CFR
hingga 100% dengan tingkat mortalitas yang juga dapat mencapai 90- 100% pada babi domestik
(Beltrán-Alcrudo et al., 2017; OIE, 2019b). Gejala seperti demam tinggi (40- 42ºC), hilangannya
nafsu makan, tampak lemas dan malas bergerak, kecenderungan untuk berkumpul (crowding)
serta hemoragi pada kulit dan organ internal merupakan gejala-gejala yang paling sering teramati
pada kasus akut (Gómez-Villamandos et al., 2013; Sánchez-Vizcaíno et al., 2015; OIE, 2019b).
Babi yang terinfeksi bentuk ini umumnya menunjukan eritema pada kulit di bagian telinga, ekor,
distal ektermitas, dada, abdomen dan area perianal. Sianosis dapat teramati pada masa 1-2 hari
sebelum babi tersebut akhirnya mati (Sánchez-Vizcaíno et al., 2015). Pada bentuk subakut,
kematian umumnya terjadi lebih lambat dari kasus akut dengan gejala klinis serta lesi yang lebih
ringan. Hemoragi hebat juga ditemukan pada kasus subakut ini. Selanjutnya adalah bentuk kronis
ASF yang dikarakteristikan dengan adanya nekrosis multifokal pada kulit dan arthritis,
keterlambatan pertumbuhan, emasiasi, gangguan respirasi dan aborsi. Pada kasus kronis tidak
ditemukan adanya perubahan vaskular. Banyak lesi yang dijumpai pada bentuk ini berhubungan
dengan infeksi bakterial (Galindo-Cardiel et al., 2013; Salguero, 2020).
Gambar 2. Sianosis pada area disekitar mata, telinga serta pada bagian median dan ventral tubuh
(Gelolodo et al., 2021).

2.5. Diagnosa
Diagnosis ASF dapat didasarkan pada pengamatan gejala klinis, pengamatan epidemiologi
penyakit, pemeriksaan laboratorium, baik uji serologi, virologis maupun pemeriksaan post
mortem. Uji virologis yang cepat dan akurat sangat diperlukan untuk penanganan infeksi ASF.
Diagnosis ASF disamping melihat gejala klinis, pemeriksaan patologis anatomis juga sering
dilakukan pada saat bedah bangkai pada babi yang telah mati atau dibunuh. Hasil nekropsi pada
babi yang mati menunjukkan kelainan pada organ seperti eritrema pada kulit, edema paru limpa
membengkak dan hepiremi sehingga warna limpa menjadi hitam, hati bengkak, terdapat cairan
pada pericard dan sering ditemukan ptechie atau haemorrhages pada jantung, ginjal, dan
limphonodul (Sanchez-Vizcano et al. 2015; Kipanyula & Nong’ona 2017).
Gambar 3. Hasil patologi anatomi (A) Limpa tampak membesar dan berwarna kehitaman; (B) Petekie pada
tepi limpa; (C) Petekie pada konkaf limpa; dan (D) Perdarahan pada limfonodus inguinal superfisial
(Gelolodo et al. 2021).

Gejala penyakit Hog Cholera di lapangan sering mirip dengan penyakit ASF, sehingga
pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan untuk membedakan dengan penyakit tersebut
(SanchezVizcano et al., 2015). Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji
serologi seperti uji ELISA, Hemaglunisasi Inhibisi dan Immunodot blot (Balyshev et al., 2018;
Zhao et al., 2019). Sedangkan uji deteksi virus ASF dilakukan dengan uji fluorescent antibodi
(DFA) dan real time q-PCR (Balyshev et al., 2018; MazurPanasiuk & Woźniakowski, 2019a)
dan konvensional PCR. Real time PCR dan ELISA merupakan diagnosis baku dan paling sering
digunakan (Chenais et al., 2017).
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan serologi (Chenais et al.
2017) dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati, tonsil, ginjal, limfoglandula,
jantung dan paru atau darah dalam EDTA, swab nasal dan swab rektal (Sanchez-Vizcano et al.
2015; Beltran-Alcrudo et al., 2017). Untuk pengujian RT-PCR, dapat menggunakan sampel
seperti tanah yang telah terkontaminasi cairan tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara
tradisional, air minum babi, sisa makanan atau tempat pembuangan feses/manure (Chenais et al.,
2017).
2.6. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Penyakit ASF sulit diberantas karena belum memiliki vaksin serta virus ASF dapat bertahan
dalam jangka waktu yang lama di lingkungan, sehingga tindakan preventif sangat diperlukan
untuk mencegah kejadian penyakit ini. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh peternak
yaitu meningkatkan biosekuriti kandang. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan yaitu
pembersihan menyeluruh dan penghapusan seluruh produk hewan (feses, darah, dst) serta
dilakukan desinfesksi sebelum hewan baru diternakan kembali, setelah itu kandang dilakukan
pembersihan 2 kali sehari dengan menggunakan detergent, pembersihan peralatan kandang,
pakan dimasak dengan suhu mencapai 90oC selama 1 jam, perkawinan babi harus menggunakan
pejantan/indukan yang sehat, serta babi mati dikuburkan/ dibakar hangus, sedangkan sebagai
masyarakat, tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan melaporkan gejala penyakit
atau kematian babi pada dinas terkait dalam waktu 24 jam, tidak menjual babi dan karkas babi
yang sakit, penumpang udara dan laut yang masuk/keluar suatu wilayah (antar pulau) tidak
membawa pulang daging babi atau produk daging babi yang terkontaminasi ASF, serta tidak
mengirimkan produk daging babi terkontaminansi ke dalam suatu wilayah (OIE, 2019).
Penerapan biosekuriti yang baik, mengurangi kontak dengan pakan/ alat yang tercemar
seperti penggunaan swill feeding sebagai pakan ternak babi dan pengolahan limbah pesawat,
serta pengetatan barang bawaan penumpang pesawat dan kapal laut perlu dilakukan. Walaupun
di Indonesia tidak mudah untuk menerapkan kebijakan tersebut karena sebagian besar peternak
babi di Indonesia merupakan peternak tradisional yang masih banyak menggunakan swill feeding
sebagai pakan ternak. Tentunya pendekatan ini perlu didukung dengan pengawasan lalu lintas
ternak babi, pembersihan dan disinfeksi kandang dan dukungan penuh dari pemerintah.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit viral hemoragik yang menyerang ternak
babi dan babi liar yang sangat menular dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi dan
menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak baik peternakan skala kecil maupun besar.
Penularan virus ASF dapat terjadi melalui penggunaan swill feeding, produk hewan ilegal, lalu
lintas ternak babi, kendaraan yang terkontaminasi ASF, dan pergerakan babi hutan. Terdapat tiga
siklus dalam transmisi virus ASF, yaitu siklus sylvatic, siklus domestic, dan siklus babi hutan.
Penyakit ASF telah masuk ke Indonesia yang diduga melalui produk babi yang dibawa dari
daerah negara tertular. Pemberantasan penyakit ASF di Indonesia sulit dilakukan karena telah
menyebar, sedangkan penggunaan vaksin yang efektif dan aman masih belum tersedia. Untuk itu
pemerintah dan semua stake holder terkait perlu berpartisipasi melalui penerapan biosekuriti
yang ketat, menyediakan fasilitas diagnosis penyakit yang cepat dan akurat. Selain itu, perlu
penguatan surveilans dan monitoring transportasi babi hidup dan produknya, pelarangan barang
bawaan penumpang yang mengandung daging babi dari negara tertular dan melakukan advokasi
bahaya penggunaan swill feed sebagai pakan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Alcrodo DB, Arias M, Gallardo, Kramer SA. 2017. African Swine Fever Detection and
Diagnosis a Manual for Veterinarian. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. 19-78
Andersson, M. (2011). African swine fever in Uganda- description of a recent outbreak and
studies of possible differential diagnoses. 1–31

Beltrán-Alcrudo, D., M. Arias, C. Gallardo, S. A. Kramer, and M.-L. Penrith, editors. 2017.
African swine fever: detection and diagnosis – A manual for veterinarians. Food and
Agriculture Organization of the United Nations (FAO), 88 pp
Bere. M. Sigiranus. 2020. “24.822 Ternak Babi di NTT Mati akibat Virus ASF”

Blome, S., Gabriel, C., & Beer, M. (2013). Pathogenesis of African swine fever in domestic pigs
and European wild boar. Virus Research, 173(1), 122–130

Boinas FS, Wilson AJ, Hutchings GH, Martins C, Dixon LJ 2011. The persistence of African
Swine Fever Virus in field-infected endemic period in Portugal. PLoS ONE. 6:e20383.
Ornithodoros erraticus during the ASF

Chenais E, Sternberg-Lewerin S, Boqvist S, Liu L, LeBlanc N, Aliro T, Masembe C, Ståhl K.


2017. African swine fever outbreak on a medium-sized farm in Uganda: Biosecurity
breaches and within-farm virus contamination. Trop Anim Health Prod. 49:337-346

Costard S, Mur L, Lubroth J, Pfeiffer DU. 2012. Epidemiology of African swine fever virus.
United Kingdom. Elsevier B.V

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2020.“Cegah Penyebaran
Kasus, Kementan Petakan Kasus Kematian Babi Di NTT”.Diakses tanggal 8 Juni 2020

Dixon LK, Chapman DAG, Netherton CL, Upton C. 2013. African swine fever virus replication
and genomics. Virus Res. 173:3-14

Dixon, L. K., K. Stahl, F. Jori, L. Vial, and D. U. Pfeiffer. 2020. African Swine Fever
Epidemiology and Control. Annual Review of Animal Biosciences 8(1):221-246

Gómez-Villamandos, J. C., M. J. Bautista, P. J. Sánchez-Cordón, and L. Carrasco. 2013.


Pathology of African swine fever: The role of monocyte macrophage. Virus Research
173(1):140-149

FAO. 2021. ASF situation in Asia and Pasific Update per 15 April 2021

Food Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 2017. African Swine Fever:
Detection And Diagnosis (a manual for veterinarians)
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 2018. African Swine Fever
threatens people’s Republic of China: A rapid risk assessment of ASF introduction

Galindo-Cardiel, I., M. Ballester, D. Solanes, M. Nofrarías, S. López-Soria, J. M. Argilaguet, A.


Lacasta, F. Accensi, F. Rodríguez, and J. Segalés. 2013. Standardization of pathological
investigations in the framework of experimental ASFV infections. Virus Research
173(1):180-190

Gelolodo MA, Sanam MUE, Toha LRW, Widi AYN, Simarmata YTRMR, Murni TFIMD. 2021.
Histopatologi Limpa dan Limfonodus pada Kasus Lapangan dengan Dugaan Kematian
Akibat Virus African Swine Fever pada Babi di Kabupaten Kupang. Jurnal Kajian
Veteriner. Vol. 9 No. 2:62-75 (2021)

Jayanata, I.M.A., Suardana, I.B.K. and Ardana, I.B.K. 2016. Respon imun Anak Babi Pasca
Vaksinasi Hog Cholera, 2301; 2477-6637

Kipanyula MJ, Nong’ona SW. 2017. Variations in clinical presentation and anatomical
distribution of gross lesions of African swine fever in domestic pigs in the southern
highlands of Tanzania: a field experience. Trop Anim Health Prod. 49:303-310

Kojo RE., Panelewen VVJ., Manase MAV., Santa N., 2014, Efisiensi Penggunaan Input Pakan
dan Keuntungan pada Usaha Ternak Babi di Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa
Selatan, Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, Jurnal Zootek
(“Zootek”Journal) Vol 34(1): 62-74

Manik, O.R. Yando; Ginting, Garuda. 2018. Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Hewan Ternak
Babi Dengan Menggunakan Metode Fuzzy Mamdani Berbasis Web. Majalah Ilmiah
INTI: Medan. Volume 5, Nomor 3, Juni 2018 ISSN 2339-210X

Mazur-Panasiuk, N., J. Żmudzki, and G. Woźniakowski. 2019. African Swine Fever Virus -
Persistence in Different Environmental Conditions and the Possibility of its Indirect
Transmission. J Vet Res 63(3):303-310
Malogolovkin A, Burmakina G, Titov I, Sereda A, Gogin A, Baryshnikova E, Kolbasov D. 2015.
Comparative analysis of African swine fever virus genotypes and serogroups. Emerg
Infect Dis. 21:312-315

Montgomery E. 1921. On a form of swine fever occurring in British East Africa (Kenya colony),
J Comparative Path Therapeu. 24:159- 191

OIE. 2019. African Swine Fever Aetiology Epidemiology Diagnosis Prevention and Control

OIE. 2019b. African Swine Fever (Infection with African Swine Fever Virus), Manual of
Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals

Rodriguez JM, Moreno LT, Alejo A, Lacasta A, Rodriguez F, Salas ML. 2015. Genome
sequence of African swine fever virus BA71, the virulent parental strain of the
nonpathogenic and tissue-culture adapted BA71V. PLoS One. 10:p.e0142889

Salguero, F. J. 2020. Comparative Pathology and Pathogenesis of African Swine Fever Infection
in Swine. Front Vet Sci 7(282) (Review)

Sánchez-Vizcaíno, J. M., L. Mur, J. C. Gomez-Villamandos, and L. Carrasco. 2015. An Update


on the Epidemiology and Pathology of African Swine Fever Journal of Comparative
Pathology 152(1):9-21

Schulz, K., C. Staubach, and S. Blome. 2017. African and classical swine fever: similarities,
differences and epidemiological consequences. Vet Res 48(1):84-84

Sendow, I., A. Ratnawati, N. L. P. Dharmayanti, and M. Saepulloh. 2020. African Swine Fever:
Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia. Indonesian Bulletin of
Animal and Veterinary Sciences 30:15

Zhao D, Liu R, Zhang X, Li F, Wang J, Zhang J, Liu X, Wang L, Zhang J, Wu X, Guan Y, Chen
W, Wang X, He X, Bu Z.2019. Replication and virulence in pigs of the first African
swine fever virus isolated in China. Emerging Microbes Infect. 8:438-447

Anda mungkin juga menyukai