Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENGENDALIAN PENYAKIT TERNAK

“PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)”

Oleh :

Princa Rizka Ferima NIM: 201610350311019

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas seluruh limpahan nikmat,
rahmat, dan karunia-NYA kepada penulis sehingga makalah Pengendalian
Penyakit Ternak ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini
berjudul “Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)” yang saya buat sebagai salah satu
tugas mata kuliah Pengendalian Penyakit Ternak.
Materi makalah ini tentu belum lengkap dan cakupannya masih perlu
diperluas dengan menambah sumber-sumber bacaan lain dari textbook atau bahan
lainnya dari internet. Namun, walaupun belum lengkap, diharapkan makalah ini
bisa digunakan mahasiswa lainnya sebagai tuntunan untuk mencari sumber bacaan
lain dan memperkaya materi kuliah ini dari sumber lainnya.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini
tidak akan terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, untuk itu dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada yang terhormat:
1. drh. Imbang Dwi R., Mkes selaku dosen mata kuliah Pengendalian Penyakit
Ternak yang telah banyak membina kelancaran proses studi.
2. Orang tua yang telah memberi dukungan moral, finansial, sertado’a untuk
kelancaran pembelajaran penulis.
3. Teman-teman sekalian yang telah mendukung dan memberi semangat kepada
penulis.

Malang, 28 Oktober 2021

Penulis
1. Definisi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Foot and Mouth Disease adalah
penyakit hewan yang cepat menular menyerang hewan berkuku belah (cloven
hoop), seperti sapi, kerbau, domba, kambing, babi, rusa/kijang, onta dan gajah
(Abdul Adjid, 2020). Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan salah satu
penyakit eksotik di Indonesia (Kementerian Pertanian, 2013). Penyakit ini
disebabkan oleh picorna virus dari genus Aphthovirus yang merupakan virus
yang tersebar di sebagian besar belahan dunia, seringkali menyebabkan epidemi
yang luas pada sapi dan babi piaraan. Terdapat tujuh serotype dari virus
PMK yang telah diidentifikasi melalui uji serologi dan perlindungan silang;
virus itu dinyatakan dengan O (Oise) dan A (Allemagne); C; SAT1,
SAT2, SAT3(South African territories) dan Asia1.

Virus dapat diinaktifasi dengan peningkatan suhu, pH yang


asam dan basa sertapemberian desinfektan. Inaktifasi secara progresif
dilakukan dengan pemanasan pada suhudiatas 50°C. Pemanasan daging dapat
dilakukan pada suhu minimum 70 °C selama 30 menit.Selain itu, pH lebih kecil
dari 6 dan lebih besar dari 9 dapat menginkatifasi virus secaracepat. Pemberian
desinfektan untuk inaktifasi virus dapat menggunakan sodium hydroxide (2%),
sodium carbonate (4%), asam sitrat (0.2%), asam asetat (2%), sodium
hypochlorite (3%), potassium peroxymonosulfate /sodium chloride (1%), dan
chlorine dioxide. Sedangkanvirus resisten terhadap idiofor, amonium kuartener
dan fenol terutama yang berasal darimaterial organik (OIE, 2013). Virus
PMK dapat bertahan hidup pada limfonodus dansumsum tulang pada pH
netral, namun dapat rusak pada pH < 6 misalnya setelah rigormortis. Virus
dapat bertahan pada sumsum tulang dan limfonodus yang dibekukan. Residuvirus
dapat ditemukan dalam susu dan produk susu pada pasteurisasi reguler, tetapi
dapatdiinaktifasi pada pasteurisasi ultra-high temperature (OIE, 2013)

Penyakit ini sangat menular dan masih terjadi di banyak negara di dunia,
serta mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Davies (2002) memaparkan
pengendalian wabah PMK di Inggris yang menelan biaya sekitar £2,7 miliar
diluar kerugian miliaran poundsterling yang diakibatkan oleh turunnya jumlah
turis, serta terganggunya industri-industri peternakan di pedesaan. Chaters et al.
(2018) memperlihatkan bahwa wabah PMK di daerah endemik menurunkan
fertilitas pada sapi perah. Berdasarkan pada sifat penyakit, sebaran penyakit dan
dampak kerugiannya, Badan Kesehatan Hewan Dunia, atau Office des
Internationale Epizootis (OIE), menempatkan penyakit ini dalam daftar “OIE
Listed Diseases and Other Diseases of Importance” sebagai penyakit yang harus
dilaporkan kejadiannya oleh semua negara di dunia ke OIE (OIE, 2019a).

2. Sejarah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)


Kampanye vaksinasi massal memberantas PMK dimulai tahun 1974
sehingga pada periode 1980 - 1982 tidak tercatat lagi kasus PMK. Indonesia
pernah menjadi negara tertular PMK (Ronohardjo et al. 1984), dan penyakit ini
pertama kali dilaporkan pada pada tahun 1887 di Malang, yang kemudian
menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Pengendalian PMK dilakukan secara
terus menerus saat itu untuk pembebasan penyakit, namun pada tahun 1983, PMK
meletup kembali di Kabupaten Blora Jawa Tengah.
Pemberantasan PMK kemudian dilakukan secara masif dengan
melakukan vaksinasi berkelanjutan selama tiga tahun berturut-turut hingga
akhirnya penyakit ini berhasil dibebaskan kembali dan status bebas PMK
dinyatakan dalam Resolusi OIE no XI tahun 1990 (Ditkeswan, 2014). Pada tahun
2001 hanya ada 5 negara di dunia yang bebas dari PMK yaitu Kanada, Australia,
Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Indonesia. Pada tahun 2013 pemerintah
Indonesia menetapkan bahwa PMK merupakan penyakit hewan menular strategis
(PHMS) yang harus diwaspadai dan dicegah (Menteri Pertanian 2013). Sampai
saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari PMK dan tanpa program vaksinasi
yang diputuskan dengan Resolusi OIE no XV tahun 2019 (OIE 2019c).

3. Gejala Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)


Semua hewan berkuku belah atau cloven hoop rentan terhadap infeksi
PMK, baik hewan domestik maupun liar, seperti sapi, kerbau, domba, kambing,
babi, rusa, dan onta. Lebih dari 70 spesies mamalia liar rentan terhadap infeksi
virus PMK. Hewan yang sakit akibat infeksi virus PMK memperlihatkan gejala
klinis yang patognomonik berupa lepuh/lesi pada mulut dan pada seluruh teracak
kaki (McLachlan & Dubovi, 2017). Gejala klinis PMK pada hewan rentan sedikit
bervariasi antar spesies hewan dengan masa inkubasi penyakit berkisar antara 2-8
hari. Secara umum, gejala klinis PMK adalah demam mencapai 39°C selama
beberapa hari, tidak nafsu makan dan lesi-lesi pada daerah mulut dan keempat
kakinya. Lesi-lesi dalam bentuk lepuh-lepuh pada permukaan selaput lendir
mulut, termasuk lidah, gusi, pipi bagian dalam dan bibir. Pada kaki lesi akan
terlihat jelas pada tumit, celah kuku dan sepanjang coronary bands kuku. Lesi juga
bisa terjadi pada liang hidung, moncong, dan puting susu (Abdul Adjid, 2020).
Tingkat morbiditas dapat mencapai 100 %. Mortalitas pada umumnya rendah
pada hewan tua (1-5 %) akan tetapi tinggi pada hewan muda (20% keatas).
Gejala klinis pada sapi umumnya terjadi Pirexia, anoreksia, suhu tubuh
meningkat,yang kemudian dilanjtkan dengan sapi mulai menggertakan gigi dan
bibir, mengeluarkan airliur, berjalan pincang, menendang-nendang kakinya karena
terdapat vesikel pada membranemukus buccal dan nasal atau antara digiti dan
coronary band. Setelah 24 jam vesikel akanruptur dan menyebabkan terjadinya
erosi. Pada domba, Kambing dan Babi gejala klinis yangnampak adalah pireksia
terdapat lesi pada mulut dan kaki, selain itu juga kematian padahewan muda
sering terjadi tanpa ditandai dengan adanya gejala klinis. Menurut OIE (2013) lesi
yang pada umunya ditemukan pada gejala klinis dari setiap spesies berupa
vesikula ataulepuhan pada lidah, gusi, pipi, palatum durum dan palate
mole, bibir, lubang hidung,moncong, coronary band, ambing, dewclaw, dan
celah interdigiti.
Gejala klinis PMK pada babi lebih dominan berupa lesi-lesi pada
kaki/teracak kaki dan biasanya babi mengalami kelemahan. Pada sapi perah
disamping gejala tersebut di atas, terjadi penurunan produksi susu, sedangkan
pada domba, kambing dan rusa, lesi-lesi berupa lepuh-lepuh kecil dan sulit dilihat
sehingga diperlukan pengamatan yang teliti. Pada beberapa kasus, gejala PMK
dapat dikelirukan dengan penyakit busuk kuku atau foot rot (Soeharsono et al.,
2010; OIE, 2019a).
4. Cara Penularan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Virus PMK masuk ke dalam tubuh hewan melalui mulut atau hidung dan
virus memperbanyak diri pada sel-sel epitel di daerah nasofaring (Arzt et al.,
2011), dan virus PMK kemudian masuk ke dalam darah dan memperbanyak diri
pada kelenjar limfoglandula dan sel-sel epitel di daerah mulut dan kaki (teracak
kaki) mengakibatkan lesi-lesi. Arzt et al. (2011) dalam penelitian patogenesis
PMK pada sapi memperlihatkan adanya keunikan dan persisten infeksi dari virus
PMK pada sel-sel epitel di nasofaring yang hanya mengalami peradangan
minimal, tidak membentuk lepuh atau vesikel dan degenerasi acantholityc.
Penularan PMK dari hewan sakit ke hewan lain yang peka terutama
terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan sakit, kontak dengan sekresi
dan bahan-bahan yang terkontaminasi virus PMK, serta hewan karier. Penularan
PMK dapat terjadi karena kontak dengan bahan dan alat yang terkontaminasi virus
PMK, seperti petugas, kendaraan, pakan ternak, produk ternak berupa susu,
daging, jerohan, tulang, darah, semen, embrio, dan feses dari hewan sakit.
Penyebaran PMK antar peternakan ataupun antar wilayah dan negara umumnya
terjadi melalui perpindahan atau transportasi ternak yang terinfeksi, produk asal
ternak tertular dan hewan karier. Hewan karier atau hewan pembawa virus infektif
dalam tubuh (dalam sel-sel epitel di daerah esofagus, faring) untuk waktu lebih
dari 28 hari setelah terinfeksi sangat penting dalam penyebaran PMK (Salt, 1993;
OIE, 2019a).
Terkait dengan hewan karier, maka lamanya hewan bertindak sebagai
karier tergantung pada spesies hewan, strain virus, dan individu hewan. Babi
dapat dipastikan tidak menjadi karier PMK karena tidak ada bukti kuat
keberadaan virus setelah hewan sembuh dari penyakit. Pada kelompok sapi
tertentu, keberadaan virus PMK dapat tetap bertahan paling tidak untuk selama 3
tahun. Domba dan kambing dapat menyimpan virus PMK untuk selama 9 bulan
(Stenfeldt et al. 2016). Condy et al. (1985) menyatakan bahwa kerbau Afrika
(Syncerus caffer) pada pemeliharaan sistim individu dapat membawa virus PMK
paling tidak untuk selama 5 tahun, namun pada pemeliharaan hewan sistim
kelompok maka virus PMK dapat bertahan dalam populasi paling tidak untuk
selama 24 tahun. Selanjutnya Jori et al. (2016) menegaskan bahwa kerbau Afrika
ini merupakan hewan reservoir utama untuk virus FMD tipe SAT di Afrika
Selatan. Peranan hewan karier ini sangat penting dalam epidemiologi PMK dan
harus menjadi pertimbangan pada saat melakukan upaya pembebasan penyakit.
Terdapat dua rute infeksi, yaitu primer melalui inhalasi: aerosol dari
hewan yang terinfeksi akan terhirup oleh hewan yang peka, partikel virus akan
masuk ke dalam faring kemudian virus berplikasi dalam epitel faring. Setelah 24-
72 jam berikutnya akan terjadi viremia yang menyebabkan terjadinya kenaikan
suhu tubuh sehingga hewan akan mengalami demam. Akhirnya demam akan turun
dan fase viremia berakhir kemudian terjadi lepuh-lepuh pada lidah atau gingi sapi.
Sekunder melalui makanan yang tercemar, vaksinasi yang tercemar dan
inseminasi yang tercemar.
Virus dapat bertahan hidup dalam faring selama 2 tahun pada sapi dan 6 tahun
pada kambing maupun domba.
Virus bersifat stabil dalam lingkungan terbuka untuk jangka waktuyang
lama, yang kemudian disebarkan secara aerosol, terutama bila kelembabanudara
melebihi 70% dan suhu udara yang dingin. Virus bersifat peka terhadap
alkalimaupun asamPenyakit ini dibagi menjadi 3 macam bentuk, berupa bentuk
dermostomatitis yang tenang (benigna), bentuk interrmediate toxic dengan
penyakityang lebih berat, dan bentuk ganas (malignant) dengan perubahan pada
otot jantung dan sklelet. Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui inhalasi, virus
dapat masuk ke jaringan melalui ingesti, inseminasi dan inokulasi dan melalui
kontak dengan kulitluka yang terbuka. Replikasi virus utama, setelah inhalasi
berada di mukosa dan jaringan limfatik di faring.

5. Pencegahan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)


Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah masuknya binatang dan
hasil-hasilnya dari negara-negara dimana terdapat penyakit tersebut. Vaksinasi
binatang yang rentan terhadap penyakit pada daerah perbatasan antara daerah
yang terinfeksi dan yang tidak. Pemusanahan hewan-hewan yang terinfeksi dan
yang kontak dengannya ketika terjadi wabah di daerah yang bukan
enzootik.  Tindakan Kewaspadaan PMK pemantauan dan antisipasi oleh Petugas
Dinas Peternakan/ Kehewanan dan Karantina Petugas Dinas
Peternakan/Kehewanan dan Karantina dapat mengantisipasi masuknya PMK
melalui impor ternak.

6. Pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)


Upaya pengendalian penyakit mulut kuku (PMK) berdasarkan OIE
(2013), meliputi tindakan profilaksis sanitasi dan profilaksis medis.
1. Profilaksis sanitasi merupakan tidakan pencegahan terhadap infeksi
melalui upaya sanitasi. Profilaksis sanitasi dapat dilakukan melalui:
 Perlindungan zona bebas oleh kontrol dan pengawasan pada
hewan dari perbatasan terutama dari daerah tertular
 Tindakan karantina
 Pemusnahan hewan yang sedang terinfeksi, telah pulih dan
rentan terhadap infeksi
 Desinfeksi bangunan dan semua bahan yang terkontaminasi
seperti peralatan, mobil dan pakaian
 Pembuangan bangkai, selimut, dan produk hewani yang
terkontaminasi di daerah yang terinfeksi
2. Profilaksis medis merupakan tidakan pencegahan terhadap infeksi
melaluipemberian preparat medis atau biologis. Profilaksis medis dapat
dilakukan melaluipemberian Vaksin Tidak Aktif. Vaksin PMK yang
mengandung satu atau lebih preparatyang dibiakkan secara kultur sel dari
strain vaksin tidak aktif dicampur adjuvant daneksipien. Vaksin PMK
dapat diklasifikasikan sebagai vaksin potensi “standard” danvaksin potensi
“tinggi”.
a. Vaksin Potensi Standar diformulasikan dengan penambahan
antigen danadjuvant yang sesuai, memiliki potensi level 3 PD50 (dosis
protektif 50 %).
 Memberikan kekebalan 6 bulan setelah dilakukan dua kali vaksinasi
awaldengan interval satu bulan
 Jenis vaksin yang dipilih didasarkan pada hubungan antigen dengan
vaksinyang beredar
 Banyak yang multivalen untuk memastikan cakupan antigenik
yang luasterhadap strain yang beredar
b. Vaksin Potensi Tinggi (vaksin darurat) diformulasikan dengan
antigen danadjuvan yang sesuai untuk memiliki potensi level
minimum 6 PD50 (dosisprotektif 50%). Vaksin potensi tinggi
direkomendasikan untuk vaksinasi pada populasi yang belum pernah
terpapar agar diperoleh kekebalan yang lebih luas serta onset
perlindungan yang cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Adjid, R.M. 2020. Penyakit Mulut dan Kuku: Penyakit Hewan Eksotik
yang Harus Diwaspadai Masuknya ke Indonesia. WARTAZOA. 30(2):
61-70.

Arzt J, Juleff N, Zhang Z, Rodriguez LL. 2011. The pathogenesis of Foot and
Mouth Disease I: Viral pathways in cattle. Transbound Emerg Dis.
58:291- 304.
Chaters G, Rushton J, Dulu TD, Lyons NA. 2018. Impact on foot and mouth
disease on fertility performance in a large dairy herd in Kenya. Prevent
Vet Med. 159:57- 64.
Condy JB, Hedger RS, Hamblin C, Barnett ITR. 1985. The duration of the foot-
and-mouth disease virus carrier state in African buffalo (i) in the
individual animal and (ii) in a free-living herd. Comp Immun Microbiol
Infect Dis. 8:259-265.
Davies G. 2002. The Foot and Mouth Disease (FMD) epidemic in the United
Kingdom 2001 Comparative Immunology. Microbiol Infect Dis. 25:331-
334.
[Ditkeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014.
Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia (KIAT VETINDO): Penyakit
Mulut dan Kuku. Edisi 3.0. Jakarta (Indonesia): Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI.
Jori F, Caron A, Thompson PN, Dwarka R, Foggin C, de Garine-Wichatitsky M,
Hofmeyr M, Van Heerden J, Heath L. 2016. Characteristics of Foot-and–
Mouth Disease viral strains circulating at the wildlife/livestock interface
of the Great Limpopo Transfrontier conservation area. Transbound
Emerg Dis. 63:e58-e70.
MacLachlan NJ, Dubovi EJ. 2017. Fenner’s Veterinary Virology. 5th ed. Elsevier.
Oxford (UK): The Boulevard, Langford Lane, Kidlington.
Menteri Pertanian. 2013. Keputusan Menteri Pertanian No.
4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan
Menular Strategis (PHMS) yang sudah ada di Indonesia. Jakarta
(Indonesia): Kementerian Pertanian RI.

[OIE] Office International Des Epizooties. 2013.Foot and Mouth Diseas.

[OIE] Office des Internationale Epizootis. 2019a. Manual of diagnostic test and
vaccines for terrestrial animals 2019. Paris (Prancis): Office des
Internationale Epizootis.

[OIE] Office des Internationale Epizootis. 2019c. Official disease status.


https://www.oie.int/animal-health-inthe-world/official-disease-status/.

Ronohardjo P, Hendardi, Adjid A, Wiryono A, Abubakar M. 1984. Potensi


Berbagai Vaksin Mulut Dan Kuku Yang Dipakai Dalam Pemberantasan
Wabah Penyakit. Penyakit Hewan. 16:189-196.

Salt JS, 1993. The carrier state in foot and mouth disease*/an immunological
review. Br Vet J. 149:207-223.

Soeharsono, Syafriati T, Naipospos TSP. 2010. Atlas penyakit hewan di


Indonesia. Denpasar (Indonesia): Udayana Press University.

Stenfeldt C, San Segundo FD, de los Santos T, Rodriguez, LL, Arzt J. 2016. The
pathogenesis of Foot and Mouth Disease in pigs. Frontiers Vet Sci. 3:41.

Anda mungkin juga menyukai