Mikotoksin adalah zat toksik atau toksin yang dikeluarkan oleh jamur atau fungi.
Jamur merupakan mikroorganisme eukariotik, menghasilkan spora, tidak punya klorofil, dan
berkembang biak secara seksual dan aseksual. Jamur tergolong menjadi 2 golongan yaitu
kapang dan khamir. Kapang adalah jamur yang mempunyai filamen sedangkan khamir adalah
jamur sel tunggal yang tidak mempunyai filamen. Jamur dapat bersifat parasit yaitu
memperoleh makanan dari benda hidup atau bersifat saprofit yaitu memperoleh makanan dari
benda mati. Spora kapang (mold) di alam ada di mana-mana dan ini dapat mudah tumbuh
pada bahan pangan maupun pakan terutama jika bahan itu lembab. Bahan pangan atau pakan
yang ditumbuhi kapang atau jamur mudah dikenal karena akan segera rusak atau busuk dan
menghasilkan bau tak sedap (Gandjar, dkk, 2006). Mikotoksin berbeda dengan racun yang
diproduksi oleh bakteri, racun pada kapang kadan-kadang tidak menimblkan gejala akut
tetapi hanya menimbulkan gejala simptomatis karena tertelannya dalam frekuensi yang
berulang-ulang dalam suatu periode tertentu (Makfoeld, 2001).
Secara umum jamur berkembang biak dengan cara aseksul atau seksual. Spora
aseksual dari jamur adalah konidiospora, sporangiospora, oidium, klamidospora dan
blastospora. Sedangkan spora seksual dihasilkan dari peleburan dua nukleus, terbentuk lebih
jarang, dan dalam jumlah yang sedikit dibandingkan dengan spora aseksual. Ada beberapa
tipe spora seksual yaitu askospora, basidiospora, zigospora dan oospora (Alexopoulus dan
Mimms, 1979).
Mikotoksin dapat tinggal lama dalam bahan pangan tempat tumbuhnya meskipun
kapang tersebut sudah mati, dan karenanya dapat berada pada bahan atau makanan yang
kenampakannya tidak berkapang/ berjamur. Mikotoksin beberapa jenisnya memiliki sifat
relatif stabil terhadap panas atau pengolahan. Masalah yang lain adalah apabila pakan ternak
terkontaminasi mikotoksin. Di samping meracuni hewan itu sendiri, mikotoksin atau produk
metabolitnya dapat tinggal sebagai residu dalam dagingnya atau bahkan masuk ke dalam susu
atau telur atau mengkontaminasinya dan dapat terkonsumsi oleh manusia (Rahayu, 2006).
Penyakit yang diakibatkan karena adanya mikotoksin disebut mikotoksikosis.
Mikotoksin dapat mengkontaminasi pangan bila bahan pangan yang umumnya tanpa
pengawet disimpan lama dalam kondisi lembab dan tidak disimpan dalam lemari pendingin,
sehingga bahan pangan ini mudah menjadi media bagi pertumbuhan jamur (Makfoeld, 2001).
Alfatoksin
Sterigmatosistin
Patulin
Luteoskirin
Sitreoviridin
Beras
Trikotesena
Jagung
Asam Penisilat
Jagung
Okratoksin
Malformins
Ikan Busuk
Fumonisin
Jamur penghasil
Ergot alkaloid
Claviceps purpurea
Toksik
pada
saraf
pusat,
Aspergillus
Penicillium patulum
Luteoskirin
Penicillium islandicum
Sitreoviridin
Penicillium citreoviride
Trikotesena
Fusarium tricinctum
Asam penisilat
Penicillium puberulum
Okratoksin
Aspergillus ochraceus
Malformins
Aspergillus niger
Fumonisin
Fusarium sp.
1. Aflatoksin
Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap
manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis,
dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.Tidak ada hewan
yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika
diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada
kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan
(Muhilal et al, 1985).
Aflatoksin B1 pada tanaman Aspergillus flavus kacang-kacanganyang mengalami
epoksidasiakan menjadi metabolit epoksida. Metabolit ini yang berikatan secara kovalen
dengan DNA di dalam hati sehingga mengakibatkan hepato karsinogenik, selain itu juga
dapat menghambat metabolisme karbohidrat dan lipid, menghambat sintesis protein. Efek
samping Aflatoksin : nekrosis akut, sirosis, karsinoma pada hati, kerusakan hati akut, dan
edema.
Gejala Aflatosikosis
Menurut Sudjadi et al (1999), manusia dapat terpapar aflatoksin melalui pangan yang
dikonsumsinya. Paparan aflatoksin ini sulit dihindari karena pertumbuhan jamur penghasil
aflatoksin pada pangan tidak mudah dicegah. Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau
pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Penelitian toksisitas paparan oral
liver pada manusia karena konsumsi susu, daging, atau telur yang terkontaminasi dalam
jumlah tertentu. Kehilangan tanaman pangan akibat kontaminasi aflatoksin juga sangat
merugikan manusia, baik petani maupun kalangan industri hasil pertanian di dunia. Gejala
awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa
menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan
pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan
terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas,
salmonellosis, pneumonia. Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom
penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian
akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung (Yenny, 2006).
Saluran gastrointestinal manusia dapat dengan cepat mengabsorbsi aflatoksin segera
setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan sistem peredaran darah membawa
aflatoksin tersebut ke dalam hati. Selanjutnya, 1-3% aflatoksin yang dikonsimsi itu akan
terikat secara iriversibel pada protein dan basa-DNA untuk membentuk ikatan seperti
misalnya aflatoksin B-lysine di albumin. Disrupsi protein dan basa-DNA di dalam sel
hepatosit menyebabkan toksisitas hepar. Manifestasi dini dari hepatotoksisitas berupa
anoreksia, malaise, dan demam (low-grade). Aflatoksikosis dapat berlanjut menjadi hepatitis
akut yang bersifat letal dengan gejala-gejala seperti muntah, nyeri perut, hepatitis dan
kematian (Yenny, 2006).
2. Okratoksin
Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal
pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini
pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A.
ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacangkacangan, ikan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh
Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah
beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.
P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan
pH optimum 6 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 370C. Saat ini diketahui
sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan
Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam
(Kuiper-Goodman, 1996).
Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada berbagai produk
ternak seperti daging babi, daging ayam, dan daging ikan. Hal ini karena OA bersifat larut
dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak. Manusia dapat
terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi. Okratoksin A (OTA) merupakan jenis
mikotoksin yang banyak mengkontaminasi komoditas pertanian dan pakan. Okratoksin A ini
diketahui pertama kali pada tahun 1965 di Afrika Selatan yang diproduksi oleh kapang
Aspergillus ochraceus. Selanjutnya diketahui OTA dapat juga dihasilkan oleh kapang
Penicillium verrucosum dan P. viridicatum (pada umumnya terdapat di daerah subtropis) dan
A. carbonarius (pada umumnya terdapat di daerah tropis). Selain OTA terdapat okratoksin B
(C20H19NO6), C (C22H22ClNO6), a dan b. OTA merupakan molekul yang cukup stabil,
dan dapat bertahan pada produk olahan bahan pangan. OTA pertama kali ditemukan sebagai
kontaminan alami pada sampel jagung. Konsentrasi OTA yang sering ditemukan berkisar
dibawah 50 mcg/kg (ppb); namun jika produk pangan tersebut disimpan dengan cara yang
tidak layak maka konsentrasi OTA bisa menjadi lebih tinggi. Senyawa ini juga terdapat pada
produk seperti kopi, bir, buah kering, wine, kakao dan kacang-kacangan.
Sedangkan untuk produk hasil perikanan, ikan pindang merupakan jenis produk yang
kan mudah terinfeksi racun mikotoksin ini. Dari hasil penelitian Ninoek, et al, (2001),
mengenai isolasi kapang pada ikan pindang dengan mengamati ikan yang disimpan dalam
ruang pengolahan tradisional bersuhu dan dilakukan isolasi dan identifikasi kapang. Hasilnya
pindang yang disimpan selama 3 hari, sudah ditunbuhi kapang berwarna abu-abu, kuning,
hitam, dan biru kehijauan. Hal ini diidentifikasi dan terdapat beberapa kapang atau jamur
penghasil toksin yaitu Aspergillus flavus (Aflatoksin), Aspergillus ochraceus (Okratoksin),
Aspergillus niger (Malformins), Penicillium crysogenum (Penghasil antibiotic) dan Rhizopus
oryzae (Pembuatan tempe).
Ali, N., Sardjono, A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998. Natural occurrence of aflatoxins
and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in
corn from Indonesia. Food. Add. Contaminant. 15: 377-384.
Alexopoulus, C. J., dan Mims, C.W. 1979. Introductory Mycology.John Wiley & Sons. New
York.
El-Banna R, Teleb HM, Hadi MM, Fakhry FM (1992) Performance and tissue residue of
tilapias fed dietary aflatoxin. Vet Med J 40:1723.
Gandjar, I. Sjamsuridzal, W. Oetari, A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Jantrarotai, W. and Lovell, R. T. 1990. Subchronic toxicity of dietary aflatoxin B1 to channel
catfish. J. Aquatic Animal Health, 2:248-254.
Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food.
Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557
Makfoeld, D. 1993. Mikotoksin Pangan. Kanisius. Yogyakarta.
Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal
Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 5157.
Muhilal and D.Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia. Vol.X (1): 75-79
Rahayu, W.P. 2006. Mikotoksin dan Mikotoksis: Mikrobiologi Keamanan Pangan.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. IPB. Bogor.
Sudjadi, S., Machmud, M., damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999.
Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut.
Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25.
Tuan NA, Grizzle JM, Lovell RT, Manning BB, Rottinghaus GE (2002) Growth and hepatic
lesions of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) fed diets containing aflatoxin B1.
Aquaculture 212:311319.
Yenny. 2006. Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia. Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti. Universa Medicina. Vol.25 No.1.