Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MEKANISME KEJADIAN PENYAKIT

MEKANISME INFEKSI DEMODEKOSIS

ERENA HAJAR KARTIKA

1982311001

PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
Pendahuluan

Hewan peliharaan adalah hewan yang dipelihara sebagai teman manusia. Hewan yang
paling sering dipelihara sebagai teman bermain adalah anjing dan kucing. Banyak hal yang dapat
diperoleh jika memelihara hewan di rumah. Selain sebagai penghilang tekanan dan penat, hewan
lucu tersebut dapat diikutsertakan dalam berbagai lomba penampilan dan kompetisi. Untuk itu,
penampilan hewan peliharan harus selalu diperhatikan, terutama bagian kulit dan rambut karena
anjing dan kucing mudah sekali terserang penyakit kulit. Anjing dan kucing sering menggaruk-
garuk tubuhnya dan kadangkala ini sering dianggap wajar dilakukan oleh anjing atau kucing.
Namun, bisa saja itu merupakan gejala awal adanya gangguan pada kulit. Kondisi ini akan
semakin berlanjut menjadi alopesia, kemerahan, sampai terjadi perlukaan apabila tidak segera
ditangani.
Gangguan kulit memang seringkali menimbulkan polemik karena termasuk penyakit
terpopuler yang paling sering ditemui baik pada anjing maupun kucing. Meskipun bersifat
superfisial, bukan berarti gangguan pada kulit bisa diabaikan begitu saja. Gangguan pada kulit
dapat mengganggu keindahan penampilan dan bila tidak ditangani dengan segera dapat
menyebar hingga seluruh tubuh dan berdampak pada infeksi yang lebih meluas. Penyakit kulit
pada hewan paling sering diakibatkan oleh parasit kulit, seperti demodex, skabies, dan
cendawan. Parasit ini umumnya telah dikenal, tetapi tidak mudah dalam pengendaliannya
(Bunawan 2009). Parasit adalah organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lain (beda
jenis) sebagai tumpangan, dan sebagai sumber makanan. Berdasarkan tempat menumpang,
parasit dibedakan menjadi endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasit yang hidup di
dalam tubuh inang. Sedangkan ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tempat
bergantung atau pada permukaan tubuh inangnya (Hadi dan Soviana 2012).
Dalam memelihara hewan kesayangan, seringkali timbul masalah yang berkaitan dengan
penyakit hewan. Masalah yang sering muncul adalah gangguan ektoparasit. Ektoparasit yang
sering ditemukan pada anjing adalah caplak, kutu, tungau, dan pinjal (Priasdhika 2014).
Demodekosis merupakan penyakit pada kulit yang disebabkan tungau Demodex sp. yang hidup
di folikel rambut. Gejala penyakit ini adalah kerontokan rambut di daerah tertentu, di antaranya
di sekitar mata, mulut, leher, dan siku kaki depan, yang diikuti dengan munculnya tonjolan-
tonjolan pada kulit yang berwarna kemerahan. Selain itu, demodekosis yang menyebabkan gatal-
gatal pada kulit membuat hewan menggaruk kulitnya dan dapat menimbulkan luka yang jika
dibiarkan dapat menyebabkan infeksi. Kebanyakan kasus demodekosis ditemukan pada anjing.
Namun Demodex sp. juga dapat menyerang kuda, sapi, domba, kambing, babi, dan kucing.
Demodekosis pada anjing disebabkan oleh Demodex sp (Aripin et al. 2013).
DEMODEKOSIS
Etiologi
Demodikosis merupakan salah satu jenis penyakit kulit pada anjing yang disebabkan oleh
parasit tungau demodex. Menurut Sardjana (2012) demodekosis juga dikenal sebagai Red
Mange, Follicular Mange, Acarus Mange di mana kondisi anjing kasus akan mengalami kelainan
pada kulit yang bentuknya mirip dengan penyakit kulit lainnya. Dalam kondisi normal, Demodex
tidak memberikan kerugian bagi anjing, namun bila kondisi kekebalan anjing menurun maka
Demodex akan berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Jenis
Demodex yang ditemukan pada anjing adalah Demodex canis, D. injai dan D. cornei, namun
yang lebih sering pada anjing adalah Demodex canis. D. canis dan D. injai ditemukan pada
folikel rambut kelenjar sebaceous dan saluran sebaceus, sedangkan D. cornei ditemukan pada
lapisan superfisial stratum corneum di hampir seluruh lapisan kulit (Sivajothi et al., 2013). D.
injai memiliki tubuh yang lebih panjang dibandingkan dengan D. canis, sedangkan D. cornei
memiliki ukuran tubuh lebih pendek.

Morfologi Demodex.sp

D. canis terdapat dalam jumlah yang kecil pada kulit dan tidak menunjukkan gejala klinis
pada anjing yang sehat (Singh et al., 2011). Parasit ini berukuran sangat kecil yaitu sekitar 0,2-
0,4 mm sehingga hanya dapat dilihat di bawah mikroskop menggunakan metode skin scraping.
Demodex sp. sebenarnya merupakan parasit yang bersifat flora normal. Demodex sp. hidup pada
folikel rambut dan kelenjar sebasea hewan dengan memakan sebum serta debris (runtuhan sel)
epidermis.
Gejala Klinis
Walapun jarang mengakibatkan kematian, demodikosis sangatlah merugikan khususnya
bagi pencinta anjing. Anjing yang mengalami demodikosis secara umum terlihat adanya lesi
seperti alopecia, eritrema, scale, dan pustula (Izdebska, 2010). Pada anjing betina yang terjangkit
demodikosis, dapat langsung menularkan tungau Demodex kepada anaknya segera setelah
melahirkan. Gejala klinis yang muncul pada anjing berupa kerontokan pada rambut, pruritus
(rasa gatal sehingga menyebabkan keinginan untuk menggaruk), dan lesi pada kulit. Gejala
pruritus tidak selalu muncul pada anjing penderita, tapi hampir selalu dipastikan muncul pada
kasus Demodex yang disertai infeksi sekunder seperti pustul. Alopesia pada anjing dapat
merugikan secara estetika, terlebih pada anjing dengan rambut yang panjang. Alopesia umumnya
terjadi di daerah di sekitar mata (Gartner et al., 2014).
Menurut Henfrey (1990) gejala klinis dari demodekosis adalah pada kulit terjadi alopesia,
scale, kemerahan, disertai rasa gatal dan sakit jika ada infeksi sekunder. Munculnya Demodex
biasanya pada daerah kepala, kaki depan, hidung, ekor dan beberapa anjing ada juga yang
terserang hanya di daerah kaki dan telinga saja. Pada demodekosis general, lesi terdapat hampir
di seluruh tubuh dan biasanya disertai dengan infeksi sekunder. Luka atau lesi yang terjadi
bermula lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada sebagian besar tubuh hewan penderita.
Tempat yang disukai adalah di daerah muka, sekitar mata, daerah ekstremitas dan daerah dada.
Demodikosis cenderung terjadi pada hewan muda yang berumur dibawah satu tahun. Lesi yang
terjadi menimbulkan rasa sakit, dapat terjadi limfadenopati dan pada kasus yang parah dapat
terjadi septicaemia dan menyebabkan kematian (Sardjana, 2012). Alopesia merupakan rontoknya
rambut yang tidak normal yang mungkin terjadi pada sebagian atau seluruhnya, terbatas atau
berdifusi, dan simetris atau asimetris. Alopesia terjadi akibat kerusakan serat rambut, disfungsi
folikel rambut dan kekurangan nutrisi (Jasmin, 2011).
(A) Demodicosis menyeluruh pada anjing dengan hiperpigmentasi kulit, alopesia, dan
deskuamasi. (B) Pyoderma dan demodicosis menyeluruh pada daerah wajah anjing. (C)
Demodex di bagian dalam folikel rambut dan folikulitis. H&E, 10 ×. (D) Furunculosis. H&E,
10×.
Berdasarkan penelitian Gartner et al. (2014) mengenai gambaran klinis demodikosis pada
anjing ditemukan adanya lesi alopesia sebesar 76,47%. Hiperpigmentasi umumnya terdapat pada
bagian kulit yang mengalami alopesia. Hiperpigmentasi merupakan perubahan warna kulit
menjadi lebih gelap yang diakibatkan oleh peningkatan aktivitas melanosit. Terdapat juga lesi
papula yang termasuk kedalam lesi primer kulit, papula merupakan hasil dari adanya infeksi
pada kulit, bentuk papula dapat bermacam-macam dengan besar yang bervariasi, dari sebesar
butir beras hingga sebesar kacang tanah. Pustula pada kulit juga ditemukan walaupun dalam
jumlah yang tidak banyak, pustula merupakan lesi kulit yang berukuran relatif lebih besar dari
papula dan biasanya terdapat eksudat nanah di dalamnya.
Dalam pemeriksaan histopatologis, tungau sering diamati pada folikel rambut yang
menginduksi folikulitis, peri-folikulitis, dan furunculosis, serta hiperplasia kelenjar sebaceous.
Menurut Gasparetto et al., Hiperkeratosis adalah perubahan epidermal yang paling sering dengan
bentuk demodikosis. Eksudat interstisial dan perivaskular ringan hingga sedang yang
mengandung limfosit, sel plasma, dan makrofag. Anjing dengan demodicosis umum dan
pioderma memiliki limfosit, makrofag, dan sel plasma yang terkait dengan eksudat neutrofilik.
Dalam kasus kronis demodicosis generalisata, hiperkeratosis folikel mendominasi, dan inflamasi
mononuklear dari kelenjar sudoriferous dan kelenjar sebaceous hadir.
Peri-folikulitis terjadi pada tahap awal proses inflamasi yang dibuktikan dengan adanya
makrofag dan limfosit di sekitar rambut. Temuan ini jelas pada anjing dengan penyakit lokal dan
pada mereka dengan lesi klinis yang lebih parah. Ketika penyakit berkembang, mural folikulitis
terjadi karena infiltrasi limfosit dan histiosit ke dinding folikuler, menyebabkan cedera
keratinosit folikuler. Terjadi degenerasi hidropik, apoptosis keratinosit folikular, dan eksositosis
folikuler. Mural folliculitis, yang telah dilaporkan paling sering pada anjing dengan penyakit
lokal, diamati konsisten dan merupakan pola lesi penting demodicosis aktif. Lesi histologis yang
dihasilkan sering dikaitkan dengan penyakit di mana respons imun diakui sebagai penting dalam
patogenesisnya.
Diagnosis
Diagnosa yang dapat dilakukan pada kasus demodekosis adalah dengan kerokan kulit
yang agak dalam dari bagian tengah lesi, kemudian diberi tetesan KOH 10 % untuk diamati di
bawah mikroskop. Apabila positif maka akan ditemukan parasit demodex yang bentuknya seperti
wortel atau cerutu. Luka pada kulit anjing yang terserang Demodikosis akan dapat didiagnosa
melalui pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit hewan penderita yang diduga terserang
penyakit ini, tampak parasit Demodex canis berbentuk cerutu dengan ukuran 250-300 µm x 400
µm. Parasit ini tinggal di folikel rambut dan kelenjar sebaceus dan siklus hidupnya terjadi pada
tubuh induk semang 20-35 hari. Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing di bawah
umur 1 tahun namun demikian pada anjing di atas umur 1 tahun banyak mengalami kejadian
infeksi penyakit ini (Henfrey, 1990; Scott et al.,2001).
Pathogenesis
Patogenesis demodikosis menunjukan kejadian supresi respon blastogenesis diinduksi
oleh substansi yang dihasilkan parasit Demodex canis, substansi humoral ini yang menyebabkan
supresi secara umum limfosit T yang memberikan supresi respon kekebalan host terhadap parasit
sehingga terjadi perkembangbiakan/penyebaran parasit dan pengembangan infeksi sekunder
bakterial tanpa dapat dikendalikan oleh hospes, sehingga perjalanan penyakit ini dinyatakan
bahwa demodikosis pada anjing adalah sinergistik dan patogenik antar hubungan sesama anjing
(Henfrey, 1993). Parasit Demodex canis dengan bakteri dan hewan penderita penyakit ini
memiliki predisposisi genetik, yang dari beberapa kasus menunjukan bahwa penyakit yang
menekan immunosupresi pada hewan penderita dikenal sebagai hypothyroidisme atau
hyperadrenocorticisme (Henfrey, 1993; Triakoso, 2006). Luka atau lesi yang terjadi bermula
lokal, kemudian berkembang dengan cepat pada sebagian besar tubuh hewan penderita dan
tempat yang disukai adalah di daerah muka, sekitar mata, daerah extremitas dan daerah dada.
Bentuk yang terjadi dari demodikosis dapat dalam bentuk lokal maupun general. Demodikosis
pada hewan penderita muda cenderung lebih sering terjadi yang dimulai dari umur 3-18 bulan,
tanda klinis ditunjukan dengan kejadian alopecia, erythema, pyoderma dan seborrhoea. Lesi yang
terjadi menimbulkan rasa sakit, dapat terjadi limfadenopati dan pada kasus yang parah dapat
terjadi septicaemia dan menyebabkan kematian (Belot et al ., 1984; Henfrey, 1990; Scott et al .
2001).
Interaksi Antara Host dan Parasit
Karena mereka adalah penghuni alami kulit mamalia, tungau dari genus Demodex
biasanya tidak menghasilkan reaksi yang merugikan pada inang karena kapasitas sistem
kekebalan hewan. Hal ini disebabkan oleh pengakuan tungau kitin oleh keratinosit inang melalui
reseptor seperti tol (TLR), khususnya TLR2, yang memicu respons imun bawaan. Selain itu,
penelitian melaporkan bahwa sistem kekebalan tubuh anjing sehat sangat efektif dalam
mendeteksi lipase dan protease yang dikeluarkan oleh tungau Demodex, mungkin merangsang
respon imun adaptif, yang lebih spesifik dan efektif untuk mengendalikan tungau Demodex.
Alasan evolusi progresif penyakit pada beberapa anjing belum sepenuhnya dijelaskan.
Hipotesis yang paling diterima adalah bahwa disfungsi sistem kekebalan tubuh memainkan peran
penting dalam manifestasi tanda-tanda klinis penyakit dalam berbagai bentuknya. Proposisi
bahwa sistem kekebalan tubuh inang adalah mediator utama dalam kelebihan populasi Demodex
ditopang oleh terjadinya penyakit pada pasien yang telah menjalani perawatan berkepanjangan
dengan obat imunosupresif, di samping tanda-tanda klinis pada tikus yang kekurangan imun,
juga pada orang dan hewan dengan penyakit degeneratif kronis. Namun, penelitian pada anjing
menunjukkan bahwa imunosupresi terjadi pada berbagai waktu selama perjalanan penyakit dan
dapat diinduksi oleh aksi tungau itu sendiri pada folikel rambut dan / atau kelenjar sebaceous dan
bukan sebagai pemicu utama proliferasi parasit. Ini menjelaskan mengapa tidak semua anjing
yang mengalami imunosupresi mengembangkan demodikosis klinis dan menunjukkan bahwa
manifestasi penyakit ini mungkin melibatkan lebih dari satu faktor.
Tidak seperti manusia, ada sedikit bukti respon imun humoral yang terlibat dalam
demodikosis anjing dan meskipun Ravera et al. telah menunjukkan adanya imunoglobulin (Ig) G
terhadap D. canis dengan demodikosis remaja umum, makna sebenarnya dari respons ini masih
belum jelas. Di sisi lain, anjing dengan demodicosis generalisata cenderung menunjukkan
defisiensi imun fungsional pada limfosit T. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mekanisme
utama pengendalian populasi Demodex adalah dimediasi sel. Ketika proliferasi tungau terjadi,
kemungkinan ada gangguan imunitas seluler.
Disfungsi kekebalan ini didefinisikan oleh kelelahan sel T. Jenis penipisan ini tidak
seragam dan umumnya ditandai dengan tingginya tingkat sitokin penekan seperti interleukin (IL)
-10 dan transformasi faktor pertumbuhan (TGF) -β, produksi rendah interleukin stimulasi, seperti
IL-2 dan IL-21 dan pengurangan sirkulasi CD4 +. Kadar IL-10 serum yang lebih tinggi diamati
pada anjing dengan demodikosis yang kambuh, dibandingkan dengan anjing yang sehat dan yang
memiliki manifestasi pertama. Perubahan ini memuncak pada penekanan sel T dan kemampuan
penyajian antigen dengan menghambat sintesis sitokin dan sel T helper 1 (Th1).
Lemarié et al. mengamati pengurangan ekspresi dan produksi in-vitro IL-2 yang
dihasilkan dari penurunan respons sel Th1 dan menunjuk ke ketidakteraturan fungsional kelas
limfosit ini, secara langsung memengaruhi keseimbangan antara respons Th1 dan Th2 selama
perjalanan penyakit. Pembentukan dan pengabadian demodicosis dikaitkan dengan penekanan
respon Th1 ke Th2, menghasilkan proses inflamasi yang mampu menginduksi kerusakan
jaringan tetapi tidak menghilangkan atau mengandung proliferasi tungau.
Penurunan transkripsi sitokin TNF-α dan IFN-γ, dan peningkatan IL-5 yang belum
pernah terjadi sebelumnya, sebagaimana dibuktikan oleh Tani et al., Tampaknya disebabkan oleh
overexpression limfosit Th2 di hadapan Demodex. Selain itu, Yarim et al. dan Tani et al.
menunjukkan peningkatan konsentrasi TGF-β dalam sirkulasi pada anjing dengan penyakit
umum dibandingkan dengan hewan sehat. Peningkatan kadar TGF-β dapat mengganggu regulasi
berbagai proses biologis, seperti homeostasis jaringan, angiogenesis, dan diferensiasi sel,
terutama dalam kasus penyakit kronis, yang memungkinkan evolusi lokal demodicosis secara
umum.
Mempertimbangkan bahwa sebagian besar perubahan yang dijelaskan sebelumnya
diamati pada anjing dengan demodicosis umum, sebuah penelitian baru-baru ini menyelidiki
tingkat serum dari pilihan sitokin proinflamasi pada anjing dengan demodikosis lokal dan umum
untuk mengamati kadar protein tertentu. Tidak ada perbedaan dalam tingkat serum sitokin antara
kelompok hewan yang sakit, tetapi IL-6 secara signifikan lebih tinggi pada anjing dengan
penyakit lokal daripada pada hewan yang sehat. Dengan demikian, mengkarakterisasi reaksi
inflamasi spesifik yang terjadi segera setelah cedera jaringan mendahului respon imun yang
didapat pada fase akut penyakit.
Selain itu, pendekatan modern mendukung keterlibatan jalur kolinergik dalam
imunopatogenesis demodikosis anjing. Selain bertindak sebagai neurotransmitter, asetilkolin
(Ach) memainkan peran penting sebagai mediator dalam proses inflamasi dengan menghambat
pelepasan sitokin proinflamasi tertentu, tanpa mempengaruhi produksi sitokin penghambat
seperti IL-10. Peningkatan aktivitas biomarker tidak langsungnya, asetilkolinesterase, dalam
serum anjing dengan demodikosis, telah menetapkan produksi berlebih dari Ach pada anjing
yang sakit, yang menghasilkan penekanan kekebalan.
Akhirnya, diketahui bahwa reseptor TLR memainkan peran penting dalam identifikasi
dan pengendalian proliferasi Demodex di kulit anjing yang sehat. Namun, dalam penelitian
terbaru yang melibatkan hewan dengan demodicosis, perubahan penting dalam fungsi reseptor
ini terdeteksi. Kumari et al. menunjukkan peningkatan ekspresi TLR mononuklear tipe 2
(limfosit dan monosit), serta penurunan ekspresi TLR tipe 4 dan 6. Efek ini secara langsung
dikaitkan dengan aksi tungau, tetapi belum diketahui bagaimana tungau tersebut. merangsang
atau mengurangi produksi reseptor TLR dalam proses penyakit.
Mekanisme Infeksi Demodekosis
Umumnya hewan mempunyai sejumlah kecil Demodex pada tubuhnya yang tinggal di
folikel dan kelenjar sebaseus. Berkembangnya tungau dan menimbulkan penyakit diduga akibat
dari sistem kekebalan tubuh host. Penelitian menunjukkan pemberian serum antilimfosit pada
anak anjing akan menyebabkan anjing tersebut menderita demodekosis general. Penelitian in
vitro terhadap limfosit blastogenesis menunjukkan bahwa terjadi respon limfosit abnormal pada
anjing pada kasus Canine General Demodecosis (CGD). Namun, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa supresi respon blastogenesis diinduksi oleh suatu substansi yang dihasilkan tungau,
semacam humoral immunosuppresive factor. Bahan ini akan menyebabkan supresi respon
kekebalan host terhadap tungau sehingga tungau berkembang biak tanpa dapat dikendalikan oleh
host. Tilley and Smith (2000) menyatakan bahwa penderita CGD memproduksi IL2 subnormal
dan mempunyai persentase reseptor IL-2 pada limfosit subnomal. Penelitian lain juga menduga
bahwa supresi respon blastogenesis limfosit juga berdampak pada kejadian secondary bacterial
pyoderma, yang sering menyertai kejadian CGD. Selain itu, para ahli menduga bahwa terjadi
CGD adalah adanya defek pada sel T anjing tersebut dan bersifat heriditer.
Respon Imun Terhadap Infeksi Demodekosis
Kebanyakan hewan peliharaan hanya pembawa tungau Demodex dan tidak mengalami
gejala klinis. Demodikosis dapat dianggap sebagai penyakit faktorial, dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan / atau internal. Salah satu faktor untuk transisi dari kolonisasi tungau yang tidak
terlihat secara klinis menjadi dermatosis dapat berupa pengembangan imunodepresi primer atau
sekunder. Imunodepresi primer kemungkinan besar didasarkan pada cacat turun-temurun sel T,
yang kemudian diperkuat oleh zat yang dihasilkan oleh tungau dan bakteri. Rufli dan Buchner
menunjukkan bahwa sebagian besar sel T dalam infiltrat granulomatosa dermal di sekitar bagian
Demodex, yang dipindahkan secara ekstrafollicular, adalah sel T helper-inducer. Dominasi sel-
sel ini dalam infiltrat kulit lesi dalam hubungan yang sering dengan Demodex mendukung
hipotesis bahwa respons imun yang diperantarai sel memainkan peran penting dalam patogenesis
penyakit ini. Pustula folikel seperti vesikel adalah lesi dari demodicosis yang aktif secara klinis
dan ditandai oleh infiltrasi epitel folikel dengan CD3 + dan limfosit T CD8 +. Limfosit ini adalah
sel T sitotoksik, yang dapat menyebabkan cedera pada epitel folikel jika terjadi demodikosis. .
Kelangkaan limfosit CD3 + menunjuk pada imunosupresi yang dimediasi sel sebagai faktor
predisposisi dalam generalized canine demodicosis. Infiltrasi limfositik kronis pada kulit terlihat
pada lebih dari 70% kasus demodikosis.
Fakta bahwa hewan dengan defisiensi imun rentan terhadap infestasi dengan tungau
Demodex telah ditunjukkan berulang kali. Dengan demikian, tampaknya imunodefisiensi sel T
merupakan faktor predisposisi untuk invasi tungau. Namun demikian kondisi
immunocompromised pasien mungkin tidak hanya menjadi faktor predisposisi untuk infestasi
tungau, tetapi juga dapat memburuk selama parasitisme tungau. Sel T tampaknya menjadi target
imunosupresi tungau. Limfosit T memiliki fungsi imunoregulatori dan efektor yang sangat
penting untuk menjaga integritas sistem kekebalan tubuh. Meskipun selama kutu tungau jumlah
limfosit T berkurang, sel B dewasa tetap tidak terpengaruh. Imunosupresi sekunder beroperasi
sebagai mekanisme pemicu manifestasi klinis demodikosis setelah terapi kortikosteroid atau
sitostatik atau karena penyakit yang sifatnya immunocompromised seperti neoplasia ganas,
hepatopathies, dan lymphosarcoma.
Diketahui bahwa komplemen memainkan peran penting selama fase akhir dari respon
humoral, dan diaktifkan setelah keterkaitan C1q dengan domain CH2 dari immunoglobulin.
Sebagai hasil dari aktivasi ini, kompleks komponen pelengkap, termasuk C9, dirakit yang dapat
melubangi kutikula tungau. Namun, kurangnya peningkatan CH50 menunjukkan bahwa respons
imun diaktifkan.
Penurunan 2,7 kali lipat dalam sel CD16 + ditemukan pada pasien dengan demodikosis
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sel-sel NK belum terbukti memiliki fungsi dalam
kekebalan anti-tungau. Namun, sel-sel ini telah terbukti memiliki fungsi pengaturan penting
untuk defisiensi imun bawaan dan spesifik. Misalnya, produksi interferon (IFN) -γ oleh sel NK
penting dalam mengatur respon limfosit Th1. untuk merusak fungsi sel NK, pertahanan inang
terhadap agen infeksi seperti virus dan bakteri akan berkurang.
Diketahui bahwa kematian sel terprogram (apoptosis) adalah mekanisme dasar untuk
pemilihan limfosit T dan B positif dan negatif, yang penting dalam penghapusan sel-sel yang
memiliki reseptor pengenal antigen yang rusak atau memiliki kemampuan untuk merespons
terhadap 'diri mereka sendiri'. Namun, cacat dalam koordinasi apoptosis sering menyebabkan
komplikasi dalam sistem kekebalan tubuh. Ini bisa menjadi kasus pada pasien dengan
demodicosis, yang memiliki nilai 2,5 kali lebih tinggi untuk sel CD95 + daripada kelompok
kontrol.
Dua kecenderungan umum telah diamati pada pasien dengan demodicosis: (1) kesiapan
limfosit terhadap apoptosis meningkat secara paralel dengan peningkatan kepadatan tungau. Ini
bisa jadi akibat imunosupresi lokal yang disebabkan oleh tungau, yang memungkinkan mereka
untuk bertahan hidup di kulit inang; (2) jumlah sel NK dengan reseptor Fc juga meningkat
dengan meningkatnya jumlah tungau. Peningkatan cepat pada CD95 +, yang lebih tinggi dari
peningkatan CD16 +, menunjukkan bahwa ada respon imun inang yang lambat terhadap tungau
imunogenik yang lemah. Hal ini dikonfirmasi oleh peningkatan pesat CD16 + di hadapan
sejumlah besar tungau, yaitu ketika ada banyak bahan antigenik. Ini mungkin menjadi alasan
invasi tungau yang sukses dari kelenjar pilosebaceous, ketika fungsi efektor sistem kekebalan
tubuh lemah. Dengan demikian, kolonisasi kulit dengan tungau Demodex dapat menjadi
cerminan dari respon imun inang dalam patogenesis kondisi kulit.
Terapi
Pengobatan demodekosis terutama ditujukan untuk membunuh parasit penyebab.
Ivermectin diberikan secara sub kutan dengan dosis 400 µg per kg berat badan dengan interval
pengulangan sekali seminggu, dan diberikan injeksi duradryl secara sub kutan terlebih dulu
sebagai antihistamin. Penggunaan Amitraz sangat dianjurkan karena Amitraz adalah
formamidine dan monoaminoxidase dalam larutan xylene, sebagai bentuk ixodicide yang
penggunaannya berbentuk larutan 5%, Dosis pemberian 1 ml Amitraz dilarutkan dalam 100 ml
air yang digunakan untuk mandi pada hewan penderita. Pada anjing jenis berbulu panjang
dianjurkan sebaiknya dicukur untuk memudahkan pemberian Amitraz dengan cara hewan
penderita dimandikan dengan interval sekali seminggu. .Pengobatan yang dilakukan pada
penderita demodikosis dengan pemberian obat anti bakterial seperti Erythromycin atau obat
golongan Trimethoprim-sulfonamide yang sering digunakan seperti Bactrim, karena pemberian
obat golongan ini ditujukan untuk pengobatan infeksi bakteri.
Penggunaan amitraz untuk pengobatan demodikosis sangat dianjurkan dan beberapa
peneliti menyebutkan 92% penderita demodikosis dinyatakan sembuh dengan penggunaan
amitraz, dengan frekuensi pemberian dan konsentrasi amitraz yang tepat, penghentian
pengobatan tidak dilakukan dalam jangka waktu pendek, harus dimonitor melalui pemeriksaan
secara rutin terhadap keberadaan parasit demodex yang diketahui hasilnya negatif melalui
pemeriksaan kerokan kulit (Henfrey, 1990; Ettinger and Feldman, 2000; Triakoso, 2006).
Amitraz memberikan efek samping pada hewan penderita pasca dimandikan, antara lain
bradicardia, hypothermia, dilatasi gaster, pruritus, hypotensi, poliuria dan vomit, ataksia dan
disorientasi dalam 24-36 jam setelah obat digunakan (Henfrey, 1990).
Amitraz merupakan formamidine dan monoaminooxidase dalam larutan xylene.
Penggunaan amitraz pada kasus demodekosis merupakan salah satu bentuk terapi yang banyak
dianjurkan. Obat ini merupakan satu-satunya obat yang disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration) untuk menangani demodekosis. Pengobatan dengan amitraz akan menimbulkan
efek menenangkan selama 12-14 jam setelah dimandikan. Efek samping dari Amitraz selama
pengobatan adalah depresi selama 2-6 jam, nafsu makan menurun, muntah, diare ringan, rasa
haus dan urinasi. Pada dosis yang tinggi sering menimbulkan gejala depresi CNS, midriasis,
hipotermia, bradikardia, hipotensi, kelemahan otot, muntah, urinasi abnormal, ataksia, gejala
syaraf dan kematian sering terjadi pada anjing dengan berat badan di bawah 9 kg. Dosis amitraz
untuk terapi demodekosis dengan cara dimandikan adalah 600 ppm untuk setiap kali mandi dan
harus diulang satu sampai dua minggu kemudian. Dalam penggunaannya Amitraz dicairkan
dengan perbandingan 1 ml : 100 ml. Dosis tergantung berat badan anjing. Anjing dimandikan
dengan Amitraz dengan cara digosok-gosok sampai terkena kulit lalu didiamkan selama 15-20
menit, agar obat terserap dengan baik. Sebaiknya daerah tubuh yang terkena Demodex lebih baik
dicukur, sehingga obat dapat langsung kontak dengan kulit (Belot et al ., 1984; Henfrey, 1990).
Ivomec (Ivermectin) digunakan dalam pengobatan kasus ini karena Ivermectin
merupakan obat anti parasit berspektrum luas. Ivermectin bekerja melepas GABA (Gamma
Amino Butyric Acid) yang mencegah neurotransmiter, sehingga menyebabkan paralisa baik pada
nematoda muda, dewasa maupun arthropoda. Pada pengobatan tungau, ivermectin tidak dapat
membunuh telur, sehingga harus dilakukan berulang sesuai dengan interval dan dosis. Interval
terapi yang dianjurkan adalah antara 7-14 hari sampai hewan dinyatakan sembuh dari
ektoparasit. Ivermectin tidak mudah menembus otak cairan tulang belakang sehingga tingkat
toksisitasnya rendah dan di metabolisme dalam hati, dan kebanyakan di ekskresikan melalui
kotoran dan dalam jumlah lebih kecil di ekskresikan melalui urine. Beberapa bangsa anjing
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap Ivermectin. Oleh karena itu, pada penggunaan
pertama dianjurkan untuk menggunakan dosis rendah setelah itu ditingkatkan sedikit demi
sedikit sambil melihat respon sensitivitas atau efek samping yang terjadi. Tanda-tanda anjing
yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap Ivermectin adalah adanya penurunan aktivitas,
kehilangan keseimbangan, bahkan kebutaan. Meskipun memberikan hasil yang baik terhadap
pengobatan demodekosis, Ivermectin tidak boleh digunakan untuk anjing ras Collie (Belot et al .,
1984; Triakoso, 2006).
Duradryl adalah obat yang mengandung bahan aktif Dipenhydramin HCl. Obat ini
memiliki khasiat sebagai antihistamin. Penggunaan Dipenhydramin HCl pada kasus
demodekosis adalah untuk mengatasi rasa gatal maupun alergi yang mungkin timbul akibat
serangan parasit demodex pada folikel rambut. Indikasi umum dari salep Kalmicetine adalah
untuk pengobatan topical terhadap infeksi sekunder dermatosis atau untuk mencegah terjadinya
infeksi. Cara pemberiannya adalah dengan dioleskan pada daerah yang mengalami dermatitis 2-3
kali sehari. Kalmicetine adalah antibiotik broadspectrum yang dapat mengatasi bakteri baik gram
positif maupun gram negatif.
Bedak Purol memiliki bahan aktif seng oksida 5%, belerang endap 3,2%, peru balsam
1%, ekstrak benzoin 0,5%, asam salisilat 0,5%, triclosan 0,1%. Bedak ini berfungsi sebagai anti
bakterial, mencegah dan menghilangkan iritasi kulit. Pemberian glukokortikoid tidak boleh
diberikan karena pemberian obat ini akan menekan respon imunitas dari hewan penderita yang
dapat menyebabkan immunoincompetent pada hewan penderita (Belot et al , 1984 ; Triakoso,
2006). Beberapa peneliti juga melaporkan untuk tidak memberikan obat anestesi pada saat
pemberian amitraz pada hewan penderita demikian juga untuk tidak menggunakan amitraz pada
hewan penderita karena akan menyebabkan hyperglikemia.
DAFTAR PUSTAKA

Akilov OE, Mumcuoglu KY. Association between human demodicosis and HLA class I. Clin
Exp Dermatol 2003; 28: 70–73.

Aripin DN, Dhani RR, Murtiningrum FS, Yasin MF. 2013. Penggunaan ekstrak cabai (capsaicin)
untuk pengobatan penyakit demodekosis pada anjing [PKM]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

Aydingoz IE, Mansur T, Dervent B. Demodex folliculorum in renal transplant patients.


Dermatology 1997; 195: 232–234.

Barriga OO, al-Khalidi NW, Martin S, Wyman M. Evidence of immunosuppression by Demodex


canis. Vet Immunol Immunopathol 1992; 32: 37–46.

Belot, J, R Parent, and JL Pangui. 1984. Courte Communication : Demodecie canine,


Observations Cliniques a propos d’un essai de traitement par l’ivermectine. Le Point
Veterinaire, vol.16. no.85 p.66-68

Boge-Rasmussen T, Christensen JD, Gluud B. Demodex folliculorum hominis(Simon):


incidence in a normomaterial and in patients under systemic treatment with erythromycin
or glucocorticoid. Acta Derm Venereol 1982; 62: 454–456.

Caswell JL, Yager JA, Parker WM, Moore PF. A prospective study of the immunophenotype and
temporal changes in the histologic lesions of canine demodicosis. Vet Pathol 1997; 34:
279–287.

Ettinger, SJ and EC Feldman. 2000. Text book of Veterinary Internal Medicine. WB Saunders
Company. Disease of the Dog and Cat. Elsevier Inc. St. Louis Missouri.

Gartner A, Dărăbuş G, Badea C, Hora F, Tilibasa E, Mederle N. 2014. Clinical Diagnosis in


Canine Demodicosis. Veterinary Medicine 61(2):76-80.

Gothe R. Demodicosis of dogs – a factorial disease? (in German) Berl Munch Tierarztl
Wochenschr 1989; 102: 293–297.

Hadi UK, Soviana S. 2012. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor
(ID): IPB Press.

Hellerich U, Metzelder M. Incidence of scalp involvement by Demodex folliculorum Simon


ectoparasites in a pathologic– anatomic and forensic medicine autopsy sample (in
German). Arch Kriminol 194 1994; 194: 111–118.

Henfrey J. 1990. Canine Demodicosis. In Practice 12(5):187-192.

Henfrey, J. 1993. Commons dermatoses of small mammals. In Practice. 15(2):6771.


Ivy SP, Mackall CL, Gore L. Demodicidosis in childhood acute lymphoblastic leukemia: an
opportunistic infection occurring with immunosuppression. J Pediatr 1995; 127: 751–
754.

Izdebska JN. 2010. Demodex spp. (Acari, Demodecidae) and Demodecosis in Dogs:
Characteristics, Symptoms, Occurrence. Bulletin of the Veterinary Institute in Pulawy 54:
335-338.

Jasmin P. 2011. Clinical Handbook on Canine Dermatology. 3rd ed. USA: Virbac SA.

Mozos E, Perez J, Day MJ. Leishmaniosis and generalized demodicosis in three dogs: a
clinicopathological and immunohistochemical study. J Comp Pathol 1999; 120: 257–268.

Nakagawa T, Sasaki M, Fujita K. Demodex folliculitis on the trunk of a patients with mycosis
fungoides. Clin Exp Dermatol 1996; 21: 148–150.

Priasdhika G. 2014. Studi infestasi ektoparasit pada anjing di pondok pengayom satwa jakarta
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rufli T, Buchner SA. T-cell subsets in acne rosacea lesions and the possible role of Demodex
folliculorum. Dermatologica 1984; 169: 1–11. 21

Sardjana IKW. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. VetMedika Jurnal Klinik Veteriner
1(1): 9-14.

Scott, DW, WH Miller, CG Griffin. 2001. Small Animal Dermatology. WB Saunders Company.

Singh SK, Kumar M, Jadhav RK, Saxena SK. 2011. An Update on Therapeutic Management of
Canine Demodicosis. Veterinary World 4(1):41-44.

Sivajothi S, Reddy BS, Kumari KN, Rayulu VC. 2013. Morphometry of Demodex canis and
Demodex cornei in Dogs with Demodicosis in India. International Journal of Veterinary
Health Science & Research 1(2): 6-8.

Triakoso, N. 2006. Demodicosis Up Date. Reginal Seminar Veterinary Dermatology Up Date.


Surabaya.

Trinichieri G. Biology of natural killer cells. Adv Immunol 1989; 47: 187–376.

Wikel SK. Modulation of the host immune system by ectoparasitic arthropods. BioScience 1999;
49: 311–320.

Anda mungkin juga menyukai