Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anjing merupakan hewan kesayangan yang sering dipelihara oleh manusia. Keadaan
ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan manusia. Anjing
memiliki keistimewaan, seperti tingkat intelegensi yang cukup tinggi sehingga dapat dilatih,
dapat menjadi teman bermain, dan memiliki sifat yang sangat setia pada pemilik. Anjing
selain sebagai teman bermain, anjing dipelihara untuk dijadikan pekerja, berburu, penjaga,
dan pelacak.Ketika memelihara hewan kesayangan, seringkali timbul masalah yang berkaitan
dengan penyakit hewan. Masalah yang sering muncul adalah adanya gangguan ektoparasit
(Priasdhika, 2014).
Ektoparasit adalah parasit yang hidup di luar tubuh inang yaitu dari Kelas Insecta
(pinjal dan kutu) dan arachnida (caplak dan tungau). Kerugian yang ditimbulkan ektoparasit
antara lain penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu,
trauma, iritasi, anemia sampai dengan kematian. Ektoparasit juga berperan sebagai vektor
penyakit seperti protozoa, bakteri, virus yang dapat ditularkan pada hewan peliharaan dan
manusia (Puri et al., 2014).
Laporan kali ini akan dibahas mengenai parasit-parasit yang dapat menjangkit kucing ,
sehingga perlu melakukan perawatan dan penanganan lebih dini. Laporan ini membahas
beberapa penyakit yang disebabkan oleh parasit mengenai etiologi, patogenesa, tanda klinis,
faktor predisposisi, diagnosa, diagnosa banding, prognosa, dan pengobatan.
1.2 Tujuan Praktikum
a. Mahasiswa dapat mengetahui, menjelasakan dan menganalisa penyakit kulit
Demodecosis pada kucing baik dari etiologi, patogenesa, gejala klinis, faktor
predisposisi, prognosa, diagnosa, diagnosa banding sampai pada tahap penanganan
dan pengobatannya.
b. Mahasiswa dapat mengetahui, menjelasakan dan menganalisa penyakit kulit
Pyoderma pada kucing baik dari etiologi, patogenesa, gejala klinis, faktor
predisposisi, prognosa, diagnosa, diagnosa banding sampai pada tahap penanganan
dan pengobatannya.
c. Mahasiswa dapat mengetahui, menjelasakan dan menganalisa penyakit kulit
Babesiosis pada kucing baik dari etiologi, patogenesa, gejala klinis, faktor
predisposisi, prognosa, diagnosa, diagnosa banding sampai pada tahap penanganan
dan pengobatannya,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demodecosis
2.1.1 Etiologi
Demodecosis juga disebut sebagai kudis demodectic atau kudis merah atau kudis
kerabunan yang disebabkan oleh Demodex canis. D. canis adalah flora normal di kulit anjing.
Anak anjing ditularkan tungau demodex dari induk mereka dengan kontak langsung selama
menyusui. Demodecosis anjing terjadi ketika ada respon imun yang berubah dan
memungkinkan proliferasi tungau, yang mengarah ke perkembangan tanda-tanda klinis
(Veena et al., 2017). Demodecosis pada anjing paling sering disebabkan oleh Demodex canis,
namun spesies lain seperti, Demodex injai (tungau berbadan besar) dan Demodex cornei
(tungau bertubuh pendek), mungkin juga dapat menyebabkan Demodecosis (Arora et al.,
2013).

Gambar 1. Demodex canis (Veena et al., 2017).


2.1.2 Patogenesa
Parasit berada di dalam folikel rambut dan jarang di kelenjar sebaceous, di mana
mereka hidup dengan memakan sel-sel mati, sebum, dan debris epidermal. Empat tahap D.
canis dapat ditunjukkan pada kerokan kulit. Telur fusiform menetas menjadi larva kecil
berkaki enam, yang meranggas menjadi nimfa berkaki delapan dan kemudian menjadi dewasa
berkaki delapan. Tungau jantan dewasa berukuran 40 x 250 µm, dan tungau betina 40 x 300
µm. Tungau (pada semua tahap) dapat ditemukan di kelenjar getah bening, dinding usus,
limpa, hati, ginjal, kandung kemih, paru-paru, kelenjar tiroid, darah, urin, dan feses (Miller et
al., 2013).
Tungau demodex yang bersifat lokal hanya berada di beberapa wilayah kulit anak
anjing, dapat menyebabkan kerontokan rambut, kemerahan ringan, bersisik dan kadang-
kadang gatal. Namun seiring waktu, sistem kekebalan anak anjing akan menguat sehingga
menahan tungau dan mencegahnya tumbuh berlebihan. Demodecosis umum dapat terjadi pada
anak anjing, yaitu anak anjing yang pernah mengalami demodecosis lokal yang tidak pernah
hilang atau pada anjing yang demodecosis lokalnya berkembang saat dewasa. Bentuk
penyakit ini bisa sangat serius karena penyakit lain yang menyebabkan sistem kekebalan
anjing berfungsi buruk, memungkinkan tungau untuk berproliferasi pada tingkat yang tidak
terkontrol karena tungau menggali jauh ke dalam kulit, mereka menyebabkan iritasi yang
menyebabkan penyakit kulit inflamasi yang parah. Sering kali, infeksi bakteri sekunder dapat
terjadi yang menyebabkan infeksi parah yang membuat penyakit dapat menjadi lebih buruk
(D4A, 2015).
2.1.3 Gejala Klinis
Ada dua jenis demodecosis yang umumnya terlihat pada anjing. Demodecosis lokal
yaitu dimulai dengan satu atau dua bintik tanpa rambut terutama pada moncong, wajah, kaki
dan sekitar mata yang tidak memerlukan perawatan. Demodecosis general ditandai dengan
terlihatnya lima atau lebih lesi lokal dengan daerah belang-belang, lesi eritematosa, bersisik
dan terdapat papula (Veena et al., 2017). Bulu rontok, pruritus (rasa gatal sehingga
menyebabkan keinginan untuk menggaruk), lesi pada kulit. Gejala pruritus tidak selalu
muncul pada anjing penderita, tapi hampir selalu dipastikan muncul pada kasus demodecosis
yang disertai infeksi sekunder seperti pyoderma (Anne, 2015).

Gambar 2. Anjing yang terkena alopecia, eritema dan penebalan pada kulit (Arora et
al., 2013).
2.1.4 Faktor Predisposisi
Semua hewan mamalia rentan terhadap penyakit ini, antara lain anjing, kucing,
kambing, domba, babi, kuda, sapi, kerbau, marmot, kelinci dan manusia ( Pudjiatmoko, 2014).
Hewan penderita yang sering diserang pada usia anjing di bawah umur 1 tahun namun
demikian pada anjing di atas umur 1 tahun banyak mengalami kejadian infeksi penyakit ini
(Komang,2012). Pada anjing dewasa, sistem imun yang menurun (Anne, 2015).
2.1.5 Diagnosa
Diagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifi
kasi adanya tungau Demodex sp. Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga berdarah. Scraping dilakukan
dengan memegang dan menggosok daerah terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel
dengan menggunakan scalpel. Scraping dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil
scraping didapatkan, hasil tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10 kali untuk menginterpretasikan hasil kerokan kulit tersebut( Pudjiatmoko,
2014).
Pengambilan dan pengiriman spesimen: spesimen berupa kerokan pada kulit yang
terinfeksi tungau dimasukkan ke dalam cawan petri tanpa ditambah larutan apapun, atau
ditambah larutan Glycerol 5-10 % untuk melihat tungau yang masih hidup dan melihat
pergerakannya di bawah mikroskop. Identifikasi tungau dapat dilakukan dengan
menambahkan NaOH 10 % atau KOH 10 % secara mikroskopis. Isi pustula yang diperoleh
dengan jalan melakukan sayatan pada bagian kulit dari pustula/nodula dimasukkan ke dalam
botol yang berisi formalin 5 % atau alkohol 70 % agar lebih tahan lama apabila spesimen
tersebut akan dikirimkan/diperiksa ke tempat lain( Pudjiatmoko, 2014).
2.1.6 Diagnosa Banding
Foliculitis/furunculosis akibat bakteri, dermatophytosis, pemphiguskompleks, dermatitis
kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous kompleks. Dermatitis yang disebabkan oleh
jamur atau Scabies (Pudjiatmoko, 2014).
2.1.7 Prognosa
Prognosa pada demodecosis dapat dinyatakan fausta sebab pada sebuah penelitian
kesembuhan anjing penderita terjadi pada pengobatan minggu kedua untuk anjing penderita
demodecosis lokal, sedangkan pada demodecosis yang berkembang menjadi demodecosis
general, kesembuhan luka terjadi pada minggu ketiga sampai keempat, sedang pada anjing
penderita demodikosis general setelah hari ke-60 menunjukan kesembuhan luka dan tidak
ditemukan parasit demodex dari pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan pada kerokan
kulit. Tingkat kesembuhan infeksi demodecosis bergantung pada tingkat dari infeksi penyakit
yang diderita oleh hewan penderita (Sardjana, 2012).
2.1.8 Pengobatan
Pengobatan demodecosis terutama ditujukan untuk membunuh parasit penyebab.
Ivermectin diberikan secara subkutan dengan dosis 400 μg per kg berat badan dengan interval
pengulangan sekali seminggu, dan diberikan injeksi duradryl secara sub kutan terlebih dulu
sebagai antihistamin (Sardjana, 2012). Dosis dari duradryl (dengan bahan aktif
Diphenhydramine HCL) ialah 2–4 mg/kg q8–12h PO; 1 mg/kg q8–12h IM, SC, IV (jangan
menggunakan dosis lebih dari 40 mg) (Plumb, 2011).
2.2 Pyoderma
2.2.1 Etiologi
Pyoderma pada anjing adalah salah satu penyakit yang paling umum. Pyoderma secara
harfiah berarti pus di kulit dan dapat disebabkan oleh infeksi, inflamasi dan/atau neoplastik.
Setiap kondisi yang menghasilkan akumulasi eksudat neutrofilik dapat disebut pyoderma.
Paling umum, pyoderma mengacu pada infeksi bakteri pada kulit. Pyoderma sering terjadi
pada anjing dan lebih jarang terjadi pada kucing (Kelany dan Husein, 2011). Staphylococcus
pseudintermedius (sebelumnya dikenal sebagai S. intermedius) sejauh ini merupakan
mikroorganisme yang paling umum yang terlibat. Bakteri ini merupakan flora normal
penghuni kulit dan juga dapat ditemukan di mukosa bibir, hidung dan di daerah perianal
segera setelah lahir. S. aureus, S. hyicus, S. schleiferi, Proteus spp., Pseudomonas aeruginosa
atau E. coli adalah bakteri penyebab pyoderma lainnya, yang lebih jarang diisolasi (August,
2010). Pyoderma dapat dikategorikan sesuai dengan kedalaman infeksi sebagai berikut
(August, 2010).
a. Pyoderma permukaan adalah peradangan yang disebabkan oleh kolonisasi bakteri
lapisan luar epidermal (Stratum corneum)
b. Pyoderma superficial adalah infeksi bakteri di epidermis dan di bagian atas daerah
dari folikel rambut.
c. Pyoderma dalam adalah infeksi yang meluas ke dermis atau lapisan subkutan.
2.2.2 Patogenesa
Kulit pada anjing ditandai dengan stratum corneum yang relatif tipis, kurangnya lipid
antar sel, kurangnya sumbatan folikel dan PH yang lebih tinggi dibandingkan dengan manusia
dan spesies domestik lainnya. Keadaan ini menyebabkan anjing mengalami pertumbuhan
bakteri flora komensal secara berlebih serta berpotensi adanya kolonisasi bakteri patogen.
Infeksi superficial dapat terjadi jika integritas kulit disebabkan oleh trauma atau adanya
perubahan pada imunitas permukaan. Infeksi bakteri yang mendalam pada umumnya
merupakan perluasan dari Pyoderma superficial dan ketika infeksi berkembang lebih ke
dalam folikel rambut, maka dapat menyebabkan folikel rambut menjadi pecah (furunkel).
Keadaan ini menyebabkan terjadinya reaksi pyogranulomatous endogen pada tubuh hospes.
Reaksi ini terjadi awalnya di dermis dan merupakan respon inflamasi terhadap keratin,
organisma bakteri dan debris selular (Cote, 2015).
2.2.3 Gejala Klinis
Lesi Surface pyoderma ditandai dengan pembengkakan mukokutan, eritema dn krusta.
Daerah yang terkena mungkin mengakibatkan pruritus, dapat menyebabkan eksudatif,
terkikis, ulserasi, pecah-pecah dan hilang. Ulserasi aksilaris atau inguinal bersamaan mungkin
ada. Pyoderma superficial dikarakteristikkan oleh area papula multifokal atau umum dari
pustula, papula, kerak, sisik, kubung epidermis atau daerah eritema dan alopecia yang
mungkin memiliki pusat hiperpigmentasi. Pada anjing berambut panjang, gejalanya dapat
membahayakan karena dapat menyebabkan rambut kusam, berkerut dan bersisik. Infeksi
bakteri akibat penyakit endokrin dapat menyebabkan gatal sehingga menyebabkan alergi pada
kulit. Deep pyoderma bermanifestasi berupa papula, pustula, bullae atau sebagai drainase
ulseratif , tractus dengan cairan serosanguinous pada dagu atau muzzle (Paterson, 2008).

(a) (b)

(c)
Gambar 3 : (a) Deep pyoderma (b) Superfiacial pyoderma dan (c) Mucocutaneous
pyoderma/Surface pyoderma
2.2.4 Faktor Predisposisi
Pyoderma sering terjadi pada anjing dan lebih jarang terjadi pada kucing. Anjing yang
memiliki lipatan kulit berlebih lebih rentan terkena pyoderma (Tilley dan Francis, 2011).
Intertrigo (lipatan kulit pyoderma atau dermatitis friksi) sering berkembang di lipatan kulit
Brachycephalic breeds seperti anjing banteng dan Boston terrier (pyoderma lipat wajah). Lip-
fold pyoderma terjadi pada ras Spaniel, Irish Setters. Chinese Shar-Pei dapat
mengembangkan pyoderma lipatan kulit di hampir semua area tubuh (Kelany dan Husein,
2015).
2.2.5 Diagnosa
Diagnosa pyoderma anjing berdasarkan sejarah (anamnesa), pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan komplementer. Pemilik akan sering menggambarkan secara akurat evolusi lesi
pustula, yang akan mudah dilihat oleh dokter. Tiga alat bantu komplementer dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis pyoderma (Carlotti, 2012). Tes diagnostik minimal
termasuk sitologi, kultur bakteri dan uji sensitivitas antibiotik. Prosedur diagnostik lainnya,
seperti kerokan kulit, kultur dermatofit dan histopatologi, harus diterapkan pada basis kasus
per kasus (Oliveira 2015).
Scraping kulit, jarum halus digunakan untuk aspirasi dan slit smears dilakukan untuk
mendapatkan bahan untuk pemeriksaan sitologi. Apusannya dikeringkan dengan udara dan
diwarnai dengan May-Grunwald Giemsa, Ziehl-Neelsen dan periodic acid-Shinff Stain
(Martino et al., 2012). Sitologi adalah tes inisial yang andal, cepat, dan invasif minimal untuk
memastikan adanya infeksi bakteri. Kehadiran neutrofil dengan cocos fagocytosed
intracytoplasmic menegaskan pyoderma., dimana ada deep pyoderma, pola inflamasi ditandai
dengan adanya neutrofil yang berdegenerasi, makrofag dan kadang-kadang eosinofil. Batang
juga bisa muncul dalam kasus yang jarang terjadi. Kurangnya mikroorganisme pada sitologi
kulit tidak mengesampingkan infeksi, dan sementara sitologi adalah tes diagnostik pertama
yang harus dilakukan, sehingga tidak dapat menggantikan kultur bakteri atau histopatologi
(Oliveire, 2015).
2.2.6 Diagnosa Banding
Diagnosis banding dari penyakit pyoderma yaitu ektoparasit manifestasi pinjal,
scabiosis, demodecosis, Chetletiellosis, Pediculosis, Otoacariasis, Trombiculiasis, Nasal
mites. Infeksi mikroba pada kuliat seperti Staphylococcal pyoderma dan Malassezia
dermatitis. Penyakit alergi kulit seperti Flea allergy dermatitis, atopic dermatitis, food
intolerace, insect bite hypersensitivity, contact dermatitis. Penyakit Neoplasma Cutaneous
lymphoma. Diagnosa banding dan faktor-faktor komplikasi perlu dipersempit menggunakan
informasi yang berasal dari sejarah (anamnesa), temuan pada pemeriksaan fisik, tes
diagnostik, dan respon terhadap pengobatan (Hansel et al., 2015).
2.2.7 Prognosa
Prognosa dari pyoderma ini yaitu fausta tapi jika tidak ditangani, tingkat pruritus
memburuk, tetapi pyoderma tidak mengancam kehidupan kecuali pruritus yang tidak dapat
diproteksi oleh pasien hingga terancam euthanasia. Beberapa kasus dapat diselesaikan secara
spontan (Tilley dan Francis, 2015).
2.2.8 Pengobatan
Pengobatan yang diberikan ketika pyoderma menurut Antimicrobial Guidelines
Working Group of the International Society for Companion Animal Infectious Diseases.
Tingkat pertama (empiris): clindamicin 11 mg/kg 24h PO, sefalosporin generasi pertama 22–
30 mg/kg q12h PO, sulfonamida dengan trimetoprim 15 mg/kg q12h PO, Tingkat kedua:
sefalosporin generasi ketiga 5–10 mg/kg q24h PO, Tingkat ketiga: doxycycline 5–10 mg/kg
q24h PO, minocycline chloramphenicol 40–50 mg/kg q8h PO, fluoroquinolones 10–20 mg/kg
q24h PO, rifampicin 5–10 mg/kg q12h, aminoglikosida. Tingkat ketiga: linezolid, vankomicin;
gunakan pada saat sangat dibutuhkan; disediakan untuk infeksi MRSA yang serius pada
manusia. Cortikosteroid pemberian Kortizone 0.5–1 mg/kg PO q12-24h (Plumb, 2011) dapat
mendorong resistensi dan kambuh bila digunakan jangka panjang bersamaan dengan
antibiotik; dapat digunakan jangka pendek pada awal terapi untuk menyelesaikan peradangan
akut. Vaksin: terapi "vaksin staph" imunomodulator - Staphage lysate, staphoid AB, atau
bakteri Staphylococcus autogenous; suspensi bakteri yang diinaktivasi melalui pemanasan,
inaktivasi kimia, atau lisis bakteriofag; Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas
antibiotik, mengurangi kekambuhan, dan menghindari terapi antibiotik jangka panjang; efek
mungkin menguntungkan karena peningkatan regulasi produksi interferon-gamma atau respon
imunologi spesifik-antigen (Rhodes dan Alexander, 2018).

2.3 Babesiosis
2.3.1 Etiologi
Babesiosis disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Berdasarkan
taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum apicomplexa, Sub-classs Piroplasma, Ordo
piroplasmida, Famili babesiidae dan Genus babesia (Pudjiatmoko, 2014). Babesiosis pada
anjing disebabkan oleh B. canis dan B. gibsoni. B. canis adalah parasit protozoa darah yang
menyerang eritrosit serta penularannya melalui gigitan caplak (Astyawati et a., 2010).
2.3.2 Patogenesa
Siklus hidup Babesia canine pada hospes anjing dimulai saat caplak yang
mengandung babesia menghisap darah anjing. Saliva caplak ditularkan sporozoid yang masuk
ke peredaran darah hospes dan menginfeksi eritrosit (Irawan, 2015). Parasit akan terus
berkembang biak secara aseksual didalam butir darah merah hingga menjadi 2-4 tunas. Jika
perkembangannya telah sempurna, maka parasit ini akan memecahkan butir darah merah dan
menginfeksi butir darah merah yang baru, kemudian memulai siklus hidup yang baru. Kasus
babesiosis yang berlangsung menahun, parasit mampu mengubah spesifi sitas antigen di
permukaan sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi (Pudjiatmoko, 2014).
2.3.3 Gejala Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini adalah demam, hewan
kekurangan darah dan mengalami anemia (Pudjiatmoko, 2014). Gejala klinis lain yang dapat
timbul antara lain anoreksia, malaise, hemoglobinuria, spleenomegali, dan hemolisis darah
yang sering kali menyebabkan kematian (Astyawati et al., 2010).
2.3.4 Faktor Predisposisi
Beberapa predisposisi Babesia, ditemukan pada hewan-hewan yang lain, seperti
B.mayor menginfeksi sapi, B.equi pada kuda dan B.canis pada anjing, B.felis pada tikus dan
B.microti pada binatang mengerat Manual Penyakit Hewan Mamalia 365 (rodent), juga
binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B.divergen pada tikus dan gerbil (sejenis
tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang) (Pudjiatmoko, 2014).
2.3.5 Diagnosa
Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara
lain (Pudjiatmoko, 2014) :
a. Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung telinga sapi.
Ulas darah dapat difi ksasi menggunakan methyl alcohol dan diwarnai dengan
pewarnaan Giemsa selama 45 menit, setelah dicuci dengan air, preparat dikeringkan
dalam suhu ruang. Pemeriksaan Manual Penyakit Hewan Mamalia 371 parasit ini
menggunakan mikrsoskop cahaya dengan pembesaran 1000X. Gambaran parasit di
dalam sel darah merah berbentuk ring mirip dengan morfologi tropozoit pada
Plasmodium malaria, hanya saja pada babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.
b. Metode lain adalah dengan cara Indirect Immunofl ourescent Antibody Assay. Metode
ini lebih banyak digunakan untuk manusia.
c. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains Reaction (PCR),
tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang terjadi secara akut atau kronis.
d. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B. bovis
menggunakan antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk B. bigemina belum
memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap B. bigemina dilaporkan kurang
sensitif. Adapun metode ELISA untuk B. divergens belum divalidasi.
e. PCR – ELISA dilaporkan setidaknya 1000 kali lebih sentisitif daripada preparat ulas
darah.
f. Tidak disarankan untuk melakukan inokulasi parasit ini pada hewan percobaan
Pemeriksaan mikroskopis preparat apus keluargaisasi atau cahaya: dengan pewarnaan
Gram atau Wright, terlihat parasit B. microti. Pemeriksaan imunofluoresent tidak langsung,
untuk antibodi, digunakan untuk menyelidiki infeksi parasit babesia. Masih ada hasil
pemeriksaan mikroskopis preparat apus darah yang lebih meyakinkan. Titer antibodi terhadap
babesia dapat dideteksi setelah 2-4 minggu terlihat emosi dan gejala, kemudian berangsur
menurun, setelah 6-12 bulan (Yatim dan Reni, 2006).
2.3.6 Diagnosa Banding
Adapun diagnosa banding (Pudjiatmoko, 2014): Trypanosomiasis, Anaplasmosis,
Theileriasis, Bacillary haemoglobinuria, Leptospirosis, Eperythrozoonosis, Rapeseed
poisoning dan Chronic copper poisoning.
2.3.7 Prognosa
Prognosis babesiosis yang menyerang anjing melaporkan tingkat kematianya
28-70% (Fausta). Namun, karena tidak ada uji laboratorium atau parameter hematologi yang
memungkinkan dokter untuk memutuskan apakah imunosupresan pengobatan benar-benar
diperlukan, dalam sebagian besar kasus seperti itu, tergantung dari penanganya cepat atau
tidak (Solano et al., 2016). Beberapa anjing diantaranya mengalami (hemokonsentrasi, tanda-
tanda neurologis, gagal ginjal akut dan pul - edema monary) memerlukan pertolongan cepat
dan perawatan intensif apabila lambat maka prognosisya akan buruk (Infausta) (Kramer,
2009).
2.3.8 Pengobatan
Secara umum, baik pengobatan maupun kekebalan anjing. infeksi Babesiosis dengan
demikian menjadi pembawa organisme kronis dan potensi menjadi manifestasi parsit.
Imidocarb dipropionate dan diminazine banyak digunakan sebagai obat anti-piroplasm. Obat-
obatan ini mengandung senyawa yang telah digunakan dengan beragam derajat keberhasilan
untuk manajemen klinis tanda-tanda infeksi parasit, semua obat-obatan ini menghasilkan
ameliorasi. Pemberian obat spesies babesia, telah diuji dengan kombinasi beragam seperti
klindamisin, metronidazole dan doxycycline39 atau azithromycin dan atovaquone11 dengan
kemanjuran klinis yang wajar. Umumnya, terapi suportif seperti intravena cairan dan transfusi
darah harus digunakan kapanpun bila diperlukan (Kramer, 2009). Imidocarb dipropionate
adalah perawatan pilihan untuk kaninus babesiosis yang disebabkan oleh spesies babesia, satu
dosis 6,6 mg / kg intramuskular (IM) atau subkutan (Solano et a.,l 2016).
Kombinasi atovakon dan azitromisin satu-satunya pengobatan yang telah terbukti
mengurangi parasitemia di bawah batas deteksi PCR. Atovaquone adalah obat anti parasit
yang menghambat aksi sitokrom dengan dosisis atovaquone 13,5 mg / kg, diberikan setiap 8
jam dengan makanan berlemak (untuk memaksimalkan penyerapan obat) dan dalam
kombinasi dengan azitromisin (pada dosis 10 mg / kg PO) selama sepuluh hari. doksisiklin
telah dijelaska untuk mengurangi keparahan tanda-tanda klinis dan terkait dengan penurunan
morbiditas dan mortalitas dengan dosis 10 mg / kg / hari, diberikan PO atau (secara sporadis)
intravena (IV), dalam kasus muntah, rekomendasinya adalah membagi dosis menjadi 5 mg /
kg diberikan setiap 12 jam. Clindamicin dengan dosis 25 mg / kg, diberikan PO setiap 12 jam
selama 14 hari dan telah terbukti mengurangi tanda-tanda klinis dan kelainan laboratorium.
Penting untuk diingat bahwa antibiotik sendiri tidak akan menghilangkan infeksi. Kombinasi
antibiotik yang berbeda memiliki beberapa manfaat mengobati anjing yang terinfeksi
contohnya termasuk kombinasi clindamycin (11 mg / kg setiap 12 jam PO), metronidazole (15
mg / kg setiap 12 jam PO), dan doxycycline (5 mg / kg setiap 12 jam PO), atau enrofloxacin
(2,5 mg / kg setiap 12 jam PO), metronidazole (5–15 mg / kg setiap 12 jam PO), dan
doxycycline (7–10 mg / kg setiap 12 jam PO) (Solano et al., 2016).
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Arloji/Stopwatch
b. Penlight
c. Reflex Hammer
d. Stetoskop
e. Thermometer
3.1.2 Bahan
a. Baju Lab
b. Handskun
c. Anjing
d. Masker
3.2 Metode
a. Siapkan alat dan bahan
b. Letakkan Anjing di atas meja
c. Lakukan handling agar kucing tidak terlalu banyak bergerak
d. Lakukan pemeriksaan fisik dengan metode inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi
menggunakan alat-alat yang telah disediakan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Gambar 1. Pemeriksaan thorax pada probandus

Gambar 2. Pemeriksaan bagian telinga

Gambar 3. Kondisi probandus


Gambar 4. Pemeriksaan bagian anus
Hasil pemeriksaan terlampir di rekam medik.
4.2 Pembahasan
Praktikum kali ini ditemukan kucing domestik berumur sekit bulan 6 dengan tanda-tanda
yang mengarah pada demodecosis.Tanda-tanda klinis yang diperlihatkan kucing tersebut yaitu
terdapat manifestasi caplak, telinga kurang bersih, alopecia, pustula, rektum/anus tidak bersih
dan dehidrasi dengan turgor kulit <3 detik,serta terdapat kerak.
Berdasarkan anamnesa bahwa kucing tidak berpemilik, tidak dikandangkan serta belum di
vaksin. Signalment dari anjing tersebut yaitu atas nama Franco berjenis kelamin jantan, warna
bulu hitam putih, ras domestik, berat badan 1 kg dan berumur 6 bulan sedangkan untuk status
present yaitu memiliki suhu 38,8oC, denyut jantung 120x/menit, frekuensi nadi 68x/menit dan
frekuensi napas yaitu 20x/menit. Berdasarkan tanda klinis yang ditemukan maka anjing
mengarah pada penyakit demodecosis.
Menurut Anne (2015), tanda-tanda klinis dari demodecosis adalah bulu rontok, papula,
pruritus (rasa gatal sehingga menyebabkan keinginan untuk menggaruk), lesi pada kulit.
Gejala pruritus tidak selalu muncul pada anjing penderita, tapi hampir selalu dipastikan
muncul pada kasus demodecosis yang disertai infeksi sekunder seperti pyoderma. Gejala ini
sama dengan ditemukannya papula, lesi pada kulit, bulu rontok, adanya rasa gatal yang
berlebihan pada probandus. Diagnosa sementara dari probandus tersebut adalah demodecosis
karena ada sebagian tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh probandus mengarah ke
demodecosis.
Diagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifi
kasi adanya tungau Demodex sp. Langkah diagnosis yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga berdarah. Scraping dilakukan
dengan memegang dan menggosok daerah terinfeksi untuk mengeluarkan tungau dari folikel
dengan menggunakan scalpel. Scraping dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil
scraping didapatkan, hasil tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 10 kali untuk menginterpretasikan hasil kerokan kulit tersebut( Pudjiatmoko,
2014). Pengambilan dan pengiriman spesimen: spesimen berupa kerokan pada kulit yang
terinfeksi tungau dimasukkan ke dalam cawan petri tanpa ditambah larutan apapun, atau
ditambah larutan Glycerol 5-10 % untuk melihat tungau yang masih hidup dan melihat
pergerakannya di bawah mikroskop. Identifikasi tungau dapat dilakukan dengan
menambahkan NaOH 10 % atau KOH 10 % secara mikroskopis. Isi pustula yang diperoleh
dengan jalan melakukan sayatan pada bagian kulit dari pustula/nodula dimasukkan ke dalam
botol yang berisi formalin 5 % atau alkohol 70 % agar lebih tahan lama apabila spesimen
tersebut akan dikirimkan/diperiksa ke tempat lain( Pudjiatmoko, 2014).
Pengobatan demodecosis terutama ditujukan untuk membunuh parasit penyebab.
Ivermectin diberikan secara subkutan dengan dosis 400 μg per kg berat badan dengan interval
pengulangan sekali seminggu, dan diberikan injeksi duradryl secara sub kutan terlebih dulu
sebagai antihistamin (Sardjana, 2012). Dosis dari duradryl (dengan bahan aktif
Diphenhydramine HCL) ialah 2–4 mg/kg q8–12h PO; 1 mg/kg q8–12h IM, SC, IV (jangan
menggunakan dosis lebih dari 40 mg) (Plumb, 2011).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penyakit kulit pada anjing seperti Demodecosis, Pyoderma dan Babesiosis dapat
menyerang semua spesies tetapi lebih rentan pada anjing. Tanda-tanda klinis yang anjing
yang mengalami demodecosis yaitu alopecia/bulu rontok, papula, pustula, pruritus serta rasa
gatal yang berlebihan. Adapun tanda-tanda klinis yang diperlihatkan anjing yang mengalami
pyoderma yaitu eritema, krusta, pruritus, ulserasi, papula, pustula, bullae serta tractus
dengan cairan serosanguinous pada dagu atau muzzle. Sedangkan tanda-tanda klinis yang
diperlihatkan untuk kucing yang di duga mengalami babesiosis yaitu anoreksia, malaise,
hemoglobinuria, spleenomegali, dan hemolisis darah yang sering kali menyebabkan
kematian. Adapun hasil praktikum, diagnosa untuk probandus yang di temukan yaitu
demodecosis karena tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh probandus hampir sama dengan
tanda-tanda klinis yang ada pada demodecosis.
DAFTAR PUSTAKA
Anne, Halim. 2015. Demodecosis. Vitapet Animal Clinic: Jakarta.

Arora, Neeraj., Sukhdeep Vohra., Satyavir Singh., Sandeep Potliya., Anshul Latheru khil
Gupta., Devan Arora dan Davinder Singh. 2013. Therapeutic Management of
Chronic Generalized Demodicosis in a Pug. Advances in Animal and Veterinary
Sciences. 1 (2S): 26 – 28.

Astyawati, Tutuk., Retno Wulansari, Cahyono, Ferry Ardhiansya, Ari Rumekso dan Dhetty.
2010. Konsentrasi Serum Anjing yang Optimum untuk Menumbuhkan dan
Memelihara Babesia canis dalam Biakan. Jurnal Veteriner Vol. 11 No. 4.

August, Samantha Rutherford Lörstad. 2010. Guidelines For The Clinical Use Of Antibiotics
In The Treatment Of Dogs And Cats. Swedish Veterinary Association.
Carlotti, D.N. 2012. Canine Pyoderma. WB. Saunder s Company: Philadelphia.
Cote, Etienne. 2015. Veterinary Clinical Advisor Dogs and Cats. Elsevier: Canada.
D4A. 2015. Canine Demodicosis. Dermatology for Animals: USA.

Hensel, Patrick,. Domenico Santoro,. Claude Favrot,. Peter Hill,. and Craig Griffin. 2015.
Canine Atopic Dermatitis: Detailed Guidelines For Diagnosis And Allergen
Identification. BMC Veterinary Research. Vol. 11(196). PP:1-13.

Irawan, Vidya. 2015. Mekanisme Patogenesis Pada Babesia Canis. Universitas Gadjah Mada:
Yogyakarta.

Kelany, Wael, M. dan Husein M. Galal. 2011. Diagnosis of Recurrent Pyoderma in Dogs by
Traditional and Molecular Based Diagnostic Assays and Its Therapeutic Approach.
Journal of American Science. 7(3).

Krämer, Frederick. 2009. Canine Babesiosis–A Never-Ending Story. Institute for


Parasitology, University of Veterinary Medicine Hannover. Germany.

Martino, Luisa De., Sandra Nizza., Claudio de Martinis, Valentina Foglia Manzillo,
Valentina Iovane, Orlando Paciello dan Ugo Pagnini. 2012. Streptococcus
Constellatus-Associated Pyoderma In A Dog. Journal of Medical Microbiology. Vol
61. PP:438–442

Miller, William Howard., Craig E. Griffin, Karen L. Campbell, George H. Muller. 2013.
Muller and Kirk's Small Animal Dermatology. Elsevier Health Sciences: USA.

Oliveira, Ana. 2015. Canine Pyoderma: The Problem of Meticilin Resistance. Veterinary
Focus. Vol 25(2) PP:29-35
Paterson. 2008. Manual of Skin Disease of the Dog and Cat. Blackwell Publishing: USA.

Plumbs, Donald C. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th Edition. PharmaVet.Inc:
Wisconsin
Priasdhika, Grady. 2014. Studi Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Pondok Pengayom Satwa
Jakarta. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor

Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Kementrian Pertanian Republik


Indonesia: Jakarta.

Puri, Kiki Martha., Dahelmi, dan Mairawita. 2014. Jenis-Jenis dan Prevalensi Ektoparasit
Pada Anjing Peliharaan. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) : 183-187
(ISSN : 2303-2162)

Rhodes, Karen Helton dan Alexander H. Werner. 2018. Small Animal Dermatology. Wiley
Blackwell: USA.

Sardjana, I Komang Wiarsa. 2012. Pengobatan Demodekosis pada Anjing Di Rumah Sakit
Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. VetMedika J
Klin Vet. Vol. 1, No. 1 : 9-14

Solano-Gallego1., Ángel Sainz., Xavier Roura., Agustín Estrada-Peña dan Guadalupe Miró.
2016. A review of canine babesiosis: the European perspective. Biomed Central
Eropa Vectors. 9:336.

Tilley, Larry P dan Francis W.K Smith Jr. 2015. Blackwell’s Five-Minute Veterinary
Consult: Canine and Feline, 6th Edition. Wiley Blackwell: USA.

Tilley, Larry P dan Francis W.K. Smith, Jr. 2011. Bacterial Infection of the Skin. Blackwell's
Five-Minute Veterinary Consult: USA.

Veena, M., H Dhanalakshmi., Kavitha K., Placid ED’ Souza dan GC Puttalaksmamma.
2017. Morphological Characterization of Demodex Mites and its Therapeutic
Management With Neem Leaves in Canine Demodicosis. Journal of Entomology and
Zoology Studies; 5(5): 661-664.
Yatim, Faisal dan Reni Herman. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Puslit, Biomedis, dan
Farmasi, Badan Lifbang Kesehatan. Vol : 2, No: 39.

Anda mungkin juga menyukai