Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN TOTAL KASUS MANDIRI

KOASISTENSI INTERNA HEWAN KECIL

DIAGNOSA

DERMATOMIKOSIS PADA KUCING KEPIN

Oleh :

Giga Akbar Andika Putra , SKH 19830029

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan Laporan Total Kasus Mandiri Koasistensi Interna Hewan Kecil. Pada

kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1. Ady Kurnianto, drh. M.Si, Junianto W.A.P, drh., M.Si dan Dian Ayu K. S, drh., M.Vet

selaku dosen pembimbing kasus mandiri koasistensi interna hewan kecil

2. Teman-teman sekelompok dan semua pihak yang secara tidak langsung membantu

terlaksananya koasistensi interna hewan kecil

Penulis menyadari bahwa masih diperlukan banyak masukan dalam penyusunan makalah

ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini bermanfaat

untuk semua pihak.

Surabaya, 10 Juni 2021

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesejahteraan masyarakat yang baik dapat ditandai dengan tingkat kebutuhan tersier yang

juga ikut meningkat. Salah satu kebutuhan tersier masyarakat perkotaan yang menjadi tren saat

ini adalah meningkatnya daya tarik terhadap pemeliharaan hewan kesayangan. Tampilan serta

tingkah laku tingkah laku anjing dan kucing yang menyenangkan bagi pemilik merupakan alasan

utama hewan tersebut banyak dipilih sebagai hewan kesayangan (Rodiah, 2001; Saryoko dan

Putri, 2016).

Tren pemeliharaan anjing dan kucing yang meningkat di masyarakat berbanding lurus pada

laporan kejadian penyakit pada anjing dan kucing yang juga turut meningkat, baik penyakit

infeksius maupun non infeksius. Salah satu penyakit non infeksius tersebut adalah

Dermatomicosis pada kucing maupun anjing. . Dermatofit adalah kumpulan jamur yang mampu

membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi

untuk kolonisasi. (Kurniati dan Cita, 2008). Penanganan penyakit ini terbilang cukup sulit karena

sering terjadi reinfeksi dan membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi dalam penangannya.

Apabila salah mendiagnosa maka penyakit kulit ini bisa terdiagnosa sebagai penyakit kulit biasa.

Patogenesis dermatopitosis tergantung pada faktor lingkungan. Jamur dermatopitosis ini dapat

berkembang pada iklim yang daerahnya tropis dengan kelembapan tinggi. Kucing yang bulu

tebal dan panjang menjadi predileksi yang cocok bagi tumbuh jamur (Adzima dkk, 2013).

Jumlah kasus dermatomikosis di Indonesia belum diketahui secara pasti. Penelitian di

Denpasar menyatakan bahwa dermatomikosis menempati urutan kedua setelah dermatitis,


dengan estimasi jumlah kasus dengan di kota-kota besar di Indonesia. Angka kasus akan

meningkat di daerah pedalaman dengan variasi penyakit yang berbeda. Angka kejadian

dermatomikosis yang terjadi di rumah sakit pendidikan bervariasi antara 2,93-27,6%, angka ini

belum merupakan kejadian populasi di Indonesia (Anastascia dkk 2017)

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara praktik dan teori mengenai

etiologi, gejala klinis, temuan dalam pemeriksaan klinis, teknik diagnosa, prognosa, dan terapi

kasus Dermatomikosis pada kucing


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DERMATOMIKOSIS

2.1.1 Definisi

Dernatomikosis adalah adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh fungi /jamur

dermatofit. Jamur yang termasuk sebagai jamur dermatofit antara lain adalah mycrosporum,

trtrichophyton, epidermophyton. Jamur/ Fungi yang paling sering adalah Mycrosporum canis.

Penyakit dermatomikosis ini dapat menular dari hewan ke ke hewan lainnya. Penularan dapat

ditularkan kerena kontak dengan kulit yang terinfeksi dan elemen / peralatan hewan seperti sisir,

kandang tempat pakan minum) (Sajuthi Cucu K, 2004).

Dalam penelitian Sajuthi Cucu K (2004), keturunan kucing yang mempunyai masalah

dermatomikosis secara genetic (walaupun tidak terlihat secara klinis) selalu memilik titer

antibody tinggi terhadap antigen mycrosporum canis demikian pula adanya perbedaan respon

limphosit, blastogenesisnya jika dibandingkan dengan kucing-kucing yang sudah sembuh dari

penyakit dermatomikosis.

Faktor-faktor predisposisi kucing yang mudah terkena infeksi jamur dermatofit ini anatar

lain :

a. Iklim yang lembab dan hangat

b. Kesehatan yang memburuk

c. Rendahnya nilai kesadaran akan pentingnya kesehatan hewan kesayangan.

d. Sanitasi kandang yang buruk

e. Kucing dengan bulu panjang dan lembat ( kucing Persia)


f. Kucing muda kurang dari tahun

g. Kondisi bunting, laktasi, malnutrisi, stress

h. Hewan yang terinfeksi parasite

2.2 Patofisiologis

Jamur dermatofit memiliki beberapa enzim seperti keratinolik protease dan lipas yang

berperan sebagai factor virulensi yang mempermudah perlekatan dan invasi pada kulit,

rambut, dan juga menggunkaan keratin sebagai sumber nutrisis untuk bertahan hidup.

Langkah awal pada infeksi dermatofita adalah perlekatan pada keratin yang diikuti

dengan invasi dan pertumbuhan elemen miselium. Pada ahap awal perlekatan, dermatofita

melakukan perlekatan dari artrokonidia (spora aseksual yang dibentuk dari hifa

terfragmentasi) terhadap permukaan jaringan terkeratinisasi. Beberapa jam setelah perlekatan

berhasil terjadi, spora mulai tumbuh dan mempersipkan diri untuk tahapan berikutnya yaitu

invasi ke kulit dan rambut (Kurnia Yudhistira, halomedika,2016)

2.1.4. Gejala Klinis

Infeksi Mycrosporum canis dikaikan dengan alopecia dalam kasus tinea capitis

sehingga dapat disimpulkan gejala klinis dari dermatomikosis berhubungan dengan

patogenisnya. Dermatomikosis menginvasi rambut dan epitel tanduk. Jamur akan merusak

rambut dan menggangu keratinisasi kulit normal secara klinis bulu rontok , timbul kerak

sehingga dapat juga terinfeksi dengan kuman lain. Gejala klinis lainnya anatara lain (Kurniati,

Cita R. 1990):

a. Gatal

b. Bulu rontok
c. Kerak-kerak kemerahan sampai lecet dan dapat berkembang di daerah wajah,

telinga, kaki depan, ekor dan sebagian badan dipenuhi dengan kerak

d. Kerak tipis pada kucing muda

e. Hyperpigmentasi,

2.1.5 Penularan

Dermatomikosis merupakan penyakit yang dapat menularkan ke hewan sehingga

apabila salah satu kucing sudah didiagnosa penyakit dermatomikosis maka kucing tersebut

harus diisolasi dan dan semua alat makan dan tempat pup harus disendirikan. Hal ini

dikarenakan penularan melalui kontak langsung melalui kulit ataupun peralatan yang sering

dipakai oleh hewan tersebut.

2.1.6 Diagnosa

Uji klinis dan munculnya lesi zoonotik dapat dijadikan sebagai diagnostic utama

namun pengobatan tidak dapat dilakukan tanpa diagnostik yang lain. Tes secara mikroskopik

dengan cairan KOH dapat mengetahui adanya spora pada rambut dan rontoknya , akan tetapi

banyak kesalahan pada teknik ini. Tes dengan menyinari lesi pada kulit dengan UV dapat

digunakan, bila hasilnya positif maka akan terlihat fluoresens berwarna hijau.

(Mycrosporum canis pada kucing, Dokumentasi : Kurniati, Cita R. 1990)


2.1.7 Pengobatan

Pada kebanyakan kasus, kucing yang terinfeksi secara sponta dapat sembuh dari

Dermatomikosis dalam waktu 3 bulan. Walaupun begitu, pengobatan harus segera dilakukan

secara cepat untuk menyembuhkan dan melindungi kontaminasi dari lingkungan.

Memotong rambut merupakan salah satu cara perawatan dari Dermatomikosis,

walaupun tidak terlalu penting akan tetapi tujuan dari memotong adalah agar tidak

memperburuk lesi dan mekanisme penyebaran spora jamur. Hal pemotongan rambut ini lebih

dikuatkan lagi dikarenakn sesuai dengan faktor prediposisi dermatophitosis yang sering

menyerang pada hewan berbulu panjang.

Pengobatan dengan terapi topical, terapi ini berfungsi untuk mrnghilangkan spora

jamur dari lingkungan. Dari smeua terapi topical, kapur sulfur merupakan terapi topical yang

sangat cepat dan pengganti sampo yang khusus sampo yang mengobati jamur yang

mengandung miconazole dan chlorhexidine. Tearapi topical yang mengandung miconazole

atau clotrimazole berfungsi untuk mengurangi peradangan pada lesi dermatomikosis.

Selain terapi topical yang digunakan adalah terapi sistemik. Pilihan terapi sistemik

yang diberikan adalah griseovulvin. Griseovulvin merupakan obat keras sehingga tidak dapat

digunakan pada kucing bunting. Efek samping dari obat ini yaitu deperesi, ataxia, anemia dan

depresi sumsum tulang belakang (apabila dermatophytosis ini disertai dengan infeksi FelV.

Obat alternative lainya yang dapat digunakan adalah ketoconazole (5-10 mg/kg PO q 24 h)

atau dapat pula dipilih itacomazole (100 mg/kg PO q 24 h). Pengobatan harus berlanjut paling

tidak 4-6 minggu dan tidak boleh berhenti sampai jamur tidak tumbuh lagi, agar pertumbuhan

jamur dapat terjadi lagi.


Terapi lingkungan juga diperlukan dikarenakan mencegahnya tertularnya spora jamur

yang berada di sekitar lingkungan. Terapi lingkungan yang diberikan dengan cara

membersihkan alas kandang, peralatan dan lain lain.


BAB III
MATERI METODE

3.1 Materi
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kucing yang mengalami dermatomikosis adalah
timbangan, thermometer, dan spuit
Bahan yang digunakan untuk terapi kucing yang mengalami dermatomikosis adalah
ivermectin, b komplek, grisovulvin dan Nutriplus gell.

3.2 Metode
Meode pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa adalah dengan mengisi ambulatoir
secara lengkap, kucing dibawa keruang periksa, selanjutnya ditimbang dan diukur suhu tubuh
nya.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pemeriksaan

Laboratorium FAAL Universitas wijaya kusuma


Dukuh Kupang Surabya
LEMBAR KONSULTATIF/AMBULATOIR

Tanggal : 20 Mei 2021

Nama Pemilik : Bpk. Leonardo Reynaldi.

Alamat : Rungkut

Macam Hewan : Kucing Persia Medium

Nama Hewan : Kepin

Signalment : Jantan, Orange, 5 tahun

ANAMNESA : Terdapat keropeng di bawah mulut

STATUS PRESENT

1. Keadaan Umum : KT = Gemuk, EM = Ceria

2. Frekuensi Nafas : menit

3. Frekuensi pulsus : menit

4. Temperatur : 38 0C

5. Kulit dan Rambut : Turgor kulit normal

6. Selaput Lendir : CRT <2 detik, gingiva dan conjungtiva normal

7. Kelenjar Limfe : Normal

8. Pernafasan : Bronkial

9. Peredaran Darah : Normal


10. Pencernaan : Normal

11. Kelamin dan Perkencingan : Normal

12. Syaraf : Refleks mata, pupil serta kaki normal

13. Anggota Gerak : Normal, berdiri dan berjalan dengan 4 kaki

14.Lain-lain : Berat Badan : 5,5 kg

15. Pemeriksaan Lab, dsb : A. FESES

Konsistensi :-

Natif :-

Centrifuge :-

Lain-lain :-

DIAGNOSA : Dermatomikosis B. URIN

Reaksi :-

Protein :-

Sedimen :-

Lain-lain :-

PROGNOSA : Fausta C. HEMATOLOGI

Sifat :-

Kadar Hb :-

Prep apus :-

Lain-lain :-

D. USG :-
E. RONTGENT :-

F. EKG :-

G. FAAL ORGAN :-

H. KULIT :-

I. ALERGI :-

J. LAIN-LAIN :-

Tabel Hasil Pemeriksaan Hematologi


Pemeriksaan Hematologi Kucing Kepin Sebelum Terapi
Interval
Hemathology Result Unit
referance
WBC 10.80 103 /µL 10.57-14.39
LYMP% 44.7 % 29 - 84
MONO% 19.4 % 0–7
GRAN% 35.9 % 35 – 78
RBC 7.66 106 /µL 5.92 – 11.16
HBG 11.7 g/dL 8.17 – 15.26
HCT 35.7 % 24.00 – 46.00
MCV 40.7 fL 36.96 – 54.95
MCH 15.3 Pg 38 – 47
MCHC 32.8 g/dL 26.47 – 35.91

PENANGANAN DAN PENGOBATAN

Pengobatan :

1. inj ivermectin

2. inj vit B komplek

3. Grisovulvin

4. Nutriplus gell
Pemeriksaan Hematologi Kucing Kepin Setelah Terapi

Hemathology Result Unit Interval referance


WBC 11.38 103 /µL 10.57-14.39
LYMP% 30.5 % 29 - 84
MONO% 6.8 % 0–7
GRAN% 38.0 % 35 – 78
RBC 6.30 106 /µL 5.92 – 11.16
HBG 10.1 g/dL 8.17 – 15.26
HCT 30.8 % 24.00 – 46.00
MCV 45.9 fL 36.96 – 54.95
MCH 43.6 Pg 38 – 47
MCHC 30.5 g/dL 26.47 – 35.91

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi kucing Kepin menunjukkan adanya

peningkatan Monosit. Monosit merupakan bentuk leukosit (sel darah putih) yang berbeda dari

granulosit karena susunan morfologi intinya dan sifat sitoplasmanya yang relatif agranular. Pada

peradangan akut, monosit pada waktu yang kira-kira sama dengan neutrofil mulai bermigrasi

tetapi jumlahnya lebih sedikit dan dengan kecepatan yang lambat. Sel yang sama, jika berada di

dalam darah disebut monosit, jika terdapat dalam eksudat disebut makrofag. Sistem monosit-

makrofag (dikenal juga dengan istilah retikuloendotelial) berfungsi penting untuk membersihkan

darah, limfe dan ruangruang interstisial dari benda asing, dengan demikian merupakan fungsi

pertahanan yang penting. Tidak hanya itu, makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan

substansi lain yang mengawali dan mempercepat pembentukan jaringan granulasi pada luka
bersama fibroblas, memproduksi growth factor yang berperan pada reepitelisasi dan

pembentukan kapiler baru (angiogenesis) (Price SA dan Wilson LM, 2006). Peningkatan

monosit dapat disebabkan karena adanya infeksi pada kucing Kepin yang sudah bersifat kronis.

Peran monosit/makrofag ternyata tidak hanya terbatas pada fagositosis benda-benda asing yang

masuk kedalam tubuh. Namun monosit/makrofag ternyata menjadi kunci pada proses fibrosis

dan angiogenesis. Fibrosis penting agar jaringan dapat pulih dan bertahan terhadap lingkungan

luar tubuh. Angiogenesis juga penting karena tanpa adanya pembuluh darah baru nutrisi tidak

dapat diperoleh oleh jaringan sehingga jaringan akan mengalami kematian. Lebih jauh lagi,

ternyata monosit/makrofag turut berperan dalam perkembangan dan metastasis sel kangker

melalui induksi fibrosis dan angiogenesis (Subowo, 2009).

Kucing bernama Kepin berjenis kelamin jantan, umur 5 tahun dengan berat badan 5,5 .

Ditemukan lesi menyerupai keropeng di bawah mulut. Dengan kondisi tubuh gemuk dan

ekspresi muka ceria, suhu tubuh 380C. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan

gejala klinis bahwa kucing Kepin terkena Dermatomikosis.

Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh fungi /jamur dermatofit.

Jamur yang termasuk sebagai jamur dermatofit antara lain adalah mycrosporum, trtrichophyton,
epidermophyton. Pada umumnya kasus dermatophitosis pada kucing ini disebabkan oleh jamur

Mycrosporum canis, Mycrosporum gypseum dan Tricophyton., akan yang paling sering adalah

Mycrosporum canis. Penyakit dermatomikosis ini dapat menular dari hewan ke hewan lainnya.

Penularan dapat ditularkan kerena kontak dengan kulit yang terinfeksi dan elemen / peralatan

hewan seperti sisir, kandang tempat pakan minum (Sajuthi Cucu K, 2004).

Gambar 2. Terdapat sedikit keropeng pada bawah mulut kucing Kepin

Mycrosporum canis adalah fungi yang lebih menyerang ke kucing .Mycrosporum canis

membentuk koloni putih, berbulu halus dengan tekstur Mycrosporum canisberbeda dengan

Mycrosporum lainnya dikarenakan beberapa strain Mycrosporum canis ini tidak menghasilkan

pigmen berwarna kuning sama sekali , hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni yang

lambat dan membentuk mikrokonidia yang tidak berkembang. Mycrosporum canis mereproduki

secara aseksua dengan membentuk makrokonidia yang asimetris berbentuk bulat dan memiliki

dinding sel yang tebal dan kasar.

Mycrosporum canis menghasilkan infeksi pada kulit kepala dan sebagian atau keseluruh

tubuh yang menciptakan lesi yang dapat mengakibatkan inflasmasi yang terkait dnegan dengan

kerontokan rambut. Infeksi oelh spesies ini sering dapat dideteksi secara klinis menggunakan
lampu wood, yang menyebabkan jaringan yang terinfeksi menjadi hijau terang., akan tetapi harus

ada tindakan diagnose lainnya. Pertumbuhan koloni Mycrosporum canis sangat cepat pada suhu

25˚C.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tanda klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (hematologi) kucing

Kepin didiagnosa Dermatomikosis. Dengan diberi tindakan terapi yang diberikan untuk kucing

Kepin pada penanganan Dermatomikosis adalah injeksi ivermectin, inj B.kompleks, Grisovulvin

dan Nutri plus gell.

5.2 Saran
Kucing penderita Dermatomikosis diharapkan menjaga kebersihan kandang dengan di

semprotkan desinfektan disisi kandang dan kebersihan kucing

DAFTAR PUSTAKA

Anastascia Arysthia , Sitti Rahmah Umniati , Ira Parasmatri


. (2017). Perilaku sehat dan sanitasi lingkungan pemilik kucing dengan dermatomikosis di
Klaten. BKM Journal of Community Medicine and Public Health Volume 33 Nomor 5 , 235 -
238.

Halodokter. www.halodokterter.artikelobat.2016

Kurniati, Cita R. 1990. Etiopatogenis Dermatofitosis. Journal FK Unair. Surabaya

Price SA, W. L. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Penerjemah:


Anugerah, Peter. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Stockham, S. L. and Scott, M. A.. 2002. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.


Amerika: Iowa State Press.

Subowo. Histologi Umum. Jakarta: CV Sagung Seto. 2009.

Anda mungkin juga menyukai