Anda di halaman 1dari 71

DEEP PYODERMA PADA KUCING BELANG ( TABBY PET CARE)

Oleh :

Giga Akbar Andika Putra , SKH 19830029

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


1.1 Latar Belakang

Kesejahteraan masyarakat yang baik dapat ditandai dengan tingkat kebutuhan tersier

yang juga ikut meningkat. Salah satu kebutuhan tersier masyarakat perkotaan yang menjadi

tren saat ini adalah meningkatnya daya tarik terhadap pemeliharaan hewan kesayangan.

Tampilan serta tingkah laku tingkah laku anjing dan kucing yang menyenangkan bagi

pemilik merupakan alasan utama hewan tersebut banyak dipilih sebagai hewan kesayangan

(Rodiah, 2001; Saryoko dan Putri, 2016).

Tren pemeliharaan anjing dan kucing yang meningkat di masyarakat berbanding

lurus pada laporan kejadian penyakit pada anjing dan kucing yang juga turut meningkat,

baik penyakit infeksius maupun non infeksius. Salah satu penyakit non infeksius tersebut

adalah abses. Abses merupakan salah satu manifestasi peradangan maka manifestasi lain

yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni:

kemerahan (rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya

fungsi. Abses biaanya disebabkan oleh bakteri pathogen, yang ada pada kulit.

Patogen utama yang menyebabkan infeksi kulit pada anjing dan kucing adalah

Staphylococcus intermedius. Bakteri ini dapat ditemukan pada mukosa, khususnya nasal,

anal, traktus genital, dan tumbuh pada kulit melalui kegiatan mandi atau aktivitas lainnya.
Kasus ini jarang terjadi tanpa adanya faktor pokok. Hampir semua kondisi kulit dapat

terinfeksi oleh bakteri, namun faktor yang paling sering menyebabakan infeksi adalah alergi,

penyakit keratinisasi dan penyakit folikular. Infeksi bakteri pada kucing jarang terjadi.

Infeksi bakteri pada kucing hanya sebagai infeksi sekunder. Abses subkutaneus sering

terjadi pada kucing, biasanya infeksi terjadi akibat adanya luka (Paterson 2008)

Penanganan abses seacara cepat dapat mengurangi resiko abses pada jaringan. Abses

pada jaringan dapat menimbulkan sepsis dan dapat menimbulkan kematian.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara praktik dan teori mengenai

etiologi, gejala klinis, temuan dalam pemeriksaan klinis, teknik diagnosa, prognosa, dan

terapi kasus abses pada kucing


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses

Abses merupakan kumpulan nanah ( neutrophil yang mati ) yang berada dalam kavitas

jaringan tubuh yang biasanya pada daerah kulit dan menimbulkan luka yang cukup serius

karena infeksi bakteri. Pada abses terdapat nanah yang terlokalisasi yang dikelilingi oleh

jaringan yang meradang. Gejala khas abses adalah perdangan, merah, hangat,bengkak, sakit,

bila abses membesar biasanya di ikuti gejala demam, selain itu bila ditekan teras adanya

terowongan ( boden 2005 )

2.2 Anatomi Kulit

secara histopatologik Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama,

yaitu (Djuanda, 2007) :

2.2.1 Lapisan epidermis

a. Lapisan basal atau stratum germinativum. Lapisan basal merupakan lapisan epidermis

paling bawah dan berbatas dengan dermis. Dalam lapisan basal terdapat melanosit.

Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk melanin. Melanin berfungsi melindungi

kulit terhadap sinar matahari.

b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Lapisan malpighi atau disebut juga prickle cell

layer (lapisan akanta) merupakan lapisan epidermis yang paling kuat dan tebal. Terdiri

dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda akibat
adanya mitosis serta sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Pada

lapisan ini banyak mengandung glikogen.

c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin). Lapisan granular

terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir (granul) keratohialin yang

basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.

d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum. Lapisan lusidum terletak tepat di bawah lapisan

korneum. Terdiri dari selsel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi

protein yang disebut eleidin.

e. Lapisan tanduk atau stratum korneum. Lapisan tanduk merupakan lapisan terluar yang

terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya

telah berubah menjadi keratin. Pada permukaan lapisan ini sel-sel mati terus menerus

mengelupas tanpa terlihat.

2.2.2 Dermis

Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada

epidermis. Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan

folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni: a. Pars papilare, yaitu

bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. b.

Pars retikulaare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan. Bagian ini

terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Lapisan

ini mengandung pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea.

2.2.3 Lapisan Subkutis

Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis

dan subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel
lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang

bertambah. Jaringan subkutan mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung

rambut, dan di lapisan atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringat. Fungsi jaringan

subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat penumpukan energi.

2.2.4 Fungsi kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan lingkungan.

Adapun fungsi utama kulit adalah (Djuanda,2007): (1) Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian

dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik (tarikan, gesekan, dan tekanan),

gangguan kimia ( zat-zat kimia yang iritan), dan gagguan bersifat panas (radiasi, sinar

ultraviolet), dan gangguan infeksi luar. (2) Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah

menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah

diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air

memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi

kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis

vehikulum. (3) Fungsi ekskresi Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi

atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. (4) Fungsi

persepsi Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis sehingga kulit

mampu mengenali rangsangan yang diberikan. Rangsangan panas diperankan oleh badan

ruffini di dermis dan subkutis, rangsangan dingin diperankan oleh badan krause yang terletak

di dermis, rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner yang terletak di papila dermis,

dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini di epidermis. (5) Fungsi pengaturan

suhu tubuh (termoregulasi) Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengekskresikan

keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin,
peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu suhu

panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari kelenjar

keringat sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas. (6) Fungsi pembentukan

pigmen Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari

rigi saraf. Jumlah melanosit dan 17 jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes)

menentukan warna kulit ras maupun individu. (7) Fungsi kreatinisasi Fungsi ini memberi

perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik. (8) Fungsi

pembentukan/sintesis vitamin D

2.2.5 Mikroba pada kulit

Kulit secara konstan berhubungan dengan bakteri dari udara atau dari benda-benda, tetapi

kebanyakan bakteri ini tidak tumbuh pada kulit karena kulit tidak sesuai untuk

pertumbuhannya. Adapun mikroba yang sering dijumpai pada pemeriksaan penyakit di kulit,

yaitu :

a. Staphylococcus aureus

b. Staphylococcus epidermidis

c. Propionilbacterium acnes

d. Jamur (Pityrosporum ovale dan Pityrosporum orbiculare)

2.2.6 Klasifikasi Flora Normal Kulit

Flora normal dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: flora residen dan flora transien.

Flora residen merupakan bakteri yang berada di lapisan dalam kulit. Letaknya dibawah sel

superfisial lapisan stratum korneum dan dapat ditemukan di lapisan permukaan kulit, karena

letaknya yang dalam itu flora jenis ini lebih sulit dihilangkan secara mekanik. Mikrobiota
residen memiliki fungsi sebagai kompetitor nutrisi pada eksistem dan antagonis mikroba.

Potensial patogenik yang lebih rendah dibanding dengan flora transien merupakan hal yang

penting untuk mencegah kolonisasi bakteri yang memiliki kemampuan menimbulkan

penyakit lebih besar pada kulit. Flora jenis ini terdiri dari mayoritas staphylococcus

koagulase negatif dan corynebacterium, dengan kepadatan populasi antara 103 dan 103

CFU/cm2 .

2.2.7 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-

1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,

fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (McCaig et al., 2006). Bakteri

ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu

kamar (20-25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning

keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik

menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang

berperan dalam virulensi bakteri (Purnomo et al., 2006). Infeksi oleh S. aureus ditandai

dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang

disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka (Welsh et al.,

2010). Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi

saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama

infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Welsh et al., 2010) .

Kontaminasi langsung S. aureus pada luka 6 terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi

setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis setelah

fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial (Khusnan et al., 2012). S. aureus
dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya untuk tersebar luas dalam jaringan dan

melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor

virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin

2.3 Patogenesis Abses

Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara

mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik ( sintesis) kimiawi yang

secara spesifik mengawalai proses peradangan atau melepaskan endotoksin yang ada

hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila ada perubahan kondisi

respon imunologi yang mengkibatkan perubahan reaksi imun yang merusak jaringan. Agen

fisik dan bahan kimia oksidan dan korosif menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian

jaringan menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah penyebab dari

peradangan, kemerahan merupakan tanda awal yang terlihat akibat dilatasi arteriol akan

meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan

bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadu secara sistemik

Akibat endogen pyrogen yang dihasilkan makrofaq mempengaruhi termoregulasi pada

suhu lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan

terjadi perubahan diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler. Kemudian aliran

darah Kembali pelan. Sel – sel darah mendekati dinding pembuluh darah didaerah zona

plasmatic. Leukosit menempel pada epitel sehingga Langkah awal terjadi emigrasi kedalam

ruang ekstravaskuler, lambatnya aliran darah yang mengikuti fase hyperemia meningkatkan

permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarnya plasma kedalam jaringan sehingga terjadi

kumulasi cairain didalam rongga vaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu
edema. Regangan dan distorsi jarinagan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses

menyebabkan rasa nyeri. Adanya edema akan mengganggu gerak jaringan sehingga

mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas

Inflamasi akan terus terjadi selama masih ada pengrusakan jaringan. Apabila penyebab

kerusakan dapat diatasi maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi

resolusi dan kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan debris terkumpul

dalam suatu rongga membentuk abses di sel jaringan lain. Abses yang tidak diobati akan

pecah dan mengeluarkan pus kekuningan sehingga terjadi kerusakan integritas kulit.

Sedangkan abses yang di insisi dapat mengakibatkan resiko penyebaran infeksi.

2.4 Gejala Klinis

Akan terlihat adanya enumpukan darah, peradangan kemerahan dan rasa sakit, Sakit muncul

kantung atau benjolan pada kulit yang penuh dengan nanah suhu tubuh meningkat (tanda sel

darah putih melawan infeksi, Sulit bergerak, Jumlah sel darah putih meningkat, keluar cairan

kekuningan, kuning-putih, atau putih.

Untuk dapat didiagnosis dengan sepsis karena munculnya abses, pasien memiliki

peningkatan denyut jantung hingga lebih dari 90 denyut per menit bahkan ketika beristirahat,

peningkatan pernapasan lebih dari 20 napas per menit, jumlah sel darah putih yang tinggi,

dan suhu tubuh yang melebihi 38C (Barbic,2016)

2.5 Pencegahan
Lakukan cuci tangan sebelum menyentuh area yang terdpat luka terbuka, segera mencuci

luka dengan menggunakan antiseptic, balut luka terbuka denga kasa steril untuk mencegah

kontaminasi bakteri.

2.6 Pengobatan

Pengobatan abses dapat menggunakan antibiotic dicloxacillin atau cephalexin. Salah satu

antibiotic yang dapat diberikan pada kondisi abses ialah penstrep ( penicillin streptomycin).

Penicillin streptomycin merupakan agen bakterisida yang berspektrum luas dan efektif

membunuh bakteri gram positif. Penicillin memiliki struktur betalaktam yang mampu

meghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat enzim bakteri yang diperlukan

untuk pemecahan sel dan sintesis selular (plumb, 2005)

Apabila abses masih timbul, maka pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

klindamisin atau doksisiklin yang merupakan antibiotic golongan aminoglikosida yang

memiliki mekanisme menghambat laju rantai protein pada bakteri


BAB III

MATERI METODE

3.1 Materi

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kucing yang mengalami gangguan pada kulit

adalah timbangan, thermometer, dan spuit

Bahan yang digunakan untuk terapi kucing yang mengalami abses adalah tolfedin,

Chlorhexidine dan Cephalexin

3.1 Metode

Meode pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa adalah dengan mengisi

ambulatoir secara lengkap, kucing dibawa keruang periksa, selanjutnya ditimbang dan

diukur suhu tubuh nya. Pemeriksaan umum dengan melihat keadaan umum.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

LEMBAR KONSULATIF

Dokter Hewan : Drh, Dinda

Nama Pemilik : Tn Rifky Maulana

Alamat : Perum. Makarya Binangun B-22. Sidoarjo.

Telpon :-

Macam hewan : Kucing


Nama Hewan : Belang

Signalemen : betina, 8 Tahun, warna calico

Anamnesa : Ekr berdarah sekitar 1 minggu yang lalu, kucing outdoor,

semalam keluar darah banyak

STATUS PREASEN

Keadaan umum :KT = Sedang EM= Biasa

Frekuensi nafas :45/mnt, Frekuensi Pulsus 120/mnt, T 3.83℃

Kulit dan rambut :Turgor <2 detik, terdapat luka abses

Selaput lendir : agak pucat

Kelenjar limfe : Normal

Pernafaan : Abdomen

Peredaran darah : Normal

Pencernaan : Normal

Kelamin da perkemihan : Normal

Syaraf : Normal

Anggota gerak : Normal

Lain – lain : Telinga kotor dan Luka bengkak d pangkal ekor

Pemeriksaan LAB, dsb : A. Feses :-

Konsentrasi : -

Natif :-
Centrifuge :-

Lain – lain : -

Diagnosis : Abses B Urin :-

Reaksi :-

Protein :-

Sedimen :-

Lain – lain : -

Prognosa : Fausta C.Hematologi:-

Sifat :-

Kadar hb :-

Pre apus :-

Lain – lain : -

D. Usg :-

E. Rontgent :-

F. Ekg :-

G. Faal organ:-

H. Kulit : Terdapat luka dengan pus

I. Alergi :-

J. Lain- lain : -

Terapi Pengobatan

Terapi :

Injeksi :Tolfedin 0,5 ml.


Topical:Chlorhexidine

Oral : Cephalexin 2x1. 7 hari

4.2 PEMBAHASAN

Pada kasus ini diduga disebabkan oleh luka pasca injeksi yang tidak kunjung sembuh

hingga menimbulkann infeksi bakteri. Sesuai dengan keterangan pemilik, bahwa kucing belang

sempat mengalami sakit dan pemilik merawat luka tersebut dengan pmebersihkan saja,

berhubungan kucing tersebut kucing outdor maka sulit untuk di rawat dan kunjung sembuh

hingga luka mengeluarkan nanah, kjemungkinan terjadinya deep pyoderma ini krena kucing

belang habis bertengkar dengan kucing lain.

Kulit memiliki beberapa bakteri flora normal, salah satunya adalah stapylococcus aureus

yang dapat menimbulkan permasalahn kulit seperti abses. Hal ini sependapat dengan Welsh et al,
2010 bahwa infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses

bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat,

impetigo, dan infeksi luka.

. infeksi bakteri pada kasus ini juga dapat menimbulkan terjadinya sepsis, dan berakibat

fatal. Bakteri staphylococcus jenis ini dapat mengeluarkan toksin berupa endotoksin dan

eksotoksin(Hotchkiss et al, 2016). Endotoksin yang dihasilkan dapat menyebabkan efek sistemik

seperti perubahan tekanan darah, suhu tubuh, abnormalitas koagulasi, penurunan jumalh leukosit,

penurunan trombosit, perdarahan, gangguan sistem imun, dan pada akhirnya dapat berujung

pada kematian. Eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri akan di ekskresi ke ekstrasel bakteri dan

berinteraksi dengan sel inang dan mengganggu metabolisme sel (Angus et al ,2013). Hal ini

dapat mengakibatkan terganggunya fungsi organ hingga berujung pada kematian. Kegagalan

fungsi organ menyebabkan suplai nutrisi di tingkat sel menjadi terhambat, akibatnya sel tidak

dapat melakukan metabolisme dan pada akhirnya terjadi kematin sel.


BAB V

KESIMPULAN

Luka terbuka dapat menimbulkan infeksi bakteri sekunder dan dapat menyebabkan sepsis yang

dapat berujung pada kematian.


DAFTAR PUSTAKA

Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2013; 369: 840-51.

Barbic D, Chenkin J. Cho DD, Jelic T. and Scheuermeyer FX. 2016. In PatientsPresenting to the

Emergency Department with Skin and Soft Tissue Infections What is the Diagnostic

Accuracy of Point-of-Care Ultrasonography for the Diagnosis of Abscess Compared to

the Current Standard of Care Systematic Review and Meta-Analysis. BMJ open, 7(1):13

Craft N. 2012. Superficial Cutaneous Infectious and Pyoderma. In: Fitzpatrick's Dermatology in

General Medicine 8h Ed.

Boden E. 2005.  Black’s Veterinary Dictionary 21st. London: A&C Black

Gisby J and Bryant). 2000. Efficacy of a New Cream Formulation of Mupirocin:Comparison

with Oral and Topical Agents in Experimental Skin Infections.Antimicrob Agents

Chemother, 44(2):255-60.

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, et al., editors. New York: McGraw Hill Medical DeLeo

FR, Diep BA, and Otto M. 2009. Host Defense and Pathogenesis in Staphylococcus

Aureus Infections. Infect Dis Clin North Am, 23(1):17-34.

Holtzman La Hitti E, and Harrow ]. 2013. Incision and Drainage. In: Clinical Procedures i

Emergency Medicine. 6 Ed Roberts JR, Hedges JR, eds.Philadelphia: Saunders

Elsevier.

James WD Berger TG Elston DM, et al. 2016. Bacterial Infections. In: Andres Diseases of the

skin. Clinica Dermatology. 12° Ed. Philadelphia: Elsevier

Hotchkiss RS, Moldawer LL,Opal SM, Reihart K, Turnbull IR, Vincent JL. Sepsis and septic

shock. Nature Rev. 2016;2:1-20


Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook 5thedition. USA: Blackwell Publishing

Weiss, D.J., Wardrop, K.J., 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 5th Edition, 5th ed.
SUSP OTITIS PADA KUCING TUTI (GRENZONE PET SERVICE)

Oleh :

Giga Akbar Andika Putra , SKH 19830029

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


1.1 Latar Belakang

Kesejahteraan masyarakat yang baik dapat ditandai dengan tingkat kebutuhan tersier

yang juga ikut meningkat. Salah satu kebutuhan tersier masyarakat perkotaan yang menjadi tren

saat ini adalah meningkatnya daya tarik terhadap pemeliharaan hewan kesayangan. Tampilan

serta tingkah laku tingkah laku anjing dan kucing yang menyenangkan bagi pemilik merupakan

alasan utama hewan tersebut banyak dipilih sebagai hewan kesayangan Tren pemeliharaan

anjing dan kucing yang meningkat di masyarakat berbanding lurus pada laporan kejadian

penyakit pada anjing dan kucing yang juga turut meningkat, baik penyakit infeksius maupun non

infeksius. Salah satu penyakit non infeksius tersebut adalah susp otitis. Otitis adalah peradangan

pada telinga, sedangkan eksterna artinya luar. Radang telinga dapat dikategorikan berdasarkan

lokasi tempat terjadinya peradangan. Apabila infeksi terjadi di liang telinga bagian luar maka

diklasifikasikan sebagai otitis eksterna. Sedangkan apabila infeksi terjadi di liang telinga bagian

tengah, maka diklasifikasikan sebagai otitis media, yang biasanya disebabkan oleh robeknya

gendang telinga yang disertai infeksi apabila terjadi pada liang telinga bagian dalam, maka

diklasifikasikan sebagai otitis interna ( Widodo 2011).

Kejadian otitis esterna dapat berlangsung dari peradangan ringan sampai parah yang

dikenal dengan otitis nekrotikan eksterna. Hal ini disebabkan peluruhan sel kulit yang normal

atau serumen sebagai barier protektif pada saluran telinga bagian luar pada kondisi kelembaban

yang tinggi dan temperatur yang panas. Otitis eksterna adalah peradangan pada distal saluran

telinga eksternal ke membran timpani telinga yang mungkin atau mungkin tidak terlibat. Ini bisa

terjadi secara akut atau kronis dan unilateral atau bilateral. Kasus ini adalah salah satu kasus

paling umum dialami hewan kecil dan sering dijumpai oleh para dokter hewan praktik. Tanda-
tanda klinis dapat mencakup kombinasi headshaking, bau, rasa sakit pada manipulasi telinga,

eksudat, dan eritema ( Widodo 2011).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara praktik dan teori mengenai

etiologi, gejala klinis, temuan dalam pemeriksaan klinis, teknik diagnosa, prognosa, dan terapi

kasus susp otitis pada kucing


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis

Otitis eksterna adalah suatu peradangan pada liang telinga luar, baik akut maupun kronis,

yang biasanya dihubungkan dengan infeksi sekunder oleh bakteri dan atau jamur yang menyertai

maserasi kulit dan jaringan subkutan. Otitis eksterna terbagi menjadi otitis eksterna superfisialis

dan otitis eksterna profunda atau otitis eksterna akut (Dhingra, 2008). Otitis eksterna dapat

terjadi karena berbagai penyebab. Faktor predisposisi dapat meningkatkan risiko otitis eksterna

dan membantu faktor utama atau langsung menyebabkan otitis externa. Faktor utama yang

paling umum adalah hipersensitivitas, gangguan keratinisasi, dan tungau Otodectes. Faktor

utama yang harus dikendalikan untuk membantu dalam resolusi otitis eksterna (Schaer, 2009).

Dalam kasus otitis eksterna, perbanyakan patogen menjadi semakin meningkat. Terutama

menunjukkan penyempitan ringan dan adanya migrasi epitel secara fisologis yang menyebabkan

penurunan fungsi saluran telinga yang sesungguhnya. Peradangan yang diakibatkan oleh otitis

eksterna menunjukkan adanya pembentukan eksudat yang kemudian menjadi edema. Selain itu

aktivitas kelenjar ceruminous juga semakin meningkat. Hal ini mendorong adanya pengurangan

fraksi lipid dengan pengenceran sekresi cerumen apokrin. Semua peristiwa ini bertangung jawab

untuk meningkatkan kelembaban di kanal dan cerumen bakteriostatik menurun. Dengan adanya

faktor ini, semua patogen (bakteri, ragi, dan parasit) dapat menyebabkan kerusakan keratinosit

dan menyebarkan akumulasi cairan di liang telinga (Carlotti, 2006). Kondisi kulit daun telinga

dalam derajat bervariasi, akan menebal ( hiperkeratosis, akantosis) dan edema, yang meluas

kedalam liang telinga sehingga akan terjadi penyempitan dari orifisium liang telinga dan liang

telinga keseluruhan, lecet dan adanya laserasi pada daun telinga dan konka. Massa kering dan
bereksfoliasi sering menutupi liang telinga dan akan timbul rasa gatal, nyeri disertai pula

keluarnya sekret encer, bening sampai kental purulen tergantung pada kuman atau jamur yang

menginfeksi. Pada jamur biasanya akan bermanifestasi sebagai sekret kental berwarna putih

keabu-abuan dan berbau busuk (Bull, 2002).

2.2 Gejala Klinis

Otitis Eksterna Pada hewan penderita otitis eksterna, kulit yang melapisi bagian luar

telinga sering menjadi merah, gatal, dan menyakitkan. Nanah, bahan lilin, dan sampah lainnya

dapat menumpuk. Otitis eksterna bisa menimbulkan perasaan sangat tidak nyaman untuk hewan

peliharaan Anda dan harus ditangani sesegera mungkin. Otitis eksterna dapat menyebabkan

kepala gemetar, menggaruk dan menggosok, bau busuk, perilaku abnormal atau bahkan mudah

marah, serta keadaan gangguan pendengaran dalam jangka panjang (Cote, 2011).

2.3 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari otitis eksterna yakni dermatophytosis, adanya keratinisasi,

penyakit pada gigi, stapylocucal pyoderma, cheyletiellosis, regressing histiocytoma (Cote, 2011).

2.4 Pengobatan Otitis Eksterna

Salah satu kemajuan yang paling signifikan dalam pengelolahan otitis kronis selama 20

tahun terakhir adalah bahwa kita tidak lagi berharap bahwa rekaman telinga di atas kepala dan

menerapkan salep topikal selama 7 sampai 10 hari akan menyelesaikan masalah tersebut.

Pengobatan otitis disesuaikan dengan setiap agen kasus. Pengobatan dan produk harus

ditargetkan pada penyebab yang diketahui, pilihan yang sebagian besar didasarkan pada

kombinasi temuan diagnostik dan pengalaman pribadi. Jumlah produk yang tersedia secara
komersial digunakan di telinga, perawatan tambahan yang direkomendasikan, ditambah

kombinasi jenis otitis dan berbagai faktor telah menghalangi proses penyembuhan. Pendekatan

umum untuk pengobatan adalah mengidentifikasi dan faktor predisposisi serta faktor utama; 14

membersihkan saluran telinga; lembaga terapi topikal; lembaga terapi sistemik (jika diperlukan);

pendidikan klien. Juga dibutuhkan terapi pencegahan dan pemeliharaan (sesuai kebutuhan)

(Cote, 2011).

2.6 Pengobatan Topikal

Terapi topikal merupakan bagian penting dari pengobatan otitis eksterna. Kombinasi atau

berbagai macam produk yang sering ditunjukkan, terutama pada awalnya karena campuran

mikroorganisme, peradangan, dan kadang-kadang parasit yang hadir di sebagian besar telinga

pada saat dilakukan diagnosa. Walaupun pengobatan topikal kurang efektif dan dapat bersifat

kuratif saja, efektivitas jangka pendek pengobatan tersebut dapat mengecoh para praktisi dan

pemilik menjadi acuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap

penyakit tersebut. Hal ini dianggap oleh beberapa ahli sebagai faktor timbulnya otitis. Terapi

topikal harus dipilih berdasarkan temuan klinis, sitologi, penyebab dan sejarah penyakitnya.

Pengobatan yang dilakukan secara pribadi oleh pemilik hewan tanpa melakukan konsultasi

terlebih dahulu dengan dokter hewan dapat berlanjut sebagai kasus otitis eksterna. Kebanyakan

obat topikal untuk otitis secara rutin mengandung glukokortikoid, antibiotik, antijamur, dan

kadang-kadang agen anti parasit, yang berminyak atau berair. Beberapa produk komersial

tersedia di Afrika Selatan misalnya desinfektan. Beberapa pengobatan yang ditemukan juga

cukup efektif dalam beberapa jenis otitis. Beberapa produk menyoroti fakta bahwa proses

penyembuhan otitis eksterna tidak bisa terjadi secara instan. Tidak ada data spesifik tentang

kombinasi pengobatan otitis eksterna (Cote, 2011).


BAB III

MATERI METODE

3.1 Materi

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kucing yang mengalami gangguan telinga adalah

timbangan, thermometer, dan cutton but.

Bahan yang digunakan untuk terapi kucing yang mengalami abses adalah drill, doxycycline,

interhistin tab, neurodex tab, erlamectin ear drop, chloramfecort.

3.2Metode

Meode pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa adalah dengan mengisi

ambulatoir secara lengkap, kucing dibawa keruang periksa, selanjutnya ditimbang dan diukur

suhu tubuh nya. Pemeriksaan umum dengan melihat keadaan umum.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

LEMBAR KONSULATIF

Dokter Hewan : Drh, Supriyono

Nama Pemilik : Tn Akhot

Alamat :

Telpon :-

Macam hewan : Kucing

Nama Hewan : Tuti

Signalemen : betina, +2 tahun, warna abu-abu

Anamnesa : Sering garuk-garuk di telinga, telinga kotor luka dan

bernanah dan nafsu makan menurun.

STATUS PREASEN

Keadaan umum :KT = Sedang EM= Biasa

Frekuensi nafas :45/mnt, Frekuensi Pulsus 120/mnt, T 3.80℃

Kulit dan rambut :-

Selaput lendir : agak pucat

Kelenjar limfe : Normal

Pernafaan : Abdomen
Peredaran darah : Normal

Pencernaan : Normal

Kelamin da perkemihan : Normal

Syaraf : Normal

Anggota gerak : Normal

Lain – lain : Telinga kotor dan terdapat nanah

Pemeriksaan LAB, dsb : A. Feses :-

Konsentrasi : -

Natif :-

Centrifuge :-

Lain – lain : -

Diagnosis : Abses B Urin :-

Reaksi :-

Protein :-

Sedimen :-

Lain – lain : -

Prognosa : Fausta C.Hematologi:-

Sifat :-

Kadar hb :-

Pre apus :-

Lain – lain : -

D. Usg :-

E. Rontgent :-
F. Ekg :-

G. Faal organ:-

H. Kulit :

I. Alergi :-

J. Lain- lain : -

Terapi Pengobatan

Terapi :

Injeksi :drill 0,3 ml.

R/ Doxycyclin 30 mg

Interhistin tab 1/8

Neurodex tab 1/8

m.f la da in caps dtd No xii

s 2 dd caps 1

Erlamectin ear drop 1 tetes 3x sehari

Chloramfecort
4.2 PEMBAHASAN

Pada kasus ini diduga disebabkan oleh luka pasca injeksi yang tidak kunjung sembuh hingga

menimbulkann infeksi bakteri. Sesuai dengan keterangan pemilik, bahwa kucing tuti sempat

mengalami sakit dan pemilik merawat luka tersebut dengan pmebersihkan saja tanpa konsultasi

dengan dokter hewan.

Kucing menunjukkan adanya kasus otitis eksterna yang disebabkan oleh parasit

(Kustiningsih, 2001). Penyebabnya biasanya bersifat infeksius, namun non infeksius serta proses

dermatologic juga bisa saja menjadi penyebabnya. Penyebab otitis eksterna yang infeksius,

sekitar 80% diakibatkan oleh bakteri. Bakteri yang bersifat patogen yang paling sering

mengakibatkan adanya otitis eksterna adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,

dan organisme gram negative seperti spesies Enterococcus dan Proteus mirabilis (Jones, 2005).
Otitis eksterna terjadi karena adanya flora normal pada telinga bagian luar, yang mana 96%

merupakan organisme gram positive (Staphylococcus Coryneform, dan streptococcus) (Stroman

2011).

Faktor penyebab manajemen pemeliharaan, asal usul kucing serta pengetahuan pemilik

kucing tentang kejadian penyakit otitis eksterna yang meliputi beberapa aspek sehingga dapat

menjadi acuan dalam mendiagnosis adanya kejadian otitis eksterna. asal usul kucing memiliki

pengaruh yang bermakn terhadap timbulnya penyakit otitis eksterna pada kucing rumahan atau

kucing pasar memlikiki kecenderungan yang sama terhadap penyakit ini. Variabel kondisi

kandang yang lembab atau dekat dengan kandang hewan lain memiliki pengaruh yang sangat

bermakn terhadap munculnya penyakit otitis eksterna sehingga kucing yang memiliki kandang

dengan kondisi yang lembab atau berdekatan dengan kandang hewan peliharaan lain memiliki

peluang 7% kali lebih mudah mengalami otitis eksterna. Pembersihan telinga yang jarang

dilakukan terhadap kejadian otitis eksterna pada kucing 9% kali dapat mengalami otitis eksterna.

Variabel jarangnya dilakukan grooming pada kucing peliharaan diketahui memiliki 4% kali lebih

mudah terkena otitis ekstena. Hal ini berpengaruh karena proses grooming pada kucing sangat

membantu pemilik kucing untuk membuat kucing peliharaan menjadi sangat bersih dan bulu

kucing tidak lembab, karena proses grooming memang dikerjakan oleh tenaga-tenaga paramedis

yang telah memenuhi prosedur untuk memandikan dan membersihkan seluruh tubuh pasien.

Grooming pada kucing merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan agar kucing tetap

terlihat prima, bersih dan terhindar dari infeksi parasit serta kulit dan rambut terlihat sehat.

Kucing biasanya sulit dan menolak untuk dilakukan grooming, jikatidak dibiasakan terhadap hal

ini. Pengenalan sedini mungkin terhadap grooming dan peralatannya dapat membantu kucing
terbiasa dengan rutinitas ini. Kondisi yang tenang merupakan tempat yang terbaik melakukan

grooming (Bryan, 2013).


BAB V

KESIMPULAN

Otitis yang tidak segera di tangani bias menyebabkan infeksi bakteri sekunder dan dapat

menyebabkan penumpukan kotoran dan nanah yang dapat berujung pada kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Bryan, D. K. (2013). The Complete Cat Breed. London: 2013.

Bull, P. (2002). Conditions of The External Auditory Meatus. In : Lecture Notes on Diseases.

Ninth Edition. USA : Blackwell Science, 23-30.

Carlotti, D. D. (2006). Otitis externa limpieza auricular. Allerderm revista de dermatología

veterinaria, 8-12.

Cote, E. (2011). Cardiology and Small Animal Internal Medicine. Department of Companion

Animals, Atlantic Veterinary College.

Dhingra, P. (2008). Perbandingan Efektivitas Klinis Ofloksasin Topikal Dengan Ofloksasin

Kombinasi Steroid Topikal Pada Otitis Eksterna Profunda di makasar. Universitas

Hasanuddin. Makassar.

Schaer. 2009. DVM, DipACVIM, ACVECC (Clinical Medicine of the Dog and Cat ). South

Africa: 2009.

Stroman, D. R. (2011). Microbilogy of helathy ears. Laryngoscope 2011;111.

Widodo. (2011). Diagnostic Ultrasound in the Dog and Cat. Blackwell Scientitific : 2011.

PROPTOSIS PADA ANJING MICKY (MIRACLE ANIMAL CLINIC)


Oleh :

Giga Akbar Andika Putra , SKH 19830029

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesejahteraan masyarakat yang baik dapat ditandai dengan tingkat kebutuhan tersier yang

juga ikut meningkat. Salah satu kebutuhan tersier masyarakat perkotaan yang menjadi tren saat

ini adalah meningkatnya daya tarik terhadap pemeliharaan hewan kesayangan. Tampilan serta

tingkah laku tingkah laku anjing dan kucing yang menyenangkan bagi pemilik merupakan alasan

utama hewan tersebut banyak dipilih sebagai hewan kesayangan (Rodiah, 2001; Saryoko dan

Putri, 2016). Tren pemeliharaan anjing dan kucing yang meningkat di masyarakat berbanding

lurus pada laporan kejadian penyakit pada anjing dan kucing yang juga turut meningkat, baik

penyakit infeksius maupun non infeksius. Salah satu penyakit non infeksius tersebut adalah

Prolapsus atau proptosis bulby pada anjing atau kucing.

Mata merupakan organ penting dan sangat sensitif dari tubuh makhluk hidup termasuk

kucing. Abnormalitas atau penyakit mata pada kucing yang sering terjadi antara lain seperti

katarak, entropion, ektropion, glaukoma, atau luka akibat trauma. Hal ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya posisi mata yang terletak di bagian cranial sehingga lebih besar

kemungkinan mengalami terjadinya trauma maupun gangguan yang terjadi pada struktur mata.

Tingkat keparahan pada penyakit mata beraneka ragam, mulai dari yang ringan sampai dengan

sangat parah dan bahkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan hanya dengan pemberian obat-

obatan, biasanya disertai dengan rasa sakit yang sangat pada mata dan kebutaan permanen.

Penanganan yang dapat dilakukan selain pemberian obat-obatan yakni dengan melakukan

tindakan operasi atau pembedahan. Reposisi dan enukleasi bola mata merupakan tindakan

pembedahan yang biasa dilakukan dalam dunia kedokteran hewan untuk kasus kelainan dengan
tingkat keparahan penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau sudah mengalami kebutaan

(Sajuthi C dan Sajuthi T, 2013). Salah satu penyakit pada mata yang dilakukan tindakan operasi

atau pembedahan yaitu kasus prolapsus bulbus oculi di mana terjadi keluarnya bola mata dari

cavum orbita yang dapat disertai perdarahan subkonjungtiva sampai dengan putusnya nervus

optik.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara praktik dan teori mengenai

etiologi, gejala klinis, temuan dalam pemeriksaan klinis, teknik diagnosa, prognosa, dan terapi

kasus proptosis pada anjing


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Anatomi Mata Mata merupakan struktur tubuh yang sangat sensitif, bila debu masuk ke

dalam mata akan menimbulkan iritasi ringan. terdapat di dalam suatu orbit yang terbentuk dan

dilindungi oleh os frontalis, palatine, lacrimalis, zygomaticus, dan presphenoid. Pergerakan bola

mata diatur otot-otot ekstraokular dan diinervasi oleh nervus cranialis III, IV, dan X. Secara

struktural mata terdiri dari mata bagian luar dan bagian dalam, yang meliputi kelopak mata,

sklera, kornea, iris dan ciliary body, lensa serta retina Secara umum mata terdiri dari dua bagian

yaitu bulbus oculi (bola mata) dan asesoris mata. Bola mata terletak di lekuk orbita deng

bervariasi pada setiap jenis hewan. Asesori mata terdiri dari palpebra (kelopak mata), cilia,

membran niktitan, otot penggerak bola mata dan kelenjar lakrimal Struktur mata yang berbentuk

bulat dapat dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan fibrosa pada bagian terluar lapisan vasculosa

(tunika media) dalam adalah lapisan bagian yaitu sclera dan korne koroid, badan siliaris dan iris.

Tunika interna terdiri dari dua bagian, yaitu retina dan saraf. visual lainnya. Wilayah orbital

adalah area wajah ya bola mata, termasuk kelopak mata atas dan bawah serta aparatus (Moore

dan Dalley, 2014 (kelopak mata), cilia, membran niktitan, otot penggerak bola mata dan l

(Moore dkk, 2014)

Struktur mata yang berbentuk bulat dapat dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan fibrosa

pada bagian terluar (tunika externa) vasculosa (tunika media), dan bagian terakhir yang terletak

paling dalam adalah lapisan nervosa (tunika interna). Tunika externa terdiri dari dua bagian yaitu

sclera dan kornea. Tunika media terdiri dari tiga bagian, yaitu koroid, badan siliaris dan iris.
Tunika interna terdiri dari dua bagian, yaitu retina dan saraf. Bola mata terdapat di dalam orbita

bersama dengan struktur Wilayah orbital adalah area wajah yang menutupi orbita dan bola mata,

termasuk kelopak mata atas dan bawah serta aparatus (Moore dan Dalley, 2014).

2.2 Prolapsus atau Proptosis Bulbus Oculi

Prolapsus bulbus atau Proptosis oculi adalah menonjolnya bola mata keluar dari rongga mata.

Keadaan ini merupakan kasus mata darurat, terjadi karena benturan atau trauma benda tajam dan

tumpul, atau terjadi karena perkelahian. Tekanan pada lengkung zigomatik akan mendorong bola

mata keluar dari palpebra (Tilley dan Smith, 2002).

Faktor predisposisi prolapses atau proptosis bulbus oculi pada hewan kecil berupa umur dan

ras (Yunithyaningsih, 2015). Hewan kecil baik anjing dan kucing umumnya prolapsus bulbus

oculi terjadi diakibatkan karena traumatik. Prolapsus bulbus oculi dapat terjadi akibat infeksi,

benturan dan neoplasia (Fossum dkk, 2013). Jika mata terlihat menonjol, konjungtiva merah dan

bengkak secara mendadak, menunjukkan pembuluh darah arteri mata masih dalam kondisi baik.

Trauma mata dapat digolongkan trauma mata benda tumpul dan trauma mata benda tajam.

Trauma mata tumpul adalah trauma mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak

keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang

sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. Sedangkan trauma

mata tajam adalah trauma pada mata yang diakibatkan oleh benda tajam atau benda asing lainnya

yang mengakibatkan terjadinya robek pada jaringan palpebra, kornea sampai mengenai lensa

(Adam, 2011). Penanganan Prinsip dasar dalam menangani kasus prolapsus bulbus oculi adalah

bola mata diusahakan secepatnya har kasus yang sangat parah yang menyebabkan kebutaan

dapat dilakukan menyebabkan kebutaan permanen (Kirk N and Gellat, 2001)


2.3 Gejala Klinis

Pasien dengan kasus keluarnya bola mata bisa terlihat shock atau bahkan terjadi gangguan

syaraf akibat traumatik yang terjadi pada nervus optic. Posisi bola mata lebih condong ke depan

daripada kelopak mata. Dapat disertai peradangan dan perdarahan (Yunithyaningsih, 2015)

2.4 Diagnosis

Diagnosis berupa anamnesa yang didapatkan dari pemilik pemeriksaan fisik pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang seperti sampel sitologi atau biopsi jaringan, dan

pembuatan preparat histologi (Edwards, 2010).

2.5 Penanganan

Prinsip dasar penanganan kasus prolapses atau proptosis bulby harus secepatnya. Dilihat dari

kondisi fisik mata dan tingkat keparahan. Kalau kondisi mata masih bagus dan jaringan juga

masih bagus maka tindakan yang dilakukan yaitu canthotomy atau mereposisi bola mata dengan

operasi minor. Sebaliknya kalau bola mata kondisi nya terdapat nekrosis dan lain sebagainya

maka tindakan yang sesuai yaitu dilakukan enukleasi bulby Namun metode pengobatan dan

penanganannya tergantung pada tingkat keparahannya (Tilley dan Smith, 2002).

2.6 Canthotomy

Metode ini hanya dapat dilakukan oleh dokter hewan. Biasanya pada kasus proptosis bulby

sedang Teknik ini dilakukan diruang operasi dengan mereposisi mata kembali ke rongga mata

disertai dengan penjahitan. Kondisi anjing akan kembali normal setelah kurang lebih 1 bulan

tergantung tingkat keparahan kasus.

2.7 Enukleasi
Enukleasi merupakan teknik operasi pengangkatan dan pembuangan bola mata dari cavum

orbita secara keseluruhan. Enukleasi dilakukan untuk membuang mata yang buta dan tidak

berfungsi lagi ataupun terjadinya penyakit mata yang tidak dapat disembuhkan dengan

pengobatan (Jordan dan Mawn, 2009). Cara ini digunakan jika kerusakan bola mata sangat parah

karena syaraf serta otot- otot rusak dan mata sudah hampir 80% keluar dari tempatnya.

Pendekatan operasi enukleasi atau pengangkatan bola mata dan konjungtiva juga digunakan pada

penanganan kasus glaukoma yang menimbulkan kesakitan bagi penderita, radang kornea

campuran yang mencair, dan neoplasia intraokular (Archibald,1974). Kebanyakan kasus,

enukleasi akan meringankan rasa sakit yang timbul akibat gangguan pada mata tersebut.

Enukleasi biasanya menjadi pilihan terakhir untuk mengurangi rasa sakit dari mata, terutama

apabila keadaan mata sampai buta dan bola mata tidak berfungsi semestinya (Mitchell, 2008).

Teknik operasi enukleasi pada hewan kecil dapat dilakukan dengan teknik pembedahan

subconjunctival, lateral enukleasi dan teknik pembedahan transpalpebral. Objek utama dalam

pembedahan subconjunctival adalah pembuangan bola mata, membran niktitan dan sedikit

kelopak mata dengan meminimalkan pengangkatan jaringan otot ekstraokuler. Pada teknik

operasi ini juga dilakukan pengangkatan kelenjar lakrimal agar produksi air mata tidak terbentuk

lagi yang dapat mengakibatkan terbentuknya fistula yang menghubungkan antara rongga mata

dan hidung (Karl dkk, 2009).

Kelebihan dari teknik ini adalah nilai estetika yang tetap terjaga karena hanya sebagian otot

ekstraokuler yang diangkat sehingga rongga mata tidak menjadi kosong dan mata tidak menjadi

cekung. Kekurangan teknik pembedahan ini adalah pelaksanaan yang terlalu sulit karena masih

tertinggalnya sebagian otot-otot ekstraokuler sehingga akan mempersulit pencarian nervus

optikus dan pembuluh darah (Mitchell, 2008). Operasi enukleasi dengan teknik pembedahan
lateral enukleasi dan transpalpebral memiliki kemiripan, hanya saja pada teknik lateral tidak

dilakukan jahitan kelopak mata atas dan kelopak mata bawah terlebih dahulu tetapi dilakukan

lateral canthotomy (Fossum, 2013). Teknik ini menjadi pilihan yang lebih umum digunakan,

dimana objek yang diangkat meliputi bola mata, membran niktitan, kelenjar lakrimal, dan semua

otot ekstraokuler dengan menyayat semua kelopak mata


. BAB III

MATERI METODE

3.1 Materi

Alat dan tindakan yang digunakan dalam pemeriksaan kucing yang mengalami Proposis

adalah tibangan, temp dan operasi minor.

Bahan yang digunakan untuk terapi anjing yang mengalami proptosis adalah Betamox, vitol,

salep teramycin, yusimox dan Novastan

3.2 Metode

Meode pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa adalah dengan mengisi

ambulatoir secara lengkap, kucing dibawa keruang periksa, selanjutnya ditimbang dan

diukur suhu tubuh nya. Pemeriksaan umum dengan melihat keadaan umum .
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

LEMBAR KONSULATIF

Dokter Hewan : Drh Chaerul Akbar

Nama Pemilik : Ny Veronica

Alamat :

Telpon :

Macam hewan : Anjing Chihua-Hua

Nama Hewan : Micky

Signalemen : Jantan , 2.5 tahun, warna Hitam Putih

Anamnesa : Penonjolan Bola mata akbibat terlalu aktif dan terkena

benturan benda keras

STATUS PREASEN

Keadaan umum :KT = Sedang EM= Biasa

Frekuensi nafas :45/mnt, Frekuensi Pulsus 120/mnt, T 39,0℃

Kulit dan rambut :-

Selaput lendir : agak pucat

Kelenjar limfe : Normal


Pernafaan :-

Peredaran darah : Normal

Pencernaan : Normal

Kelamin da perkemihan : Normal

Syaraf : Normal

Anggota gerak : Normal

Lain – lain : Penonjolan bola mata sebelah kiri

Pemeriksaan LAB, dsb : A. Feses :-

Konsentrasi : -

Natif :-

Centrifuge :-

Lain – lain : -

Diagnosis : Abses B Urin :-

Reaksi :-

Protein :-

Sedimen :-

Lain – lain : -

Prognosa : Fausta C.Hematologi:-

Sifat :-

Kadar hb : Turun

Pre apus :-

Lain – lain : -
D. Usg :-

E. Rontgent :-

F. Ekg :-

G. Faal organ:-

H. Kulit :-

I. Alergi :-

J. Lain- lain : -

Terapi Pengobatan

Terapi :

Operasi Minor Reposisi / Canthotomy

Acp 07cc/sc

ATP 0.3cc/sc

Ketamin 0.6cc/im

Post Operasi

Inj Betamox La 0.3cc/sc

Inj Vitol 03cc/sc

Salep Termycin

Rawat Jalan
Yusimox syrup 1cc/ 2x sehari

Novastan Syup 1cc/2x sehari

Kontol 7 minggu setalah operasi utnuk mebuka jahitan dan melihat kondisi bola mata.

( Terlihat 7 hari setelah post operasi dan mebuka jahitan bola mata terlihat masih bagus)
4.2 PEMBAHASAN

Pada kasus ini diduga disebabkan karena anjing micky jenis chihua-hua ini terlalu aktif

bermain bersama temannya dan terjadi benturan setelah guling-guling, setelah dilihat oleh owner

nya bola mata sebelah kiri keluar tanpa ada disertai darah. Kondisi ini masih bagus dan tidak

perlu dilakukan tindakak enukleasi bulby melainkan hanya dilakukan tindakakn canthotomy

saja. Anjing pada ras ini sangat rentan terhadap kasus proptosis bulby inu karena anjibg ras ini

memliki anatomi tulang yang sedikit berbeda dengan anatatomi anjing besar. Anatomi tulang

dari anjig jenis ini memliki struktur membrane dan kelopak tidak setebal dengan anjing ras besar.

Maka dari itu anjing jenis ras ini palig sering terkena kasus ini.

Pemeriksaan kondisi dari mata pasien, melalui pemeriksaan inspeksi pada mata sinistra

terlihat proptosis bulbus Pemeriksaan fisik dilakukan pengujian refleks cahaya pada pupil mata

dextra dan sinistra menggunakan penlight dan memeriksa refleks bulbus oculi. Hasil dari

pemeriksaan fisik adalah pada bulbus oculi dextra refleks pupil masih baik, palpebra tidak terjadi

edema. Didiagnosa berdasarkan anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik bahwa pasien

Micky mengalami proptosis bulbus bulby ringan. Hal ini sesuai dengan pengertian dari Tilley

dan Smith (2002) bahwa proptosis bulbus adalah menonjolnya bola mata keluar dari rongga

mata. Sehingga hanya perlu dilakukan tindakan mereposisi kembali dengan cara canthotomy.

Berdasarkan hasil pengamatan post operasi, pasien memiliki nafsu makan yang baik

dengan pemberian recovery dan dilanjutkan dengan dry food. Pencegahan terjadinya infeksi

sekunder, dilakukan dengan pemberian antibiotik secara oral selama 7 hari berturut – turut

dengan tambahan antiinflamasi yang bertujuan untuk mengurangi inflamasi yang timbul pada

saat post operasi. Luka jahitan operasi dibersihkan menggunakan betadine setiap hari. Perawatan
post operasi dilakukan selama 7 hari rawat inap untuk mengobservasi kondisi luka operasi dan

timbulnya akumulasi cairan atau tidak yang dapat menghambat proses penyembuhan, serta

mengobservasi pengaruh operasi terhadap aktivitas pasien.


BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik maka anjing ras Chihua-hua

tersebut didiagnosa mengalami proptosis ringan. Pada kasus ini dilakukan tindakan dengan cara

Reposisi / canthotomy. Prognosa pada kasus ini adalah fausta


DAFTAR PUSTAKA

Adam, K. (2011). Opthalmology in approach to common eye conditions. journal Veterinary

Opthalmology, (3) : 13-18.

Archibald, J. (1974). Canine Surgery, 2nd ed. USA: 1974.

Edwards, R. S. (2010). Surgical Treatment of the Eye in Farm Animals. Vet Clin North Am

FoodAnim 26(3).

Jordan, D. R, and L. Mawn. (2009). Enucleation, Eviseration and Exenteration. In J.P. Dunn and

P.D Langer, (Eds). Basic Techniques of Opthalmic Syrgery. American Academy of

Opthalmology.

Karl, A. S. (2009). A Modified Subconjunctival Enucleation Technique in Dogs and Cats.

Journal Veterinary Medicine, (1) .

Mitchell, N. (2008). Enucleation in Companion Animals. Irish Vet Journal. (2).

Moore, K. d. (2014). Anatomi Berorientasi Klinis. 2014: Erlangga.

Sajuthi, C. K. (2013). Masterclass of Teknik Operasi Enukleasi Tanpa Komplikasi pada Hewan

Kecil. Proceeding Book Musyawarah Nasional Ke-3 ADHPHKI. Bali.

Tilley and Smith. 2002. (2002). The 5-Minute Veterinary Consult Ver.2. Filipina: 2002.

Yunithyaningsih, Ria. 2015. Eyeball Prolapse. Artikel 003-Vitapet Animal Clinic


PYOMETRA PADA ANJING CHELSEA (K&P KLINIK)

Oleh :

Giga Akbar Andika Putra , SKH 19830029

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesejahteraan masyarakat yang baik dapat ditandai dengan tingkat kebutuhan tersier

yang juga ikut meningkat. Salah satu kebutuhan tersier masyarakat perkotaan yang menjadi tren

saat ini adalah meningkatnya daya tarik terhadap pemeliharaan hewan kesayangan. Tampilan

serta tingkah laku tingkah laku anjing dan kucing yang menyenangkan bagi pemilik merupakan

alasan utama hewan tersebut banyak dipilih sebagai hewan kesayangan (Rodiah, 2001; Saryoko

dan Putri, 2016).

Tren pemeliharaan anjing dan kucing yang meningkat di masyarakat berbanding lurus

pada laporan kejadian penyakit pada anjing dan kucing yang juga turut meningkat, baik penyakit

infeksius maupun non infeksius. Salah satu penyakit non infeksius tersebut adalah pyometra.

Pyometra pada anjing didefinisikan sebagai suatu kondisi adanya akumulasi nanah dalam lumen

uterus anjing betina (Bigliardi et al., 2004). Pyometra sering menyerang anjing betina dewasa

usia 10 tahun dengan tingkat kejadian sekitar 25%, namun dapat juga terjadi pada anjing muda

yang belum pernah dikawinkan atau yang sudah beberapa kali melahirkan (Gibson et al., 2013).

Baithalu et al. (2010) menyatakan bahwa pyometra juga dapat dijumpai pada hewan yang

lebih muda, dengan rata-rata usia kurang lebih di bawah dua tahun. Diagnosis didasarkan atas

anamnesa atau riwayat kasus, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap dan diteguhkan

dengan pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi pada uterus dan ovarium. Tanda-tanda klinis

bervariasi tergantung pada berat ringannya penyakit (Jitpean et al., 2014). Pada penyakit ini

uterus berisi cairan purulen yang terkadang berwarna kuning, kuning kecoklatan, coklat tua,
bahkan bercampur darah (Gibson et al., 2013). Pyometra dapat terjadi empat minggu hingga

empat bulan setelah estrus. Tahap awal penyakit ini tidak menunjukkan tanda klinis yang

signifikan, maka dari itu diagnosa pyometra sering terlambat. Menurut Smith (2006) anjing

dengan pyometra dapat mengeluarkan leleran vagina pada kejadian pyometra dengan seviks

terbuka (open cervix pyometra) atau tanpa leleran vagina pada pyometra dengan serviks tertutup

(closed cervix pyometra). Pyometra dengan serviks tertutup berbahaya hingga dapat

menyebabkan kematian dalam waktu beberapa hari akibat septikemia atau toksemia (Baithalu et

al., 2010).

Beberapa cara pencegahan agar kasus pyometra tidak terjadi terhadap anjing kesayangan

kita adalah dengan melakukan tindakan pembedahan ovaryohysterectomy terutama pada anjing

usia muda yang dapat mencegah kemungkinan terserang pyometra. Usaha untuk menghindari

pemberian estrogen atau progesteron secara berlebihan akan mengurangi risiko terjadinya

pyometra di kemudian hari (Smith, 2006). Menurut Noakes et al. (2001) efek jangka panjang

dari hormon ovarium dianggap mempengaruhi anjing betina dalam hal gangguan reproduksi

yang umum disebut pyometra.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara praktik dan teori mengenai

etiologi, gejala klinis, temuan dalam pemeriksaan klinis, teknik diagnosa, prognosa, dan

terapi kasus puometra pada anjing.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pyometra

Pyometra merupakan penyakit uterus anjing betina dewasa yang ditandai dengan

tertimbunnya nanah di dalam rongga uterus bersamaan dengan perubahan hiperplastik dari

mukosa uterus. Proses berlangsung akut atau kronis yang berlangsung saat periode diestrus

terkait dengan lesi di dalam dan di luar organ genital (Subronto, 2014). Menurut Ressang (1984),

pyometra adalah penimbunan nanah dalam uterus yang disebabkan oleh bakteri-bakteri yang

secara normal berada dalam uterus namun dalam keadaan tertentu menjadi patogen akibat dari

pengaruh hormonal yang disebut dengan endometritis atau pyometra. Pyometra terjadi sebagai

salah satu konsekuensi dari perubahan hormonal yang mengakibatkan terjadi perubahan pada

lapisan uterus. Pada hewan pasca estrus progesteron meningkat selama 8-10 minggu dan

menebalkan lapisan uterus untuk mempersiapkan lingkungan uterus yang sesuai untuk kehidupan

fetus. Jika kehamilan tidak terjadi karena beberapa hal, lapisan tersebut akan terus menebal

dalam bentuk nodul-nodul yang mengeluarkan cairan kental sehingga menciptakan suasana

lingkungan yang ideal di dalam uterus untuk pertumbuhan bakteri (Ressang, 1984).

2.2 Etiologi pyometra

Canine Pyometra adalah gangguan reproduksi yang umum pada anjing betina yang

mengalami diestrus dan mempengaruhi semua jenis anjing betina sebelum umur 10 tahun. Secara

definisi pyometra adalah terjadinya penumpukan pus di dalam lumen uterus, khususnya terjadi

pada saat periode dominasi dari hormon progesteron. Hal ini bisa diklasifikasikan sebagai

pyometra serviks terbuka atau pyometra serviks tertutup. Pyometra serviks tertutup sangat
berbahaya, oleh karena itu diperlukan pendeteksian dini dan penanganan yang sesuai untuk

menghindari konsekuensi yang berbahaya, contohnya kematian pasien dikarenakan septicemia

dan toxaemia. meskipun diobati dengan obat modern angka mortalitas dari pyometra adalah 4%.

Pyometra terjadi pada usia berapapun setelah estrus pertama, khususnya pada kondisi usia

pertengahan hingga betina usia tua. Menurut I laporan rata-rata usianya 7,25 tahun, antara usia

muda 4 bulan - usia tua 16 tahun. Penyakit yang secara tiba-tiba terjadi menyerang hewan betina

yang usianya lebih dari 6 tahun. Juga berpengaruh pada hewan yang lebih muda, dengan rata-rata

usia kurang lebih 2 tahun (Baithalu et al., 2010). Organisme bakteri paling umum : Escherichia

coli, Streptococcusspp., Pseudomonas spp., Proteus spp., Pasteurella spp., Klebsiella spp.,

Haemophilus spp., Serratia spp., dan Moraxella spp. (Fossum, 2013). Tahapan siklus estrus

Kebanyakan anjing betina terjangkit pyometra dalam waktu 8 minggu pada masa estrus terakhir.

Meskipun begitu biasjuga terjadi di tahapan manapun dalam siklus estrus atau saat sedang hamil

(Baithalu et al., 2010).

Hormonm Progesteron memiliki peran dalam menjadi pemicu patogenesis dari cystic

endometrial hyperplasia (CEH)- Pyometra complex. Hiperplasia endometrial yang mengacu pada

CEH yang disebabkan oleh progesteron, lebih tampak ketika progesteron lebih unggul

dibandingkan dengan esterogen. Pemberian esterogen tersebut jika pada level progesteron yang

tinggi memungkinkan kecenderungan hewan betina untuk terjangkit pyometra. Estrogen menjaga

servik lebih rileks untuk beberapa periode pada fase luteal dan juga meningkatkan efek stimulasi

progesteron pada uterus. Terapi hormonal yang mencakup progesteron untuk penekanan estrus

atau esterogen untuk induksi estrus atau penghentian kehamilan, mungkin dapat memberikan

penjelasan untuk perkembangan pvometra yang terjadi pada betina muda Esterogen itu menjadi
faktor yang sangat penting bagi hewan muda dan endogen progesteron menjadi faktor krusial

pada hewan yang lebih tua (Baithalu et al., 2010).

2.3 Patogenesis

Pyometra merupakan komplikasi dari hiperplasia endometrium yang disertai

pembentukan kista. Periode diestrus pada betina tidak bunting berlangsung selama 70 hari, pada

saat uterus di bawah pengaruh progesteron, yang dihasilkan oleh korpus luteum. Progesteron

memacu proliferasi kelenjar endometrium dan memacu timbulnya uterine milk yang menjamin

perkembangan embrio sebelum I menjalani implantasi. Hiperplasia endometrium juga terjadi

dalam penyiapan untuk pembentukan plasenta (Subronto, 2014).

Proses pyometra juga berpengaruh terhadap fungsi ginjal, dengan kurang berfungsinya

perfusi ginjal dan terjadinya azoturia prerenal Gangguan ginjal akan menjadi baik bila keadaan

produksi leukosit berlebihan dengan bergeser ke kiri (left shift) Pengaruh terhadap sumsum

tulang terjadi berupa depresi dari rasio Myeloid Erythroid (ME) ratio. Myelopoesis sebagai

kompensasi terjadi di hati. limpa dan kelenjar suprarenalis. Kadang-kadang terjadi perdarahan

dalam corer limpa, dan kelenjar suprarenalis. Kadang-kadang terjadi perdarahan dalam cortex

dan medulla glandula suprarenalis bila toxemia menjadi ekstrem (Subronto,2014).

2.4 . Gejala klinis

Serangan dari gejala klinis pyometra terjadi secara bertahap dan tersembunyi, Gejala

klinis pada kasus pyometra tergantung pada keadaan serviks. Pada serviks yang terjangkit

pyometra terbuka, anjing betina merasakan lebih sedikit kesakitan secara sistemik daripada

anjing betina yang menderita pyometra dengan posisi serviks yang tertutup. Gejala klinis yang

umum terjadi meliputi leleran mukopurulen, kelemahan, depresi, tidak nafsu makan, poliurea,
polidipsi, muntah dan diare. Anjing betina yang menderita pyometra dangan serviks yang

tertutup akan merasakan kesakitan, kematian karena keracunan atau berkaitan dengan peritonitis

karena uterus ruptur. Pada beberapa kasus, mungkin terdapat serviks yang secara intermiten

terbuka, dengan kesehatan relatif bagus mengikuti leleran pus dan merasakan tidak enak badan

pada periode intervening (siklus loop). Demam mungkin iya atau tidak dapat terjadi pada kasus

pyometra dengan serviks terbuka, tetapi pada kasus pyometra dengan serviks tertutup umumnya

demam bisa terjadi Beberapa anjing betina menderita keracunan mungkin demam bisa terjadi.

Beberapa anjing betina menderita keracunan, mungkin dengan hipotermik. Karakter dari leleran

vulva mungkin bervariasi pada konsistensi dan berwarna cokelat terang dan kurang berbau.

Kadang berwarna kuning dan sedikit berdarah dan berkonsistensi dari cair sampai krim. Vulva

umumnya membesar dan terdapat pucat atau kemerahan pada jaringan perivulva dan perineum

(Baithalu et al., 2010).

2.5 Diagnosis

Hasil diagnosa dapat diperjelas jika terjadi pemucatan pada vagina atau membesarnya

daerah abdomen dan keluarnya nanah melalui vagina pada pyometra tertutup, pemeriksaan darah

biasanya akan memperlihatkan gambaran sel darah putih yang sangat meningkat, kerusakan

ginjal dapat juga terjadi akibat dari toksin-toksin dari bakteri, bagaimanapun juga semua

kelainan ini umum terjadi pada kejadian infeksi oleh bakteri. Diagnosa terbaik untuk

membuktikkan terjadi atau tidaknya pyometra adalah dengan ultrasonografi dan radiografi.

Apabila dilakukan ultrasonografi, maka akan terlihat dinding uterus yang menebal. Sedangkan

penampakan radiografi yang terlihat adalah bentukan tubular yang terisi oleh cairan, dan terletak

diantara colon decenden dan vesica urinaria, dapat dilakukan untuk memastikan penyebab

pembengkakan daerah abdomen dan uterus (Fossum, 2013).


2.6 Diagnosis banding

Diagnosis banding ini meliputi mucometra, hydrometra, hematometra, hydrocolpos,

pyovagina, pregnancy, metritis, placentitis, uterine torsion, dan peritonitis

2.7 . Pengobatan dan pencegahan

Pengobatan awal ditujukan kepada upaya membuka serviks dan kontraksi uterus sehingga

nanah dapat dipaksa mengalir keluar, diikuti dengan mengadakan irigasi dengan obat antiseptik

dengan maksud untuk membersihkan sisa-sisa nanah dalam uterus, kemudian diobati dengan

antibiotika dengan maksud untuk membunuh mikroorganisme penyebabnya. Pengobatan

terhadap pyometra pada anjing dapat dilakukan dengan beberapa pilihan seperti melakukan

ovariohisterektomi (memotong atau mengambil ovarium dan uterus yang menderita radang),

diberikan suntikan oksitoksin dan dietilstilbestrol dengan tujuan untuk mengeluarkan isi uterus

berupa nanah, diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, yaitu dengan protein penisilin dan

dehidrostreptomisin selama beberapa hari (Hariadi dkk., 2011).

Beberapa cara pencegahan agar kasus pyometra tidak terjadi terhadap anjing kesayangan

kita dengan melakukan tindakan pembedahan ovariohysterectomy terutama pada anjing usia

muda akan menghilangkan kemungkinan terserang pyometra dan menghindari pemberian

estrogen atau progesteron secara berlebihan akan mengurangi resiko pyometra dikemudian hari

(Smith, 2006). Pada dasarnya, pyometra dapat diobati dengan operasi atau terapi medis Namun,

pengambilan keputusan tergantung pada beberapa faktor .

Ovariohisterektomi adalah operasi pengeluaran organ reproduksi berupa ovarium dan

uterus dari rongga abdomen. Operasi ini selain untuk mengurangi populasi, juga untuk terapi

penyakit yang ada di dalam organ-organ reproduksi. Ovario histerektomi (OH) istilah kedokteran
yang terdiri dari ovariectomi dan histerectomi. Ovariectomi adalah tindakan mengangkat,

mengeluarkan dan menghilangkan ovarium dari rongga abdomen. Sedangkan histerektomi

adalah tindakan mengangkat, mengeluarkan dan menghilangkan organ uterus dari dalam tubuh.

Jadi ovariohisterektomi merupakan tindakan bedah operasi pengangkatan organ reproduksi

betina dari ovarium sampai dengan sayatan medianus sesuai dengan posisi ovarium uterus.

Uterus tersebut berada pada daerah abdominal (flank) bagian posterior, tepatnya di anterior dari

vesica urinaria. Indikasi ovariohisterectomi (OH) yaitu sterilisasi, penyembuhan penyakit saluran

reproduksi (pyometra, tumor ovary, cysteovary) tumor uterus (leiomyoma, fibroma,

fibroleiomyoma), tumor mammae, veneric sarcoma, prolapsus uterus dan vagina, hernia

inguinalis, modifikasi tingkah laku agar mudah dikendalikan, lebih jinak, membatasi jumlah

populasi (Sardjana dan Kusumawati, 2011).


BAB III

MATERI METODE

3.1 Materi

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kucing yang mengalami pyometra adalah

timbangan, thermometer, kateter dan oksigen

Bahan yang digunakan untuk terapi kucing yang mengalami abses adalah cystaid, interflox,

ondansentron, ranitidine, dan enrofloxaxin.

3.3 Metode

Meode pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa adalah dengan mengisi

ambulatoir secara lengkap, kucing dibawa keruang periksa, selanjutnya ditimbang dan

diukur suhu tubuh nya. Pemeriksaan umum dengan melihat keadaan umum , dan

pemeriksaan darah pada laboratorium .


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

LEMBAR KONSULATIF

Dokter Hewan : Drh, Victor

Nama Pemilik : Rahmanto

Alamat :-

Telpon :-

Macam hewan : anjing minipom

Nama Hewan : Chelsea

Signalemen : betina, 9 tahun bb 5.1 kg, warna coklat

Anamnesa : Dari kemrin tidak bias urinasi dan belum defekasi, tidak

bias jalan, tidak muntah dan tidak diare.

STATUS PREASEN

Keadaan umum :KT = Sedang EM= Biasa

Frekuensi nafas :45/mnt, Frekuensi Pulsus 120/mnt, T 39,4℃

Kulit dan rambut :


Selaput lendir : agak pucat

Kelenjar limfe : Pembengkakan pada kelenjar limfe

Pernafaan : Berat

Peredaran darah : Normal

Pencernaan :-

Kelamin da perkemihan : -

Syaraf : Normal

Anggota gerak : Normal

Lain – lain : Abdomen saat di palpasi terasa kerah dan penuh

Pemeriksaan LAB, dsb : A. Feses :-

Konsentrasi : -

Natif :-

Centrifuge :-

Lain – lain : -

Diagnosis : Abses B Urin :-

Reaksi :-

Protein :-

Sedimen :-

Lain – lain : -

Prognosa : C.Hematologi:-

Sifat :-
Kadar hb : Turun

Pre apus :-

Lain – lain : -

D. Usg : VU penuh dan uterus penuh nanah

E. Rontgent :-

F. Ekg :-

G. Faal organ:-

H. Kulit :

I. Alergi :-

J. Lain- lain : -

Tanggal Keterangan Tindakan Pukul

29/05/21 Check in dari kemarin tidak bisa pipis, belum Steril thermo pouch ,kateter 05.40
defekasi, tidak bisa jalan, abdomen membesar,
Kondisi masih banyak istirahat anjing2.0x500mm+1 UP+, lab

Hema+1, EDTA 26g+1,

24g+1
13.25
Belum ada urinasi dan defekasi, perut Tidakan USG kateter,
membesar, lebuh banyak istirahat
oksigen+1, Klisma 3x

Kondisi lemas, banyak istirahat, muntah


makanan 16.45WIB (Dipuasakan) mau 18.41
Cystaid 2 caps. Interflox 0.55
minum sendiri, susah urinasi dengan
volume banyak, defekasi cair, vulva masih ml ( 18.00)
sedikit ada darah
Kondisi lemas , mengeluarkan darah dari
vagina, discgarge vagina dalam rupa pus, Spuit 1ml+1. Pemberian
tidur sedikit , minum baik, feses cair, urne
30/05/21 sudh mulai keluar muntah pakan (05.15) cytaid 2 capsul & fufang 1ml

(06.00)

Enro+10, cystaid, tindakan


Pulang dengan kondisi belum stabil. Saat
dilakukan usg VU penuh dan uterusnya USG
masih ada nanahnya

31/05/21 Tidak mau kencing, kondisi semakin T.39.4 BB. 5.1 07.55
lemas, tidak ada dehidrasi, mukosa mata
merah

Makan minum disuapin, kondisi masoh


sama , suhu 39.4, ada leleran yang keluar Kontrol cystaid 2, fufang 1 ml 07.57
dari vagina, kondisi banyak diam.
Ada muntah cairan1x, kondisi diam dan Ondansentron, ranitidine, 13.16
banyak istirahat, bisa urinasi, volume pampers+1. Oksigen 1+
banyak, leleran vagina masih keluar,
beryupa darah dan lendir, infus masih
terpasang

Pembrian oksigen Up+2. Ns+2,infuse+1, IV cath


15.50
26G+1. Oksigen+1,
hansaplast+1, jarum mani laper
point+1, pampers +1kateter
anjing 2.0+1 Kateter kucing+1

Makan disuap, respon menelan 18.28


Pampers 2+,spuilt 1ml
bagus,namun ,masih ada muntah jika
2+,cystaid 2 caps,enrofloxaxin,
sudah disuapi makan nafas sesak, masih ½ tab (18.00),obat racik (20.30),
terpasang kateter,urin berwarna kuning, inj meloverm 1 ml, inj
belum ada defekasi , infus jalan Ranitidine 0.5 ml, ondansentron
1,25 ml

Kondisi terakhir sesak di terapi oksigen,


setelah itu masoh lemas. Meninggal dunia (23.45) 23.46

4.2 PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik anjing menunjukkan tanda-tanda kurang

sehat, napsu makan menurun namun minum masih normal, dan urinasi normal. Menurut Cramer

(2012) tanda klinis yang biasa terjadi pada kasus pyometra adalah poliuria, polidipsia, distensi

abdomen, vomit, kurang napsu makan, berat badan menurun, dan anemia. Leleran vagina terlihat

jelas keluar dari alat kelamin. Pyometra merupakan penyakit reproduksi yang sering menyerang

anjing betina dibawah 10 tahun (Baithalu et al., 2010). Pyometra merupakan kondisi medis

dimana pus atau nanah terakumulasi di badan uterus (Bedrica dan Sacar 2004).

Menurut Egenvall (2001) pyometra terjadi sebagai salah satu konsekuensi dari perubahan

hormonal yang menyebabkan terjadi perubahan pada lapisan uterus. Pyometra merupakan

keadaan yang sangat serius pada hewan mamalia betina, keadaan ini dapat menyebabkan hewan

infertil bahkan dapat menyebabkan kematian pada kasus serviks tertutup.Sebelum dilakukan

tindakan operasi anjing Chelsea di berikan oksigen terlebih dahulu pada pukul 21.00 dan pada

pukul 23.45 anjing Chelsea meninggal dunia. Sebelumnya anjing Chelsea belum pernah di

kawinkan selama 9 tahun lebih, hal ini sesuai dengan pendapat Noakes et al., (2001) efek jangka

panjang dari hormon ovarium (PGF2a, estrogen, oksitosin) dianggap mempengaruhi anjing

betina ini dalam hal gangguan saluran reproduksi yang paling umum disebut pyometra. Fakta

bahwa pemilik hewan cenderung belum mengerti tentang pencegahan dan pengobatan penyakit

pyometra, merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan jumlah kasus pyometra yang

terjadi. Timbulnya penyakit pada hewan merupakan proses yang berjalan secara dinamis dan

merupakan hasil interaksi tiga faktor, yaitu host, agen penyakit (pathogen) dan lingkungan.

Keseimbangan ketiga faktor tersebut tidak selalu stabil, pada keadaan tertentu akan berubah yang

berakibat timbulnya suatu penyakit (Rahayu, 2009). Penyakit akan timbul apabila tingkat
patogenitas agen meningkat atau daya imunitas host menurun. Perubahan lingkungan

mempengaruhi keadaan host dan agen penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Baithalu R.K, ,. M. (2013). Canine pyometra. Indian veterinary research Institute.

Bigliardi E, Parmigiani E, Caviran S, Luppi A, Bonati L, and Corradi A

(2004). Ultrasonography and Cystic Hyperplasia-Pyometra Complex in The Bitch. . Reprod Dom Anim.
Blackwell Verlag Berlin 39.

Egenvall A, Hagman R, Bonett B, Hedhammar, Olson P, Lagerstedt A (2011). Breed Risk of Pyometra in

Insured Dog in Sweden. J.Vet. Intern Med 15.

Fossum, T. W. (2013). Small Animal Surgery 4th edition. . ELSEVIER missouri.

Gibson A, Dean R, Yates D, Stavisky J. (2013). A Retrospective Study of Pyometra at Five RSPCA

Hospitals in the UK: cases from 2006 to 2011. Veterinary Record.

Jitpean S, Bodil S, Emmanuelson U, Hoglun OV, Petterson A, Caroline A, Hagman R. (2014). Outcome

of Pyometra in Female Dogs and Predictors of Peritonitis and Prolonged Postoperative

Hospilatization in Surgically Treated Cases. BMC Veterinary Research 10.

Noakes DE, D. G. (2001). Cystic Endometrial Hyperplasia/Pyometra in Dogs: A Review of The Causes

and Pathogenesis. . Jurnal of Reproduction and Fertility England.

Rahayu, I. D. (2011). Faktor pengaruh, angetn penyebab, cara penularan penyakit pada ternak. Fakultas

pertanian-Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang.

Ressang. A, A. (1984). Patology khusus Veteriner. Team Leader IFAD project.

Sardjana. I, K. d. (2011). Bedah Veteriner . Airlangga University press.

Smith FO. (2006). Canine Pyometra. Theriogenology. 66.

Anda mungkin juga menyukai