Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang

berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara
telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Pada
tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu
eliminasi kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia
diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, Word
Health Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus
dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada
penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya
jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain
angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yang
harus diperhatikan (Depkes RI, 2005).
Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut
WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar,
Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang
diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003
menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh
Brasil dan Myanmar (Depkes RI, 2005).

Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di


provinsi Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk.selanjutnya provinsi
Jawa Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu
2 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi penyakit Kusta
2. Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit Kusta
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari penyakit kusta
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Kusta
5. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari penyakit Kusta
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari penyakit Kusta
7. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit Kusta

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya.(Depkes RI, 1998).
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi
mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000).
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh
mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem endotelial, mata,otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 ).
Kusta adalah penyakit menular pada umumnya mempengaruhi kulit dan
saraf perifer,tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


a. Anatomi Sistem Integumen

Kulit terbagi menjadi 3 lapisan:


1.

EPIDERMIS
Epidermis merupakan bagian kulit paling luar. Ketebalan epidermis
berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1
milimeter misalnya pada telapak tangan dan telapak kaki, dan yang paling
tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi dan
perut. Sel-sel epidermis disebut keratinosit. Epidermis melekat erat pada
dermis karena secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan
dan cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding
kapiler dermis ke dalam epidermis.
Pada epidermis dibedakan atas lima lapisan kulit, yaitu :
a.

Lapisan tanduk (stratum corneum)


Merupakan lapisan epidermis yang paling atas, dan menutupi
semua lapisan epidermis lebih ke dalam. Lapisan tanduk terdiri atas
beberapa lapis sel pipih, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses
metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air.

b.

Lapisan bening (stratum lucidum)

Disebut juga lapisan barrier, terletak tepat di bawah lapisan


tanduk, dan dianggap sebagai penyambung lapisan tanduk dengan
lapisan berbutir. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih
yang kecil-kecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati
sinar (tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak
tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan
bening.
c.

Lapisan berbutir (stratum granulosum)


Tersusun oleh sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang
mengandung butir-butir di dalam protoplasmanya, berbutir kasar dan
berinti mengkerut. Lapisan ini tampak paling jelas pada kulit telapak
tangan dan telapak kaki.

d.

Lapisan bertaju (stratum spinosum)


Disebut juga lapisan malphigi, terdiri atas sel-sel yang saling
berhubungan dengan perantaraan jembatan-jembatan protoplasma
berbentuk kubus. Jika sel-sel lapisan saling berlepasan, maka seakanakan selnya bertaju. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri
atas serabut protein. Sel-sel pada lapisan taju normal, tersusun menjadi
beberapa baris.

e.

Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale)


Merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh satu baris
sel torak (silinder) dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan
dermis. Alas sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu dengan lamina
basalis di bawahnya. Lamina basalis yaitu struktur halus yang
membatasi epidermis dengan dermis. Pengaruh lamina basalis cukup
besar terhadap pengaturan metabolisme demo-epidermal dan fungsifungsi vital kulit.

Tipe-Tipe Sel Epidermis


1.

Keratinocytes

2.

Melanocytes

3.

Merkel Cells
5

4.

Langerhans Cells

2.

DERMIS ( Korium)
Kulit jangat atau dermis menjadi tempat ujung saraf perasa, tempat
keberadaan kandung rambut, kelenjar keringat, kelenjar-kelenjar palit
(Sebacea) atau kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh darah dan getah
bening, dan otot penegak rambut (muskulus arektor pili).
Sel-sel umbi rambut yang berada di dasar kandung rambut, terusmenerus membelah dalam membentuk batang rambut. Kelenjar palit yang
menempel di saluran kandung rambut, menghasilkan minyak yang mencapai
permukaan kulit melalui muara kandung rambut. Kulit jangat sering disebut
kulit sebenarnya dan 95 % kulit jangat membentuk ketebalan kulit.
Ketebalan rata-rata kulit jangat diperkirakan antara 1 - 2 mm dan yang
paling tipis terdapat di kelopak mata serta yang paling tebal terdapat di
telapak tangan dan telapak kaki. Susunan dasar kulit jangat dibentuk oleh
serat-serat, matriks interfibrilar yang menyerupai selai dan sel-sel.
Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu :
a.

Kelenjar keringat (Sudorifera)


Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu.

b.

Kelenjar palit (Sebacea)


Kelenjar palit terletak pada bagian atas kulit jangat berdekatan
dengan kandung rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara

ke

dalam

kandung

rambut

(folikel). Folikel rambut

mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan


6

rambut. Kelenjar palit membentuk sebum atau urap kulit. Terkecuali


pada telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar palit terdapat di semua
bagian tubuh terutama pada bagian muka.
3.

HIPODERMIS / SUBCUTIS.
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah
dan limfe, saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit.
Cabang-cabang dari pembuluh-pembuluh dan saraf-saraf menuju lapisan
kulit jangat. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau
penyangga benturan bagi organ-organ tubuh bagian dalam, membentuk
kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan.
Derivat Kulit
1.

Rambut

2.

Kuku

b.Fisiologi Sistem Integumen


Fungsi Kulit
1. Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya adalah :
a.
Menutupi dan melindungi organ organ dibawahnya
b.
Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing
c.
Pengaturan suhu
d.
Ekskresi : melalui perspirasi atau berkeringat, membuang sejumlah
e.

kecil urea.
Sintesis

f.

(Cholecalciferol) dengan bantuan sinar UV.


Tempat penimbun lemak.

konversi

7-dehydrocholesterol

menjadi

vit

D3

2.

Sensori persepsi : mengandung reseptor terhadap panas, dingin, nyeri,

3.

sentuhan atau raba, tekananFisika dasar hilangnya panas dari kulit


Proses Berkeringat
Panas merangsang hipotalamus anaterior (area preoptik), impuls dipindahkan
melalui jaras otonom ke medula spinalis dan kemudian melalui saraf simpatis
ke kulit ke seluruh tubuh. Saraf simpatis merangsang kelenjar keringat untuk
memproduksi keringat.

4.

Proses dan Tahapan Penyembuhan luka


Fase-fase penyembuhan luka
Fase Inflamasi :
terjadi sejak terjadi luka sampai kira-kira hari ke-5. Fase ini
menyebabkan

pendarahan,

dan

menghentikannya

dengan

cara

vasokonstriksi, retraksi atau pengerutan pembuluh darah yang putus dan


reaksi hemostatis terjadi karena trombosit dan jala fibrin keluar sehingga
menyebabkan pembekuan. reaksi inflamasi yaitu sel mast menghasilkan
serotenin dan histamin yang menyebabkan eksudasi cairan dan
peradangan itu menyebabkan membengkak, terjadi kemerahan, rasa nyeri

dan panas.
Fase Poliperasi :
berasal dari sel mensenkrim yang belum deferensiasi menghasilkan
mukopolisakarida, asam amino glisin dan prolin yang merupakan bahan
dasar kolagen, serat yang akan mempertautkan tepi luka. Proses ini baru
berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan

luka.
Fase Peyudahan :
odim dan sel radang di serap sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap sisanya
mengerut sesuai dengan regangan yang ada, selama proses ini dihasilkan
jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas serta mudah di gerakkan dari
dasar.

C. ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang
ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram
positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman
Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial,
dengan masa generasi 1224 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas serta
lambat berkembangnya.

Kuman-kuman

kusta

berbentuk

batang, biasanya berkelompok dan ada yang


tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8
mic, lebar 0,2-0,5 mic yang bersifat tahan
asam.
Sampai saat ini kuman tersebut
belum dapat dibiakkan dalam medium
buatan, dan manusia merupakan satu-satunya
sumber penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membiakkan kuman
tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang diradiasi, armadillo, kultur
jaringan syaraf manusia dan pada media buatan.
Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan melalui
kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret hidung yang kering, dapat
bertahan hidup sampai 9 hari di luar tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan
suhu kamar, kuman ini dapat bertahan sampai 46 hari.

D. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Boderline-Dimorphous (B)
Lepromatosa (L)
2. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
Tuberkoloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB)
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
3. Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
9

Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO

No.

Kelainan kulit & hasil

Pause Basiler

pemeriksaan

Multiple Basiler

1. Bercak (makula)
a.
b.
c.

Jumlah
Ukuran
Distribusi

d.
e.
f.

Konsistensi
Batas
Kehilangan rasa

a.
b.
c.

1-5
Kecil dan besar
Unilateral atau

d.
e.
f.

bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas

pada bercak

a.
b.
c.

Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris

d.
e.
f.

Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,
jika ada terjadi pada

g.
g.

Kehilangan

Bercak tidak

g.

berkeringat, ada

berkemampuan

berkeringat, bulu

bulu rontok pada

berkeringat, berbulu

yang sudah lanjut


Bercak masih
tidak rontok

bercak

rontok pada bercak


2. Infiltrat
a.
a.

Kulit

a.

Tidak ada

b.

Membrana mukosa

b.

Tidak pernah ada

Ada, kadang-kadang
tidak ada

b.

Ada, kadang-kadang
tidak ada

tersumbat
perdarahan dihidung
3. Ciri hidung
central healing

4. Nodulus

Tidak ada

a.
Punched out lessi
b.
Medarosis
c.
Ginecomastia
d.
Hidung pelana
e.
Suara sengau
Kadang-kadang ada

5. Penebalan saraf tepi

Lebih sering terjadi dini,

Terjadi pada yang lanjut

penyembuhan ditengah

10

asimetris

biasanya lebih dari 1 dan


simetris

6. Deformitas cacat

Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut


dini

7. Apusan

BTA negatif

BTA positif

E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit
dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan
sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2) BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau
Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan

kulit/lesi

dapat

berbentuk

bercak

keputih-putihan

(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa


(anaesthesi).

11

2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.


Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a.

Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa

b.

Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau


kelumpuhan (paralise)

c.

Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.

3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar
penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
penderita yang dicurigai.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi kusta bergantung pada seberapa cepat penyakit ini
didiagnosis dan diobati secara efektif. Sangat sedikit komplikasi terjadi jika
penyakit ini diobati cukup awal, tapi berikut ini ialah daftar komplikasi yang
dapat terjadi ketika diagnosis dan pengobatan baik ditunda atau mulai terlambat
dalam proses penyakit:

Kehilangan sensori (biasanya dimulai pada ekstremitas)

Kerusakan saraf permanen (biasanya di kaki)

Kelemahan otot

12

Cacat Progresif (misalnya, alis hilang, cacat jari-jari kaki, jari, dan
hidung)
Selain itu, kehilangan sensori menyebabkan orang untuk melukai bagian

tubuh tanpa individu menyadari bahwa ada cedera, hal ini dapat menyebabkan
masalah tambahan seperti infeksi dan penyembuhan luka yang buruk.

G. PATOFISIOLOGI
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan (Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah
penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum
diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf
tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas pasien. Mycobacterium leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
respons imun pada tiap pasien berbeda. Setelah mikobakterium leprae masuk
kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui

tergantung

pada

derajat

sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem

13

imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila


rendah berkembang kearah lepromatosa.
Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin,
yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak
selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda.
Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas
infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan
tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si
penderita, yakni

selaput

lendir

hidung.

Tetapi

ada

yang

mengatakan

bahwa penularan penyakit kusta adalah:


1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah
umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis,
dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan
dan kulit. Masa inkubasinya yaitu 3-5 tahun

14

H. PATOFLOW

15

I.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b.
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b.
Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput
d.

lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.


Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit

ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b.
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
c.

pasien kusta
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena

tersangka kuman resisten terhadap obat


d.
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecahpecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

2. Indeks Bakteri (IB):

16

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.


IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY
sebagai berikut :
0 : Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
3. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

J.

PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi

17

ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi


persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
1) Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a.
b.

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas


DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah


selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan
RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2) Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan
dilanjutkan dengan

petugas

klofazimin 50 mg /hari diminum

dirumah
c. DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut
WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan
RFT.

Pengobatan MDT terbaru

18

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998),


pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mg
dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan
sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.

Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta
tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.

2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
a.

b.

Perawatan mata dengan lagophthalmos


Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan
atau kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda

tanda luka, melepuh


Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih

kurang setengah jam


Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
19

c.

d.

Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka


Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

20

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.

PENGKAJIAN
a.

Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anakanak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah

b.

dari golongan ekonomi lemah.


Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan

c.

adanya komplikasi pada organ tubuh.


Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam

d.

kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi


Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga

e.

yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.


Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga
klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami

f.

gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan


Pola Aktivitas Sehari-hari

21

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan


dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
g.

memungkinkan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) System Pengelihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata
anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis
mata akan rontok.
2) System Pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
3) System Persarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea

mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.


Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan

mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).


Kerusakan Fungsi Otonom

22

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak


dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecahpecah.
4) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2. Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamas.
4. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan otot
5. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan

dengan

ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.


6. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas

C. INTERVENSI
Dx 1: Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan, ditandai dengan:
DS:

Pasien mengatakan susah tidur


Pasien mengatakan skala nyeri 6
23

DO:
Pasien tampak gelisah
Pasien tidak dapat beraktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
nyeri yang di alami klien berkurang
Kriteria Hasil:
Skala nyeri pasien 1-3
Grimace tidak ada
Pasien dapat tidur atau istirahat dengan tenang
Pasien dapat beraktivitas sesuai toleransi

No
1

Intervensi
Kaji karakteristik nyeri

Rasional
Memberikan informasi untuk
membantu dalam memberikan
intervensi

Observasi tanda-tanda vital.

Untuk mengetahui perkembangan atau


keadaan pasien.

Ajarkan dan anjurkan melakukan

Dapat mengurangi rasa nyeri.

tehnik distraksi dan relaksasi


4

Atur posisi senyaman mungkin.

Posisi yang nyaman dapat


menurunkan rasa nyeri.

Kolaborasi untuk pemberian

Menghilangkan rasa nyeri.

analgesik sesuai indikasi.

Dx 2: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses


inflamasi, ditandai dengan:
DS : 24

DO :

Adanya lesi
Terdapat oedeme, panas, bau di sekitar lesi
Terdapat jaringan nekrotik
Tidak terdapat jaringan granulasi

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses


inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan regenerasi jaringan
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

No.
1.

Intervensi

Rasional

Kaji/catat warna lesi, perhatikan

Memberikan informasi dasar

jika ada jaringan nekrotik dan

tentang terjadi proses inflamasi dan

kondisi sekitar luka.

mengenai sirkulasi daerah yang


terdapat lesi.

2.

3.

Berikan perawatan khusus pada

Menurunkan terjadinya penyebaran

daerah yang terjadi inflamasi.

inflamasi pada jaringan sekitar.

Evaluasi warna lesi dan jaringan

Mengevaluasi perkembangan lesi

yang terjadi inflamasi, perhatikan

dan inflamasi dan mengidentifikasi

adakah penyebaran pada jaringan

terjadinya komplikasi.

sekitar.
4.

Bersihkan lesi dengan sabun pada

Kulit yang terjadi lesi perlu

waktu direndam.

perawatan khusus untuk


mempertahankan kebersihan lesi.

5.

Istirahatkan bagian yang terdapat

Tekanan pada lesi bisa

lesi dari tekanan.

maenghambat proses
penyembuhan.

25

Dx 3: Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik, ditandai


dengan:
DS:
Klien mengeluh sulit melakukan aktivitas
DO:
Terdapat penurunan fungsi kekuatan pada bagian tubuh yang sakit
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kelemahan
fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria Hasil:
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kekuatan otot penuh

No.

Intervensi

1.

Pertahankan posisi tubuh yang

Meningkatkan posisi fungsional

nyaman.

pada ekstremitas.

Perhatikan sirkulasi, gerakan,

Oedema dapat mempengaruhi

kepekaan pada kulit.

sirkulasi pada ekstremitas.

Lakukan latihan rentang gerak

Mencegah secara progresif

secara konsisten, diawali

mengencangkan jaringan,

dengan pasif kemudian aktif

meningkatkan pemeliharaan

2.

3.

Rasional

fungsi otot/sendi.
4.

Jadwalkan pengobatan dan

Meningkatkan kekuatan dan

aktifitas perawatan untuk

toleransi pasien terhadap aktifitas.

memberikan periode istirahat.

Dx 4: Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan


ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh, ditandai dengan:
DS:
Klien mengatakan belum dapat menerima kehilangan fungsi tubuhnya
26

DO:

Klien tampak kurang percaya diri terhadap kondisi tubuhnya

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tubuh klien
dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria Hasil:

Pasien menyatakan penerimaan situasi dirinya


Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

No.
1.

Intervensi

Rasional

Kaji makna perubahan pada

Episode traumatik mengakibatkan

pasien.

perubahan tiba-tiba. Ini


memerlukan dukungan dalam
perbaikan optimal.

2.

Terima dan akui ekspresi

Penerimaan perasaan sebagai

frustasi, ketergantungan dan

respon normal terhadap apa yang

kemarahan. Perhatikan perilaku

terjadi membantu perbaikan.

menarik diri.
3.

Berikan harapan dalam

Meningkatkan perilaku positif

parameter situasi individu,

dan memberikan kesempatan

jangan memberikan

untuk menyusun tujuan dan

kenyakinan yang salah.

rencana untuk masa depan


berdasarkan realitas.

4.

Berikan kelompok pendukung

Meningkatkan perasaan dan

untuk orang terdekat.

memungkinkan respon yang lebih


membantu pasien.

Dx 5: Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang meluas

27

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan


tidak terjadi tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti:

Kalor,rubor,tumor,dolor,dan fungsiolesa.
TTV dalam batas normal

No.
1.

Intervensi
Kaji tanda tanda infeksi

Rasional
Untuk mengetahui apakah pasian
mengalami infeksi. Dan untuk menentukan
tindakan keperawatan berikutnya.

2.

Pantau TTV,terutama suhu tubuh.

Tanda vital merupakan acuan untuk


mengetahui keadaan umum pasien.
Perubahan suhu menjadi tinggi merupakan
salah satu tanda tanda infeksi.

Ajarkan teknik aseptik pada pasien

Meminimalisasi terjadinya infeksi

Cuci tangan sebelum memberi asuhan

Mencegah terjadinya infeksi nosokomial

keperawatan ke pasien.

28

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang


ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang,
gram positip, berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk
globus. Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim
retikuloendotelial, dengan masa generasi 1224 hari, dan termasuk kuman yang
tidak ganas serta lambat berkembangnya.

Tanda dan gejala penyakit kusta:


1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan

kulit/lesi

dapat

berbentuk

bercak

keputih-putihan

(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa


(anaesthesi).
2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a.

Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa

29

b.

Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau


kelumpuhan (paralise)

c.

Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.

3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar
penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan
kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada
wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
penderita yang dicurigai.

DAFTAR RUJUKAN

http://permata.or.id/id/tentang-kusta.html (online) diakses pada 1 desember 2012


30

http://www.scribd.com/doc/50863131/ASUHAN-KEPERAWATAN-PADAKLIEN-DENGAN-KUSTA (online) diakses pada 1 desember 2012


http://www.scribd.com/doc/85138016/ASUHAN-KEPERAWATAN-KUSTA
http://usadhaxamthone.com/penyakit-kusta/ (online) di akses pada 1 desember
2012
http://www.scribd.com/doc/83637292/Patofisiologi (online) di akses pada 1
desember 2012
www.sith.itb.ac.id/profile1/pdf/bisel/Kusta1.pdf (online) di akses pada 1
desember 2012
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23780/2/Chapter%20II.pdf
(online) di akses pada 1 desember 2012

31

Anda mungkin juga menyukai