Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN GIGITAN ULAR
DI UNIT GAWAT DARURAT (UGD)

DISUSUN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS MATA KULIAH RLE IV


MINGGU I

DISUSUN OLEH
MUHAMMAD GADAFI
113063C117021

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2020
BAB I

KONSEP DASAR

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan
terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta
mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit
bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15%
dari total berat badan orang dewasa (Paul et al., 2011). Fungsi proteksi kulit adalah
melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi
ultraviolet, sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen, merespon rangsangan
sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan
nutrisi dan air yang dapat digunakan apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat
terjadinya metabolisme vitamin D (Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007). Kulit
terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan
lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis bertanduk,
mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak 6 tangan dan kaki.
Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Kulit terdiri dari
berbagai bagian yaitu :
a. Stratum korneum, yaitu sel yang telah mati, selnya tipis, datar, tidak mempunyai
inti sel dan mengandung zat keratin.
b. Stratum lusidum, yaitu sel bentuk pipih, mempunyai batas tegas, tetapi tidak ada
inti. Lapisan ini terdapat pada telapak kaki. Dalam lapisan ini terlihat seperti pita
yang bening, batas-batas sudah tidak begitu terlihat.
c. Stratum glanulosum, sel ini berisi inti dan glanulosum.
d. Zona germinalis, terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapisan
epitel yang tidak tegas.
e. Sel berduri, yaitu sel dengan fibril halus yang menyambung sel satu dengan yang
lainnya, sehingga setiap sel seakan-akan tampak berduri.
f. Sel basale, sel ini secara terus-menerus memproduksi sel epidermis baru. Sel ini
disusun dengan teratur, berurutan dan rapat sehingga membentuk lapisan pertama
atau lapisan dua sel pertama dari sel basal yang posisinya diatas papilla dermis
(Susanto dan Ari, 2013).
2. Dermis
Dermis terletak dibawah lapisan epidermis. Dermis merupakan jaringan ikat longgar
dan terdiri atas sel-sel fibrinoplas yang mengeluarkan protein kolagen dan elastin.
Serabut-serabut kolagen dan elastin tersusun secara acak, dan menyebabkan dermis
terenggang dan memiliki daya tahan. Seluruh dermis terdapat pembuluh darah, saraf
sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringat dan
sebasea. Pada dermis terdapat sel mast yang berfungsi mengeluarkan histamin selama
cidera atau peradangan dan makrofag yang memililki fungsi memfagositosis sel-sel
mati dan mikroorganisme (Corwin, 2009). Dermis terdiri dari dua lapisan; lapisan
atas yaitu pars papilaris (stratum papilaris), dan bagian bawah yaitu pars retikularis
terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun atas serabutserabut; serabut kolagen,
serabut elastic, dan serabut retikulus (Susanto dan Ari, 2013).
3. Subkutan
Subkutan mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang berada di
bawahnya. Lapisan subkutan mengandung jumlah sel lemak yang beragam,
bergantung pada area tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembuluh darah
dan ujung saraf (Sloane, 1994). Sel lemak berbentuk bulat dengan intinya berdesakan
kepinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini disebut penikulus
adiposus yang tebalnya tidak sama pada setiap tempat dan jumlah antara laki-laki dan
perempuan. Fungsi penikulus adipose adalah sebagai shok breaker atau pegas bila
tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk
mempertahankan suhu. Di bawah subkutan terdapat selaput otot dan lapisan
berikutnya yaitu otot (Susanto dan Ari, 2013)

B. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Gigitan ular adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat
menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil
racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir
setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis
yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun
tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat
ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor
letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat
kurang toksik dan merusak lebih sedikit jaringan.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang
mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak
di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas
satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang
memiliki aktivitas enzimatik.
2. Etiologi
Etiologi Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi
pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat
lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah
menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh
darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada
mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam
(nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan
dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot
jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.
3. Klasifikasi Gigitan Ular
Gigitan Ular berbisa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Derajat 0
Dengan tanda-tanda tidak keracunan, hanya ada bekas taring dan gigitan ular,
nyeri minimal dan terdapat edema dan eritema kurang dari 1 inci dalam 12 jam,
pada umunya gejala sistemik yang lain tidak ada.
b. Derajat I
Terjadi keracunan menimal, terdapat bekas taring dan gigitan, terasa sangat nyeri
dan edema serta eritema seluas 1- inci dalam 12 jam, tidak ada gejala sistemik.
c. Derajat II
Terjadi keracunan tingkat sedang terdapat bekas taring dan gigitan, terdapat
sangat nyeri dan edema serta eritema yang terjadi meluas antara 6-12 inci dalam
12 jam. Kadang-kadang dijumpai gejala sistemik seperti mual, gejala neurotoksi,
syok, pembesaran kelenjar getah bening regional.
d. Derajat III
Terdapat gejala keracunan yang hebat, bekas taring dan gigitan, terasa sangat
nyeri, edema dan eritema yang terjadi luasnya lebih dari 12 inci dalam 12 jam.
Juga terdapat gejala sistemik seperti hipotensi, petekhiae, dan ekimosis serta syok.
e. Derajat IV
Gejala keracunan sangat berat, terdapat bekas taring dan gigitan yang multiple,
terdapat edema dan local pada bagian distal ekstremitas dan gejala sistemik
berupa gagal ginjal, koma sputum berdarah.
4. Manifestasi Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan
ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan
karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa,
yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan
5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan
otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae
Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular
cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular  muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah
menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat
terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa
bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae
Misalnya, ular laut, cirinya:
1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae
Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri
di daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:

a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan
rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan
dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan
jaringan sekitar sisi gigitan luka.
b. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau
luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau
bahkan kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan
bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.
5. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa
ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Gigi
taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar.
Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir,
derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular
merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk
mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan. Semua metode injeksi venom ke
dalam korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai
mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa
menginformasikan kekuatan destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam
polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin
esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Mangsa gigitan ular jenis
Elapidae, biasanya akan mengalami pendarahan kesan daripada luka yang berlaku
pada saluran darah dan pencairan darah merah yang mana darah sukar untuk
membeku. Pendarahan akan merebak sertamerta dan biasanya akan berterusan selama
beberapa hari. Pendarahan pada gusi, muntah darah, ludah atau batuk berdarah dan air
kencing berdarah adalah kesan nyata bagi keracunan bisa ular jenis Elapidae.
Walaupun tragedi kematian adalah jarang, kehilangan darah yang banyak akan
mengancam nyawa mangsa. Bila tidak mendapat anti venom akan terjadi kelemahan
anggota tubuh dan paralisis pernafasan. Biasaya full paralysis akan memakan waktu
lebih kurang 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat, 3 jam setelah
gigitan. Beberapa Spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopathy. Tanda -
tanda klinis yang dapat ditemui adalah keluarnya darah terus menerus dari tempat
gigitan, venipunctur dari gusi, dan bila berkembang akan menimbulkan hematuria,
haematomisis, melena dan batuk darah.
6. Pathway

Trauma Gigitan Ular

Krisis Situasi Racun Masuk Kedalam


Tubuh

Ansietas
Toksik Menyebar
Melalui Darah

Gangguan Sistem Gangguan Sistem Toksik ke Jaringan


Neurologi Kardiovaskuker Sektor Gigitan

Neurotoksik Reaksi Inflamsi

Gangguang pd Miokard
Hipotalamus Sel Imun Nyeri

Curah Jantung
Kontrol Suhu dan Nyeri Resiko Gg Rasa
Terganngu Infeksi Nyaman
Gg Perfusi Jaringan

Hipertermi

Sekresi Mediator Gg. Sistem Penapasan


Nyeri : histamin,
branidinin
prostaglandin ke Obstruksi Saluran
jaringan Napas

Gg. Rasa Nyaman


Nyeri Sesak Pola Napa Tidak
Efektif
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium 
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap meliputi
leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal
Hemostasis (Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time,
International Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal
(BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah.
b. Pemeriksaan Penunjang lainnya
1) Radiografi thoraks untuk melihat apakah ada edema pulmoner
2) Radiografi untuk mencari taring tulang yang teringal.
8. Penatalaksanaan
a. Prinsip Pengganan Pada Korban Gigitan Ular
1) Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
2) Menetralkan bisa.
3) Mengobati komplikasi
(Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular).
b. Pertolongan pertama, pastikan dan sekitar aman dan ular telah pergi secara
pertolongan medis jangan tinggalkan korban selanjutnya lakukan prinsip RIGT
yaitu:
1) R (Reassure) : yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istrihatkan korban,
kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih
cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/ panik karena kaget.
2) I (Immobilisation) : jangan menggerakan korban, untuk tidak berjalan atau
lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak dating, lakukan
tehnik balut tekan (pressure immobilisation) pada daerah sekitar gigitan
(tanggan atau kaki) lihat prossure immobilisation (balut tekan).
3) G (Get) : bawah korban kerumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
4) T (Tell to Doctor) : informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul
pada korban.
c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):

d. Balut tekan pada kaki:


1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
2) Keringkan sekitar luka gigitan.
3) Gunakan pembalut elastis.
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke
atas.
6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
7) Jangan melepas celana atau baju korban.
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai
menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap
pink).
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
e. Balut tekan pada tangan:
1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut)
2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
4) Pasang papan sebagai fiksasi.
5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
(Foruniverse, Nursing. 2010. Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular,
(Online), http://nursing foruniverse. blogspot. Com/2010/01/pertolongan-
pertama-pada-gigitan-ular_18.html, diakses 17 Juli 2011).
f. Penatalaksanaan Selanjutnya :
1) Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%.
2) IVFD RL 16-20 tpm.
3) Penisillin Prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore.
4) ATS profilaksis 1500 iu.
5) SABU 2 flacon dalam NaCl 0,9 % diberikan per drip dalam waktu 30-40
menit.
6) Heparin 20.000 unit/ 24 jam.
7) Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2
flacon SABU lagi. SABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
8) Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi
berikan adrenalin 0,5 mg IM, hydrocortisone 100 mg IV.
9) Kalau perlu dilakukan hemodialise.
10) Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen
11) Observasi pasien minimal 1 x 24 jam. Catatan: Jika terjadi syok anafilatik
karena SABU, SABU harus dimasukkan secara cepat sambil diberi adrenalin.
g. Pemberian SABU (Serum Anti Bisa Ular)
Table 2.2 Pemberian SABU sesuai derajat parrish Derajat Parrish Pemberian
ABU 0-1 Tidak perlu 2 5-20 cc (1-2 ampul), 3-4 40-100 (4-10 ampul)
1) Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam pasca gigitan.
2) Pembengkakan minimal, diameter 1 cm I 1. Bekas gigitan 2 taring 2. Bengkak
dengan diameter 1-5 cm.
3) Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam II 1. Sama dengan derajat 2.
Petechie, echimosis 3. Nyeri hebat dalam 12 jam III 1. Sama dengan derajat I
dan II 2. Syok dan distress napas, echimosis seluruh tubuh IV Sangat cepat
memburuk. (Masmamad. 2009. Penatalaksanaan Gigitan Ular).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
Keseluruhan identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, agama, suku, diagnosa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian,
nomor medical record, dan lain-lain.
B. PRIMARY SURVEY
1. Airway
a. Jalan nafas bersih
b. Tidak ada sumbatan jalan nafas
c. Tidak ada sputum
d. Tidak ada darah
2. Breathing
a. Peningkatan frekuensi pernafasan
b. Napas dangkal
c. Distress pernapasan
d. Kelemahan otot pernafasan
e. Kesulitan bernafas : sianosis
f. Penggunaan otot bantu pernafasan
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takicardia
b. Pendarahan di ekstremitas kiri karena gigitan ular
c. Akral dingin
d. Sakit kepala
e. Pingsan Berkeringat banyak
f. Pusing, mata berkunang-kunang
g. CRT > 3 detik
4. Disabiliti
a. Dapat terjadi penurunan kesadaran (E4V4M5)
b. Kesadaran : somnolen
c. Pupil : isokor (2mm)
5. Exposure
Tidak ada perdarahan pada luka gigitan ular, adanya edema pada luka, memar. 
C. SECONDARY SURVEY
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran : somnolen, GCS : 13 TTV = TD : Normal / Hipertensi (n: 120/80
mmHg); Suhu : 36,0oC - 37,0oC; Nadi : 60-100 x/mnt; RR : Normal/ meningkat
(n : 16-20 x/mnt).
b. Keadaan Khusus
1) Kepala
Bentuk kepala : Mesochepal
Rambut : bersih
Warna rambut : Hitam tidak beruban
Kebersihan : Bersih
2) Mata Letak : Simestris
Konjungtiva : Normal
Sklera : Normal
Oedema : Ada
Jarak pandang : berkunang – kunang
3) Hidung
Bentuk : Simestris
Secret : Tidak ada
Penciuman : Normal
Kebersihan : Bersih
4) Telinga
Letak : Simestris
Pendengaran : Normal
Kebersihan : bersih
5) Mulut dan gigi
Mukosa : Lembab
Bibir : Normal
Caries : Tidak ada gigi
Lidah : Bersih
6) Leher
Refleks telan : Normal
Tiroid : tidak ada pembekakan
7) Dada :
a) Paru-paru :
Inspeksi : Pengembangan dada simetris, tidak ada jejas
Palpasi : vocal fremitus teraba kanan kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikuler
b) Jantung :
Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba ictus kordis di SIC V dan VI
Perkusi : Pekak
Auskultasi : terdengar bunyi S1 dan S2
8) Abdomen :
Bentuk : Simestris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan hepar, gastic dan pembesaran
Auskultasi : Peristaltik usus 10 x/menit
Perkusi : Tympani
9) Genital
Jenis kelamin : Normal, tidak ada kelainan
Kateter : tidak ada
10) Ekstremitas
Atas : Terpasang infus NaCl 0,9 % di tangan dextra, tidak ada edema
Bawah : Akral dingin, bengkak pada luka gigitan, kekakuan otot kaki dextra,
nyeri pada luka.
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
5. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
E. INTERVENSI
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, bebas
dispnea/sianosis.
Intervensi:
a. Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.
b. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan sirkulasi
endotoksin.
c. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
d. Sering ubah posisi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, misal masker wajah.
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh
tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
b. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
d. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi:
a. Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
e. Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
f. Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme
infeksius.
c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
5. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:


Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat,
mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani,
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang
efektif.

Intervensi:

a. Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.


Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas,
memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
b. Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur
bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
c. Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi untuk
menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien
menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi
kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
d. Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
e. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8. Volume 1.
Jakarta : ECG.
Corwin. J. Elizabeth, (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Doengos. Marylinn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Tim Training dan Tim Pengkaji Medis Internasional SOS. (2008). PPGD (Pertolongan Pertama
Gawat Darurat) Level 2. Internasional SOS training department : Jakarta.
Iop0l[0[[----------------------EgMansjoer. Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai