Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ
terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang
dewasa sekitar 2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi
mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak
pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit
tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara
embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang
merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari
mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat. (Ganong,
2008).
epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam):
1. Stratum Korneum
Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum
Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan
telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum
Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh
granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya
akan histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamenfilame tersebut
memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek
abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum
spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai
lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum)
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel
epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal
ini tergantung letak, usia dan faktor lain.Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.
Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan
mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
DERMIS
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai True Skin.
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.
Dermis terdiri dari dua lapisan :
Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak.
Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di
bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi
individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis /
hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber.
Reseptor yang cepat beradaptasi di kulit yaitu reseptor taktil (sentuh) dikulit yang
memberitahu mengenai perubahan tekanan pada permukaan kulit. Karena reseptor ini cepat
beradaptasi maka seseorang tidak menyadari sedang memakai jam tangan, cincin dan
sebagainya. Sewaktu memakai sesuatu maka akan terbiasa karena adanya adaptasi cepat reseptor
tersebut. Sewaktu mencopotnya maka akan menyadarinya karena adanya off response
(Sherwood, 2011).
Mekanisme adaptasi untuk korpus atau badan Pacini (Pacinian corpuscle) suatu reseptor
kulit yang mendeteksi tekanan dan getaran diketahui dari sifat-sifat fisiknya. Korpus Pacini
adalah suatu ujung reseptor khusus yang terdiri dari lapisan-lapisan konsentrik jaringan ikat
mirip kulit bawang yang membungkus ujung perifer suatu neuron aferen (Sherwood, 2011).
Setiap neuron sensorik berespons terhadap informasi sensorik hanya dalam daerah
terbatas dipermukaan kulit sekitarnya, daerah ini dikenal sebagai lapangan reseptif (receptive
field). Ukuran lapangan reseptif bervariasi berbanding terbalik dengan kepadatan reseptor
didaerah tersebut. Semakin dekat penempatan reseptor jenis tertentu, maka semakin kecil daerah
kulit yang terpantau oleh reseptor tersebut. Semakin kecil lapangan reseptif di suatu daerah maka
semakin besar ketajaman (acuity) atau kemampuan diskriminatif (Sherwood, 2011).
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan papiler
dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil
meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri
asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat
nutrient dari dermis melalui membran epidermis (Moffat, dkk., 2004).
B.FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah
memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol
suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah
melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier
dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit
dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir, puting
dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan
melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal. Temperatur kulit
dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi
vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas
panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di
kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian
akan mempertahankan panas. dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang
menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas.
Sensasi kulit adalah sensasi yang reseptornya ada dikulit, sedangkan sensasi visera adalah
sensasi yang berkaitan dengan persepsi lingkungan dalam, nyeri dari alat-alat visera biasanya
digolongkan sebagai sensasi visera. Terdapat 4 sensasi kulit yaitu: raba-tekan (tekanan adalah
rabaan yang ditahan agak lama), dingin, hangat, dan nyeri. Kulit mengandung berbagai jenis
ujung saraf sensorik yang meliputi ujung saraf telanjang, saraf yang melebar, serta ujung saraf
yang terselubung (Ganong, 2008).
sendirian tanpa lesi kulit lainnya dapat bebas dari lesi dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan
85% dalam 5 tahun; kurang dari 5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.
Lesi urtikaria dapat berupa papul-papul merah pea-sized (sebesar kacang polong) sampai
gambaran circinate (lingkaran) besar dengan batas-batas kemerahan dan putih di sentral yang
dapat menutupi seluruh bagian dari badan. Vesikel-vesikel dan bula dapat tampak dalam kasus
yang berat, bersamaan dengan efusi hemoragik. Bentuk berat dari urtikaria disebut juga
angioedema. Ia dapat mengenai seluruh bagian tubuh, seperti bibir atau tangan. Oedem glotis dan
bronkospasme merupakan komplikasi yang serius yang dapat mengancam nyawa. Kasus-kasus
akut dapat ringan atau berat tetapi biasanya hilang dengan atau tanpa pengobatan dalam beberapa
jam atau hari. Bentuk kronik dapat mengalami remisi dan eksaserbasi dalam hitungan beberapa
bulan atau tahun.
Faktor-faktor Presipitan
Urtikaria umumnya sering dicetuskan oleh beberapa faktor presipitan di bawah ini :
1. Obat-obatan atau Bahan kimia. Penisilin dan derivatnya kemungkinan merupakan
penyebab obat paling sering dari urtikaria akut, tetapi obat-obatan lainnya, apakah
melalui oral, injeksi, inhalasi, atau, topikal juga dapat menyebabkan reaksi urtikaria.
2. Makanan. Makanan merupakan penyebab yang umum dari urtikaria akut. Terutama
adalah makanan seafood, sedangkan makanan lainnya yang sering dilaporkan adalah
strawberry, cokelat, kacang, keju, telur, gandum, dan susu.
3. Gigitan dan sengatan serangga. Gigitan serangga, sengatan nyamuk, kutu, atau laba-laba,
dan kontak dengan ngengat, lintah, dan ubur-ubur dapat menyebabkan timbulnya
urtikaria.
4. Agen Fisik. Urtikaria juga dapat merupakan akibat dari paparan panas, dingin, radiasi,
dan cidera fisik.
5. Inhalan. Nasal spray, insect spray, inhalasi dari debu, bulu-bulu binatang atau karpet, dan
serbuk merupakan beberapa faktor pencetus melalui inhalasi.
6. Infeksi. Adanya fokus infeksi sering dipertimbangkan, cepat atau lambat, pada kasus
kronik, dan pada penyebab yang tidak biasa. Sinus, gigi geligi, tonsil, kandung empedu,
dan saluran genitourinaria sebaiknya diperiksa.
7. Penyakit dalam. Urtikaria dapat timbul pada penyakit hati, parasit usus, kanker, demam
rematik, dan lainnya.
8. Psikis. Setelah semua penyebab urtikaria kronik telah disingkirkan, masih terdapat
sejumlah kasus yang muncul berhubungan dengan stress atau nervous, cemas, atau
kelelahan.
9. Sindroma Urtikaria Kontak. Respon yang tidak lazim ini dapat diakibatkan karena kontak
antara kulit dengan obat-obatan, bahan kimia, makanan, serangga, hewan, dan tanaman.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi kulit berupa biduran
yaitu kulit kemerahan dengan penonjolan atau elevasi berbatas tegas dengan batas tepi yang
pucat disertai dengan rasa gatal (pruritus) sedang sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas
seperti terbakar. Lesi dari urtikaria dapat tampak pada bagian tubuh manapun, termasuk wajah,
bibir, lidah, tenggorokan, dan telinga. Diameter lesi dapat bervariasi dari sekitar 5 mm (0,2 inchi)
sampai dapat sebesar satu piring makan. Ketika proses oedematous meluas sampai ke dalam
dermis dan atau subkutaneus dan lapisan submukosa, maka ia disebut angioedema. Urtikaria dan
angioedema dapat terjadi pada lokasi manapun secara bersamaan atau sendirian. Angioedema
umumnya mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai nyeri tetapi jarang
pruritus, dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Keterlibatan bibir, pipi, dan daerah
periorbita sering dijumpai, tetapi angioedema juga dapat mengenai lidah dan faring. Lesi
individual urtikaria timbul mendadak, jarang persisten melebihi 24-48 jam, dan dapat berulang
untuk periode yang tidak tentu.
Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa rekasi
immediate, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi
ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria. Cold-dependent dermographism
adalah kondisi yang terjadi hanya setelah terjadi paparan dingin. Cholinergic dermographism
adalah bentuk yang jarang yang terjadi sebagi biduran punctata (punctate wheals) pada pasien
dengan cholinergic urticaria.
Pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, oedem local, sering disertai
nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi
setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan
pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan. Delayed pressure urticaria dapat
berhubungan dengan demam, menggigil, arthralgia, dan myalgia, juga dengan peningkatan LED
dan leukositosis. Immediate pressure urticaria adalah kelainan idiopatik yang jarang. Ia telah
diketahui berhubungan dengan pasien sindroma hipereosinofilik.
Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat
berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi
okupasional. Ia dapat sebagai kelaianan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga.
Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah. Peningkatan kadar plasma
histamin ditemukan dalam serangan pada pasien dnegan bentuk keturunan / herediter dan pada
pasien dengan penyakit yang didapat.
Cold urticaria
Terdapat
bentuk
didapat
(acquired)
dan
diturunkan
(herediter)
dari
cold
urticaria/angioedema. Bentuk yang didapat lebih sering dijumpai. Idiopathic atau primary
acquired cold urticaria mungkin berhubungan dengan sakit kepala, hipotensi, sinkop, wheezing,
shortness of breath, palpitasi, nausea, vomiting, dan diare. Serangan terjadi dalam hitungan menit
setelah paparan yang meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung
dengan objek dingin. Biduran dapat timbul setelah dilakukan kontak kulit dengan es yang disebut
dengan diagnostic cold contact test. Jika seluruh tubuh dingin, seperti dalam keadaan berenang,
hipotensi dan sinkop, yang berpotensi mematikan dapat terjadi. Bentuk yang jarang dari acquired
cold urticaria yang telah dilaporkan pada beberapa kasus di antaranya systemic cold urticaria,
Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh, seperti selama mandi
dengan air hangat, olahraga, atau episode demam. Prevalensi tertinggi adalah pada usia 23-28
tahun. Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang
dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran yang khas dari urtikaria jenis
ini; kadang-kadang, lesi dapat menjadi konfluen, atau angioedema dapat terjadi. Gambaran
sistemik termasuk pusing, nyeri kepala, sinkop, flushing, wheezing, shortness of breath / sesak
nafas, nausea, vomiting, dan diare. Peningkatan prevalensi pada pasien atopi telah dilaporkan.
Injeksi intrakutaneus agen kolinergik, seperti methacholine chloride, menghasilkan biduran
secara local pada kira-kira 1/3 pasien. Perubahan dalam fungsi pulmonal telah didokumentasikan
selama percobaan exercise challenge atau setelah inhalasi acetylcholine. Kasus-kasus familial
telah dilaporkan hanya pada laki-laki dalam empat keluarga. Pengamatan ini menunjukkan
kecenderungan adanya kelainan autosomal dominan inheritance. Setelah exercise challenge,
histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah
setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.
Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus,
urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari
cholinergic urticaria. Pada kebanyakan pasien, biduran tidak mempunyai punctate tetapi dengan
ukuran yang normal. Variasi tipe dari sindroma ini telah dideskripsikan, termasuk diantaranya
exercise-induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sendirian sebagai stimulusnya,
food-dependent exercise-induced anaphylaxis memerlukan baik exercise dan makanan sebagai
stimulus, dan bentuk varian dimana biduran punctata timbul setelah exercise. Pemberian aspirin
sebelum makan makanan allergen menginduksi urtikaria pada beberapa pasien dengan fooddependent exercise-induced anaphylaxis. Pada exercise-induced anaphylaxis, tes fungsi paru
normal, biopsy specimen menunjukkan degranulasi sel mast, dan pelepasan histamin dan
tryptase ke dalam sirkulasi.
Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran dikelilinngi oleh white halo yang terjadi
selama stress emosional. Lesi dapat ditemukan dengan injeksi norepinefrin intrakutaneus.
Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperature berapapun dapat menghasilkan pruritus
sendirian atau, lebih. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic
urticaria. Aquagenic pruritus tanpa urtikaria biasanya idiopatik tetapi juga terjadi pada orangorang tua dengan kulit yang kering dan pada pasien dengan polycythemia vera, Hodgkin's
disease, sindroma myelodysplastic, dan sindroma hipereosinophilic. Pasien-pasien dengan
aquagenic pruritus sebaiknya dievaluasi untuk menyingkirkan kelainan hematologik. Setelah tes
experimental challenge, kadar histamin darah akan meningkat pada pasien dengan aquagenic
pruritus dan dengan aquagenic urticaria. Degranulasi sel mast tampak pada lesi jaringan.
URTIKARIA KONTAK
Urtikaria dapat terjadi setelah kontak langsung dengan beberapa substansi. Ia dapat
disebabkan faktor immunologik yang dimediasi IgE atau nonimmunologik. Transient eruption
muncul dalam beberapa menit ketika dimediasi oleh IgE. Protein dari produk-produk latex
adalah penyebab sering dari urtikaria kontak yang dimediasi IgE. Protein-protein latex juga
dapat menjadi allergen airborne. Pasien-pasien ini dapat bermanifestasi secara cross-reactivity
terhadap buah-buahan, seperti pisang, alpukat, dan kiwi. Manifestasi lainnya yang juga
berhubungan termasuk rhinitis, conjunctivitis, dyspnea, dan syok. Kelompok risiko didominasi
oleh pekerja biomedis dan orang-orang dengan frekuensi kontak dengan latex yang sering. Agenagen seperti bulu-bulu arthropoda, dan bahan-bahan kimia dapat melepaskan histamin secara
langsung dari sel-sel mast. Papular urtikaria terjadi sebagai lesi papular urtikaria dengan
diameter 3-10 mm, distribusi simetris, serangan episodik yang berasal dari reaksi hipersensitif
terhadap gigitan serangga, seperti nyamuk, kutu, dan bedbugs. Kondisi ini muncul terutama pada
anak-anak. Lesi cenderung muncul pada kelompok area yang terekspose, seperti aspek ekstensor
dari ekstremitas.
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal yang
sikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP), dengan insidensi
kira-kira 1 dari 160 kehamilan. Sering muncul pada primigravida pada trimester III akhir atau
segera dalam periode post partum. Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan
dalam beberapa hari dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah. Tidak
seperti urtikaria pada umumnya, erupsi menetap dan intensitasnya dapat meningkat, hilang pada
kebanyakan kasus sebelum atau dalam 1 minggu post partum. Diduga disebabkan reaksi
terhadap distensi abdomen. Rasa gatal dapat diredakan dengan pemberian topikal steroid sedang
dan antihistamin. Prednisone (40 mg/hari) mungkin diperlukan jika pruritus sukar hilang.
Gambar 5. PUPP
URTIKARIA AUTOIMUN
Sirkulasi autoantibodi telah diketahui berada di dalam serum pada beberapa pasien dengan
urtikaria idiopatik kronik, menyebabkan autoimmune urticaria. Antibodi-antibodi ini
diperkirakan ada pada sedikitnya 35-40 persen dari pasien dengan urtikaria idiopatik kronik.
Positif autologous serum skin test didefinisikan sebagai bulir kemerahan dengan diameter 1.5
mm lebih besar daripada saline-induced respons dalam 30 menit. Pasien-pasien dengan
autoantibodi mempunyai jumlah biduran yang lebih banyak dengan distribusi yang lebih luas,
pruritus lebih berat, dan gambaran sistemik dari nausea, nyeri abdomen, diare, dan flushing.
II.
VENULITIS URTIKARIA
Urtikaria kronik dan angioedema dapat sebagai manifestasi dari cutaneous necrotizing
venulitis, yang dikenal sebagai urticarial venulitis. Gambaran klinis lainnya diantaranya demam,
malaise, arthralgia, nyeri abdomen, dan lebih jarang, konjungtivitis, uveitis, diffuse
glomerulonephritis, penyakit paru obstruktif dan restriktif, hipertensi intracranial benigna.
Abnormalitas komplemen serum telah dilaporkan pada beberapa pasien dengan kelainan ini.
Istilah hypocomplementemic urticarial vasculitis syndrome digunakan pada pasien-pasien
dengan gejala klinis yang lebih berat dari urticarial venulitis dengan hypocomplementemia dan
low-molecular-weight 7S C1q-precipitin yang telah diidentifikasi sebagai autoantibody IgG
secara langsung melawan collagen-like region dari C1q. Urticarial venulitis juga dapat terjadi
pada pasien-pasien dengan serum sickness, kelainan jaringan penyambung, keganasan darah, dan
infeksi serta sebagai kelainan idiopatik.
biasanya self-limited dan berlangsung sampai 4-5 hari. Lebih dari 70% pasien dengan serum
sickness mengalami urtikaria, yang dapat mengalami pruritus atau nyeri.
URTIKARIA AKIBAT REAKSI TRANSFUSI PRODUK DARAH
Urtikaria/angioedema dapat terjadi setelah pemberian produk darah (transfusi). Ini
biasanya diakibatkan oleh pembentukan kompleks imun yang dibentuk dari antigen dalam
produk darah dari donor berupa IgA yang bereaksi dengan antibodi-antibodi dalam tubuhn
resipien dan aktivasi komplemen yang menyebabkan perubahan vaskfular dan otot polos secara
langsung atau tidak langsung, via anafilatoksin, atau dengan pelepasan mediator-mediator sel
mast.
URTIKARIA AKIBAT INFEKSI
Episode dari urtikaria akut dapat berhubungan dnegan infeksi virus saluran nafas atas,
paling sering terjadi pada anak-anak. Urtikaria akut hilang dalam 3 minggu.
URTIKARIA
YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
TERAPI
ANGIOTENSIN-
memuaskan. Dalam meta-analysis pada hubungan urtikaria idiopatik kronik dan infeksi H.pylori,
perbaikan dari urtikaria empat kali lebih tinggi jika infeksi H.pylori berhasil dieradikasi dengan
terapi antibiotik. Akan tetapi, hanya 1/3 pasien dengan urtikaria idiopatik akan mengalami remisi
dengan eradikasi infeksi yang berhasil. Meskipun urtikaria/angioedem idiopatik adalah bentuk
yang paling sering, tetapi penegakkan diagnosis tetap dengan eksklusi. Cyclic episodic
angioedema dengan urticaria/angioedema berhubungan dengan demam, pertambahan berat
badan, tidak adanya kerusakan organ dalam, perjalanan klinis yang benigna, dan eosinofilia.
Biopsi specimen jaringan menunjukkan peningkatan kadar eosinophils, eosinophil granule
proteins, dan CD4 lymphocytes exhibiting HLA-DR, IL-1, soluble IL-2 receptor, dan IL-5.
PATOGENESIS
Sel mast adalah sel efektor utama pada kebanyakan bentuk urtikaria, meskipun tipe-tipe
sel lainnya juga dapat terlibat. Sel mast kutaneus melepaskan histamin dalam respon terhadap
C5a, morfin, dan kodein. Neuropeptida substansi P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP), dan
somatostatin, neurokinin A dan B, bradikinin, dan calcitonin generelated peptide (CGRP),
kesemuanya dapat mengaktivasi sel-sel mast untuk mensekresi histamin. Tidak semua produk
biologik potensial tersebut diproduksi ketika sel mast kutaneus terstimulasi. Permeabilitas
vaskuler di kulit diakibatkan secara predominan oleh reseptor histamin H 1, meskipun reseptor
histamin H 2 juga dapat berperan. Urtikaria disebabkan karena pelepasan histamin, bradikinin,
leuketrien C4, prostaglandin D2, dan substansi vasoaktif lainnya lainnya dari sel mast dan basofil
di kulit. Substansi-substansi tersebut menyebabkan ekstravasasi cairan ke kulit, mengakibatkan
timbulnya lesi urtikaria. Intensitas pruritus dari urtikaria adalah hasil dari pelepasan histamin ke
kulit. Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel-sel endotel dan otot polos menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi reseptor histaminH2 menyebabkan
vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi tipe I IgE diinisiasi oleh
kompleks imun antigen-mediated IgE yang mengikat dan cross-link reseptor Fc pada permukaan
sel-sel mast dan basofil, hal tersebut menyebabkan pelepasan histamin. Respon alergi tipe II
dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik, menyebabkan deposit Ig, komplemen, dan fibrin di sekitar
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III
berhubungan dengan SLE dan penyakit autoimun lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria.
Saat dibawa ke IGD untuk setiap pasien dengan tanda atau gejala reaksi alergi, termasuk
urtikaria, angioedema, atau syok anafilaksis adalah penting. Urtikaria akut dapat
progresif mengancam nyawa menjadi angioedema dan atau syok anafilaksis dalam
periode waktu yang sangan singkat, meskipun demikian biasanya syok rapid-onset tanpa
disertai urtikaria atau angioedema.
Jika angioedema tampak menyertai urtikaria, pemberian 0.3-0.5 mg epinefrin i.m dapat
diperlukan.
Penilaian lainnya mungkin diperlukan, seperti EKG serial, monitoring tekanan darah dan
pulse oximetry; berikan kristaloid i.v jika pasien hipotensi; dan berikan oksigen.
Antihistamin, terutama yang menghambat reseptor H1, merupakan terapi lini pertama
urtikaria.
H1 blocker efektif dalam meredakan pruritus dan rash dari urtikaria akut.
Antihistamin H2, seperti cimetidine, famotidine, dan ranitidine, dapat berperan ketika
dikombinasikan dengan antihistamin H1 pada beberapa kasus urtikaria. Antihistamin H1
dan H2 diduga mempunyai efek sinergis dan sering memberikan hasil yang lebih cepat
dan resolusi lengkap urtikaria daripada pemberian H1 blocker sendirian, terutama jika
diberikan secara simultan secara i.v.
Pada dewasa, prednisone 40-60 mg/hari selama 5 hari. Pada anak-anak, terapi 1
mg/kg/hari selama 5 hari. Tapering off dosis kortikosteroid tidak diperlukan pada
kebenyakan kasus urtikaria akut.
Keefektifan epinefrin pada urtikaria akut adalah kontroversial. Jika angioedema tampak
disertai dengan urtikaria, epinefrin 0.3-0.5 mg dapat diberikan secara i.m. Tetapi harus
diingat bahwa ACE-inhibitorinduced angioedema biasanya tidak berespon terhadap
epinefrin atau pada terapi umum lainnya, karena ia tidak dimediasi IgE.
Pasien-pasien dengan urtikaria kronik atau rekuren sebaiknya dirujuk ke ahli kulit untuk
evaluasi dan manajemen lebih lanjut.
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif dan di bagian yang terdapat lesi.
Kulit muka sebaiknya dihindarkan karena alasan kosmetik kecuali jika tidak ditemukan
kelainan kulit ditempat lain
Tampung dahak yang keluar dalam wadah yang disediakan, bersihkan bagian mulut
wadah, baru ditutup setelah dipastikan yang ditampung dahak bukan liur/ludah
Wadah di beri lebel yang berisi nama, alamat, tanggal pengambilan serta dokter pengirim
Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit minimal dilaksanakan di tiga tempat,
yaitu:
1. Cuping telinga kiri
2. Cuping telinga kanan
3. Bercak yang paling aktif
Siapkan kaca objek, tulis identitas pasien dengan pensil pada bagian ujung objek glass
2.
Permukaan kulit pada bagian yang akan di ambil dibersihkan dengan kapas alcohol 70%
3.
Jepitlah kulit pada bagian tersebut dengan forcep atau dengan jari tangan untuk
menghentikan aliran darah kebagian tersebut
4.
Dengan pisau kecil steril (pisau celup spiritus kemudian dibakar) kulit disayat kurang lebih
5mm. dalamnya 2mm agar mencapai dermis. Bila terjadi pedarahan, bersihkan dengan
kapas
5.
Keroklan tepi dasar sayatan secukupnya dengan menggunnakan punggung mata pisau
seperti di dapat semacam bubur jaringan dari dermis dan epidermis. Kemudian
dikumpulkan dengan skapel pada kaca objek
6.
7.
Sediaan yang telah jadi diwarnai dengan pewarnaan baku seperti yang dilakukan untuk
Mikobakterium lainnya.
Pewarnaan Sediaan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa M.leprae bersifat tahan asam (BTA), tidak
mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam. Sama halnya dengan
pewarnaan Mycobacterium tuberculosis dimana terdapat banyak modifikasi, maka pada
pewarnaan terhadap Mycobacterium leprae juga dikenal modifikasi dari pewarnaan baku.
Diantara modifikasi yang ada, menurut pengalaman penulis, pewarnan dari Leprosarium Sungei
Buluh, Malaysia nampaknya memberikan hasil yang cukup memuaskan, tetapi sediaan yang
telah diwarnai dengan modifikasi Sungei Buluh ini tidak dapat disimpan lama. Reagensia yang
dipergunakan seperti reagensia pewarnaan Ziehl-Neelsen modifikasi IMR, Kuala Lumpur.
Alat :
1. Rak sediaan (pengecatan dan pengeringan)
2. Lampu spiritus
3. Pinset
4. Pengatur suhu
Bahan :
1. Kaca objek yang telah berisi pulasan
2. Larutan karbol fuksin
3. Larutan dekolorisasi (1% HCL dalam alcohol 95%)
4. Larutan biru metilen
Cara melakukan pewarnaan (Leprosarium Sungei Buluh, Malaysia) :
1.
Genangi sediaan dengan larutan basic fucshin dan dipanasi sampai timbul uap.
2.
3.
4.
Sediaan didekolorisasi dengan larutan asam alcohol 1% (HCl pekat dalam alcohol 95%)
dengan jalan membilas dua kali.
5.
6.
7.
8.
direkomendasikan oleh WHO. Hasil pewarnaan menurut cara WHO ini akan sangat baik bila
sebagai bahan pewarnaan digunakan basic fucshin yang memiliki optical absorption diatas 552
nm.
Reagensia yang dibutuhkan :
1. Larutan karbol fuksin
Larutan A
Fenol
50 g
Air suling
1000 ml
Larutan B
Basic fuchsin
100 g
Alkohol 95%
1000 ml
1 ml
66 ml
Air suling
33 ml
0,6 g
60 ml
Air suling
140 ml
2.
3.
Aliri dengan larutan dekolorisasi sampai aliran larutan dekolorisasi tidak berwarna tidak
berwarna.
4.
5.
6.
2.
3.
Pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta denganMulti Drug Therapy
(MDT) untuk tipe PB maupun MB.
A. TUJUAN PENGOBATAN MDT
Tujuan pengobatan adalah:
1. Memutuskan mata rantal penularan
2. Mencegah resistent obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan berobat
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertarnbahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan.
Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke orang
lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT.
Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, meka kurnan kusta dapat menjadi
resisten/kebal terhadap MDT; sehingga gejala penyakit menetap, bahkan memburuk. Gejala baru
dapat timbul pada kulit dan saraf .
REGIMEN PENGOBATAN MDT
Mufti drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau tebih obat antikusta, salah satunya
rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain
bersifat baktertosratik.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT;
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah Ini:
a. Relaps
MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada empat macam blister untuk PB dan MB dewasa serta PB
dan MB anak
1. Obat MDT terdiri atas:
a. DDS (dapson)
1) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone
2) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg
3) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta.
4) Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15 th)
b. Lampren (B663) juga disebut klofazimin
1) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg, warna coklat.
2) Bersifat bakteriostarik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi
3) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari gangguan
gastrointestinal.
c. Rifampisin
1) Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
2) Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian.
3) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelummakan, agar penyerapan lebih
baik
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin sudah diperoleh dari
obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika
pengobatan TB sudah selesai maka pengobatan kusta kernbali sesuai blister MDT.
3. Untuk pesien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti dengan lampren
4. Untuk pasien MB yang alergl terhadap dapson, pengobatan hanya dengan dua macam obat
saja, yaitu
rifampisin dan lampren sesuai dosis
Efek Samping Dan Penanganannya
Walaupun dari pengalaman, pasien kusta jarang mengalami efek samping dari obat-obat
kusta yang diberikan, namun petugas perlu mengetahui efek samping berbagai obat kusta yang
drgunakan, agar dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada pasien dan bertindak secara
tepat apabila menghadapi keadaan tersebut.
Efek samplng obat-obat MDT dan penanganannya secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Erythromycin 4 x 500 mg/hari selama 7 hari atau 4 x 250 mg/hari selama l4 hari atau
Eritromisin etilsuksinat 800 mg, per oral, 4 kali sehari, selama 7 hari
Ofloxacin 2 x 300 mg/hari selama 7 hari atau Levofloksasin 500 mg, per oral, sekali
2. Trichomonas Vaginalis
Antibiotik sistemik:
Metronidazol 2 g oral per dosis tunggal atau 3x500 mg per hari hari selama 7 hari.
Nimorazol dosis tunggal 2 g, tinidazol dosis tunggal 2 g dan omidazol dosis tunggal 1,5g.
Obat topikal yang diberikan dapat berupa(Daili, 2007):
1. Bahan cair berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida1-2% dan larutan asam laktat
4%.
2. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal.
3. Jel dan krim yang bersifat trikomoniasidal
Edukasi yang dapat disampaikan pada waktu pengobatan perlu beberapa anjuran
pada penderita, seperti (Daili, 2007):
1. Pemerikaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk mencegah jangan terjadi
infeksi ping pong.
2. Jangan melakukan hubungan seksual selama pengobatan dan sebelum dinyatakan
sembuh.
3. Hindari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.
3. Herpes Simpleks Virus
Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari
hubungan
seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan menggunakan
kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral supressi dapat menjadi pilihan untuk
individu yang peduli transmisi pada pasangannya
Agen Antiviral
Pengobatan
ketidaknyamanan
dapat
secara
mengurangi
cepat
yang
simptom,
berhubungan
mengurangi
dengan
nyeri
dan
perjangkitan,
serta
Acyclovir,
Famciclovir,
dan
Valacyclovir.
Ketiga
obat
ini
mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi. Pengobatan peroral, dan
pada kasus
berat
secara
intravena
adalah
lebih
efektif.
Pengobatan
hanya
Herpes labialis: 2000 mg peroral setiap 12 jam selama 24 jam (harus diberikan pada
gejala pertama/prodromal)
- Genital herpes, episode primer: 1000 mg peroral 2kali/hari selama 10 hari.
- Herpes genital rekuren: 500 mg peroral 2 kali/hari selama 3 hari.
- Suppressi herpes Genital (9 atau lebih rekurensi per tahun atau HIV-positif): 500 mg
peroral 1 kali/hari.
- Herpes simplex genital rekuren , suppressi( pasien terinfeksi HIV): 500 mg peroral
2kali/hari, jika >9 rekurensi pertahun : 1000 mg peroral peroral 1 kali/hari.
Foscarnet
- HSV resisten Acyclovir: 40 mg/kg IV setiap 8-10 jam selama 10-21 hari
- Mucocutaneous, resisten acyclovir: 40 mg/kg IV, selama 1 jam, setiap 8-12 jam
selama 2-3 minggu atau hingga sembuh.
Topikal
Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5 kali
sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah munculnya gejala,
meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan masih efektif dalam
mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.
4. Ureaplasma urealyticu
Penatalaksanaan dari penyakit ini diberikan antibiotik tetrasiklin atau doksisiklin
per-oral (melalui mulut), 100 mg, dua kali sehari minimal selama 7 hari atau diberikan
azitromisin dosis tunggal. Tetrasiklin tidak boleh diberikan kepada wanita hamil.
Obat
yang merupakan
pilihan
menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan
janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis. Kadar yang tinggi dalam serum tidak
diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut
hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan
lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya
kurang
dari
angka
tersebut,
setelah
lebih
dari
dua
puluh
tiga
minggu,
jadi
bersifat
kerja
lama.
Ketiga obat
tersebut
diberikan intramuskular.
Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma
kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan
lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga
hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam serum
dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari
seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua.Obat ini mempunyai kekurangan,
yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar masuk ke dalam darah di otak,
sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G
benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yangtidak
menganjurkan pemberiannya kepada bayi.
Demikian
pula
PAM
memberi
rasa
nyeri
dalam;
pada
obat
tempat
ini
kini
suntikan
jarang
digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzati
n 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis
terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 jutaunit sehari,
diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2Pada sifilis kongenital, terapi
anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua 100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari,
yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari.
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada
terapi
sifilis
dengan
penisilin
dapat
terjadi
reaksi
Jarish-
Herxheimer.Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan ole
h hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Paffidum yang coati.
Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelahenam
sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat bersifat
umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain
itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan
kemerahan pada muka.
Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel,
dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas
jam tanpa merugikan penderita pada S I. Pada sifilis lanjut dapat membahayakan
jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan gums di laring,
penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis
serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang
telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat
penyembuhan yang cepat.
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya
dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai
pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua
sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari
kemudian.
2. Antibiotik lain
Selain penisilin, masih
yang
dapat digunakan
sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi terhadap
mendeteksi DNA VZV, atau dengan mengisolasi VZV pada kultur sel, walaupun efek sitopatik
bisa memakan waktu beberapa minggu. Partikel virus herpes dapat dilihat dengan mikroskop
elektron pada cairan vesikel namun tidak bisa dibedakan dengan virus herpes lainnya dan HSV
tertentu., yang juga dapat menyebabkan lesi vesikular. Infeksi terdahulu ditentukan dengan
mendeteksi VZV IgG dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) atau metodemetode lainnya. Hasil VZV IgM dapat sangat menbantu jika lesi di kulit telah disembuhkan dan
diagnosis diperlukan untuk alasan klinis.
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan tes Tzanck dengan membuat sediaan
hapus yang diwarnai dengan Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan
didapatkan sel datia berinti banyak.
Pengobatan untuk infeksi Varicella-Zooster
1.
2.
Pada infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep daan oral. Dapat pula
diberikan obat-obat antivirus atau immunostimulator.
HERPES ZOOSTER
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada
orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.Usahakan
agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah
infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
Pengobatan Khusus
a) Sistemik
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan
famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat
diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui
intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang
tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah
valasiklovir. Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam
plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari.
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes
zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500
mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus
sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison
dengan dosis 320 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis
prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat
antivirus.
b) Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan
bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi
sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salep
antibiotik.
HERPES SIMPLEKS
Pemeriksaan penunjang
Diagnosa
ditegakkan
berdasarkan
terjadinya
perubahan
sitologis
yang
khas
(multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusion pada kerokan jaringan atau biopsi),
tetapi harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan FA secara langsung atau dengan isolasi virus dari
lesi mulut atau lesi alat kelamin atau dari biopsi otak pada kasus-kasus encephalitis atau dengan
ditemukannya DNA HSV pada lesi atau cairan LCS dengan PCR. Diagnosis pada infeksi primer
dipastikan dengan adanya kenaikan 4 kali pada titer paired sera dengan berbagai macam tes
serologis; adanya imunoglobulin spesifik IgM untuk herpes mengarah pada suspek tetapi
antibodi konklusif terhadap infeksi primer. Teknik-teknik yang dapat diandalkan untuk
membedakan antibodi tipe 1 dan tipe 2 saat ini tersedia diberbagai laboratorium diagnostik;
isolat virus dapat dibedakan dari yang lain dengananalisis DNA. Tes serologis yang spesifik
belum tersedia secara luas.
Terapi
Gejala akut dari herpetic keratitis dan stadium awal dendritic ulcers diobati dengan
trifluridin atau adenine arabisonide (vidarabine, via-A atau Ara-A) dalam bentuk ophthalmic
ointment atau solution. Corticosteroid jangan digunakan untuk herpes mata kecuali dilakukan
oleh seorang ahli mata yang 275 sangat berpengalaman. Acyclovir IV sangat bermanfaat untuk
mengobati herpes simpleks encephalitis tetapi mungkin tidak dapat mencegah terjadinya gejala
sisa neurologis. Acyclovir (zovirax) digunakan secara oral, intravena atau topical untuk
mengurangi menyebarnya virus, mengurangi rasa sakit dan mempercepat waktu penyembuhan
pada infeksi genital primer dan infeksi herpes berulang, rectal herpes dan herpetic whitlow (lesi
pada sudut mulut bernanah).
Preparat oral paling nyaman digunakan dan mungkin sangat bermanfaat bagi pasien
dengan infeksi ekstensif berulang. Namun, telah dilaporkan adanya mutasi strain virus herpes
yang resisten terhadap acyclovir. Valacyclovir dan famciclovir baru-baru ini diberi lisensi untuk
beredar sebagai pasangan acyclovir dengan efikasi yang sama. Pemberian profilaksis harian obat
tersebut dapat menurunkan frekuensi infeksi HSV berulang pada orang dewasa. Infeksi neonatal
seharusnya diobati dengan acyclovir intravena.
VARIOLA
Pemeriksaan penunjang
Inokulasi pada korioalantoik, pemeriksaan virus dengan mikroskop electron dan deteksi
antigen virus pada agar-agar sel. Selain itu bisa dilakukan pemeriksaan histopatologik dan tes
serologic (tes ikatan komplemen).
Profilaksis
Vaksinasi dengan virus b=vaksinia yang diebrikan dengan metode multiple puncture,
merupaka teknik yang dianggap terbaik. Pada waktu pemberian vaksinasi tempat tersebut tidak
dibersihkan dengan alcohol tetapi cuup dengan eter atau aseton agar alcohol tidak
menginaktifkan virus vaksinia tersebut. Kontraindikasi vaksinasi ialah adanya riawayat atopi,
penderita yang sedang mendapat kortokosteroid dan dengan defisiensi imunologik.
Terapi
Penderita harus dikarantina. Sistemik dapat diberika obat antiviral (asiklovir atau
valasiklovir) misalnya isoprinosin dan interferon. Boleh juga di berika globulin-gama. Untuk
pengobatan simptomatik dapat diberikan analgetik dan antipiretik. Waspada dengan
kemungkinan timbulnya infeksi sekunder, maupun infeksi nosokomial, kebutuhan cairan tubuh
dan elektrolit. Jika mulut masih terdapat lesi dapat diberikan makanan lunak. Pengbatan topical
bersifat penunjang misalnya kompres dengan antiseptic atau salep antibiotic.
Prognosis
Sangat bergantung pada penatalaksanaan pertama dan fasilitas perawatan yang tersedia. Maka
mortalitas sangat bervariasi di antara 1-50%. Jaringan parut yang timbul dapat diperbaiki dengan
tindakan dermabrasi atau pemberian collagen implant.
KONDILOMA AKUMINATUM
Penatalaksanaan
Karena virus infeksi HPV sangat bersifat subklinis dan laten, maka tidak terdapat terapi
spesifik terhadap virus ini, maka perawatan diarahkan pada pembersihan kutil kutil yang
tampak dan bukan pemusnahan virus. Pemeriksaan pada lesi yang muncul sebelum kanker
serviks adalah sangat penting bagi wanita yang memiliki lesi klinis atau riwayat kontak.
Perhatian pada pribadi harus ditekankan karena kelembaban mendukung pertumbuhan kutil
a. Kemoterapi
1. Podophylin
Podophylin adalah resin yang diambil dari tumbuhan dengan kandungan
beberapa senyawa sitotoksik yang rasionya tidak dapat dirubah. Podophylino yang
paling aktif adalah podophylotoksin. Jenis ini mungkin terdiri atas berbagai
konsentrasi 10 25 % dengan senyawa benzoin tinoture, spirit dan parafin cair.yang
digunakan adalah tingtur podofilin 25 %, kulit di sekitarnya dilindungi dengan vaselin
atau pasta agar tidak terjadi iritasi setelah 4 6 jam dicuci. Jika belum ada
penyembuhan dapat diulangi setelah 3 hari, setiap kali pemberian tidak boleh lebih
dari 0,3 cc karena akan diserap dan bersifat toksik. Gejala toksik ialah mual, muntah,
nyeri abdomen gangguan alat napas dan keringat kulit dingin. Pada wanita hamil
sebaiknya jangan diberikan karena dapat terjadi kematian fetus. Respon pada jenis
perawatan ini bervariasi, beberapa pasien membutuhkan beberapa sesi perawaan untuk
mencapai kesembuhan klinis, sementara pasien pasien yang lain menunjukkan
respon yang kecil dan jenis perawatan lain harus dipertimbangkan.
2. Podofilytocin
Ini merupakan satu bahan aktif resin podophylin dan tersedia sebanyak 0,5 %
dalam larutan eatnol. Ini merupakan agen anti mitotis dan tidak disarankan untuk
penggunaan pada masa kehamiolan atau menysui, jenis ini lebih aman dibandingkan
podophylin apilkasi mandiri dapat diperbolehkan pada kasus kasus keluhan yang
sesuai
3. Asam Triklorasetik ( TCA )
Ini agent topikal alternatif dan seringkali digunakan pada kutil dengan
konsentrasi 30 50 % dioleskan setiap minggu dan pemberian harus sangat hati hati
karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. Bahan ini dapat digunakan pada masa
kehamilan.
4. Topikal 5-Fluorourasil (5 FU )
Cream 5 Fu dapat digunakan khususnya untuk perawatan kutil uretra dan vulva
vagina, konsentrasinya 1 5 % pemberian dilakukan setiap hari sampai lesi hilang dan
tidak miksi selama pemberian. Iritasi lokal buakn hal yang tidak bisa.
5. Interferon
Meskipun interferon telah menunjukkan hasil yang menjanjinkan bagi
verucciformis dan infeksi HPV anogenital, keefektifan bahan ini dalam perawatan
terhadap kutil kelamin masih dipertanyakan. Terapi parentral dan intra lesional
terhadapa kutil kelamin dengan persiapan interferon alami dan rekombinasi telah
menghasilkan tingkat respon yang berkisar antara 870 80 % pada laporan laporan
awal. Telah ditunjukkan pula bahwa kombinasi IFN dengan prosedur pembedahan
ablatif lainnya menghasilkan tingkat kekambuhan ( relapse rate ) dan lebih rendah.
Efek samping dari perlakuan inerferon sistemik meliputi panyakit seperti flu dan
neutropenia transien
b. Terapi pembedahan
1. Kuret atau Kauter (Elektrokauterisasi)
Kuret atau Kauter (Elektrokauterisasi) dengan kondisi anastesi lokal dapat digunakan
untuk pengobatan kutil yang resister terhadap perlakuan topikal munculnya bekas luka
parut adalah salah satu kekurangan metode ini.
2. Bedah Beku ( N2, N2O cair )
3. Laser
Laser karbodioksida efektif digunakan untuk memusnahkan beberapa kutil kutil
yang sulit. Tidak terdapat kekawatiran mengenai ketidakefektifan karbondioksida yang
dibangkitkan selama prosedur selesai, sedikit meninggalkan jaringan parut.
4. Terapi Kombinasi
Berbagai kombinasi terapi yang telah dipergunakan terhadap kutil kelamin yang
membandel, contohnya kombinasi interferon dengan prosedur pembedahan, kombinasi
TCAA dengan podophylin, pembedahan dengan podophylin. Seseorang harus sangat
berhati hati ketika menggunakan terapi kombinasi tersebut dikarenakan beberapa dari
perlakuan tersebut dapat mengakibatkan reaksi yang sangat serius.
MOLUSKUM KONTAGIOSUM
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis moluskum kontagiosum pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan gejala klinis yang tampak. Pemeriksaan histopatologi melalui biopsi dapat membantu
menegakkan diagnosis pada beberapa kasus dengan gejala klinis tidak khas. Pemeriksaan
histopatologi moluskum kontagiosum menunjukkan gambaran proliferasi sel-sel stratum spinosum
yang membentuk lobules disertai central cellular dan viral debris. Lobulus intraepidermal
dipisahkan oleh septa jaringan ikat dan didapatkan badan moluskum di dalam lobulus; berupa sel
berbentuk bulat atau lonjong yang mengalami degenerasi keratohialin.Pada stratum basalis dijumpai
gambaran mitosis sel dengan pembesaran nukleus basofilik.
Pada fase lanjut dapat ditemui sel yang mengalami proses vakuolisasi sitoplasmik dan
didapatkan globi eosinofilik. Beberapa kasus lesi moluskum kontagiosum dengan infeksi sekunder,
didapatkan gambaran inflamasi predominan limfosit dan neutrofil pada pemeriksaan histopatologi.
Terapi
Moluskum kontagiosum adalah penyakit infeksi virus yang dapat sembuh spontan.Pada
kelompok pasien imunokompeten jarang ditemui lesi moluskum kontagiosum bertahan lebih dari 2
bulan. Terapi untuk memperbaiki gejala yang timbul diperlukan pada beberapa pasien dengan
penurunan status imun, dimana didapatkan lesi ekstensif dan persisten.Pemberian terapi dilakukan
berdasarkan beberapa pertimbangan meliputi kebutuhan pasien, rekurensi penyakit serta
kecenderungan pengobatan yang meninggalkan lesi pigmentasi atau jaringan parut. Sebagian besar
pengobatan moluskum kontagiosum bersifat traumatis pada lesi. Pilihan terapi terbaru mencakup
pemberian antivirus dan agen imunomodulator.Berikut ini merupakan beberapa pilihan terapi yang
umum digunakan dalam penatalaksanaan moluskum kontagiosum.
1. Bedah Beku (Cryosurgery)
Merupakan salah satu terapi yang umum dan efisien digunakan dalam pengobatan moluskum
kontagiosum, terutama pada lesi predileksi perianal dan perigenital.Bahan yang digunakan adalah
nitrogen cair . Aplikasi menggunakan lidi kapas pada masing-masing lesi selama 10-15 detik.
Pemberian terapi dapat diulang dengan interval 2-3 minggu. Efek samping meliputi rasa nyeri saat
pemberian terapi, erosi, ulserasi serta terbentuknya jaringan parut hipopigmentasi maupun
hiperpigmentasi.
2. Eviserasi
Merupakan metode yang mudah untuk menghilangkan lesi dengan cara mengeluarkan inti
umbilikasi sentral melalui penggunaan instrumen seperti skalpel, ekstraktor komedo dan jarum
suntik.Penggunaan metode ini mungkin tidak dapat ditoleransi oleh anak-anak.
3. Podofilin dan Podofilotoksin
Suspensi podofilin 25% dalam larutan benzoin atau alkohol dapat diaplikasikan pada lesi
dengan menggunakan lidi kapas, dibiarkan selama 1 -4 jam kemudian dilakukan pembilasan dengan
menggunakan air bersih.Pemberian terapi dapat diulang sekali seminggu.Terapi ini membutuhkan
perhatian khusus karena mengandung mutagen yaitu quercetin dan kaempherol.Efek samping lokal
akibat penggunaan bahan ini meliputi erosi pada permukaan kulit normal serta timbulnya jaringan
parut.Efek samping sistemik akibat penggunaan secara luas pada permukaan mukosa berupa
neuropati saraf perifer, gangguan ginjal, ileus, leukopeni dan trombositopenia.Podofilotoksin
merupakan alternatif yang lebih aman dibandingkan podofilin. Sebanyak 0,05 ml podofilotoksin 5%
diaplikasikan pada lesi 2 kali sehari selama 3 hari.Kontraindikasi absolut kedua bahan ini pada
wanita hamil.
4. Cantharidin
Merupakan agen keratolitik berupa larutan yang mengandung 0,9% collodian dan
acetone.Telah menunjukkan hasil memuaskan pada penanganan infeksi Molluscum Contagiosum
Virus (MCV). Pemberian bahan ini terbatas pada puncak lesi serta didiamkan selama kurang lebih 4
jam sebelum lesi dicuci.Cantharidin menginduksi lepuhan pada kulit sehingga perlu dilakukan tes
terlebih dahulu pada lesi sebelum digunakan.Bila pasien mampu menoleransi bahan ini, terapi dapat
diulang sekali seminggu sampai lesi hilang.Efek samping pemberian terapi meliputi eritema, pruritus
serta rasa nyeri dan terbakar pada daerah lesi.Kontraindikasi penggunaan Cantharidin pada lesi
moluskum kontagiosum di daerah wajah.
5. Tretinoin
Tretinoin merupakan derivat vitamin A yang berfungsi sebagai agen anti - proliferasi sel.
Krim tretinoin 0,1% digunakan pada penanganan moluskum kontagiosum. Pemberian dengan cara
dioleskan 2 kali sehari pada lesi.Penyembuhan dilaporkan terjadi dalam waktu 11 hari setelah
pemberian terapi.Efek samping terapi berupa eritema pada daerah timbulnya lesi. Pilihan lain
menggunakan krim tretinoin 0,05% menunjukkan hasil yang memuaskan dengan efek samping
berupa iritasi ringan.
6. Cimetidine
Cimetidine merupakan antagonis reseptor histamin H 2 yang menstimulasi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat. Mekanisme kerja Cimetidine pada terapi moluskum kontagiosum masih
belun diketahui secara jelas. Sebuah studi menunjukkan keberhasilan penggunaan cimetidine dosis
40 mg / kgBB / oral / hari dosis terbagi dua pada pengobatan moluskum kontagiosum dengan lesi
ekstensif. Cimetidine berinteraksi dengan berbagai pengobatan sistemik lain, sehingga perlu
dilakukan anamnesis riwayat pengobatan pada pasien yang akan mendapat terapi obat ini.
7. Larutan KOH
Larutan KOH 10% diaplikasikan 2 kali sehari pada lesi dengan menggunakan lidi kapas.
Pemberian terapi dihentikan bila didapatkan respon inflamasi atau timbul ulkus pada daerah lesi.
Perbaikan lesi didapatkan setelah kurang lebih 30 hari pemberian terapi. Efek samping berupa
pembentukan jaringan parut hipertropik serta hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pada daerah lesi.
8. Pulsed Dye Laser
Beberapa studi menunjukkan hasil memuaskan penggunaan modalitas terapi pulsed dye laser
pada lesi moluskum kontagiosum. Perbaikan lesi dicapai dalam waktu 2 minggu setelah pemberian
terapi tanpa disertai efek samping yang berarti. Pulsed dye laser merupakan salah satu pilihan terapi
yang efisien namun memiliki kekurangan dari segi efektifitas biaya.
9. Imunomodulator
Penggunaan imunomodulator telah menjadi bagian dari pilihan terapi moluskum
kontagiosum.Pada pasien dengan gangguan fungsi imun dimana didapatkan lesi ekstensif tersebar di
seluruh tubuh, terapi lokal yang bersifat destruktif dikatakan tidak efektif.Penggunaan
imunomodulator telah memberikan hasil memuaskan.Imunomodulator topikal telah digunakan pada
bermacam kelainan kulit.Molekul imunomodulator topikal memiliki kemampuan memodifikasi
respon imun lokal pada kulit, bersifat stimulator maupun supresor terhadap respon imun. Pemilihan
preparat topikal didasarkan pada beberapa alasan antara lain hasil terapi memuaskan, kemudahan
aplikasi serta tingkat keamanan lebih baik dibandingkan preparat sistemik.Imunomodulator topikal
terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu imunomodulator steroid dan imunomodulator non -steroid.
10. Antivirus
Antivirus yang umum digunakan dalam pengobatan moluskum kontagiosum adalah
Cidofovir. Cidofovir merupakan analog nukleosida deoxytidine -7-monophosphate yang memiliki
aktivitas antivirus terhadap sejumlah besar DNA virus meliputi citomegalovirus (CMV), virus herpes
simplex (HSV), Human Papiloma Virus (HPV) dan Molluscum Contagiosum Virus (MCV).
Cidofovir difosfat bekerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap DNA polimerase virus sehingga
mampu menghambat sintesis DNA virus. Cidofovir tersedia dalam bentuk krim 3% , solusio
intravena dan intralesi.
Cidofovir memiliki potensi cukup baik dalam pengobatan moluskum kontagiosum, terutama
pada pasien dengan penurunan status imun. Akan tetapi kurangnya efektifitas dari segi biaya
memberikan batasan ter sendiri dalam pemilihan terapi.3 Sebuah artikel menyebutkan harga krim
cidofovir 3% adalah sebesar US$ 65 per gram.Efek samping lokal pemberian terapi cidofovir
mencakup reaksi inflamasi pada daerah sekitar lesi, sedangkan efek samping sistemik meliputi
nefrotoksik, neutropenia dan asidosis metabolik.
VERRUCA
Pemeriksaan penunjang
Gambaran klinis, riwayat penyakit, papul yang membesar secara perlahan biasanya sudah
sangat membantu untuk membangun diagnosis veruka.Pemeriksaan histologi dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Lesi seperti keratosis seboroik, keratosis solar, nevi, akondron,
hiperplasia kelenjar sebasea, klavi, granuloma piogenik kecil, karsinoma sel skuamous dapat
menyerupai veruka.
Terapi
Terapi pada veruka vulgaris disesuaikan dengan lokasi tubuh yang terkena, usia pasien,
status imun pasien, derajat ketidaknyamanan baik secara fisik maupun emosional dan jika ada
terapi sebelumnya. Veruka vulgaris yang muncul pada anak tidak memerlukan pengobatan
khusus karena biasanya dapat regresi sendiri. Namun, mekanismenya sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, diduga sistem imun seluler dan humoral berperan terhadap regresi spontan
veruka vulgaris.
Penatalaksanaan
untuk
pasien
dilakukan
elektrokauterisasi.Elektrokauterisasi
ini
efektivitasnya tinggi dalam menghancurkan jaringan yang terinfeksi dan HPV, serta
kontraindikasi untuk pasien dengan cardiacpacemakers.Tehnik ini diawali dengan local
anestesi.Rasa sakit setelah operasi dapat diatasi dengan narkotik analgesik dan analgesik topikal
pada beberapa pasien sangat bermanfaat seperti lidocaine jelly.
Penatalaksanaan lainnya :
- Krioterapi merupakan pilihan utama untuk hampir semua veruka vulgaris. veruka seharusnya
dibekukan secara adekuat dimana dalam waktu 1-2 hari akan timbul lepuh sehingga akan
menjadi lebih lunak. Idealnya pengobatan dilakukan setiap 2 atau 3 pekan sampai lepuh
terkelupas.Komplikasi dari krioterapi diantaranya terjadinya hipopigmentasi dan timbul jaringan
parut (skar).
- Asam salisilat 12-26% dengan atau tanpa asam laktat efektif untuk pengobatan veruka vulgaris
dimana efikasinya sebanding dengan krioterapi. Efek keratolitik asam salisilat mampu membantu
mengurangi ketebalan veruka dan menstimulasi respon inflamasi.
- Glutaraldehid merupakan agen virusidal yang terdiri dari 10% glutaraldehid dalam etanol cair
atau dalam formulasi bentuk gel. Pengobatan hanya terbatas pada lesi di tangan.Efek samping
yang dapat terjadi adalah dermatitis kontak. Nekrosis kutaneus dapat terjadi walaupun sangat
jarang.
- Bleomisin memiliki efikasi yang tinggi dan penting untuk pengobatan veruka vulgaris terutama
yang keras. Bleomisin yang digunakan memiliki konsentrasi 1 unit/ml yang diinjeksikan di dekat
bagian bawah veruka hingga terlihat memucat.Saat injeksi terasa nyeri sehingga pada beberapa
pasien dapat diberikan anestesi lokal. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah timbulnya
skar dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang luas.
- Simetidin oral dengan dosis 30-40 mg/kgBB/hari telah dilaporkan mampu meresolusi veruka
vulgaris.
- Pengobatan dengan dinitrochlorobenzene (DNCB) dilaporkan mampu meresolusi veruka pada
85% kasus. Caranya: DNCB dilarutkan dalam aseton, kolodion atau petrolatum. Dosis awal
DNCB dengan konsentrasi 2-5 %, tetapi dapat diturunkan menjadi 0,2-0,5% jika timbul reaksi
yang berat.Veruka mulai pecah setelah sekali hingga dua puluh kali pengobatan, tetapi rata-rata
dibutuhkan 2-3 bulan pengobatan. Efek samping dari penggunaan DNCB yaitu pruritus, nyeri
lokal, dan dermatitis eksematous ringan.
- Laser karbondioksida dapat digunakan untuk pengobatan beberapa variasi dari veruka baik
pada kulit maupun mukosa. Pengobatan ini efektif untuk menghilangkan beberapa jenis veruka,
seperti periungual dan subungual warts.
8 A. Terangkan tentang Dermatomikosis dan penatalaksanaannya
Mikosis kutan disebabkan oleh jamur yang hanya menginvasi jaringan superfisialis yang
terkeratinisasi (kulit, rambut dan kuku) dan tidak ke jaringan yang lebih dalam. Bentuk yang
paling penting adalah dermatofita, suatu kelompok jamur serumpun yang diklasifikasikan
menjadi 3 genus Epidermophyton, Microsporum danTrychopyton. Ada dua golongan jamur yang
menyebabkan mikosis superfisialis yaitu nondermatofita dan dermatofita.
MIKOSIS SUPERFISIALIS
NON DERMATOFITOSIS
Infeksi non-dermatofitosis pada kulit biasanya terjadi pada kulit yang paling luar. Hal ini
disebabkan jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat mencerna keratin kulit dan
tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar. Yang masuk ke dalam golongan ini adalah
Pityriasis versicolor (PV) / Tinea versicolor.
DERMATOFITOSIS
Penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofit disebut " Dermatofitosis ".
Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada
keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai
dari stratum korneurm sampai dengan stratum basalis.
PITYRIASIS VERSICOLOR/TINEA VERSICOLOR
Tinea versikolor/Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan
oleh Malasezia furfur. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit yang kronik dan asimtomatik
ditandai oleh bercak putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan
dan kadang- kadang terlihat di ketiak, sela paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit
kepala yang berambut.
Pertumbuhannya pada kulit (stratum korneum) berupa kelompok sel-sel bulat, bertunas,
berdinding tebal dan memiliki hifa yang berbatang pendek dan bengkok, biasanya tidak
menyebabkan tanda-tanda patologik selain sisik halus sampai kasar. Bentuk lesi tidak teratur,
berbatas tegas sampai difus dan ukuran lesi dapat milier,lentikuler, numuler sampai plakat.
Ada dua bentuk yang sering dijumpai :
Bentuk makuler :
Berupa bercak-bercak yang agak lebar, dengan skuama halus diatasnya dan
tepi tidak meninggi.
Bentuk folikuler :
Seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini ditemukan diseluruh dunia (kosmopolit) terutama di daerah beriklim panas.
Di Indonesia frekuensinya tinggi. Penularan panu terjadi bila ada kontak dengan jamur penyebab
oleh karena itu kebersihan pribadi sangat penting.
PATOGENESIS
Mallasezia furfur, merupakan organisme saprofit pada kulit normal. Organisme ini
merupakan "lipid dependent yeast" fase spora dan miselium. Faktor predisposisi menjadi patogen
dapat secara endogen (defisiensi imun) dan eksogen (faktor suhu, kelembaban udara, keringat
dan matahari).
GAMBARAN KLINIS
Timbul bercak putih atau kecoklatan yang kadang-kadang gatal bila berkeringat. Bisa
pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita mengeluh karena malu oleh adanya bercak
tersebut. Pada orang kulit berwarna, lesi yang terjadi tampak sebagai bercak hipopigmentasi,
tetapi pada orang yang berkulit pucat maka lesi bisa berwarna kecoklatan ataupun kemerahan. Di
atas lesi terdapat sisik halus.
Folikulitis merupakan bentuk klinis yang lebih berat, Malasezia furfur dapat tumbuh
dalam jumlah banyak pada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Pada pemeriksaan histologis
organisme tersebut terlihat di lubang folikel bagian infudibulum saluran sebasea dan sering
disekitar dermis. Folikel berdilatasi akibat sumbatan dan terdiri dari debris keratin.
Secara klinis lesi terlihat eritem, papula folikular atau pustula dengan ukuran 2-4 mm,
distribusinya dipunggung, dada kadang-kadang dibahu, dengan leher dan rusuk. Bentuknya yang
lebih berat disebut Acneifonn folliculitis.
Malasezia furfur dapat membentuk koloni pada kelenjar lakrimalis, menyebabkan
pembengkakan dan obstruksi (Dakriosis Obstruktif). Pada beberapa kasus terbentuk dakriolit,
terjadi inflamasi dan mengganggu produksi air mata.
DIAGNOSIS
Selain ditegakkan dari gambaran klinis, diagnosa pitiriasis versikolor harus dibantu
dengan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:
1)
lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas alkohol 70%, lalu dikerok dengan skalpel steril
dan jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril pula. Sebagian dari bahan tersebut
diperiksa langsung dengan KOH 10% yang diberi tinta Parker biru hitam, dipanaskan sebentar,
ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang
jamur, maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak
tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir yang bersambung seperti kalung.
Pada pitiriasis versikolor hifa tampak pendek-pendek, lurus atau bengkok dengan banyak spora
kecil berkelompok memberikan gambaran spaghetti and meatballs.
2)
daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan
memperlihatkan fluoresensi warna emas sampai oranye.
DIAGNOSA BANDING
Penyakit ini harus dibedakan dari dermatitis seboroik, sifilis stadium II, pitiriasis rosea,
vitiligo, Morbus Hansen dan hipopigmentasi pasca peradangan.
PENGOBATAN
Pengobatan harus dilakukan menyeluruh, tekun, dan konsisten. Pengobatan dapat
dilakukan dengan cara topical atau sistemik. Pengobatan topikal terutama ditujukan untuk
penderita dengan lesi minimal. Obat golongan senyawa azol (antara lain ketokonazol, bifonazol,
tiokonazol) dalam bentuk krim selama 2 sampai 3 minggu cukup efektif untuk pengobatan PV.
Kesulitan pemakaian krim adalah pada lesi yang luas.
Pemakaian ketokonazol 2% dalam bentuk sampo dilaporkan lebih efektif dengan
pemakaian yang lebih mudah. Hal tersebut didukung dengan adanya efek antimikotik sampo
ketokonazol 2% yang lebih poten dibanding selenium sulfid ataupun seng pirition. Sampo dioles
di seluruh badan, lengan dan tungkai, dibiarkan selama 10-15 menit kemudian dicuci.
Pengobatan dilakukan 2-3 kali per minggu selama 2-4 minggu.
Obat topikal lain adalah selenium sulfida 1,8% dalam bentuk sampo yang juga dipakai
seluruh badan, sebelum tidur dan segera dicuci pada pagi harinya. Pemakaian 1-2 kali per
minggu selama 2-4 minggu. Cara lain dengan menggunakannya setelah mandi selama 15-30
menit dan kemudian dibilas. Dapat pula digunakan solusio sodium tiosulfas 20%. Sampo
selenium sulfid dan sodium tiosulfas 20% menyebabkan bau kurang sedap serta kadan bersifat
iritatif sehingga sering menyebabkan pasien kurang taat dalam mengobati.
Pengobatan sistemik menggunakan ketokonazol atau itrakonazol juga sangat efektif
untuk PV. Dosis untuk ketokonazol bervariasi antara 200mg/hari selama 7-10 hari atau dosis
tunggal 400 mg. Itrakonazol disarankan untuk kasus kambuhan atau tidak responsif dengan cara
pengobatan lain, dengan dosis 200 mg/hari selama 5-7 hari. Kesembuhan umumnya masih
dengan gejala sisa hipopigmentasi yang menghilang perlahan sehingga pemeriksaan mikroskop
KOH membantu memaastikan kesembuhan.
PROGNOSIS
Prognosis PV dalam hal kesembuhan baik, tetapi persoalan utama adalah kekambuhan
yang sangat tinggi. Menghadapi persoalan ini, lebih baik dilakukan pengobatan ulang setiap kali
kambuh atau pengobatan pencegahan daripada memperpanjang satu periode pengobatan.
DERMATOFITOSIS
Penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofit disebut " Dermatofitosis ".
Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada
keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai
dari stratum korneurm sampai dengan stratum basalis.
ETIOLOGI
Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga genus yaitu
genus: Mikrosporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Dari 41 spesies dermafito yang sudah
dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang
terdiri dari 15 spesies Trikofiton, 7 spesies Mikrosporon dan 1 spesies Epidermafiton.
Cara penentuan dermatofitosis terlihat pada gambaran lesi dan lokasi. Selain sifat
keratinofilik ini, setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu.
Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang-kadang menyerang
manusia. Misalnya : Microsporum canis dan Trichophyton verucosum. Dermatofita yang geofilik
adalah jamur yang hidup di tanah dan dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia,
misalnya Mikrosporon gipsium.
GAMBARAN KLINIS
Umumnya gejala-gejala klinik yang ditimbulkan oleh golongan geofilik pada manusia
bersifat akut dan sedang namun lebih mudah sembuh. Dermatofita yang antropofilik terutama
menyerang manusia, karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya. Golongan jamur ini dapat
menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif , karena reaksi penolakan tubuh
yang sangat ringan. Contoh jamur yang antropofilik ialah: Microsporum audoinii dan
Trichophyton rubrum.
CARA PENULARAN
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung melalui 3 cara
anthropofilik (penyebaran dari manusia ke manusia), zoofilik (penyebaran dari hewan ke
manusia) dan geofilik (penyebaran dari tanah, air dan udara ke manusia). Penularan langsung
dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang
atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur,
barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk
timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor:
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik atau
Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain
dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya : Trichophyton
rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatophyton floccosum paling sering menyerang lipat
pada bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih sulit untuk terserang jamur.
3. Faktor suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi
atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang
penyakit jamur ini.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering
ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang
dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan
hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktorfaktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya), serta pemakaian
pakaian yang serba nilon, dapat mempermudah penyakit jamur ini.
LOKASI
Secara etiologis dermatofitosis disebabkan oleh tiga genus dan penyakit yang
ditimbulkan sesuai dengan penyebabnya. Diagnosis etiologi ini sangat sukar oleh karena harus
menunggu hasil biakan jamur dan ini memerlukan waktu yang agak lama dan tidak praktis.
Disamping itu sering satu gambaran klinik dapat disebabkan oleh beberapa jenis spesies jamur,
dan kadang-kadang satu gambaran klinis dapat disebabkan oleh beberapa spesies dermatofita
sesuai dengan lokalisasi tubuh yang diserang.
Istilah Tinea dipakai untuk semua infeksi oleh dermatofita dengan dibubuhi tempat
bagian tubuh yang terkena infeksi, sehingga diperoleh pembagian dermatofitosis sebagai berikut:
1. Tinea kapitis : bila menyerang kulit kepala clan rambut
2. Tinea korporis : bila menyerang kulit tubuh yang berambut (globrous skin).
3. Tinea kruris : bila menyerang kulit lipat paha, perineum, sekitar anus dapat meluas
sampai ke daerah gluteus, perot bagian bawah dan ketiak atau aksila
4. Tinea manus dan tinea pedis : Bila menyerang daerah kaki dan tangan, terutama
telapak tangan dan kaki serta sela-sela jari.
5. Tinea Unguium : bila menyerang kuku
6. Tinea Barbae : bila menyerang daerah dagu, jenggot, jambang dan kumis.
7. Tinea Imbrikata : bila menyerang seluruh tubuh dengan memberi gambaran klinik
yang khas.
GEJALA KLINIK
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu bercakbercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga memberikan
kelainan-kelainan yang polimorf, dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang
bagian tengah tampak tenang .
Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk
maka papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit
dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis
(ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang berpigmentasi saja
(Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala pioderma
(impetigenisasi).
TINEA KAPITIS
(Scalp ring worm ;Tinea Tonsurans)
Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan melalui
binatang- binatang peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya.
Berdasarkan bentuk yangkhas Tinea Kapitis dibagi dalam 4 bentuk :
1. Gray pacth ring worm
Penyakit ini dimulai dengan papula merah kecil yang melebar ke sekitarnya dan
membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna rambut jadi abu-abu dan tidak
mengkilat lagi, serta mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga menimbulkan alopesia
setempat.
Dengan pemeriksaan sinar wood tampak flouresensi kekuning-kuningan pada rambut
yang sakit melalui batas "Grey pacth" tersebut. Jenis ini biasanya disebabkan spesies
Microsporum dan Trichophyton.
3. Kerion
Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai dengan radang yang hebat yang bersifat
lokal, sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang berkelompok dan kadang-kadang
ditutupi sisik-sisik tebal. Rambut di daerah ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini
pecah akan meninggalkan suatu daerah yang botak permanen oleh karena terjadi sikatrik. Bentuk
ini terutama disebabkan oleh Mikosporon kanis, M. gipseum , T.tonsurans dan T. Violaseum.
4. Tinea favosa
Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna
merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan (skutula), serta
memberi bau busuk seperti bau tikus "moussy odor". Rambut di atas skutula putus-putus dan
mudah lepas dan tidak mengkilat lagi. Bila menyembuh akan meninggalkan jaringan parut dan
alopesia yang permanen. Penyebab utamanya adalah Trikofiton schoenleini, T. violasum dan T.
gipsum.
Oleh karena Tinea kapitis ini sering menyerupai penyakit-penyakit kulit yang menyerang
daerah kepala, maka penyakit ini harus dibedakan dengan penyakit-penyakit bukan oleh jamur
seperti: Psoriasis vulgaris dan Dermatitis seboroika.
TINEA KORPORIS
(Tinea circinata=Tinea glabrosa)
Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang mengerti kebersihan dan
banyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat serta kelembaban kulit yang lebih
tinggi. Predileksi biasanya terdapat dimuka, anggota gerak atas, dada, punggung dan anggota
gerak bawah.
Bentuk yang klasik dimulai dengan lesi-lesi yang bulat atau lonjong dengan tepi yang
aktif. Dengan perkembangan ke arah luar maka bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat
memberi gambaran yang polisiklis, arsiner, atau sirsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan
tanda-tanda eritema, adanya papula-papula dan vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif
lebih tenang. Bila tinea korporis ini menahun tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya
hanya meningggalkan daerah-daerah yang hiperpigmentasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat
terjadibersama-sama dengan Tinea kruris.
3. Psoriasispustulosa
TINEA UNGUIUM
(Onikomikosis = ring worm of the nails)
Penyakit ini dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung jamur penyebab dan permulaan
dari dekstruksi kuku. Subinguinal proksimal bila dimulai dari pangkal kuku, Subinguinal distal
bila di mulai dari tepi ujung dan Leukonikia trikofita bila di mulai dari bawah kuku. Permukaan
kuku tampak suram tidak mengkilat lagi, rapuh dan disertai oleh subungual hiperkeratosis.
Dibawah kuku tampak adanya detritus yang banyak mengandung elemen jamur.
Onikomikosis ini merupakan penyakit jamur yang kronik sekali, penderita minta
pertolongan dokter setelah menderita penyakit ini setelah beberapa lama, karena penyakit ini
tidak memberikan keluhan subjektif, tidak gatal, dan tidak sakit. Kadang-kadang penderita baru
datang berobat setelah seluruh kukunya sudah terkena penyakit.
Penyebab utama adalah : T. rubrum, T. mentagrophytes.
TINEA BARBAE
Penderita Tinea barbae ini biasanya mengeluh rasa gatal di daerah jenggot, jambang dan
kumis, disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi putus. Ada 2 bentuk yaitu superfisialis dan
kerion
1) Superfisialis
Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papel dan skuama yang mula-mula kecil
selanjutnya meluas ke arah luar dan memberi gambaran polisiklik, dengan bagian tepi yang aktif.
Biasanya gambaran seperti ini menyerupai tinea korporis.
2) Kerion
Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi krusta atau abses kecil
dengan permukaan membasah oleh karena erosi.
Tinea barbae ini didiagnosa banding dengan :
1. Sikosis barbae (folikulitis oleh karena piokokus)
2. Karbunkel
3. Mikosis dalam
TINEA IMBRIKATA
Penyakit ini adalah bentuk yang khas dari Tinea korporis yang disebabkan oleh Trikofiton
konsentrikum. Gambaran klinik berupa makula yang eritematous dengan skuama yang
melingkar.
Apabila diraba terasa jelas skuamanya menghadap ke dalam. Pada umumnya pada bagian
tengah dari lesi tidak menunjukkan daerah yang lebih tenang, tetapi seluruh makula ditutupi oleh
skuama yang melingkar. Penyakit ini sering menyerang seluruh permukaan tubuh sehingga
menyerupai :
1. Eritrodemia
2. Pempigus foliaseus
3. Iktiosis yang sudah menahun
Diagnosis
Pemeriksaan mikologik dapat membantu dalam menegakan diagnosis. Pemeriksaan
dalam menentukan diagnosis infeksi dermatofitosis terdiri dari pemeriksaan langsung sediaan
basah dan biakan.
Pemeriksaan langsung
Pengambilan spesimen
Pengambilan
specimen
dimulakan
dengan
membersihkan
lokasi
lesi
dengan
alcohol/spiritus 70%. Untuk pengambilan specimen pada kulit tidak berambut (kulit glabrosa)
pengerokan dilakukan dari bagian tepi lesi sampai ke bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit
menggunakan skapel tumpul steril. Untuk pengambilan spesimen di kulit berambut, rambut pada
kulit yang mengalami kelainan dicabut dan kulit di bagian itu dikerok untuk mengumpulkan sisik
kulit dan pus. Dalam pengambilan specimen di kuku, spesimen diambil dari permukaan kuku
yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku dan bahan di
bawah kuku diambil.
Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dimulai dengan penyediaan slide, bahan diletakan di atas gelas
alas kemudian di tambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut
adalah 10%, untuk kulit 20% dan untuk kuku 30%. Setelah sediaan dicampurkan dengan larutan
KOH, sediaan ditunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepatkan proses
pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah dia atas api kecil sehingga berlaku
penguapan. Untuk melihat elemen jamur ditambahkan zat pewarna pada sediaan KOH, tinta
parker blue-black. Elemen jamur dapat diperhatikan di bawah mikroskop cahaya dengan
pembesaran 100x dan 400x.
Pada sediaan kuku dan kulit dapat dilihat hifa sebagai garis sejajar terbahagi oleh sekat
lengkap dan bercabang. Terlihat juga spora berderet (artrospora).Pada sediaan rambut terlihat
spora kecil (mikrospora) dan spora besar (makrospora). Spora yang kelihatan bisa tersusun di
luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat hifa pada
sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan pembiakan
Pemeriksaan pembiakan dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan sediaan
langsung dan menentukan spesies dermatofita.Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam
bahan klinis dalam media buatan, medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada medium ditambahkan
bisa menolong. Pencabutan kuku jari kaki dengan operasi, bersamaan dengan terapi griseofulvin
sistemik, merupakan satu-satunya pengobatan yang bisa diandalkan terhadap onikomikosis jari
kaki.
Terapi sistemik
Pengobatan sistemik pada umumnya mempergunakan griseofulvin. Griseofulvin adalah
suatu antibiotika fungisidal yang dibuat dari biakan spesies penisillium. Obat ini sangat manjur
terhadap segala jamur dermatofitosis. Griseofulvin diserap lebih cepat oleh saluran pencernaan
apabila diberi bersama-sama dengan makanan yang banyak mengandung lemak, tetapi absorpsi
total setelah 24 jam tetap dan tidak dipengaruhi apakah griseofulvin diminum bersamaan waktu
makan atau diantara waktu makan.
Dosis rata-rata orang dewasa 500 mg per hari. Pemberian pengobatan dilakukan 4 x
sehari, 2 x sehari atau sekali sehari. Untuk anak-anak dianjurkan 5 mg per kg berat badan dan
lamanya pemberian adalah 10 hari. Salep ketokonasol dapat diberikan 2 x sehari dalam waktu 14
hari.
PROGNOSIS
Perkembangan penyakit dermatofitosis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan penyebab
penyakitnya disamping faktor-faktor yang memperberat atau memperingan penyakit. Apabila
faktor-faktor yang memperberat penyakit dapat dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang
sempurna.
Terapi Topikal
Hanya sebagai adjuvant
Terapi Sistemik
Dewasa :
minggu)
Ketoconazole 2%
Tinea Barbae
/ Cruris
Imidazole
Tolnaftate
Butenafine
Flukonazol
Ciclopirox
minggu)
150-300
mg/minggu
(4-6
minggu)
Dewasa :
Manum
Imidazole
Ciclopirox
Benzylamine
Tolnaftat
Anak :
Undecenoic Acid
Ciclopirox
Amorolfine
Onikomikosis
bulan)
Anak :
Terbinafin
3-6
mg/KgBB/hari
(6-12
minggu)
Itrakonazole 5 mg/KgBB/hari (2-3 bulan)
Fluconazole
mg/KgBB/minggu
(3-6
bulan)
Golongan Allylamines
Golongan Benzylamines
Golongan Polyenes
Antijamur topical golongan lainnya
Indikasi Penggunaan
Imidazole topical
Dermatofitosis
- Tinea pedis / tinea manus
- Tinea kruris
- Tinea korporis
- Tinea fasialis
Pitiriasis Versikolor
Candidiasis Mukokutaneus
- Kandidiasis kutaneus
- Kandidiasis vulvovaginalis
- Kandidiasis oral
- Perleche
Dermatitis Seboroik
Indikasi Penggunaan
Allylamine & Benzylamines topikal
Dermatofitosis
- Tinea pedis / tinea manus
- Tinea kruris
- Tinea korporis
- Tinea fasialis
Pitiriasis Versikolor
9 A. Jelaskan sediaan generic dan paten cream, po, topikal, injeksi untuk antihistamin
Antihistaminika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamine yang berlebihan atas tubuh dengan jalan memblock reseptor-reseptor histamine
(penghambat saingan).
Semula hanya dikenal satu jenis histaminika, tetapi setelah diketemukannya jenis reseptor
khusus pada tahun 1972 yang disebut reseptor-H2, maka dapat dibedakan dua jenis
antihistaminika,yakni :
a. H1-blockers atau antihistaminika-H1 yang memblock reseptor H1,dengan efek terhadap
penciutan bronchi, usus, dan rahim, terhadap ujung saraf (vasodilatasi, naiknya
permeabilitas). Kebanyakan antihistaminika termasuk kelompok ini.
b. H2-blockers atau histaminika-H2 yang khusus memblok reseptor-H2 dengan efek terhadap
hipersekresi asam klorida dan untuk sebagian terhadap vasodilatasi dan turunnya tekanan
darah. Kini baru digunakan dua obat dari kelompok ini dalam terapi.
Penggolongan Antihistamin (AH1), Dengan Masa Kerja, Bentuk Sediaan dan Dosisnya
Golongan
obat
contohnya
(jam)
1.Etalonamin
4-6
Difenhindramin HCl
Dimenhidrinat
Karbinoksamin maleat
Dosis
Tunggal
Dewasa
Kapsul 25mg dan 50mg. eliksir 5mg- 50 mg
10mg/ml,
4-6
3-4
50 mg
Tablet 50mg
50 mg
50 mg
4 mg
50 mg
2.Etilendiamin
Tripenelamin HCl
4-6
Krem 2% ; saleb 2%
Tripenelamin sitrat
4-6
75 mg
Pirilamin maleat
4-6
25-50 mg
4-6
4 mg
4-6
2-4 mg
4-6
Tablet 4mg
2-4 mg
Klorsiklizin HCl
8-12
50 mg
Siklizin HCl
4-6
Tablet 50mg ;
50 mg
50-100 mg (rektal)
3.Alkilamin
Bromfeniramin maleat
Klorfeniramin maleat
Deksbromfeniramin
maleat
4.Piperazin
50 mg
Siklizin laktat
4-6
25-50 mg
Meklizin HCl
12-24
Tablet 25 mg
25 mg
Hidroksizin HCl
6-24
5.Fenotiazin
Prometazin HCl
MetadilazinHCl
6.Piperidin
4-6
4-6
25-50 mg
25-50 mg
25-50 m
(Antihistamin
Nonsedatif)
Terfenadine
12-24
Tablet 50 mg
60 mg
Astemizol
<24
Tablet 10 mg
10 mg
Loratadine
12
Tablet 10 mg
10 mg
Azatadin
12
1 mg
Siproheptadine
4 mg
Tablet 50 mg
50-100 mg
7.Lain-Lain
Mebhidrolin napadisilat 4
yang
disertai
pelepasan
histamine
endogen
berlebihan.
Bronkokonstriksi,
peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamine dapat dihambat dengan baik.
Mekanisme aksi dari antihistamin diantaranya adalah:
-
sistem kekebalan, yang tersusun secara berlapis, dengan sasaran mempertahankan keseimbangan
antara lingkungan di luar dan didalam. Alat pertahanan itu antara lain kulit, selaput lender, batuk,
flora normal, dan berbagai sel seperti limfosit T (sel T) dan limfosit B (sel B) dalam jaringan .
Manfaat :
1. Meningkatkan wawasan mahasiswa mengenai Terapi Pengobatan.
2. Menambah Pengetahuan Mahasiswa mengenai Pengobatan Anti histamine dan anti alergi
Meknisme pertahanan itu disebut sebagai inflamasi yang dirasakan sebagai kemerahan,
sembab, demam, dan nyeri. Antihistamin disebut sebagai anti-alergi karena alergi juga
menimbulkan inflamasi. Ia adalah reaksi yang berlebihan dari sistem pertahanan tubuh terhadap
gangguan dari luar, baik makanan, obat, maupun udara dingin. Salah satu alat serang yang
dilepas tubuh ke dalam pembuluh darah
adalah histamine kontraksi atau menciutnya berbagai alat vital, sperti
bronkus dan usus, serta peningkatan sekresi mucus atau lender dan resistansi saluran napas.
Penggolongan Obat Antihistamin Dan Antialergi
Antagonis Reseptor H-1 :
1. Chlorpheniramine (ctm)
2. Cetirizine (incidal)
3. Chlopromazine
4. Cyproheptadine (ennamax, pronyci)
5. Dexchlorpheniramine (polofar)
6. Diphenhydramine (benadryl)
7. Loratadine (aloris)
8. Fexofenadine
9. Triprolidine (grafed)
1. Chlorpheniramine CTM
Chlorphenirmengandung chlorpheniramine maleate. Chlorpheniramine maleate termasuk
dalam
kategori
agen
antialergi,
yaitu
histamin
(H1-receptor
antagonist).
Chlorpheniramine maleate memiliki nama kimia 2-Pyridinepropanamine, b-(4-chlorophenyl)N,N-dimethyl. Obat ini biasa digunakan untuk meredakan bersin, gatal, mata berair, hidung atau
tenggorokan gatal, dan pilek yang disebabkan oleh hay fever (rinitis alergi), atau alergi
pernapasan lainnya.
Indikasi:
Kondisi alergi Bersin, gatal, mata berair, hidung atau tenggorokan gatal, dan pilek yang
isebabkan oleh hay fever (rinitis alergi), atau alergi pernapasan lainnya. Syok anafilaktik
Dosis:
-
Efek Samping:
-
Sedasi, gangguan gastro intestinal, efek muskarinik, hipotensi, kelemahan otot, tinitus,
eufria, sakit kepala, merangsang susunan saraf pusat, reaksi alergi, kelainan darah
Bephenon, Bernamin,
Ceteem,
Iphachlor,
Metasma,
Kalphenon,
Kalphenon,
Metachlor,
M-Phenon,
Orphen,
Betarhin (Mahakam BF), Cerini (Sanbe), Cetinal (Kalbe Farma), Cetrixal (Sandoz), *Cirrus
(UCB Pharma), Estin (Gracia Pharmindo), Falergi (Fahrenheit), Histrine (Ferron), Incidal-OD
(Bayer Schering Pharma), Intrizin (Interbat), Lerzin (Ifars), Ozen, (Pharos), Risina (Tempo SP),
Rydian (Guardian Ph), Ryvel (Novell Pharma), Ryzen (UCB Pharma), Ryzicor ((Pharmacore),
Ryzo (Soho)
3. Chlopromazine
Chlorpromazine merupakan obat antipsikotik turunan phenotiazine. Mekanisme kerjanya
secara pasti tidak diketahui. Prinsip efek farmakologinya adalah sebagai psikotropik dan ia juga
mempunyai efek sedatif dan anti-emetik. Chlorpromazine bekerja pada taraf susunan saraf pusat,
terutama
pada
tingkat
subkortikal
maupun
pada
berbagai
sistem
organ.
Chlorpromazine mempunyai efek anti-adrenergik kuat dan antikolinergik perifer lemah, serta
efek penghambatan ganglion yang relatif lemah. Ia juga mempunyai efek antihistamin dan
antiserotonin lemah.
Indikasi
- Mengendalikan mania, terapi shcizofrenia, mengendalikan mual dan muntah,
- menghilangkan kegelisahan dan ketakutan sebelum operasi, porforia intermiten akut,
- Terapi tambahan pada tetanus. Cegukan tidak terkontrol,
- Perilaku anak 1-12 tahun yang ekplosif dan mudah tersinggung dan terapi jangka pendek
untuk anak hiperaktif.
Dosis:
Untuk anak :
Oral : 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam; Anak yang lebih tua mungkin membutuhkan 200
mg/hari atau lebih besar im, iv: 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 6-8 jam,
< 5 tahun (22,7 kg): maksimum 75 mg/hari
Dewasa :
Oral : 30-2000 mg/hari dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan dosis rendah, kemudian
sesuaikan dengan kebutuhan.
Dosis lazim : 400-600 mg/hari,
beberapa pasien membutuhkan 1-2 g/hari. im.,iv.: awal: 25 mg, dapt diulang 25-50 mg ,
dalam 1-4 jam, naikkan bertahap sampai maksimum 400 mg/dosis setiap 4-6 jam sampai
pasien terkendali;
nafsu makan, tetapi banyak efek samping lain yang lebih berbahaya, seperti hipertensi, diabetes,
depresi, katarak, osteoporosis, sakit ulkus peptik (maag), dll. Oleh karena itu obat ini tidak
pernah diajurkan untuk dipakai sebagai perangsang nafsu makan.
Dosis:
Untuk dewasa:
Oral: 0.5 mg - 10 mg per hari
(rata-rata 1.5 mg - 3 mg per hari)
Parenteral: 5 mg - 40 mg per hari
Untuk keadaan yang darurat diberikan intra vena atau intra muskular.
Anak-anak: 0.08 mg - 0.3 mg/kg berat badan/perhari dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
Efek Samping:
Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik steroid
seperti kehabisan protein, osteoporosis dan penghambatan pertumbuhan anak.
Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan
dengan beberapa glucocorticoid lainnya.
Contoh ketersediaan dagangannya : Asammefenamat, Pronicy
5. Dexchlorpheniramine (polofar)
Indikasi: Demam
tenggorokan,
asma
parah
dengan
peradangan
selaput
lendir
hidung
dan
hidung karena alergi, peradangan kulit yang disebabkan oleh alergi melalui pernafasan atau
makanan (eksim) dan sentuhan, hasil ikutan yang ditimbulkan oleh obat-obat tertentu atau serum,
peradangan selaput lendir mata karena alergi, peradangan kornea, nongranulomatous iritis dan
lain-lain taraf peradangan padagangguan mata.
Dosis:
Dewasa:
Permulaan rata-rata: 4 x sehari 1 atau 2 tablet sesudah makan dan sebelum tidur.
Bila penyembuhan sudah tampak, dosis lambat laun harus dikurangi dan
pengobatan dihentikan bila mungkin.
Anak : 3 - 4 x 1/2 tablet sesudah makan dan sebelum tidur.
gangguan
saluran
cerna,
efek
antimuskarinik,
hipotensi,
kelemahan otot, tinnitus,euforia, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi, kelainan darah
Contoh ketersediaan dagangannya :
Actifed,
Alerfed,
Crofed,
Flutrop,
Grafed,
Lapifed,
Librofed,
Mertisal,
Protifed,
Nichofed, Nostel, Protifed, Quantidex, Tremenza, Trifed, Trifedrin, Valved, Zentra, Alco Plus,
Aldisa SR, Bodrexin Pilek Alergi, Cirrus, Rhinofed, Rhinos Junior, Rhinos SR, Clarinase,
Cronase, Fexofed, Telfast Plus, Triaminic Pilek, Nalgestan
6. Diphenhydramine (benadryl)
Difenhidramin merupakan generasi pertama obat antihistamin. Dalam proses
terapi difenhidramin termasuk kategori antidot, reaksi hipersensitivitas, antihistamin dan
sedatif.
Memiliki
sinonim
Diphenhydramine
HCl
dan
digunakan
untuk
mengatasi
gejala alergi
pernapasan dan alergi kulit, memberi efek mengantuk bagi orang yang sulit tidur, mencegah
mabuk perjalanan dan sebagai antitusif, anti mual dan anestesi topikal.
Indikasi:
Ekspektoran (peluruh dahak) dan antitusif untuk menghilangkan batuk akibat pilek atau alergi.
Dosis:
Dewasa : 3-4 kali sehari 1-2 sendok teh.
Anak-anak : 3-4 kali sehari -1 sendok teh.
Efek samping :
Mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan saluran pencernaan.
Contoh ketersediaan dagangannya :
Actifed Expectorant, Allerin Expectorant, Bufagan Expectorant, OBB, Triadex Expectoran
7. Loratadine (aloris)
Indikasi
- Mengurangi gejala-gejala yang berkaitan dengan rhinitis alergik, seperti bersin-bersin, pilek,
dan rasa gatal pada hidung, rasa gatal dan terbakar pada mata.
- Juga mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda urtikaria kronik serta penyakit
- dermatologik alergi lain.
Dosis
- Dosis Dewasa, usia lanjut, anak 12 tahun tahun atau lebih : 10 mg (1 tablet) sehari sekali.
- Anak-anak usia 2 12 tahun : BB > 30 kg, 10 mg sehari. BB 30 kg, 5 mg sehari.
- Khasiat dan keamanan penggunaan pada anak-anak usia dibawah 2 tahun belum terbukti.
Efek samping
Loratadine tidak memperlihatkan efek mengantuk yang secara klinis bermakna pada pemberian
dosis 10 mg perhari. Efek samping loratadine yang pernah dilaporkan : lelah, sakit kepala,
somnolensi, mulut
kering, gangguan pencernaan, nausea, gastritis dan alergi yang punya ruam
ernah dilaporkan terjadinya alopesia, anafilaksis, fungsi hati abnormal dan takiaritmia
supraventrikuler walaupun jarang.
Contoh ketersediaan dagangannya :
Alernitis,
Allohex,
Alloris,
Anhissen,
Anlos,
Clarihis,
Claritin,
Cronitin,
Hislorex,
Histaritin, Imunex, Inclarin, Klinset, Lergia, Lesidas, Lolergi, , Loran, Lorapharm, Loratadine,
Lorihis, Nosedin, Prohistin, Rahistin, Rihest, Safetin, Sohotin, Tinnic, Winatin
8. Fexofenadine
Indikasi :
Meredakan gejala-gejala yang berhubungan dengan alergi seperti rinitis alergika &
urtikaria (biduran/kaligata) idiopatik kronik pada orang dewasa & anak berusia 12 tahun atau
lebih.
Dosis :
Dewasa & anak 12 tahun : 1 kali sehari 1 tablet
Efek samping : sakit kepala, mengantuk, mual,pusing,lelah
9. Triprolidine (grafed)
Indikasi :
Meringankan gejala-gejala flu karena alergi pada saluran pernapasan bagian atas yang
memerlukan dekongestan nasal dan antihistamin.
Dosis:
Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet atau 10 ml, 3 4 kali sehari.
Anak-anak 6 12 tahun : tablet atau 5 ml, 3-4 kali sehari.
makan
dan berat
lebih
sering
terj badan
H2-receptorblockers
Obat-obat dari kelompok ini menghambat secara selektif efek histamine terhadap
reseptor-H2 dilambung dengan jalan persaingan. Mereka khusus digunakan pada terapi borok
lambung dan usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin.
ditemukan
dalam
tahun
1982
(Black)
ternyata
Zat-zat
tidak
cocok
yang
pertama
untuk
praktek,
yaitu burimamida dengan kerja lemah dan resorpsi buruk, serta metiamida karena resorpsinya
meskipun baik, namun toksis bagi darah. Yang kini digunakandalam terapiadalah obat-obat
baru simetidin (1978) dan ranitidine (1982).
Penggolongan
Menurut struktur kimianya antihistaminika dapat dibagi dalam beberapa kelompok, antara lain :
1. Devirat-devirat Etanolamin (X=0)
Zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat
a. Diferenhidramin : Benadryl(P.D) disamping daya antikolinergik dan sedative yang kuat,
antihistamin ini juga bersifat spasmolitik, anti-emetik & antivertigo (pusing-pusing).
Berguna sebagai obat tambahan pada penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat
anti gatal pada urticaria akibat alergi. Dosis: oral 4xsehari 25-50mg, i.v.10-50mg
50mg.
4-metildifenhidramin (Neo-Benodin) lebih kuat sedikit dari zat induknya. Digunakan
dari
3. Devirat-devirat Propilamin (X=C) Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistaminic
kuat.
a. Feniramin : Avil (Hoechst)
Zat ini berdaya antihistaminic baik dengan efek meredakan batuk yang cukup baik,
maka digunakan pula dalam obat-obat batuk. Dosis oral 3x sehari 12,5-25mg (maleat) pada
malam hari atau 1x 50mg tablet retart; i.v. 1-2x sehari 50mg; krem 1,25%.
-
aktif,
maka2
kali
lebih
kuat
daripada
bentuk
dl
(rasemis)
nya
:dexklorfeniramin (Polaramin, scering). Dosis: 3-4 kali sehari 3-4 mg (dl, maleat) atau 3-4
kali sehari mg (bentuk-d).
- Bromfeniramin (komb. Ilvico, Merck) adalah derivat brom yang sama kuatnya dengan
klorfenamin, padamana isomer-dextro juga aktif dan isomer-levo tidak. Juga digunakan
sebagai obat batuk. Dosis: 3-4 kali sehari 3 mg (maleat).
b. Tripolidin: Pro-Actidil (Wellcome)
Derivat dengan rantai-sisi pirolidin ini berdaya agak kuat, mulai kerjanya pesat dan
bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard). Dosis: oral 1 kali sehari 10 mg
(klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
4. Derivat-derivat piperazin
Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan piperazin. Pada umumnya
bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.
a. Siklizin: Marzine (Wellcome)
Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama digunakan
sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Pada binatang percobaan siklizin dan
meklozin bekerja teratogen. Berdasarkan sifat ini peredarannya di Indonesia dilarang
sejak bulan Januari 1963, meskipun pada manusia efek teratogen belum pernah
dibuktikan. Namun demikian obat-obat ini sebaiknya jangan diberikan pada wanita hamil
selama trimester pertama.
umum,
kadang-kadang
terjadi
hipotensi,
Dahulu sering digunakan pada terapi pemeliharaan terhadap asma, tetapi sudah terdesak
oleh obat-obat yang lebih efektif.
Oksomemazin (Doxergan,R.P)adalah derivate di-oksi (pada atom S) denagn kerja dan
penggunaan sama dengan prometazin, antara lain dalam obat batuk (komp
Toplexi). Dosis oral 2-4 kali sehari 5-10mg.
Alimemazin (Nedeltran) adalah analog etil dengan efek anti serotonin dan daya
neuroleptik cukup baik. Digunakan pada urticaria dan digunakan sebagai obat
menidurkan anak-anak, ada kalanya juga pada psikosis ringan. Dosis oral 2-4 kali sehari
5-10mg.
Fonazin (Dimetiotiazin, Migristene, R.P.) adalah derivate sulfonamide dengan efek
antiserotonin kuat yang dianjurkan pada terapi interval migraine. Dosis oral 3-4 kali
sehari 10mg.
b. Isotipendil : Andantol (Homburg)
Derivate azo-fenotiazin ini kerjanya lebih pendekdari prometazin dengan efek sedative
lebih ringan. Dosis oral 3-4 kali sehari 4-8mg, i.m. atau i.v. 10mg.
- Mequitazin (Mircol, ACP) adalah derivate prometazin dengan rantai sisi heterosiklik
dengan kerja lebih panjang daripada prometazin. Mulai kerjanya juga cepat, efek-efek
neurologinya lebih ringan. Digunakan pada hay fever, urticaria dan reaksi-reaksi alregi
lainnya. Dosis oral 2 kali sehari 5mg.
- Metdilazin (Ticaryl, M.J.) adalah derivate heterosiklik pula (pirolidin) dengan efek
antiserotonin kuat. Terutama dianjurkan pada urticaria.Dosis oral 2 kali sehari 8 mg.
6. Derivat-derivat Trisiklik Lainnya
Sejumlah antihistaminika memiliki rumus dasar yang terdiri atas suatu cincin tujuh yang
terikatpada dua cincin-enam di kanan dan kiri. Zat-zat ini memiliki daya antiserotonin kuat
dan daya menstimulasi nafsu makan. Penggunaannya terutama sebagai stimulan nafsu makan
dan pada urticaria, juga sebagai obat interval pada migraine.
-
digunakan pada profilaksis hay fever dan pada urticaria. Dosis oral 2 kali sehari 1 mg.
Pizotifen : Sandomigran/Mosegor (Wander)Zat ini memiliki struktur yang menyerupai
siproheptadin, juga daya kerja dan penggunaannya sama. Selain itu juga digunakan pada
terapi interval migraine. Dosis oral semula 1kali sehari 0,5mg (maleat), berangsur-angsur
7. Zat-zat non-Sedatif
Antihistaminika dari generasi kedua memiliki daya antihistamin tanpa efek sedativehipnotik. Maka layak sekali diberikan pada pasien-pasien yang pada siang hari harus waspada
(alert), seperti sopir-sopir kendaraan bermotor.
-
Astemizol : Hismanal (Janssen) Senyawa flour baru ini (1985) berdaya histamine kuat
tanpa efek-efek sentral dan antikolinergik pula. Penggunaan dan efek-efek samping sama
dengan terfenadine, penambahan berat badan telah dilaporkan. Jangka waktu kerjanya
panjang sekali. Dosis 1kali sehari 10mg sebelum makan.
8. Sisanya
b. Mebhidrolin : Incidal (Bayer) digunakan pada pruritus, dosisnya 2-3 kali sehari 50mg.
c. Dimetinden : Fenistil juga dianjurkan pada pruritus, dosisnya 3 kali sehari 1-2mg
(maleat)
d. Difenilpiralin : Piprinhidrinat, Kolton (BYK) Lergon (Riker)digunakan pada rhinitis
alergis, dosisnya 6kali sehari 2 mg atau 2kali sehari 5mg retard(HCl).
Topikal
Pada kulit kepala, muka dan daerah lipatan digunakan krim, dan ditempat lain digunakan
salep. Pada daerah muka, lipatan, dan genitalia eksterna dipilih potensi sedang misalnya
Triamcinolon acetoninide. Jika diberikan potensi kuat pada mata dapat memberikan efek
samping diantaranya teleangiektasis, sedangkan di lipatan berupa stria attrifikans. Pada batang
tubuh dan ekstremitas digunakan salep dengan potensi kuat bergantung pada lama penyakit. Jika
telah terjadi perbaikan maka potensinya harus dikurangi.
c) Antralin
Antralin merupakan obat lama untuk mengobati psoriasis ringan sampai sedang. Antralin
mempunyai efek anti mitotik dan menghambat beberapa enzim yang terlibat di dalam proliferasi
epidermal.
Obat ini dikatakan efektif tetapi bersifat iritatif dan kekurangan lainnya ialah mewarnai
kulit dan pakaian. Konsentrasi 0,1 sampai 1% dengan kontak singkat (15-30 menit) untuk
mencegah iritasi. Digunakan setiap hari mampu membersihkan lesi psoriasis. Efek samping yang
dijumpai adalah iritasi. Sediaan ini banyak diterima oleh pasien karena pemakaiannya malam
hari. Penyembuhan dalam 3 minggu. Untuk penggunaan 24 jam dapat digunakan 0,1%, jika tidak
terdapat efek samping konsentrasinya dapat ditingkatkan, setiap3-4 hari, dan maksimum sampai
1%. Antralin digunakan hanya pada plak yang kronik. Pengobatan psoriasis dengan antralin
memberikan efek yang maksimal ketika dikombinasikan dengan UVB.
d) Calcipotriol
Calcipotriol merupakan sintetik dari vitamin D, preparatnya berupa salep atau krim.
Calcipotriol merupakan pilihan utama atau kedua dalam pengobatan psoriasis. Walaupun tidak
seefektif kortikosteroid superpoten, obat ini hanya memiliki sedikit efek samping. Obat ini
mampu mengobati psoriasis ringan sampai sedang. Mekanisme kerja sediaan ini adalah antiproliferasi keratinosit, menghambat proliferasi, dan meningkatkan diferensiasi sel, juga
menghambat produksi sitokin yang berasal dari keratinosit maupun limfosit. Respon terapi
terlihat setelah dua minggu pengobatan, respons maksimal baru terlihat setelah 6-8 minggu.
Reaksi iritasi dapat mengawali keberhasilan terapi, tetapi ada pula yang tetap teriritasi dalam
pemakaian ulangan. Walaupun lesi dapat menghilang sempurna, tetapi eritema dapat bertahan.
terjadi adalah kenaikan lipid serum terutama trigliserida. Efek samping yang juga mungkin
muncul adalah osteoporosis, kalsifikasi ligamen, dan hiperostosis skeletal. Pemakaian obat
dengan pemantauan yang teliti dapat mengurangi efek samping.
e. Siklosporin
Siklosporin merupakan pengobatan yang sangat efektif pada penyakit psoriasis. Obat ini
menghambat calcineurin fosfatase dan transkripsi IL-2 pada sel T, juga menghambat presentasi
antigen oleh sel Langerhans dan degranulasi sel mast yang dimana hal itu berkontribusi pada
patogenesis terjadinya psoriasis. Siklosporin dalam bentuk mikroemulsi lebih baik diserap oleh
lambung daripada jenis sebelumnya. Dosis rendah 2,5 mg/kgBB/hari dipakai sebagai terapi awal
dengan dosis maksimum 4 mg/kgBB/hari.
Hipertensi dan disfungsi ginjal adalah efek samping yang harus diperhatikan dalam
penggunaan silosporin. Efek samping ini merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah ke
ginjal dan efek toxic pada sel-sel ginjal. Perubahan anatomik yang dapat terjadi antara lain
fibrosis intestinal, atrofi tubular, arteriolpati. Biasa terjadi pada pasien yang mengkonsumsi
siklosporin jangka panjang ( 1 tahun).
Efek samping umum yang mungkin muncul adalah intoleransi gastrointestinal yang
bermanifestasi diare, mual, muntah, nyeri abdominal dan penekanan sumsum tulang. Siklosporin
sangat efektif untuk segala bentuk psoriasis tetapi dengan mempertimbangkan berbagai efek
samping dan kurangnya pengalaman, obat ini jarang dipakai oleh dermatologis. Bersifat
nerotoksik dan hepatotoksik.
3.
Fototerapi
Sinar ultravioet mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan untuk
pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara alamiah, tetapi sayang
tidak dapat diukur dan jika berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan
sinar ultraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat
digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen, metoksalen)
dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara
Goeckerman. PUVA efektif pada 85 % kasus ketika psoriasis tidak berespon terhadap terapi yang
lain.
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek sinergik.
Diberikan 0,6 mg/kgBB secara oral 2 jam sebelum penyinaran ultraviolet. Dilakukan 2x
seminggu, kesembuhan terjadi 2-4 kali pengobatan. Selanjutnya dilakukan pengobatan rumatan
(maintenance) tiap 2 bulan. Efek samping overdosis dari fototerapi berupa mual, muntah, pusing
dan sakit kepala. Adapun kanker kulit (karsinoma sel skuamosa) yang dianggap sebagai resiko
PUVA masih kontroversial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah. Urtikaria. Dalam : Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Jakarta :
FKUI. 2005: 169-76.
2. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima: Balai
Penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007
3. Siregar, R.S., 2005, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
4. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran:Jilid 2, 3 rd Ed. Jakarta. Media
Aesculapius FKUI. 2007
5. Melton
CD.
Herpes
Zoster.
eMedicine
World
Medical
Library:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic823.htm
6. Wolff K, Johnson RA. Editors. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. USA: McGraw Hill. 2009. Page: 770-850
7. Grant-Kels JM. Editor. Color Atlas of Dermatopathology. USA: Infroma Healthcare
USA. 2007.
8. Crowe,
Mark
A.
Molluscum
Contagiosum.
http://emedicine.medscape.com/article/910570 -overview.
9. Brown ST, Nalley JF, Kraus SJ. Molluscum contagiosum. Sex Transm Dis. Jul-Sep
1981;8(3):227-34
10. Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Dalam : Freedberg, Eisen, Wolff, Austen.
Fitzpatricks Dermatology In Genereal Medicine. Edisi 6. New York : McGraw-Hill Inc.
2003: 122-45.
11. Hall. Vascular Dermatoses. Dalam : Hall. Gordon. Sauers Manual of Skin Disease. Edisi
8. London : Lippincott William & Wilkins. 2000 : 19-41.
12. Habif. Urticaria. Dalam : Baxter. Clinical Dermatology. Edisi 3. USA : Mosby-year Book
Inc. 1996 : 145-67.
13. Daili, E.S.S., Menaldi S.L. dan Wisnu, I.M., 2005, Penyakit Kulit Yang Umum Di
Indonesia Sebuah Panduan Bergambar, PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta
14. Richard B., William D. dan Timothy G. Andrews Diseases of the Skin
Clinical Dermatology. 9th Ed. W.B. Saunders Company. New York. 2000.