Disusun oleh
Bayu Septia Ramdani (202201010)
Gigitan ular (snack Bite) adalah sebuah penyakit lingkungan yang diakibatkan
oleh sebuah gigitan ular yang sangat berbisa yang bisa menimbulkan kematian pada
semua makhluk hidup atau manusia. Di karenakan ular yang berbisa kaya akan racun
peptida dan protein yang dapat mematikan reseptor jaringan pada daerah yang tergigit
tersebut (Warrel, 2010). (Bawaskar, 2015) menambahkan gigitan ular sering terjadi
umunya di bagian tangan dan kaki manusia, jika salah dalam mengantisipasi gigitan
ular dapat mengancam jiwa dan menimbulkan kematian.
RESPON TIME: Penyebaran racun ular di dalam tubuh memang sangat cepat. Sekitar 15-
30 menit setelah digigit ular berbisa, kamu bisa merasakan sakit dan panas seperti terbakar di
lokasi gigitan. Area luka juga bisa mengalami bengkak dan memar
B. Etiologi
Terdapat tiga famili ular yang berbisa, yaitu elapidae, hidrofidae, dan viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak
bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap di lokasi pada anggota badan
yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa elapidae tidak terdapat lagi di lokasi gigitan
dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic), bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada
mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (neuro toxic) yaitu bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda
kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis).
Penyebaran dan peranan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan
dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh ialah melalui pembuluh
limfe.
3. Bisa ular yang bersifat myotoksin, mengakibatkan rabdomiolisis yang
sering berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang
menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel
otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin merusak serat-serat otot jantung yang
menimbulkan kerusakan otot jantung.
5. Bisa ular yang bersifat sytotoksin, dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Bisa ular yang bersifat sytolitik, zat ini yang aktif menyebabkan peradangan
dan nekrosis di jaringan pada tempat gigitan.
a. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel
berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan
merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling
tebal pada telapak tangan dan kaki.Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari
seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri
atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam):
1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan
berganti.
2. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit
tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum GranulosumDitandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berSSSkas filament yang dinamakan
tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting
untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut. sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel
Langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang
hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis. diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu
lapis sel yang mengandung melanosit, Fungsi Epidermis Proteksi barier,
organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi
sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
b. Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai
"True Skin" Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang
paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.
Dermis terdiri dari dua lapisan: Lapisan papiler, tipis mengandung
jaringan ikat jarang. Lapisan retikuler, tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal,
kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai
dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan
serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan
kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai
banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat
epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat
Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis.
Fungsi Dermis struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi,
menahan shearing forces dan respon inflamasi.
c. Subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya
berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu.
Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
Fungsi Subkutishipodermis melekat ke struktur dasar, isolasi panas,
cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.
2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai
barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan
metabolisme.Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari
elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi
kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada
daerah bibir, puting dan ujung jari
Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses
keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa
bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah
kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian
tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara
mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada
temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang
kemudian akan mempertahankan panas.
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis
tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan
vitamin.
D. Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut
bersifat :
1. Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau Sentral. Berakibat fatal
karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot
pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun
sampai dengan koma.
2. Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolifase dan enzim
lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin.
Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin.
Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah haematom pada
tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
3. Myotoksin: mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
4. Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan
kerusakan otot jantung.
5. Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya
berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrosis di
jaringan pada tempat patukan.
7. Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran
bisa.
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksin tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai sistem. Seperti,
sistem neurologis, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada gangguan sistem
nurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem
pernapasan yang dapat mengakibatkan edema pada saluran pernafasan, sehingga
menimbulkan kesulitan untuk bernafas. Pada sistem kardiovaskuler kromatoksik
mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan
pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan shock hipovolemik dan terjadi
koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
Tanda dan gejala pada gigitan ular dapat di bagi kedalam 4 skala
berdasarkan derajat berat pada sebuah gigitan ular berbisa yaitu:
1. Derajat 1 = tidak ada gejala (minor) Terdapat sebuah tanda bekas
gigitan/taring, tidak terdapat adanya edem, tidak terasa nyeri, tidak ada
koagulopati, serta tidak didapati gejala sistemik.
2. Derajat 2 = gejala lokal (moderate) Terdapat sebuah tanda bekas
gigitan/taring, serta oedem lokal, tidak disertai gejala sistemik dan
koagulopati.
3. Derajat 3 = gejala berkembang pada daerah regional (severe) Terdapat
sebuah tanda bekas gigitan/taring, disertai edem regional 2 segmen dari
ekstremitas, terdapat nyeri yang tidak dapat diatasi dengan obat
analgesik, tidak ada gejala sistemik dan koagulopati.
4. Derajat 4 = gejala sistemik (major) Terdapat sebuah tanda bekas
gigitan/taring, disertai oedem yang cukup luas dan terdapat tanda
sistemik (mual, muntah, pusing, nyeri kepala, sakit pada perut, dan dada
syok), serta trombosis sistemik. Pada umumnya gigitan ular ini terjadi
pada derajat 2 moderate dan derajat 4 (major). Pada derajat 2 = gejala
lokal moderate biasanya terjadi pada luka bekas gigitan ular berbisa
berubah warna menjadi kemerahan, bengkak, terdapat pendarahan,
terasa seperti terbakar, nyeri,ekimosis dan kesemutan. Sedangkan di
derajat 4 = gejala sistemik major ini yang harus diwaspadai antara lain
seperti gangguan pengelihatan (kabur atau buram), gejala neurologis
(sakit kepala, pusing), gejala pada kardiovaskuler (berdetak kencang
atau keras, hipotensi), gejala sistem pencernaan (terasa mual-mual,
muntah-muntah), dan gejala lainnya yang muncul seperti kelemahan
otot, hipersallivasi, serta demam.
F. Manifenstasi Klinik
G. Test Diagnostik
Pemeriksaan koagulasi darah lainnya: PT, aPPT, dan INR dapat memanjang. Produk
degradasi fibrinogen seperti D-dimer dapat meningkatkan
Pemeriksaan darah lainnya: Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi akibat
hipovolemia, trombositopenia, leukositosis
Pemeriksaan kimia darah: ureum dan kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal
akut. Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase) meningkat pada
rhabdomiolisis. Bilirubin dapat meningkat pada ekstravasasi vaskular masif.
Hiperkalemia menunjukkan rhabdomiolisis. Penurunan bikarbonat pada asidosis
metabolik
Analisa gas darah: menunjukan gagal napas pada neurotoksisitas dan aseidemia akibat
asidosis metabolik atau respiratorik
Pemeriksaan Urin Pada pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan hematuria, red cell
casts, proteinuria
Radiologi
H.
I. Penatalaksanaan
Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk
menetralisir toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi. Alur
yang harus dilakukan adalah :
1. Pertolongan pertama bawa pasien ke rumah sakit kemudian tangani dan lakukan
penilaian klinis serta resusitasi dengan cepat dan tepat, mengenali spesies ular
jika memungkinkan, selanjutnya melakukan pemeriksaan penunjang, berikan obat
SABU (serum anti bias ular), observasi respon klien terhadap pemberian SABU,
melakukan terapi suportif dan perawatan luka pada area sekitar gigitan ular, yang
terakhir rehabilitasi serta lakukan terapi komplementer.
Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara
tradisional untuk penanganan pertama, namun sebaiknya caracara tersebut tidak
dilakukan : Menyedot bisa ular dengan mulut Memasang torniquet dengan ketat
di sekitar luka gigitan karena bisa mengakibatkan nyeri, bengkak dan
menghambat aliran darah ke ekstremitas perife, Melakukan kompres panas,
dingin atau penyayatan luka,
Pemberian ramuan herbal atau kompres es. Tindakan yang harus dilakukan
sebagai pertolongan pertama pada korban gigitan ular sebelum ke rumah sakit
(pre hospital) (Warrel, 2010)
1) Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan, Tekanan
Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid sekitar 500- 1000 cc.
2) Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
3) Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
4) Jangan berikan SABU terlebih dahulu.
Rumah sakit Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous
system Exposure (hindari hipotermia) dan evaluasi tandatanda syok (takipnea,
takikardia, hipotensi, perubahan status mental).
Pemberian SABU berdasarkan derajat gigitan ular (Warrel, 2010). Menurut
Wintoko & Prameswari (2020) Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika
adanya tanda-tanda syok dari: Efek bisa ular pada cardiovascular seperti
hipovilemia, syok perdarahan, pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang
yaitu anafilaksis primer, Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan, Cardiac
arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis.
PROSES PERADANGAN ?
Pada kasus snake bite pembengkakan disebabkan karena proses peradangan dan
edema yang disebabkan permeabilitas kapiler yang bertambah. Endotel kapiler
merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui oleh air dan
elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanyadapat melaluinya sedikit atau
terbatas. Tekanan osmotik darah lebih besar daripada limfe. Daya permeabilitas ini
bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut. Pada keadaan
tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas
kapiler dapat bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler,
sehingga tekanan osmotik koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotik
cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin banyak cairan yang
meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema.Pembengkakan luka snake
bitedisebabkan envenomasi bisa yang mengandung berbagai enzim dan
menyebabkan kerusakan endotel, salah satunya enzim cytolytik, zat ini aktif
menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat gigitan. Efek lokal
dari snake biteadalah terjadinya pembengkakan atau edema, nyeri tekan pada luka
gigitan, dan ekimosis yangterjadi dalam 30 menit-24 jam.Menurut Sartono
(2002) tindakan insisi pada penanganan luka snake bite dapat merusak urat syaraf dan
pembuluh darah. Keutuhan jaringan kulit dan membran mukosa merupakan
garis pertama untuk pertahanan diri dari mikroorganisme (Corwin, 2003) dengan
tindakan insisi menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan menyebabkan resiko
masuknya mikroorganisme sehingga menimbulkan resiko infeksi yang lebih besar
(Potter, 2005).
L. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data
sebelum dan sesudah pelaksanaan tindakan (Suarni & Apriyani, 2017). 5.
M. Evaluasi
Perencanaan disusun untuk menyelesaikan masalah yang dialami klien, masalah yang
dirumuskan dalam diagnosa keperawatan. Dalam penyelesaian masalah ini juga harus
menggunakan standar, perencanaan yang disusun terdiri dari: Perencanaan tujuan
(Outcome) dan perencanaan tindakan (Intervention) (Suarni & Apriyani, 2017). Untuk
mempermudah mengevaluasi perkembangan pasien digunakan komponen SOAP
adalah sebagai berikut:
S : Subjektif Informasi yang didapat dari klien setelah diberikan tindakan.
O : Objektif Informasi yang didapat dari hasil pengamatan, penilaian, pengukuran,
yang dilakukan oleh perawat setelah melakukan tindakan.
A : Analisa Merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi,
atau juga dapat dilakukan suatu masalah atau diagnosis baru yang terjadi akibat
perubahan status kesehatan pasien yang telah teridentifikasi datanya dalam data
subjektif dan objektif
P : Planning Rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil
analisa.
Daftar Pustaka
Ambarawati, F. (2017). SKM, M. Kes. Konsep Kebutuhan dasae manusia.
Ariningrum, D., & Subandono, J. (2018). Dalam M. Luka.
Bawaskar. (2015). Snake Bite Poisoning, 20.
Budiono. (2016). Dalam Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta.
Khan, Y., M. Khan, M., & Farooqui, M. (2017, November). Diabetic Foot ulcers: a
review of current management, 5(11), 4686.
Niasari, N., & Latief, A. (2003, Desember). Gigitan Ular Berbisa, 5, 94-95.
PPNI. (2017). Dalam D. d. Diagnostik, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1 ed.).
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Inrervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Pratama, G. Y., & Oktafany. (2017). Gigitan Ular pada Regio Manus Sinistra, 7, 33.
Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, & U.N. Rachman. (2007, November). Penyebab
Gumpalan dalam Pembuluh Darah (Disseminated Intravascular Coagulation) akibat
Racun Gigitan Ular, 14, 37.
Suarni , L., & Apriyani, H. (2017). Metodologi Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka
Panasea. Subroto, H., & Lismayanti, L. (2017). Snake Bite Dissemineted Intravascular
Coagulation (DIC) and Stage II Hipertension, 1, 488.
Warrel, D. A. (2010). Dalam G. f. bite. World Health Organization.
WHO. (2016). Dalam G. f. Snakebites.
Wintoko, R., & Prameswari, N. P. (2020). Manajemen Gigitan Ular, 4, 49.
Wintoko, R., & Yadika, A. D. (2020, Oktober). Manajemen Terkini Perawatan Luka, 4,
183.