Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN SNAKE BITE


Diajukkan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Klinik Gawat darurat
Program Pendidikan Diploma III Keperawatan
Dosen Pembimbing: Triana Dewi Safariah, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun Oleh:
FADILA PEBRIA ANANDA RAHMAWATI
21.049
II A

RUANGAN TANGGAL/ NILAI TANGGAL/ NILAI NILAI


PARAF CI PARAF CI RATA-
KLINIK AKADEMIK RATA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUMAH SAKIT DUSTIRA


PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN
CIMAHI
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP TEORI PENYAKIT


1. Definisi Penyakit
Snake bite adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh hewan
melata seperti ular yang bisa terjadi resiko snake bite adalah petani,
pekerja perkebunan, penggembala, nelayan, dan pekerja restoran ular.
Gigitan ular sangat berbahaya jika tidak langsung diberikan penanganan
segera dikarenakan bisa ular sangat mudah menyebar keseluruh bagian
tubuh (Kurnia Putra, 2019).
Gigitan ular adalah sebuah penyakit lingkungan yang diakibatkan
oleh sebuah gigitan ular yang sangat berbisa yang bisa menimbulkan
kematian pada semua makhluk hidup atau manusia. Di karenakan ular
yang berbisa kaya akan racun peptida dan protein yang dapat mematikan
reseptor jaringan pada daerah yang tergigit (Wintoko & Prameswari, 2020).
Gigitan ular merupakan keadaan darurat dalam dunia medis, dan
merupakan penyakit akibat kerja yang sering diabaikan oleh tenaga medis
(Furqon et al., 2022).

2. Anatomi dan fisiologi


1) Anatomi kulit

a. Epidermis
Epidermis sering kita sebut sebagai kulit luar. Epidermis merupakan
lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda :
400-600 μm untuk kulit tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-
150 μm untuk kulit tipis (kulit selain telapak tangan dan kaki, memiliki
rambut). Selain sel-sel epitel, epidermis juga tersusun atas lapisan :
a) Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses
melanogenesis.Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis.
Melanosit menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons
terhadap rangsangan hormon hipofisis anterior, hormon perangsang
melanosit (melanocyte stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan
sel-sel khusus epidermis yang terutama terlibat dalam produksi pigmen
melanin yang mewarnai kulit dan rambut. Semakin banyak melanin,
semakin gelap warnanya. Sebagian besar orang yang berkulit gelap dan
bagian-bagian kulit yang berwarna gelap pada orang yang berkulit cerah
(misal puting susu) mengandung pigmen ini dalam jumlah yang lebih
banyak. Warna kulit yang normal bergantung pada ras dan bervariasi dari
merah muda yang cerah hingga cokelat. Penyakit sistemik juga akan
memengaruhi warna kulit . Sebagai contoh, kulit akan tampak kebiruan
bila terjadi inflamasi atau demam. Melanin diyakini dapat menyerap
cahaya ultraviolet dan demikian akan melindungi seseorang terhadap efek
pancaran cahaya ultraviolet dalam sinar matahari yang berbahaya.
b) Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan
sumsum tulang, yang merangsang sel Limfosit T, mengikat,
mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T.
Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting dalam imunologi
kulit.Sel-sel imun yang disebut sel Langerhans terdapat di seluruh
epidermis. Sel Langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit dan membangkitkan suatu
serangan imun. Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab
mengenal dan menyingkirkan sel-sel kulit displastik dan neoplastik.
Sel Langerhans secara fisik berhubungan dengan saraf- sarah
simpatis , yang mengisyaratkan adanya hubungan antara sistem saraf
dan kemampuan kulit melawan infeksi atau mencegah kanker kulit.
Stres dapat memengaruhi fungsi sel Langerhans dengan
meningkatkan rangsang simpatis. Radiasi ultraviolet dapat merusak
sel Langerhans, mengurangi kemampuannya mencegah kanker.
c) Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor
sensoris dan berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin
difus.
d) Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga
paling dalam
b. Dermis
Dermis atau cutan (cutaneus), yaitu lapisan kulit di bawah epidermis.
Penyusun utama dari dermis adalah kolagen. Membentuk bagian terbesar
kulit dengan memberikan kekuatan dan struktur pada kulit, memiliki
ketebalan yang bervariasi bergantung pada daerah tubuh dan mencapai
maksimum 4 mm di daerah punggung.
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu
stratum papilare dan stratum reticular.Stratum papilare, yang merupakan
bagian utama dari papila dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada
stratum ini didapati fibroblast, sel mast, makrofag, dan leukosit yang
keluar dari pembuluh (ekstravasasi). Lapisan papila dermis berada
langsung di bawah epidermis tersusun terutama dari sel-sel fibroblas yang
dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari
jaringan ikat. Dermis juga tersusun dari pembuluh darah dan limfe, serabut
saraf , kelenjar keringat dan sebasea, serta akar rambut. Suatu bahan mirip
gel, asam hialuronat, disekresikan oleh sel-sel jaringan ikat. Bahan ini
mengelilingi protein dan menyebabkan kulit menjadi elastis dan memiliki
turgor (tegangan). Pada seluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf
sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar
keringat dan palit.Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare
dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I).
c. Hipodermis atau Subkutan
Jaringan Subkutan atau hipodermis merupakan lapisan kulit yang paling
dalam. Lapisan ini terutama berupa jaringan adiposa yang memberikan
bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tulang.
Banyak mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga
terdapat gulungan kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Jaringan
ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan
penyekatan panas tubuh (Holbrook,1991). Lemak atau gajih akan
bertumpuk dan tersebar menurut jenis kelamin seseorang, dan secara
parsial menyebabkan perbedaan bentuk tubuh laki-laki dengan perempuan.
Makan yang berlebihan akan meningkatkan penimbunan lemak di bawah
kulit. Jaringan subkutan dan jumlah lemak yang tertimbun merupakan
faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh. Tidak seperti epidermis dan
dermis, batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.
Pada bagian yang banyak bergerak jaringan hipodermis kurang, pada
bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman serabut yang
kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan
tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada
lapisan ini banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama
pada wanita.
2) Fisiologi

Kulit merupakan organ sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah


memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai
barier infeksi, mengontrol suhu tubuh, sensasi eskresi dan metabolisme.
Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari
elektrolit, trauma mekanik, dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme
patogen, sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit dalam
merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran syaraf seperti daerah
bibir, putting, dan ujung jari

Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga


homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi
proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi), dan pembentukan vitamin D
3. Etiologi dan faktor risiko
Menurut (Furqon et al., 2022)Ada 3 keluarga ular beracun, yaitu
hidrophidae, viperidae, Elapidae.Racun ular bisa mengakibatkan
transformasi daerah, seperti pendarahan, pembengkakan jaringan karena
kandungan cairannya bertambah. Banyak yang dapat menyebabkan
perubahan lokal, tetapi terlokalisasi pada tubuh yang digigit. Sementara
beberapa racun Elapidae sudah tidak ada lagi di tempat patokan dalam
waktu 8 jam.
Ada beberapa jenis racun ular yang diketahui beracun:
a. Racun ular yang bersifat venom bagi darah (hematoxic)
Racun ular yang memiliki racun bagi darah adalah racun ular yang
menyerang sel darah merah beserta cara merusak lecet stroma (pembatas
sel darah merah), kemudian sel darah rusak dan larut (hemolisin) dan
keluar melalui saluran darah. Hal ini menyebabkan pendarahan di selaput
tipis (lendir) di mulut, nasal, kerongkongan, dll.
b. Racun ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Ialah racun ular yang menghancurkan dan merusak jaringan sel saraf di
area luka
patokan sehingga jaringan sel saraf tercatat mati beserta ciri-ciri
integument di area luka patokan terlihat kebiruan dan hitam (necrotizing).
Pemencaran dan keracunan seterusnya mengubah sistem saraf pusat
dengan menggagalkan sistem saraf sentral, seperti saraf pernapasan dan
jantung. Pemencaran racun ular ke seluruh tubuh, yaitu melewati saluran
getah bening.
c. Racun ular yaitu Myotoxin
Menyebabkan rhabdomyolysis dikaitkan dengan maemotoxins.
Myoglobulinuria yang
mengakibatkan rusaknya nephros (ginjal) dan kelebihan kalium akibat
rusaknya sel otot.
d. Racun ular yang merupakan cardiotoxin
Kerusakan pada serat otot jantung menyebabkan kehancuran pada otot
jantung.
e. Racun ular yaitu cytotoxin
Dengan membebaskan histamin dan zat vasoaktifamine lainnya,
menyebabkan gangguan kardiovaskular.
f. Racun ular yang bersifat sitolitik
Komponen ini aktif mengakibatkan infeksi dan nekrosis jaringan di area
patokan.
g. Enzim
Tercatat hyaluronidase sebagai komponen aktif dalam pemencaran racun.
4. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksik.
Toksik dapat menyebar melalui peredaran darah dan menyebar hanya ke
jaringan sekitar gigitan, yang dapat mengganggu berbagai system.
Seperti sistem neurologist, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf
sehingga terjadi neuro toksik yang berakibatkan terjadinya gangguan pada
hipotalamus sehingga control suhu dan nyeri terganggu dan menyebabkan
masalah hipotermi dan gangguan rasa nyaman.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah
yang dapat mengakibatkan timbulnya reaksi endotoksik yang dapat
menimbulkan miokard sehingga terjadinya masalah penurunan curah
jantung. Sedangkan pada sistem pernapasan toksik dapat mengenai
mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat
mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga menimbulkan
kesulitan untuk bernapas dan timbulah masalah pola napas tidak efektif
dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal napas.
Pada toksik yang menyebar hanya di jaringan sekitar gigitan dapat
mengakibatkan inflamasi yang menimbulkan rasa nyeri sehingga muncul
masalah gangguan rasa nyaman dan nyeri akut, penurunan imun yang
menimbulkan masalah resiko infeksi. Toksik yang menyebar hanya di
jaringan sekitar gigitan juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada
klien yang mengakibatkan harusnya dilakukan tindakan operasi
debridement yang akan menimbukan masalah nekrosis, resiko infeksi dan
gangguan integritas kulit (Paramita, 2022).
5. Manisfestasi klinis
Penelitian Gilang dan Oktafany dalam jurnal (Kurnia Putra, 2019),
menjelaskan tanda dan gejala pada gigitan ular dapat di bagi kedalam 4
skala berdasarkan derajat berat pada sebuah gigitan ular berbisa yaitu:
a. Derajat 1 : tidak ada gejala (minor)
Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, tidak terdapat adanya edem,
tidak terasa nyeri, tidak ada koagulopati, serta tidak didapati gejala
sistemik.
b. Derajat 2 : gejala lokal (moderate)

Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, serta edem lokal, tidak disertai gejala
sistemik dan koagulopati.

c. Derajat 3 : gejala berkembang pada daerah regional (severe)


Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, disertai edem regional 2
segmen dari ekstremitas, terdapat nyeri yang tidak dapat diatasi dengan
obat analgesik, tidak ada gejala sistemik dan koagulopati.
d. Derajat 4 : gejala sistemik (major)
Terdapat sebuah tanda bekas gigitan/taring, disertai edem yang cukup luas
dan terdapat tanda sistemik (mual, muntah, pusing, nyeri kepala, sakit
pada perut, dan dada syok), serta trombosis sistemik.
Pada umumnya gigitan ular ini terjadi pada derajat 2 (moderate) dan
derajat 4 (major). Pada derajat 2 : gejala lokal (moderate) biasanya terjadi
pada luka bekas gigitan ular berbisa berubah warna menjadi kemerahan,
bengkak, terdapat pendarahan, terasa seperti terbakar, nyeri,ekimosis dan
kesemutan. Sedangkan di derajat 4 : gejala sistemik (major) ini yang harus
diwaspadai antara lain seperti gangguan pengelihatan (kabur atau buram),
gejala neurologis (sakit kepala, pusing), gejala pada kardiovaskuler
(berdetak kencang atau keras, hipotensi), gejala sistem pencernaan (terasa
mual-mual, muntah-muntah), dan gejala lainnya yang muncul seperti
kelemahan otot, hipersallivasi, serta demam.
6. Pemeriksaan diagnostik
Penelitian laboratorium basis, pemeriksaan kimia darah, taksir sel darah
utuh, penetapan golongan darah dan tes silang, masa protrombin, masa
tromboplastin parsial, jumlah trombosit, urinalisis, penetapan kandungan
sukrosa darah, BUN dan elektrolit. Untuk patokan yang parah, periksa
fibrinogen, kerapuhan sel darah merah, waktu pengentalan dan masa
retraksi bekuan
7. Penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis

Terapi dibagi menjadi manajemen di lokasi patokan dan di rumah sakit.


Penatalaksanaan di area patokan termasuk mengurangi atau mencegah
tersebarnya racun dengan memberikan tekanan pada area patokan dan
melumpuhkan anggota tubuh. Kendaraan cepat diupayakan untuk
mengantarkan penderita ke klinik terdekat, klien tidak diberi makan atau
minum. Saat ini eksisi dan suction mungkin tidak disarankan jika dalam waktu
45 menit penderita bisa tiba di klinik (Furqon et al., 2022)

Di klinik diagnosa mesti ditetapkan dan pasien segera memasang dua jalan
intravena untuk mengalirkan larutan intravena dan jalan lain disediakan waktu
darurat. cepat dilakukan analisis laboratorium seperti darah tepi lengkap, PT,
APTT, fibrinogen, elektrolit, urinalisis serta kadar ureum dan kreatinin darah.
Pasien diberi injekan toksoid tetanus dan serum anti bisa ular
dipertimbangkan. Perhitungan di situs patokan mesti dinilai untuk menentukan
perkembangan. Terkadang mesti dilakukan eksisi dan suction racun saat
membersihkan luka. Saat ini masih menjadi perdebatan tentang pembedahan
(fasciotomy) pada pasien patokan ular beracun. Fasiotomi dilakukan bila
terjadi edema yang meluas dan terjadi sindrom kompartemen (kondisi
penyumbatan berat pada tungkai yang mengalami revaskularisasi serta
menyebabkan edema, akibat kenaikan permeabilitas kapiler dan hiperemia).
Pada semua kejadian patokan ular, mesti diberikan antibiotik spektrum luas
serta kortikosteroid, walaupun pembagian kortikosteroid belum terselesaikan
(Furqon et al., 2022)

Di AS ada 3 antivenom yang dibuat dan disepakati oleh FDA, antivenon


polyvalent crotalidae, antivenon untuk ular karang (Elapidae) dan antivenon
untuk laba-laba janda hitam. Semua anti bisa ular berasal dari serum hewan,
paling sering dari serum kuda, dalam bentuk imunoglobulin yang melilit
langsung serta menawarkan protein dari racun. Produk-produk binatang ini
bila terkena penderita dengan jumlah besar bisa mengakibatkan reaksi
hipersensitivitas tipe dan tipe III yang cepat. Reaksi akut berupa reaksi
anafilaksis bisa terjadi pada 20-25% pasien, ma kematian dapat terjadi karena
tekanan darah rendah serta bronkospasme. Reaksi tipe lambat dapat terjadi
pada 50-75% penderita dengan indikasi penyakit serum misalnya panas, ruam
difus, urtikaria, artralgia, hematuria serta bisa bersiteguh sementara waktu.
Reaksi yang paling umum ialah urtikaria, tetapi efek samping yang serius
jarang terjadi. Pemberian antibisa harus dilakukan di rumah sakit dengan 163
peralatan resusitasi yang tersedia. Pemakaian adrenalin, steroid dan
antihistamin bisa membatasi reaksi yang terjadi akibat anti racun ular antara
12,5-30%. Profilaksis hanya prometazin tidak bisa menahan reaksi cepat.
Anak-anak sering membutuhkan data anti-racun dalam jumlah besar karena
rasio kecil antara volume tubuh dan racun ular yang didistribusikan
(Furqon et al., 2022)

Pada tahun 2000 di bulan Desember ada produk baru yaitu Crotalinae
Polyvalent Immune Fab (ovine) anti racun yang tebuat dari serum domba.
Serum Fab ini ternyata lima kali lebih kuat dan efektif sebagai anti racun ular
dan langka terjadi komplikasi akibat pemberiannya. Pemakaian serum Fab
disarankan dilarutkan memakai 250 ml NaCl 0,9% dan diberikan lebih dari
satu jam secara intravena. Untuk penderita yang kecil (bobot kurang dari 10
kg), volume cairan bisa menyesuaikan. Jumlah pemakaian anti racun ular
tersangkut pada tingkat keparahan kasusnya. Kasus dengan grade none tidak
diberikan antivenom, untuk kasus grade minimal 1-5 vial, sedang serta berat
lebih dari 15 vial (Kurniawan et al., 2017).

Antibiotik diberikan secara rutin, karena infeksi bisa terjadi di area patokan.
Pemberian antibiotik masih kontroversial, tetapi Blaylock pada tahun 1999
dari analisisnya menemukan bahwa 18 dari 20 pasien memiliki kultur darah
positif bakteri gram negatif aerobik

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian (Initial Assesment)
1. Pengkajian (Initial Assesment)
a. Primary survey
1. Airway
1) Bila biomekanik trauma mendukung, lakukan fiksasi
cervical-spinal dengan cara manual atau dengan neck collar
bila telah tersedia
2) Nilai adanya obstruksi jalan napas dengan cara mendengar
bunyi napas tambahan. Lakukan intervensi berdasarkan hasil
penilaian sebagai berikut:
a) Gurgling : lakukan logroll bila alat suction belum siap
atau bila darah/muntah sangat banyak. Segera lakukan
suction
b) Snoring : manual : head tilt chin lift / jaw thrust,
dilakukan sementara bila alat velum siap. Dengan alat
segera pasang OPA (tanpa gag refleks) /NPA (bila ada
gag refleks)
c) Crowing : definitive airway (intubasi endotracheal /
needle cryco-thyroidotomy)
3) Pertimbangkan penggunaan LMA pada pasien dengan
airway yang sulit, terutama bila intubasi endotrakeal atau
pemberian ventilasi dengan BVM tidak efektif
4) Perhatikan indikasi dan kontraindikasi dari masing-masing
alat bantu jalan napas. Pasien dengan GCS < 8 menjadi salah
satu indikasi dilakukannya intubasi endotracheal.
5) Pasang long spine board (LSB) dengan Teknik logroll dan
pasang head immobilizer untuk fiksasi kepala-leher
2. Breathing
1) Nilai kondisi umum pernapasan pasien, apakah tampak sesak
2) Hitung frekuensi pernapasan dan nilai SpO2 menggunakan
pulse oksimeter
3) Bila SpO2 < 95%, berikan terapi oksigen menggunakan
NRM dengan aliran minimal 10 liter/menit, titrasi hingga
mencapai target SpO2 >= 95%
4) Evaluasi efektivitas pemberian terapi oksigen
5) Bila tidak efektif, kaji penyebab lain gangguan pernapasan
melalui pemeriksaan IAPP (inspeksi, auskultasi, perkusi,
palpasi) :
a) Inspeksi : adanya jejas pada dada, luka terbuka, distensi
vena jugularis, pergeseran trakea, kesimetrisan
pengembangan dinding dada
b) Auskultasi : vesicular kanan dan kiri (terdengar jelas atau
tidak)
c) Perkusi : sonor, hipersonor, atau dullness (jika hipersonor
berisi udara yang berlebihan, jika dullness berisi
cairan/darah)
d) Palpasi : nyeri tekan, tenderness, kelainan bentuk,
krepitasi (identifikasi adanya fraktur iga dan flail chest)
6) Lakukan intervensi berdasarkan gangguan pernapasan yang
ditemukan :
a) Tension pneumothoraks : neddle decompression,
selanjutnya pemasangan chest tube oleh dokter
b) Open pneumothoraks : occlusive dressing, selanjutnya
pemasangan chest tube oleh dokter
c) Hemothotoraks : pemberian oksigen, selanjutnya
pemasangan chest tube oleh dokter

d) Flail chest : pemberian oksigen dan kolaborasi pemberian


analgetic

e) Tamponade jantung : perikardiosintesis oleh dokter


3. Circulation
1) Identifikasi sumber perdarahan
2) Hentikan perdarahan dengan cara :
3) Nilai adanya tanda-tanda syok :
4. Disability
1) Periksa GCS
2) Periksa lateralisasi pupil : ukuran, kesimetrisan
(isokor/anisokor), reflek cahaya, dilatasi
5. Exposure
1) Buka pakaian pasien, lihat perlukaan di tempat yang belum
terlihat oleh mata
2) Selimuti pasien untuk mencegah hipotermia
3) Lakukan logroll untuk melakukan pemeriksaan tubuh
pasien bagian belakang
6. Tambahan primary survey
1) Folley keteter
a) Lakukan pemeriksaan kontraindikasi pemasangan folley
kateter, yaitu adanya rupture uretra (adanya hematom
skrotum pada pria, ekimosis pada perineum, perdarahan
di orifisum uretra (OUE), posisi prostat melayang / tidak
teraba), dan fraktur pelvis
b) Pasang folley kateter bila tidak ada kontraindikasi
c) Buang urin pertama (urin residu), kemudian mulai
tamping urin
d) Evaluasi urin output : dewasa 0,5 cc/kgBB/jam ; anak 1
cc/kgBB/jam ; bayi 2 cc/kgBB/jam
2) Gastric tube
3) Heart monitor
Pasang monitor jantung, monitor irama EKG :
a) Takikardi, atrial fibrilasi, perubahan segmen ST :
mengindikasikan adanya trauma tumpul pada jantung
b) PEA : mengindikasikan terjadinya tamponade jantung
dan atau hipovolemia
c) Bradikardia, gangguan hantaran kelistrikan dan
premature beat : kemungkinan terjadi hipoksia dan
hiperfusi
7. Pertimbangan kubutuhan rujuk
1) Nilai adanya kebutuhan rujukan (ke ruang ICU/ICCU/OK
atau rumah sakit lain)
2) Bila ada kebutuhan akan rujukan, komunikasikan dengan
penanggung jawab yang merujuk serta petugas administasif,
sementara proses penilaian dan evaluasi tambahan terhadap
kondisi pasien tetap dilakukan.
2. Secondary survey
1) Anamnesis Riwayat pasien
Anamnesis riwayat pasien dilakukan dengan metode SAMPLE atau
KOMPAK
1. Keluhan
2. Obat yang dikonsumsi
3. Makanan yang terakhir dikonsumsi
4. Penanggung jawab
5. Alergi obat
6. Kejadian
2) Pemeriksaan fisik head to toe
(a) . Kepala
Dibagian kepala kaji mengenai bentuk kepala, terdapat atau
tidaknya lesi, kebersihan kulit kepala, jenis rambut, tekstur
rambut, warna rambut dan pertumbuhan rambut.
(b) Mata
Dibagian mata kaji alis mata, kesimetrisan, bulu mata (ektropion
atau intropion), kelopak mata apakah ada benjolan atau tidsk,
bentuk bola mata, pergerakan bola mata, pelebaran pupil,
konjungtiva, keadaan kornea, sclera mata, bulu mata, ketajaman
penglihatan, dan reflex kelopak mata.
(c) Hidung
Kaji bentuk hidung, kaji kebersihan hidung, ad tidaknya secret,
warna mukosa hidung, pernafasan cuping hidung, fungsi
penciuman terganggu atau tidak, periksa apakah ada sinus atau
tidak
(d) Telinga
Kaji kebersihan telinga, bentuk yang simetris atau tidak, fungsi
pendengaran, nyeri tekan.
(e) Mulut
Kaji kesimetrisan, apakah nafas yang berbau tidak
tidak sedap serta bibir kering, pecah pecah, dan terlihat pucat.
(f). Leher
Kaji adanya pembesaran kelenjar tiroid, pergerakan leher, reflek
menelan
(g) Dada
Kaji mengenai bentuk dada, irama pernafasan, kaji luka atau lesi,
kaji apakah adanya suara nafas tambahan.
(h) Jantung
Kaji bunyi serta pembesaran jantung pada anak.
(i) abdomen
Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan keadaan perut
kembung. Bisanya terjadi konstipasi, atau diare dan bahkan bisa
saja normal, kulit teraba hangat dan kemerahan.
(j) Ekstremitas
Kaji tentang pergerakan, kelainan bentuk, dan cek adanya
edema.

(k) PemeriksaanGenetalia

a) Alat kelamin : kaji mengenai kebersihan, warna, dan kaji


apakah adanya luka atau kelainan lainnya.
b) Anus : kaji mengenai keadaan dan kebersihan, ada tidaknya
lesi dan ada tidaknya infeksi
3. Reevaluasi
1) Reevaluasi berkelanjutan
2) Persiapan rujukan (jika dirujuk)
Pastika tempat tersedia. Data yang harus disampaikan : identitas
pasien, administrasi (jaminan Kesehatan), Riwayat kejadian,
intervensi yang telah diberikan, respon pasien dan tanda-tanda vital,
alasan rujukan
4. Evaluasi
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (tim pokja SDKI PPNI, 2017)
Diagnosis yang dapat ditemukan pada pasien dengan kasus pada snake
bite sesuai berdasarkan patofisiologi sesuai dengan Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia adalah:
1. Nyeri akut
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlansung
kurang dari 3 bulan.
Penyebab: proses infeksi
2. Hipertermia
Definisi: suhu tubuh menigkat di atas rentang normal tubuh Penyebab :
peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,dehidrasi, efek langsung
dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi
temperatur, proses infeksi.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen nyeri
fisiologi (iskemia) ….x.. jam pasien diharapkan tingkat nyeri 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
(tim pokja SDKI PPNI, 2017) menurun dibuktikan dengan kriteria hasil : frekuensi, kulaitas, intensitas nyeri
a. Keluhan nyeri menurun 2) Identifikasi skala nyeri
b. Meringis menurun 3) identifikasi respon nyeri non verbal
c. Gelisah menurun 4) Berikan posisi yang nyaman
d. Ttv membaik 5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
(Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018) mengurangi nyeri (misalnya relaksasi nafas
dalam)
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

Hipertermi berhubungan dengan proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1) Observasi suhu tubuh pasien
inflamasi aktif ….x24 jam Suhu tubuh pasien turun dengan 2) Beri kompres air hangat
(tim pokja SDKI PPNI, 2017) kriteria hasil : 3) Berikan/anjurkan pasien untuk banyak minum
Suhu tubuh dalam batas normal (36,5 – 37 oc) 1500-2000 cc/hari (sesuai toleransi)
4) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
tipis dan mudah menyerap keringat
5) Observasi intake dan output, tanda vital (suhu,
nadi, tekanan darah) tiap 3 jam sekali atau sesuai
indikasi
6) Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan
pemberian obat sesuai program.
DAFTAR PUSTAKA

Furqon, M. R. N., Fitriani, A., & Rahmat, G. (2022). Assistancy in Nursing Care of
Medical Surgical Nursing for Patients with Integument System Problem (Snake
Bite) in Anggrek Room, General Hospital of Banjar. Kolaborasi Inspirasi
Masyarakat Madani, 002(002), 160–175.

Kurnia Putra, D. D. (2019). Gambaran Kasus Kejadian Gigitan Ular di Instalansi Gawat
Darurat Rumah Sakit Perifer di Jember. Jurnal Reptilia, 2(1), 1–99.
https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/92874

Paramita, P. (2022). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Post Operasi Debridement


Pada Kasus Snake Bite. 1–64.
https://repository.poltekkes-tjk.ac.id/id/eprint/1549/

tim pokja SDKI PPNI. (2017). No Title. In STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
(Edisi 1). Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) (Edisi
1). Persatuan Perawat Indonesia.

Wintoko, R., & Prameswari, N. P. (2020). Manajemen Gigitan Ular. Jurnal Kesehatan
Universitas Lampung, 4(1), 45–52.

Anda mungkin juga menyukai