Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta

merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik

dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat

bergantung pada lokasi tubuh (Djuanda, 2005).Kulit merupakan pembungkus yang

elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat

tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya

1,50 – 1,75 m². Rata-rata tebal kulit 1-2 mm (Harahap, 2000).

Penyakit kulit di Indonesia pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh infeksi

bakteri, jamur, parasit, dan penyakit dasar alergi. Hal ini berbeda dengan negara

Barat yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor degeneratif. Disamping perbedaan

penyebab, faktor lain seperti iklim, kebiasaan dan lingkungan juga ikut memberikan

perbedaan dalam gambar klinis penyakit kulit (Siregar, 2005).

Jamur adalah mikroorganisme yang menyerupai tumbuh-tumbuhan (tetapi tanpa

fotosintesa), dapat ditemukan pada bahan organik dan tersebar luas secara alamiah

sebagai saprofit. Dari sekitar 100.000 macam jamur hanya kira-kira 100 yang human

pathogen (Rassner, 1995).Data epidemiologik menunjukan bahwa penyakit kulit

karena jamur (dermatomikosis) superfisial merupakan penyakit kulit yang banyak

dijumpai pada semua masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan, tidak hanya

1
di negara berkembang tetapi juga di negara maju sekalipun. Meskipun penyakit ini

tidak fatal, namun karena sering bersifat kronik dan kumat-kumatan, serta tidak

sedikit yang resisten dengan obat anti jamur, maka penyakit dapat menyebabkan

gangguan kenyamanan dan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya (Soebono,

2001).

Penyakit kulit yang disebabkan infeksi jamur ini merupakan penyakit yang

sering dijumpai terutama di negara tropis karena keadaan suhu dan kelembaban

udara berubah-ubah setiap waktu. Udara yang lembab dan panas sepanjang tahun

sangat cocok bagi berkembangnya penyakit jamur. Prevalensi penyakit jamur lebih

tinggi pada daerah tropis (Putra, 2008).

Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya kejadian dermatomikosis

belum ada. Penelitian di Denpasar menunjukkan penyakit ini menempati urutan

kedua setelah dermatitis. Angka kejadian tersebut diperkirakan kurang lebih sama

dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini

mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda. Angka kejadian

dermatomikosis yang terjadi di rumah sakit pendidikan bervariasi antara 2,93% -

27,6%, angka ini mungkin belum merupakan kejadian populasi di Indonesia.

(Adiguna, 2004).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kulit?

2. Apa saja fungsi kulit?

2
3.Apa saja syaraf kulit?

4.Apa saja struktur kulit?

5.Bagaimanakah warna kulit?

6.Bagaimanakah penyembuhan luka pada kulit?

7.Bagaimanakah penegakan diagnosa penyakit kulit dan kelamin?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui apa itu kulit

2.Untuk mengetahui syaraf kulit

3.Untuk mengetahui fungsi kulit

4. Untuk mengetahui struktur kulit

5.Untuk mengetahui warna kulit

6.Untuk mengetahui penyembuhan luka pada kulit

7.Untuk mengetahui penegakan diagnose penyakit kulit dan kelamin

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian Kulit

Manusia memiliki lapisan terluar yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Secara

kasat mata, lapisan tersebut terkesan hanya berfungsi sebagai penahan benturan agat

tidak terjadi peradangan pada organ dalam. Secara logika empiris, bisa dikatakan

lapisan tersebut hanya melindungi tulang dan daging serta rumah untuk aliran darah.

Lapisan tersebut biasa dikenal dengan sebutan kulit. Kulit adalah lapisan atau

jaringan yang menyelimuti seluruh tubuh dan melindungi tubuh dari bahaya yang

datang dari luar.Kulit atau sistem integument merupakan organ tubuh manusia yang

paling besar karena fungsinya sebagai pembungkus seluruh tubuh manusia. Rata-rata

kulit yang membungkus manusia memiliki luas sebesar 1,67 m. Rambut, kuku,

kelenjar juga merupakan bagian dari kulit. Dalam ruang lingkup sains, kulit tidak

hanya terdapat pada luar saja yang dapat dilihat oleh mata, tetapi jaringan-jaringan

yang lebih kompleks dalam pembentukan kulit terdapat pada kulit bagian dalam yang

harus dilihat secara mikroskopis.

Jika dilihat dari ruang lingkupnya, kulit dibagi menjadi dua bagian yakni

secara makroskopis dan mikrokopis. Secara makroskopis bisa dikatakan bahwa kulit

memiliki ketebalan yang bervariasi. Bagian kulit tertipis terletak pada sekitar mata

dalam artian bagian tersebut sangatlah sensitif. Sedangkan bagian kulit paling tebal

terletak pada telapak kaki dan telapak tangan yang memiliki garis- garis tertentu.

4
Gunanya untuk mengidentifikasi seseorang secara psikologi. Kulit tebal ini sangat

tahan terhadap rangsangan yang bersifat radang.

Kulit merupakan organ yang tersusun dari 4 jaringan dasar:

1. Kulit mempunyai berbagai jenis epitel, terutama epitel berlapis gepeng dengan

lapisan tanduk. Penbuluh darah pada dermisnya dilapisi oleh endotel. Kelenjar-

kelenjar kulit merupakan kelenjar epitelial.

2. Terdapat beberapa jenis jaringan ikat, seperti serat-serat kolagen dan elastin, dan

sel-sel lemak pada dermis.

3. Jaringan otot dapat ditemukan pada dermis. Contoh, jaringan otot polos, yaitu

otot penegak rambut (m. arrector pili) dan pada dinding pembuluh darah,

sedangkan jaringan otot bercorak terdapat pada otot-otot ekspresi

wajah.Jaringan saraf sebagai reseptor sensoris yang dapat ditemukan pada kulit

berupa ujung saraf bebas dan berbagai badan akhir saraf. Contoh, badan

Meissner dan badan Pacini.

2.2 Fungsi Kulit

Dalam fisiknya yang membungkus seluruh tubuh, secara detail kulit berfungsi

sebagai berikut:

a. Melindungi kulit dari efek luar seperti lecet, kehilangan cairan, zat-zat

berbahaya, radiasi ultraviolet, dan serangan mikroorganisme

b. Mencegah dehidrasi ketika terkena luka bakar

c. Mengatur kalor melalui penguapan keringat atau melalui pelebaran dan

5
penyempitan pembuluh darah

d. Merasakan sensasi rasa (misal nyeri) dengan saraf dangkal dan ujung

saraf sensoris

e. Penyimpanan vitamin D

f. Meminimalisir cedera organ dalam

g. Mencegah penguapan cairan tubuh yang berlebihan

h. Memfilter masuknya sinar matahari yang berlebih

2.3 Syaraf Kulit

Kulit dan kelengkapannya menerima rangsangan dari lingkungannya

karena dilengkapi banyak saraf sensorik. Di dalam jaringan subkutan terdapat berkas

besar serat saraf yang cabang-cabangnya menuju beberapa pleksus di dalam daerah

retikular papilar dan subepitel. Didalam semua lapisan kulit dan hipodermis terdapat

banyak badan akhir sel saraf. Folikel rambut dipersarafi secara terpisah dari ujung-

ujung bebas saraf sensoris tidak bermielin yang terdapat di dalam atau dekat

epidermis, selain serat saraf sensorik terdapat saraf eferen simpatis yang

mempersarafi pembuluh darah, otot penegak rambut, dan sel-sel sekretorik kelenjar

keringat

Kulit dan kelengkapannya menerima rangsangan dari lingkungannya

karena dilengkapi banyak saraf sensorik. Di dalam jaringan subkutan terdapat berkas

besar serat saraf yang cabang-cabangnya menuju beberapa pleksus di dalam daerah

retikular papilar dan subepitel. Didalam semua lapisan kulit dan hipodermis terdapat

banyak badan akhir sel saraf. Folikel rambut dipersarafi secara terpisah dari ujung-

ujung bebas saraf sensoris tidak bermielin yang terdapat di dalam atau dekat

6
epidermis, selain serat saraf sensorik terdapat saraf eferen simpatis yang

mempersarafi pembuluh darah, otot penegak rambut, dan sel-sel sekretorik kelenjar

keringat

Saraf sensor secara umum menyediakan beruas-ruas kulit, namun ada

beberapa batas yang tidak tepat dan menyebabkan persarafan tumpang tindih pada

bagian tertentu. Persarafan otonom tidak mengikuti pola yang sama secara persis

karena serat postganglionik didistribusikan pada kulit berasal dari rantai ganglia

simpatik dimana serat preganglionik berbeda dari beberapa saraf spinal sinaps.

Ujung saraf bebas merupakan saraf yang paling lebar dan merupakan reseptor

sensorik yang paling penting bagi tubuh. Ujung saraf bebas secara umum dapat

ditemukan di dermis papilia yang letaknya tepat dibawah epidermis, pada serat

lamina basal yang bergabung dengan lamina densa dari zona dasar membran.32

Reseptor kospuskular ini memiliki kapsul dan di dalam intinya mengandung

saraf-saraf dan komponen non saraf. Kapsul ini merupakan kelanjutan dari

perineurium, dan intinya terdapat serat yang dibungkus oleh sel schwann. Ukuran

reseptor ini tergantung pada posisinya pada kulit. Semakin dalam letaknya pada kulit

maka ukurannya semakin besar. Untuk jenis dan pada usia tertentu, reseptor ini akan

terus berubah sepanjang hidup individu tersebut.33

Secara mekanik, dengan adanya saraf pada kulit yang berfungsi sebagai

reseptor manusia bisa merasakan sensasi suhu. Manusia bisa membedakan suhu

mulai dari yang sangat ekstrim (sekitar -10o C) hingga yang cukup panas (sekitar 60o

C). Pada manusia kesensitifan termal berbeda antar masing-masing individu sesuai

dengan rentang temperatur yang berbeda yang hal ini disajikan dalamneuron sensorik

7
pada kulit.3Bagian inilah yang sangat penting dalam tubuh manusia untuk sebagai

reseptor atas keadaan lingkungan yang kemudian di terjemahkan sebagi suatu

perasaan oleh kulit.

2.4 Struktur kulit

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis

merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa

jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat

selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama

terdiri dari jaringan lemak.

2.4.1 Epidermis

Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis

gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak

mempunyai pembuluh darah maupun limf; oleh karenaitu semua nutrien dan oksigen

diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis.Epitel berlapis gepeng pada epidermis ini

tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini secara tetap

diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam Epidermis

8
Gambar 1. Struktur kulit. Sumber: Kessel RG, 1998.

Gambar 2. Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. Diagram lapisan kulit

memperlihatkan saling hubung dan lokasi apendiks dermal (folikel rambut, kelenjar

keringat, dan kelenjar sebasea). Sumber: Mescher AL, 2010.

Lapis basal yang secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama

perjalanan-nya, sel-sel ini berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen

keratin dalam sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap

9
dilepaskan (terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah

20 sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari

sel-sel epider-mis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel

memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap

permukaan kulit.

Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum

spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum.

a. Stratum basal (lapis basal, lapis benih)

Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun berderet

-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-selnya

kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan sitoplasmanya

basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi selnya

berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah

permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini

dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat.

b. Stratum spinosum (lapis taju)

Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal

dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan

pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di

sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu

dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-sel

satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng.

10
c. Stratum granulosum (lapis berbutir)

Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula

basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan mikroskop elektron

ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom. Mikro-

filamen melekat pada permukaan granula.

d. Stratum lusidum (lapis bening)

Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak

eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada

sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian

seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di

bawahnya.

e. Stratum korneum (lapis tanduk)

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti serta

sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling permukaan merupa-kan

sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.

11
2.4.1.1 Sel-sel epidermis

Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel

Langerhans, dan sel Merkel.

a. Keratinosit

Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm

permukaan. Merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan

lapisan kedap air dan perisai pelidung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2-3

minggu mulai dari proliferasi mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan pengelupasan

(deskuamasi). Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti

penebalan membran sel, kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel

induk bagi sel epitel di atasnya dan derivat kulit lain.

12
b. Melanosit

Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang

dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum.

Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit dalam dermis.

Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4-dihidroksi-

fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi dalam

melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam aminotirosin

dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi melanin

yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya.

c. Sel Langerhans

Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler, ditemukan

terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan

HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel pembawa-antigen yang

merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit.

d. Sel Merkel

Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan

pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut.

Merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin

menembus membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah

sel Merkel. Kemungkinan badan Merkel ini merupakan mekano-reseptor atau

reseptor rasa sentuh.

13
2.4.2 Dermis

Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua

lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin.

a. Stratum papilaris

Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang

jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam

pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar

papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di

atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner.

Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.

b. Stratum retikulari

Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah

kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam,

jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar

keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada

tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting

payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada

dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu

dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang

banyak mengandung sel lemak.

14
2.4.2.1 Sel-sel dermis

Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan

ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast.

2.4.3 Hipodermis

Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia

berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama

sejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan

yang dari dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini

meungkinkan gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat

yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak

lebih banyak daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan

keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak

ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis,

namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih.

Lapisan lemak ini disebut pannikulus adiposus.

2.5 Warna kulit

Warna kulit ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pigmen melanin berwarna coklat

dalam stratum basal, derajat oksigenasi darah dan keadaan pembuluh darah dalam

dermis yang memberi warna merah serta pigmen empedu dan karoten dalam lemak

subkutan yang memberi warna kekuningan. Perbedaan warna kulit tidak berhubungan

15
dengan jumlah melanosit tetapi disebabkan oleh jumlah granul -granul melanin yang

ditemukan dalam keratinosit.

2.6 Penyembuhan luka

Penyembuhan luka adalah suatu proses dinamik kompleks yang menghasilkan

pemulihan terhadap kontinuitas anatomik dan fungsi jaringan setelah terjadi

perlukaan. Penyembuhan luka dibagi dalam tiga tahap yang saling berhubungan dan

tumpang tindih dalam waktu terjadinya, yaitu: 1) peradangan; 2) pembentukan

jaringan (proliferasi); dan 3) remodeling jaringan.

Salah satu tujuan utama tubuh pada proses perbaikan luka kulit ialah

mengembalikan fungsi kulit sebagai sawar fungsional. Reepitelisasi luka kulit

dimulai 24 jam setelah luka melalui pergerakan sel-sel epitel dari tepi bebas jaringan

melintasi defek dan dari struktur folikel rambut yang masih tersisa pada dasar luka

partial thickness.

Sel-sel epitel berubah bentuk baik secara internal dan eksternal untuk

memudahkan pergerakan. Metamorfosis selular ini meliputi retraksi tonofilamen

intrasel, disolusi desmosom intersel dan hemi-desmosom membran basal, serta

pembentukan filamen aktin sitoplasma perifer. Sel-sel epidermis pada tepi luka

cenderung kehilangan polaritas apiko-basal dan menjulurkan pseudopodia dari tepi

basolateral bebas ke dalam luka.

Pola pasti dari migrasi epidermis yang mengalami regenerasi ini belum

diketahui, tetapi kemungkinan berupa migrasi sel tunggal melintasi permukaan luka

16
dengan mekanisme “lompat-katak” (leap-frogging) atau “jejak-traktor” (tractor

tread).

2.7 Prinsip Penegakan Diagnosa Penyakit Kulit Dan Kelamin

Pemeriksaan pada penyakit kulit terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisik

dengan kaca pembesar dan pemeriksaan penunjang. Pada proses penegakan diagnosis

penyakit kulit, anamnesis seringkali dilakukan bersamaan atau setelah melakukan

pemeriksaan fisik agar dapat saling melengkapi data. Hal ini disebabkan pasien

seringkali tidak dapat menggambarkan bentuk lesi yang dialami dengan jelas sesuai

dengan perjalanan penyakit atau yang diharapkan oleh pemeriksa.

Anamnesis pada penyakit kulit meliputi (Fitzpatrick, 2003) :

1. keluhan utama

2. riwayat penyakit sekarang, harus dapat diperoleh informasi mengenai :

a. onset (when)

b. tempat predileksi lesi (where)

c. gejala yang menyertai, gatal atau nyeri

d. pola penyebaran lesi (evolusi) (how)

e. perkembangan atau perubahan lesi, sejak muncul pertama kali sampai saat

pemeriksaan (evolusi) (how)

17
f. faktor pencetus (panas, dingin, paparan sinar matahari, kelelahan/olah

raga, riwayat bepergian, riwayat minum obat, kehamilan, musim)

3. riwayat pengobatan yang sudah dilakukan

4. gejala sistemik atau prodromal yang mendahului atau menyertai, Pada penyakit

akut dapat disertai gejala demam, menggigil, kelemahan, nyeri kepala dan sendi,

penyakit kronis dapat disertai gejala lesu, anoreksia, penurunan berat badan.

5. riwayat penyakit dahulu (penyakit sistemik atau kulit, rawat inap, alergikhususnya

alergi obat, pengobatan yang diterima selama ini, riwayat atopi(asma, rhinitis

alergika, eksim), kebiasaan merokok, penyalahgunaan obat, alkohol),

6. riwayat penyakit keluarga (khususnya penyakit yang bersangkutan, riwayat atopi,

psoriasis, xantoma),

7. riwayat sosial (khususnya kegiatan sehari-hari, hobi, bepergian) atau riwayat

hubungan seksual (terutama berhubungan dengan faktor risiko infeksi HIV (transfuse

darah, pengguna obat-obatan intravena, pasangan seksual tidak tetap lebih dari 1,

riwayat infeksi menular seksual). Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, tanda

vital (denyut nadi, respirasi, suhu tubuh) dan status dermatovenereologi (sesuai

keluhan pasien). Pemeriksaan status dermatologi memerlukan sarana tertentu agar

diperoleh hasil maksimal, seperti pemeriksaan dikerjakan dengan sinar lampu putih

(TL) atau sinar matahari. Alat lain yang diperlukan adalah kaca pembesar dan lampu

senter (sinar putih), untuk memastikan permukaan lesi yang menonjol dengan

18
penyinaran dari samping atau membantu mengamati lesi pada mukosa. Pengamatan

dilakukan pada seluruh permukaan kulit dan mukosa, kuku, rambut serta limfonodi.

Dari inspeksi diperoleh informasi tentang susunan konfigurasi, distribusi dan

morfologi atau bentuk lesi. Palpasi bertujuan menilai tekstur, konsistensi dan

kedalaman lesi, rasa nyeri serta untuk meyakinkan pasien bahwa lesi tidak berbahaya

bagi pemeriksa. Untuk memeriksa daerah mukosa atau lesi membasah diperlukan

sarung tangan. Pada waktu palpasi, pemeriksa juga harus mampu mendiskripsikan

morfologi tiap lesi yang dihubungkan dengan patogenesis atau klinikopatologi.

Diskripsi lesi pada status dermatologi harus meliputi berbagai hal berikut ini :

a. Tipe atau jenis lesi baik primer atau sekunder, seperti macula, patch, papul,

plak, nodul, wheal/urtika, vesikel, bula, pustule, burrow/kunikulus, erosi,

ulkus, fissure, krusta, skuama, likenifikasi, ekskoriasi, skar, atropi

b. Warna lesi: sewarna kulit, merah jambu, eritem/merah, purpurik (merah

keunguan, dapat dibedakan dari eritem dengan tes diaskopi), putih (hipo/de-

pigmentasi), coklat-hitam (hiperpigmentasi). Warna lesi dapat

sewarna/homogen atau bervariasi (variegated).

c. Batas lesi: berbatas tegas (dapat ditelusuri dengan pena), atau tidak tegas.

Batas lesi disebutkan apabila lesi berupa plak atau patch.Konsistensi: lunak,

kenyal, atau keras; perubahan temperatur (hangat/ tidak), mobilitas, nyeri

tekan, kedalaman lesi. Konsistensi disebutkan untuk lesi berupa nodul atau

massa.Bentuk lesi utama, apakah bulat, oval, polygonal, polisiklik, anular

(cincin), umbilikated (berlekuk pada bagian tengah, menyerupai umbilicus).

19
d. Jumlah lesi (tunggal atau multiple) dan Susunan lesi, untuk lesi dengan

jumlah lebih daru satu atau multiple (berkelompok seperti herpetiformis,

anuler, reticulated (seperti jala), linear; atau tersebar/diseminata); ada

konfluen/penyatuan lesi atau tidak.

e. Distribusi lesi: bagaimana perluasannya, lesi tunggal, lokalisata, general

(merata hampir seluruh tubuh, seperti pada eritroderma); bagaimana polanya,

simetris, daerah tekanan, area intertriginosa, unilateral (lesi hanya terdapat

pada satu belahan tubuh kanan atau kiri, pada vitiligo), sesuai dermatom

tertentu (pada herpes zoster), pada daerah terpapar sinar matahari (dermatitis

fotokontak alergi), daerah seborea (dermatitis seboroik, akne).

Alat yang dibutuhkan untuk pemeriksaan dermatologi dan pengambilan spesimen

kulit atau discar :

a. ruang yang diterangi sinar matahari atau lampu sinar putih

b. kaca pembesar (bila diperlukan)

c. sarung tangan (bila diperlukan)

d. alat pemeriksaan sesitivitas lesi (jarum/kapas kering/bollpoint)

e. alat pemeriksaan laboratorium

i. gelas obyek

ii. gelas penutup

20
iii. scalpel

iv. cotton bud

v. plastik isolasi

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta

merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastik

dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat

bergantung pada lokasi tubuh (Djuanda, 2005).Kulit merupakan pembungkus yang

elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan.

3.2. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis

akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan

sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Bergman RA, Afifi KA, Heidger Jr PM. Histology. Philadelphia: W.B.

Saunders Company; 1996.

2. Bergman RA, Afifi KA, Heidger Jr PM. Histology. Philadelphia: W.B.

Saunders Company; 1996.

3. Calvin M. Cutaneous wound repair. Wounds 1998;10:12-32.

4. Clark RAF. Cutaneous tissue repair: Basic biologic considerations. I. J Am

Acad Dermatol. 1985;13:701-25.

5. Cormack DH. Ham’s Histology (Ninth Edition). Philadelphia: JB Lippincott

Company; 1987.

6. Fawcett DW. Bloom and Fawcett: A Textbook of Histology (Twelfth

Edition). New York: Chapman & Hall; 1994.

7. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology (Third Edition).

Philadelph

Saunders Elsevier; 2007.

8. Kessel RG. Basic Medical Histology. The biology of Cells, Tissues, and

Organs. New York: Oxford University Press; 1998.

9. Kirsner RS, Eaglstein WH. The wound healing process. Dermatol Clin.

1993;11:629-40.

10. Lazarus GS, Cooper DM, Knighton DR, Margolis DJ, Pecoraro RE,

Rodeheaver G, et al. Definition and guiedelines for assessment of wounds and

evaluation of healing. Arch Dermatol. 1994;130:489-93.

23
11. McKenzie JC, Klein RM. Basic Concepts in Cell Biology and Histology. A

Student’s Survival Guide. New York: McGraw-Hill; 2000.

12. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. New York: McGraw

Hill Medical; 2010.

13. Ross MH, Pawlina W. Histology a Text and Atlas (Sixth Edition).

Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams & Wilkins; 2011.

14. Singer AJ, Clark RAF. Cutaneous wound healing. N Engl J Med.

1999;341:738-46.

24

Anda mungkin juga menyukai