TOLERANSI IMUNOLOGI
Dosen :
Drs. Saeful Hidayat,M.S.,Apt
Oleh :
Rezha Alausy Fauzan A 163 032
Ai Aay Rismayani A 163 040
Novitaria Br Sembiring A 163 016
BANDUNG
2017
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………... 3
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis telah mampu menyelesaikan makalah berjudul “Toleransi
Imunologi”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Imunologi.
1. Bapak Drs. Saeful Hidayat, M.S.,Apt selaku dosen mata kuliah Imunologi
yang telah membantu penulis selama menyusun makalah ini;
3. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak
kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh
sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
penulis dan bagi pembaca. Amin.
Februari 2017
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengertian Imunologi
1
2. Imunitas Bawaan
3. Tujuan dan Fungsi Sistem Imun
4. Mekanisme Sistem Kekebalan Tubuh
5. Toleransi imunologi
6. Terminasi Toleransi
7. Pengamanan dan Pencegahan
8. Induksi Toleransi
9. Mekenisme Rusaknya Toleransi
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga BAB dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
3. Tahap modern: JF. A.P. Miller : peran sentral kelenjar timus. Muncul
cabang-cabang baru dalam imunologi. 1980: Benacerraf, Dausset, dan
Snell dapat Nobel: sistem HLA. 1984: Milstein dan Kohler memproduksi
antibodi monoklonal. 1987: Susumu Tonegawa dapat Nobel dengan
diversitas antibodi (Guyton, 1997).
3
Gambar 2.1 Imunitas Bawaan (Baratawidjaja, 2009)
Ada suatu imunitas tambahan yang merupakan akibat dari proses yang terarah
pada organisme penyebab penyakit spesifik. Imunitas ini disebut imunitas
bawaan, yang meliputi:
1. Fagositosis terhadap bakteri dan penyerbu lainnya oleh sel darah putih dan
sel pada sistem makrofag jaringan.
4. Adanya senyawa kimia tertentu dalam darah yang melekat pada organisme
asing atau toksin dan menghancurkannya (Guyton, 1997).
2. Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan
jaringan.
4
2.4 Mekanisme Sistem Kekebalan Tubuh
Tubuh diibaratkan sebagai sebuah negara. Jika negara itu tidak memiliki
pertahanan yang kuat, akan mudah mendapatkan perlawanan baik dari dalam
maupun dari luar, sehingga lambat laun negara itu akan hancur. Begitupun
halnya tubuh. Jika tidak memiliki pertahanan tubuh yang tinggi pada akhirnya
tubuh akan jatuh sakit dan mungkin akan berujung kepada kematian.
Dibutuhkan sistem kekebalan tubuh untuk menjaga agar tubuh bisa melawan
serangan apapun baik dari dalam maupun dari luar (Baratawidjaja, 2009).
Sistem imunitas yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan
antara diri sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya
ketika ada benda asing yang yang memicu respons imun masuk ke dalam tubuh
(antigen) dikenali maka terjadilah proses pertahanan diri.Secara garis besar,
sistem imun menurut sel tubuh dibagi menjadi sistem imun humoral dan sistem
imun seluler (Baratawidjaja, 2009).
5
Tubuh mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang terdiri dari
berbagai macam sistem imun yaitu organ limfoid (thymus, lien, sumsum
tulang) beserta sistem limfatiknya. Organ tubuh yang juga termasuk dalam
mekanisme pertahanan tubuh yaitu jantung, hati, ginjal dan paru-paru
(Baratawidjaja, 2009).
Ada dua tipe leukosit pada umumnya, yaitu fagosit yang bertugas
memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit yang bertugas
mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh
6
menghancurkan mereka. Sedangkan sel lainnya adalah netrofil, yang bertugas
melawan bakteri. Jika kadar netrofil meningkat, maka bisa jadi ada suatu
infeksi bakteri di dalamnya (Abbas, 2007).
Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit B dan limfosit T.
Limfosit dihasilkan oleh sumsum tulang, tinggal di dalamnya dan jika matang
menjadi limfosit sel B, atau meninggalkan sumsum tulang ke kelenjar thymus
dan menjadi limfosit sel T. Limfosit B dan T mempunyai fungsi yang berbeda
dimana limfost B berfungsi untuk mencari target dan mengirimkan tentara
untuk mengunci keberadaan mereka. Sedangkan sel T merupakan tentara yang
bisa menghancurkan ketika sel B sudah mengidentifikasi keberadaan mereka
(Abbas, 2007).
Jika terdapat antigen (benda asing yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi,
maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa mereka dan
memberikan respons. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi
antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen
spesifik. Antibodi sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari berbagai
macam organisme, dan juga antibodi bisa mengaktivasi kelompok protein yang
disebut komplemen yang merupakan bagian dari sistem imun dan membantu
menghancurkan bakteri, virus, ataupun sel yang terinfeksi (Abbas, 2007).
7
Gambar. 2.5 Imun Normal dan Toleransi Imun (Baratawidjaja, 2009).
Pada sistem imun normal tubuh dapat membedakan antigen self (berasal
dari tubuh sendiri) dengan non-self (berasal dari luar tubuh/benda asing)
dengan adanya toleransi imun (Subowo, 1993).
Tahun 1900 Paul Ehlich menyadari bahwa sistem imun dapat menyerang
antigen sel tubuh sendiri. Kejadian tersebut disebutnya horror autotoxicus yang
dapat menimbulkan sejumlah penyakit akut dan kronis.
Tahun 1959, hasil eksperimen dari Jerne, Talmage dan Burnet (1950),
mengubah istilah horror autotoxicus kedalam teori clonal selection yang
merupakan dasar toleransi.
8
tersebut dapat primer terjadi pada organ limfoid primer, seperti sumsum tulang
dan timus, yang disebut toleransi sentral dan di perifer yang disebut toleransi
perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi selama hidup fetal melalui
inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut clonal
abortion, clonal deletion atau seleksi negative.
9
Gambar 2.7 Penghapusan self-reactive T-cell precursors
1. Toleransi Sel T
Sel T yang diproduksi dalam sumsum tulang, memasuki timus,
berkembang dalam timus melalui berbagai fase : double negative, double
positive, seleksi positive, dan seleksi negative dan toleransi (Baratawidjaja,
2009).
a. Toleransi Sentral
10
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam
perkembangannya ditimus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan
timosit yang self-reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel
hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T dengan TCR yang gagal
berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati melalui apoptosis
(Baratawidjaja, 2009).
Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup
dan memiliki potensi untuk mengikat komplek peptide-MHC dan
memberikan awal respon imun protektif kemudian. Namun sel T yang
mengikat kompleks peptide-MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan
memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan
autoimunitas. Oleh karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu
disebut seleksi negative atau edukasi timus. Diduga 90% timosit mengalami
proses seleksi negative, dihancurkan dan gagal untuk berfungsi
(Baratawidjaja, 2009).
Proses edukasi timus itu hanya sebagian berhasil. Hal ini berarti bahwa
sel T yang self-reaktif masih dapat ditemukan pada individu sehat.
Kegagalan edukasi timus tersebut disebabkan oleh karena banyak self-
peptida tidak diekspresikan dalam jumlah yang cukup dalam timus untuk
dapat menginduksi seleksi negative. Kebanyakan peptide yang ditemukan
dan diikat MHC dalam timus berasal dari bahan intraseluler yang ada
11
dimana-mana dalam tubuh atau protein yang diikat membrane atau dalam
cairan ekstraseluler. Tidak semua self-antigen ditemukan dalam timus.
Beberapa antigen spesifik untuk jaringan, misalnya insulin masih
diekspresikan ditimus. Jadi toleransi timus hanya diinduksi terhadap
beberapa protein jaringan spesifik. Tidaklah mengherankan bila respon sel T
terhadap protein jaringan spesifik dapat ditemukan pada orang normal. Pada
beberapa hal, sel T (juga sel B dalam sumsum tulang) yang self-reaktif dapat
lolos dari seleksi negative dalam timus dan muncul diperifer. Toleransi
perifer menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan sebagai
inaktivasi sel T (dan B) yang masih self-reaktif diperifer (Baratawidjaja,
2009).
b. Toleransi Perifer
12
seperti ignorance,anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel
Treg (Baratawidjaja, 2009).
1) Ignorance
13
CD4 naif memerlukan dua sinyal untuk diaktifkan : sinyal antigen
spesifik melalui TCR dan sinyal kostimulator non-spesifik, biasanya
sinyal dari CD8 yng mengikat family B7 (CD80 atau CD 86). Stimulasi
sel T tanpa molekul kostimulator juga menimbulkan kematian sel.
2. Toleransi Sel B
a. Toleransi Sentral
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada
toleransi sel T berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan
dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur
terpajan dengan self-antigen yang multivalent dalam sumsum tulang. Hal
tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifitas baru yang disebut receptor
editing (Baratawidjaja, 2009).
14
Gambar 2.10 Toleransi Sel B Sentral (Baratawidjaja, 2009).
b. Toleransi perifer
1) Inersia
2) Alergi
15
Gambar 2.11 Toleransi Perifer Pada Sel B (Baratawidjaja, 2009)
16
b. Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi.
Mekanismenya tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan
aktivasi populasi asal sel T yang tidak responsive.
2. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi
melalui blockade reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat
imunogenik, tergantung dari sifat dan perbandingan antigen dan antibody .
3. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul
yang sulit dirusak dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan
biasa antigenik.
17
Sel Tr bekerja dijaringan limfoid dan tempat inflamasi. Sel Tr merupakan
+¿
subset sel T CD4+ 4 ¿ khusus, mengekpresikan rantai IL-2Rα (CD25) kadar
2. Presentasi Antigen
18
Secara teoritis, APC dapat menolak untuk mempresentasikan antigen
sendiri ke sel T, tetapi dalam kenyataannya molekul MHC kadang mengikat
dan mempresentasikan peptida sendiri (Baratawidjaja, 2009).
a. Eliminasi Klon
Menurut Burnet dan Medawar (seleksi klon) interaksi antara antigen dan
klon imatur limfosit yang sudah mengekspresikan reseptor antigen akan
menimbulkan toleransi. Hal ini dapat terjadi pada sel T dalam timus dan
sel B dalam sumsum tulang.
b. Reseptor Sel B
c. Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik
yang larut. Bila sel T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang
menunjukkan adanya faktor blockade dalam serum.
d. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan
autoimunitas yang nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah
antibodi terhadap region ikatan epitope dari antibodi asli. AAI tersebut
dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah epitope yang
merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit.
19
lebih mudah dan toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel
(Baratawidjaja, 2009).
1. Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih
tolerogeni, oleh karena APC tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula
oleh karena reseptor limfosit dan rangsangan sel T dicegah.
b. APC, Anti-MHC
20
Gambar 2.13 aktivasi sel T CD4 karena ada molekul MHC
c. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian
dosis rendah yang berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
d. Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat
mencari sel T atau sel B dan membunuhnya tanpa merusak sel-sel lain.
Dalam proses seleksi klon baik sel T maupun sel B, tidak sepenuhnya
dapat diatasi atau diseleksi. Adanya beberapa sel yang lolos dari toleransi
sentral maupun perifer, akan menimbulkan penyakit autoimmune, yakni terjadi
akibat adanya kegagalan toleransi imun. Berikut ini faktor-faktor penyebab
terjadinya kegagalan toleransi imun:
1. Mengatasi Toleransi Perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan
dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi
dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun
yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan.
Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan
sitokin imunosupresif.
21
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan
ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan
jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan
meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-
presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul
ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi
juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler,
menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke
sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri
juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya
melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
2. Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari
mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan
konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi
silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali
peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan
presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut.
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat:
22
Glikoprotein Campylobacter Gangliosida dan Sindrom Guillain-Barre
jejuni glikolipid terkait mielin
Heatshock Subtipe rantai HLA-DR β Artritis reumatoid
protein dari Eschericia coli mengandung “epitop
bersama” artritis
reumatoid
23
Gambar 2.14 Kemiripan Molekul
24
( upregulation ) Molekul Costimulator B7-1 pada sistem saraf pusatnya, yaitu
suatu penyakit autoimun yang sel T nya beraksi terhadap Mielin. Induksi
pengeluaran B7-1 yang serupa terjadi dalam sinovium para pasien arthritis
rematoid dan kulit pasien psoriasis. Pengamatan telah membuka kemungkinan
untuk terjadinya manipulasi imunologis pada penyakit autoimun yang dicapai
pada jalur konstimulator penghambat.
25
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam beberapa kasus, toleransi
dipertahankan melalui anergi. Namun autoimunitas dapat terjadi jika klon yang
self reactive, tetapi anergik tersebut dirangsang oleh mekanisme yang tidak
bergantung antigen.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa toleransi
(imunologi) adalah tidak adanya imunologi spesifik, yakni reaksi kekebalan
terhadapantigen tertentu (atau epitop) tidak terjadi, meskipun sistem
kekebalan tubuh dinyatakanberfungsi normal. Secara umum, antigen yang
hadir selama kehidupan embrio dianggap"self" dan tidak merangsang sebuah
imunologi respon, yaitu, kita toleran terhadap antigentersebut. Tidak adanya
respon kekebalan janin disebabkan oleh penghapusan self-reactive T-cell
precursors dalam thymus. Di sisi lain, antigen yang tidak hadir selama
prosespematangan, yaitu, yang dihadapi pertama ketika tubuh imunologis
matang, dianggap"nonself" dan biasanya menimbulkan respons kekebalan.
Meskipun kedua sel B dan sel Tberpartisipasi dalam toleransi, itu adalah T-sel
toleransi yang memainkan peran utama.
27
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K.G dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar ed. 8. Jakarta:
Febriansah R, Putri DDP, Sarmoko, Nurulita NA, Meiyanto E, Nugroho AE, 2010,
28