Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.H DENGAN DIAGNOSA MEDIS


VULNUS LACERATUM DI RUANGAN IGD RSUD GERUNG

OLEH :

YULIA RAHAYANTI R

090STYC19

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK

JENJANG S1 KEPERAWATAN

MATARAM 2023

BAB I

KONSEP TEORI
A. Konsep Kegawatdaruratan Vulnus Laceratum
1. Definisi
Metatarsal adalah lima tulang panjang yang terletak dipunggung
kaki. Lima bagian tulang itu saling berkaitan dalam satu unit. Fungsinya
untuk membagi beban pada tubuh dan mengadaptasikan tubuh pada
tanah yang tidak rata. Cedera atau keretakan pada tulang ini bisa terjadi
jika tulang tersebut mengalami tabrakan, seperti misalnya sebuah
kendaraan menabrak kaki. Selain itu terkilir dan kelelahan pada kaki
juga bisa menjadi pencebab cedera tersebut dan mengakibatkan
terjadinya vulnus laceratum.
Vulnus Laceratum (luka robek) merupakan terjadinya gangguan
kontinuitas suatu jaringan sehingga terjadi pemisahan jaringan yang
semula normal, luka robek terjadi akibat kekerasan yang hebat sehingga
memutuskan jaringan. Secara umum vulnus laceratum dapat dibagi
menjadi dua yaitu simple bila hanya melibatkan kulit dan jaringan
dibawahnya. Trauma arteri umumnya dapat disebabkan oleh trauma
benda tajam (50%) misalnya karena tembakan, luka-luka tusuk, trauma
kecelakaan kerja atau kecelakaan lalulintas (Robert, 2018).
Luka atau Vulnus merupakan keadaan struktur anatomi jaringan
tubuh yang terputus. Bentuk luka bermacammacam, terdapat bentuk
sederhana seperti kerusakan pada epitel dan bentuk kerusakan yang
dalam seperti jaringan subkutis, lemak, dan otot bahkan tulang beserta
strukturnya yaitu tendon, syaraf, dan pembuluh darah sebagai dari
bentuk akibat trauma dan ruda paksa (Novaprima, 2019).
Vulnus laceratum adalah luka terbuka yang terdiri dari akibat
kekerasan tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau
otot (Mansjoer, 2017). Secara umum luka dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Simple, bila hanya melibatkan kulit.
b. Kompukatum, bila melibatkan kulit dan jaringan

Vulnus Laceratum dibedakan berdasarkan beratnya yaitu :

a. Derajat I adalah robekan adviticia dan media, tanpa menembus


dinding.
b. Derajat II adalah robekan varsial sehingga dinding arteri juga
terluka dan biasanya menimbulkan pendarahan yang hebat.
c. Derajat III adalah pembuluh darah putus total, gambaran klinis
menunjukkan pendarahan yang tidak besar, arteri akan mengalami
vasokontriksi dan retaraksi sehingga masuk ke jaringan karena
elastisitasnya.
B. Anatomi Fisiologi
1. Kulit
Price 2011 menyatakan “Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan
epidermis, dermis, lemak subkutan. Kulit melindungi tubuh dari trauma
dan merupakan benang pertahanan terhadap bakteri virus dan jamur.
Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, nyeri dan nikmat
berkat jahitan ujung syaraf yang saling bertautan”.
a. Epidermis
bagian terluas kulit dibagi menjadi 2 bagian lapisan yaitu :
a) Lapisan tanduk (startum konsum) terdiri dari lapisan sel-sel
tidak berinti dan bertanduk.
b) Lapisan dalam (startum malfigi) merupakan asal sel
permukaan bertanduk setelah mengalami proses di
ferensiasi
b. Dermis Dermis
terletak di bawah epidermis dan terdiri dari seabut-serabut
kolagen elastin, dan retikulum yang tertanam dalam substansi
dasar. Matrik kulit mengandung pembuluh pembuluh darah dan
syaraf yang menyokong nutrisi pada epidermis. Disekitar
pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit. Limfosit sel masuk
dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan infeksi dan
instansi benda-benda asing. Serabut serabut kolagen, elastin
khusus menambahkan sel-sel basal epidermis pada dermis.
c. Lemak subkutan
Price (2005) menyatakan “Lemak subkutan merupakan
lapisan kulit ketiga yang terletak di bawah dermis. Lapisan ini
merupakan bantalan untuk kulit isolasi untuk mempertahankan
daya tarik seksual pada kedua jenis kelamin”.
2. Jaringan Otot
Otot adalah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu
berkontraksi dengan sedemikian maka pergerakan terlaksana. Otot
terdiri dari serabut silindris yang mempunyai sifat sama dengan sel dari
jaringan lain. Semua sel diikat menjadi berkas-berkas serabut kecil oleh
sejenis jaringan ikat yang mengandung unsur kontaktil.
3. Jaringan Saraf
Jaringan saraf terdiri dari 3 unsur :
a. Unsur berwarna abu-abu yang membentuk sel syaraf.
b. Unsur putih serabut saraf.
c. Neuroclea, sejenis sel pendukung yang dijumpai hanya dalam
saraf dan yang menghimpun serta menopang sel saraf dan serabut
saraf. Setiap sel saraf dan prosesnya disebut neuron. Sel saraf
terdiri atas protoplasma yang berbutir khusus dengan nekleus
besar dan berdinding sel lainnya berbagai juluran timbul
(prosesus) timbul dari sel saraf, juluran ini mengantarkan
rangsangan saraf kepada dan dari sel saraf.
C. Etiologi
Vulnus laceratum dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
a. Alat tumpul
b. Jatuh ke benda tajam dan keras.
c. Kecelakaan lalu lintas dan kereta api.
d. Kecelakaan akibat kuku dan gigitan.
e. Bahan kimia terjadi akibat efek korosi dari asam kuat dan basa kuat.
f. Trauma Fisika
1) Luka akibat suhu tinggi Suhu tinggi dapat mengakibatkan
terjadinya heat exhaustion primer, heat exhaustion sekunder, heat
stroke, sun stroke dan heat cramps.
2) Luka akibat suhu rendah Derajat luka yang terjadi pada kulit
karena suhu dingin diantaranya hyperemia, edema dan vesikel.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada penderita luka robek metatarsal biasanya
bersifat nyeri. Nyeri muncul disebabkan oleh rangasangan mekanik luka
yang menyebabkan tubuh menghasilkan mediator kimia nyeri
(Muhammad Zulkhairi, 2017).
Tanda-tanda umum adalah syok dan syndrome remuk (cris
syndrome), dan tanda-tanda local biasanya terjadi nyeri dan pendarahan.
Syok sering terjadi akibat kegagalan sirkulasi perifer ditandai dengan
tekanan darah menurun hingga tidak teraba, keringat dingin dan lemah,
kesadaran menurun hingga tidak sadar.
Syok dapat terjadi akibat adanya daerah yang hancur misalnya
otot-otot pada daerah yang luka, sehingga hemoglobin turut hancur dan
menumpuk di ginjal yang mengakibatkan kelainan yang disebut “Lower
Nepron/neprosis, tandanya urine berwarna merah, dysuria hingga anuria
dan uereum darahm meningkat.
Black & Hawks, 2014) menyatakan Manifestasi klinik vulnus
laceratum yaitu :
a. Luka tidak teratur
b. Jaringan rusak
c. Bengkak
d. Perdarahan
e. Tampak lecet atau memar disetiap luka
E. Patofisiologi
Vulnus laceratum metatarsal tarjadi akibat kekerasan benda
tumpul, goresan, jatuh dan kecelakan. Sehingga kontuinitas jaringan
terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses
peradangan atau inflamasi. Reaksi peradangan akan terjadi apabila
jaringan terputus. Dalam keadaan ini ada peluang besar timbulnya infeksi
yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang disebabakan oleh
mikroorgnaisme yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi peradangan itu
sebenarnya adalah peristiwa yang di kordinasikan dengan baik yang
dinamis dan kontinyu yang menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan
harus hidup dan harus di mikrosekualasi fungsional. Jika jaringan yang
nekrosis luas maka reaksi peradangan tidak di temukan di tengah jaringan
yang hidup dengan sirkulasi yang utuh terjadi pada tepi nya antara
jaringan mati dan hidup. Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi
sehingga terjadi kerusakan jaringan. Sel-sel yang rusak akan membentuk
zat kimia sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor
mekano sensitif dan hernosensitif. Apabila nyeri diatas, hal ini dapat
mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeir yang berlanjut istirahat atau
tidur terganggu dan terjadi keterbatasan gerak, (Potter &Perry 2010 dalam
Prayogi, R., kk. 2019).
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan Dalam manajemen perawatan luka ada
beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptic,
pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka.
a. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan
eksplorasi).

b. Tindakan antiseptic, prinsipnya untuk mensucikan akan kulit. Untuk


melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan
atau larutan antispetik seperti :
1) Alcohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif).
2) Halogen dan senyawanya
3) Yodium merupakan antiseptic yang sangat kuat, berspektrum
luas dan dalam konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3
jam.
4) Povidin Yodium (betadine, septadine dan isodine) merupakan
kompleks yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak
merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil
karena tidak menguap.
5) Yodofom, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya
untuk antiseptic borok.
6) Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitine) merupakan senyawa
biguanid dengan sifat bakterisid dang fungisid, tidak
berwarna, mudah larut dalam air, tidak merangsang kulit dan
mukosa, dan baunya tidak menusuk hidung.
7) Oksidansia
8) Kalium permanganate, bersifak bakterisiddan fungsida agak
lemah berdasarkan sifat oksidator.
9) Perhidol (Peroksida air, H2O2) berkhasiat untuk
mengeluarkan kotoran dari dalam luka dan membunuh kuman
anaerob
10) Logam berat dan garamnya.
11) Merkuri klorida (sublimat), berhasiat menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur. 12)Merkurokrom (obat
merah) dalam larutan 5- 10%. Sifatnya bakteriostatik lemah,
mempercepat keringnya luka dengan cara merangsang
timbulnya kerak (Korts).
12) Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
13) Derivate fenol.
14) Tirnitfenol (asam pikrat), kegunaannya sebagai antiseptic
wajah dan eksterna sebelum operasi dan luka bakar.
15) Heksaklorofan (pHisohex), berkhasiat untuk mencuci tangan.
16) Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol),
merupakan turunan aridin dan berupa serbuk berwana kuning
dam konsentrasi 0,1%. Kegunaannya sebagai antiseptic borok
bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi.

Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu


diperhatikan adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian
luka. Pengunaan cairan pencuci yang tidak tepat akan menghambat
pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan
biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam pencucian luka harus
cairan yang efektif dana man terhadap luka. Selain larutan
antiseptic yang telah dijelaskan diatas ada cairan pencuci luka lain
yang saat ini sering digunakan yaitu Normal Saline, normal saline
atau disebut juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang
bersifat fisiologis, non toksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap
liternya mempunyai komposisi natrium klorida 9,0 g dengan
osmolaritas 308 mOsm/I setara dengan ion-ion Na’ 154 mEq/I.

c. Penjahitan Luka
Luka bersih diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang
dari 8 jam boleh dijahit primer, sedangakn luka yang terkontaminasi
berat dana tau tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh
persekundam atau pertertiam.
d. Penutupan Luka Adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang
baik pad luka sehingga proses oenyembuhan berlangsung optimal.
2. Medis :
a. Penjahitan luka Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi
serta berumur kurang dari 8 jam boleh dijahit primer, sedangkan
luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak berbatas tegas
sebaiknya dibiarkan sembuh per sekundam atau per tertiam.
b. Pemberian Antibiotik Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu
diberikan antibiotik dan pada luka terkontaminasi atau kotor maka
perlu diberikan antibiotic.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Menurut Rudi Hamamo (2016) pengkajian Airway (A), Breathing
(B), circulation (C), disability (D), exposure (E) pada pengkajian
gawatdarurat adalah :
a. Airway (jalan napas).
Lihat (Look) adalah tanda-tanda obstruksi jalan napas.
Obstruksi jalan napas menyebabkan pergerakan dada dan abdomen
secara paradox (pernapasan see-saw) dan penggunaan otot-otot
pernapasan aksesoris. Sianosis sentral merupakan tanda lanjut dari
obstruksi jalan napas.
Biasanya pada pasien vulnus laceratum metatarsal tidak
terdapat sumbatan jalan napas, pasien sadar, memegang leher,
gelisah, sianosis, tampak tidak ditemukan kesulitan bernafas, tidak
terdengar bunyi nafas sursling, snoring ataupun stridor.
b. Breathing
(Menurut Rani, 2013), pengkajian pada pernafasan
dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan
pernafasan pada pasien. Dan pengkajian pada kegawatdaruratan
vulnus laceratum metatarsal, breathing look, listen dan feel
dilakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigen pasien. Sesak
nafas tidak terjadi pada pasien vulnus laceratum metatarsal karena
frekuensi napas pasien dalam rentang normal, tidak ditemukan
adanya suara napas tambahan, dan adanya udara yang keluar dari
jalan nafas.
c. Circulation
Lihat (look) warna tangan dan jari. Tanda-tanda gangguan
kardiovaskuler termasuk akral (perifer) yang dingin dan pucat.
Ukurlah waktu pengisian kapiler (capilary refill time), CRT
memanjang (> 2 detik) dapat menunjukkan perfusi perifer yang
buruk walaupun faktor-faktor lainnya misalnya Nilai suhu tubuh
pada ekstremitas hangat atau dingin, suhu yang dingin
menunjukkan perfusi jaringan yang buruk.
Pada pengkajian kegawatdaruratan vulnus laceratum
metatarsal terdapat gangguan kardiovaskuler yaitu akral dingin dan
crt
d. Disability
Penilaian disabilitas melibatkan evaluasi fungsi sistem saraf
pusat. Lakukan penilaian cepat pada tingkat kesadaran pasien
dengan menggunakan metode Alert, Verbal, Pain, Unresponsive
(AVPU) atau menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Berbagai
penyebab perubahan tingkat kesadaran meliputi hipoksia,
hiperkapnia, hipoperfusi cerebral, obat-obat analgetik, sedative dan
hipoglikemia.
Pengkajian pada pasien kegawatdaruratan vulnus laceratum
metatarsal terdapat GCS E4 M6 V5 dimana tingkat kesadaran pada
pasien vulnus laceratum metatarsal yaitu composmentis.
e. Exposure
Secara khusus, pemeriksaan harus dipusatkan pada bagian
tubuh yang paling berkonstribusi pada status penyakit pasien
(Musliha, 2010), pada pengkajian pasien kegawatdaruratan vulnus
laceratum metatarsal masalah yang terjadi pada exposure yaitu
terdapat nyeri pada daerah luka robek (control pada kasus vulnus
laceratum, dengan membuka pakaian pasien tetapi cegah
hipotermi).
2. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis dapat menggunakan format SAMPLE (Sumptom, Alergi,
Medikasi, Post Ilness, Last meal dan Event / Enviroment) yang
berhubungan dengan kejadian. Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala
hingga kaki (Head to toe) dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan
diagnostic.
Pengkajian pada vulnus laceratum metatarsal sebenarnya hampir
sama dengan pengkajian pada penderita lainnya. Berikut pengkajian
keperawatan pada pasien vulnus laceratum (Muttaqin, 2016) :
a. Identitas Nama, umur, suku/bangsa, agama, alamat, pendidikan,
pekerjaan.
b. Riwayat kesehatan sekarang
1) Sumber kecelakaan.
2) Sumber panas atau penyebab yang berbahaya.
3) Faktor yang mungkin berpengaruh seperti alkohol, obat-
obatan.
4) Keadaan fisik sekitar luka.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pasien memiliki penyakit keturunan atau tidak seperti (DM, gagal
jantung, sirosishepatis, gangguan pernafasan).
d. Pemeriksaan fisik
a) Aktivitas atau istirahat Gejala : Merasa lemah. Tanda :
Penurnan kekuatan tahanan keterebatasan rentang gerak,
perubahan aktifitas.
b) Sirkulasi Gejala : perubahan tekanan darah/normal Tanda :
perubahan frekuensi jantung takikardi atau bradikardi.
c) Integritas ego Gejala : perubahan tingkah laku dan
kepribadian. Tanda : ketakutan, cemas, gelisah.
d) Eliminasi Gejala : Konstipasi, retensi urin.
e) Neurosensory Gejala : Vertigo, tiitus, baal pada ekstremitas,
kesemutan nyeri.
Tanda : Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
pusing, nyeri pada daerah cidera, kemerahan.
f) Nyeri/kenyamanan.
Gejala : nyeri pada daerah luka bila disentuh atau ditekan.
Tanda : wajah meringis, respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa tidur, kulit nyeri panas,
luka warna kemerahan, bau, dan edema.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis
(robekan).
c. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuscular

4. Intervensi Keperawatan

No DIAGNOSA SLKI SIKI


1 Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi
berhubungan tindakan selama 1x24 1. Identifikasi lokasi,
dengan agen jam diharapkan Nyeri karakteristik, durasi,
pencedera fisik akut berhubungan frekuensi, kualitas,
dengan agen pencedera identifikasi nyeri
fisik menurun 2. Identifikasi skala nyeri
Dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi respon nyeri
1. Keluhan nyeri non verbal
menurun 4. Identifikasi faktor yang
2. Meringis menurun memperberat dan
3. Gelisah menurun memperingati nyeri
5. Identivikasi dan
pengetahuan dan
kenyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terafeutik
1. Berikan tekhnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
priode,dan pemicu nyeri
2. Jelaskan priode
meredakan nyeri
3. Ajarkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggubakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan tekhnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Gangguan Setelah dilakukan Observasi
mobilitas fisik b/d tindakan selama 1x24 1. Identifikasi adanya nyeri
gangguan jam diharapkan atau keluhan fisik lainnya
neuromuscular Gangguan mobilitas 2. Identifikasi toleransi fisik
fisik b/d gangguan melakukan ambulasi
neuromuscular 3. Monitor frekuensi jantung
meningkat dan tekanan darah
Dengan kriteria hasil sebelum memulai
1. Pergerakan ambulasi
ekstremitas 4. Monitor kondisi umum
meningkat selama melakukan
2. Kekuatan otot ambulasi
3. Rentang gerak Terafeutik
(ROM) 1. Fasilitasi aktifitas
4. Nyeri menurun ambulasi dengan alat
5. Kecemasan bantu
menurun 2. Fasilitasi melakukan
6. Kaku sendi menurun mobilitas fisik
7. Gerakan terbatas 3. Libatkan keluarga untuk
menurun membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
2. Anjurkan melakukan
ambulasi mandiri
3. Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan.
3 Gangguan Setelah dilakukan Observasi
integritas kulit tindakan keperawatan 1. Mmonitor karakteristik
berhubungan 1x24 jam diharapkan luka
dengan factor integritas kulit 2. Monitor tanda-tanda
mekanis (robekan). meningkat dengan infeksi
kriteria hasil : Terapeotik
1. Kerusakan jaringan 1. Lepaskan balutan dan
dari meningkat plester secara perlahan
menjadi menurun. 2. Cukur rambut di sekitar
2. Kerusakan lapisan luka, jika perlu
kulit dari meningkat 3. Bersihkan dengan cairan
menjadi menurun. NaCl atau pembersih
3. Nyeri dari nontoksik, sesuai
meningkat menjadi kebutuhan
menurun 4. Bersihkan jaringan
4. Perdarahan dari nekrotik
meningkat menjadi 5. Bersihkan salep yang
menurun. sesuai ke kulit /lesi, jika
5. Kemerahan dari perlu
meningkat menjadi 6. Pasang balutan sesuai
menurun jenis luka
7. Pertahankan tekhnik steril
saat perawatan luka
8. Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
9. Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam atau
sesuai kondisi pasien
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
3. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi prosedur
debridemen
2. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

5. Implementasi keperawatan
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Potter & Perry,
2010). Tujuan implementasi ini untuk membantu pasien dalam meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi
koping. (Nursalam,2008).
6. Evaluasi

Evaluasi keperawatan merupakan tahap kelima dari proses

keperawatan. Tahap ini sangat penting untuk menentukan adanya perbaikan

kondisi atau kesejahteraan klien (Perry & Potter, 2013). Hal yang perlu

diingat bahwa evaluasi merupakan proses kontinyu yang terjadi saat perawat

melakukan kontak dengan klien. Selama proses evaluasi perawat membuat

keputusan-keputusan klinis dan secara terus-menerus mengarah kembali ke

asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan adalah membantu klien

menyelesaikan masalah kesehatan actual untuk mencegah terjadinya masalah

risikp, dan mempertahankan status kesehatan sejahtera. Proses evaluasi

menentukan keefektifan asuhan keperawatan yang diberikan.

Perawat dapat menggunakan format evaluasi SOAP untuk

mengevaluasi hasil Perencanaan yang dilakukan. Poin S Merujuk pada respon

subjektif pasien setelah diberikan Perencanaan. Poin O pada respon objektif

yang dapat diukur pada pasien setelah dilakukannya Perencanaan. Poin A

adalah analisis perawat terhadap Perencanaan yang dilakukan. Poin P adalah

perencanaan terkait tindakan selanjutnya sesuai analisis yang telah dilakukan

sebelumnya.
DAFTAR FUSTAKA

https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/
71e7396d64cd8fc80d58a823bea3a05b.pdf

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia.Edisi 1.Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. StandarLuaranKeperawatan Indonesia.Edisi


1.Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. StandarIntervensiKeperawatan Indonesia.Edisi


1.Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai