Anda di halaman 1dari 21

V.

PEMBAHASAN

Nekropsi di lakukan pada tanggal 07 April 2021 hari selasa, jam 09.00

WIB bertempat di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya. Nekropsi di lakukan terhadap seekor ayam betina dengan nomor

protokol A-93, berumur sekitar kurang lebih 10 minggu, dengan berat badan 700

gram. Ayam kepemilikan bapak bagiyo yang beralamat di Ds. Margourip Kec.

Ngancar Kab. Kediri ayam ini diketahui anoreksia, kepala bengkak, keluar leleran

bening dari rongga hidung, pernafasan terganggu, bulu kusam, ngorok dan feses

berwarna putih encer.

5.1 Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik

5.1.1 Pemeriksaan Trakea

Pemeriksaan trakea secara makroskopik, terjadi perubahan yang terlihat

beberapa mengalami hemoragi dan adanya eksudat pada trakea. Pada pemeriksaan

histopat terjadi hemoragi. Terjadinya hemoragi ditunjukkan adanya sel eritrosit

mukosa trakea.

A B

16
C

Gambar 5.1 Makrokopik dan Mikroskopik Trakea. Terlihat hemoragi dan adanya

eksudat (A), pembesaran 40x HE,( )sel eritrosit di jarigan (B), pembesaran 40x

HE, ( ) sel radang ( ) epitel ruptur (C)

Membran mukosa trakea tersusun atas epitel berderet silindris berkinosilia.

Antigen atau benda asing yang telah ditangkap oleh mukus akan didorong menuju

faring dengan aktivitas silia. Hilangnya silia akan mengganggu pergerakan silia

sehingga unggas akan mudah terserang penyakit. Epitel penyusun trakea

memiliki fungsi penting dalam pertahanan saluran pernafasan, sehingga kerusakan

struktur atau deskuamasi dari epitel dapat mempengaruhi kualitas udara yang

masuk ke paru-paru (Tumpey et al., 2002)

Hemoragi adalah keadaan keluarnya darah dari pembuluh darah.

Hemoragi dapat disebabkan karena adanya proses inflamasi. Pelebaran sel endotel

pada proses inflamasi akan meningkatkan volume darah dalam pembuluh.

Volume darah yang meningkat di jaringan dapat menimbulkan perdarahan

(Baratawidjaja dan Iris, 2012). Perdarahan terjadi karena peregangan sel endotel,

sehingga apabila jaraknya terlalu lebar sel darah merah dapat keluar dari

pembuluh darah (Putra et al. 2012).

17
5.1.2 Pemeriksaan Paru – paru

A B

Gambar 5.2 Makrokopik dan Mikroskopik Paru – paru. Paru – paru terlihat

hemoragi (A), pembesaran 10x HE, ( ) kongesti ( ) edema (B), pembesaran

40x HE, ( ) empisema ( ) sel eritrosit (C)

Paparan secara berkelanjutan dan terus-menerus dapat merangsang

terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan yang berakibat terjadinya

remodeling jalan napas berupa terjadinya kerusakan epitel (Palmans et al. 2002).

Hemoragi adalah keadaan keluarnya darah dari pembuluh darah.

Hemoragi dapat disebabkan karena adanya proses inflamasi. Pelebaran sel endotel

pada proses inflamasi akan meningkatkan volume darah dalam pembuluh.

18
Volume darah yang meningkat di jaringan dapat menimbulkan perdarahan

(Baratawidjaja dan Iris, 2012).

Emfisema alveolar (akut dan menahun). Pada emfisema alveolar akut,

bagian alveolar paru-paru yang normal bertambah volumenya untuk menampung

udara dari bagian yang tidak berfungsi (tidak berisi udara), yang disebabkan oleh

pneumonia, atelectasis dan sebab-sebab lain. Emfisema alveolar ini diakibatkan

oleh gangguan penarikan nafas misalnya karena sebagian lumen bronki tersumbat

oleh eksudat, parasit, juga akibat dari spasmus bronki. Secara mikroskopik alveoli

kelihatan sangat renggang, meluas dan sebagian besar retak (Baratawidjaja and

Iris, 2012).

5.1.3 Periksaan Hepar

A B

19
C

Gambar 5.3 Makrokopik dan Mikroskopik Hepar. Hepar terlihat hemoragi (A),

pembesaran 10x HE, ( ) sel eritrosit ( ) sinusoid (B), pembesaran 40x HE,

( ) sel radng ( ) kongesti (C)

Pada pemeriksaan hepar secara mikroskopik, terlihat adanya sel eritrosit,

sel radang dan adanya kongesti pada vena sentralis yang menunjukkan terjadinya

peradangan dan hemoragi pada hepar.

5.1.4 Pemeriksaan Jejunum

A B

Gambar 5.4 Makrokopik dan Mikroskopik Jejunum. Tampak terlihat hemoragi

dan penebalan pada mukosa (A), pembesaran 10x HE, ( ) terdapat sel eritrosit

( ) sel goblet (B),

20
Hasil pemeriksaan secara patologi anatomi pada organ ayam setelah

dilakukan nekropsi, ditemukan adanya cacing Ascaridia galli pada lumen. Tingkat

infestasi cacing yang ditemukan pada lumen usus adalah sedang (moderate). Pada

mukosa usus terlihat adanya daerah fokal hemoragi yang menunjukkan Ascaridia

galli telah menanamkan diri pada lapisan mukosa (Hambal dkk., 2019).

Hasil pemeriksaan secara histopatologi pada preparat usus ditemukan

adanya deskuamasi epitel vili, hemoragi, infiltrasi sel radang, dan proliferasi sel-

sel kripta yang diakibatkan oleh infeksi cacing Ascaridia galli. Cacing dewasa

juga dapat menyebabkan kerusakan epitel dalam bentuk atrofi pada vili yang

mengganggu integritas mukosa usus dan pemanfaatan nutrisi sehingga dapat

mempengaruhi penurunan berat badan pada ayam (Das et al., 2010; Shaibu,

2015). Infeksi cacing A. galli juga dapat menyebabkan penebalan pada tunica

muscularis usus ayam. Hemoragi terjadi akibat cacing A. galli berintegrasi dengan

jaringan mukosa inang (Hambal dkk., 2019).

5.1.5 Pemeriksaan Sekum

21
Gambar 5.5 Makrokopik dan Mikroskopik Sekum. Tampak terlihat hemoragi

pada mukosa (A), pembesaran 40x HE, ( ) terdapat sel eritrosit ( ) sel goblet

(B), ( ) pembesaran 4x HE, terjadinya ruptur vili (C)

Pasca nekropsi Heterakis gallinarum menunjukkan lesi kasar, obstruksi,

penebalan dan petekie mukosa, obstruksi usus dan granuloma nodular di sekum.

Parasit nematoda menyebabkan enteritis hemoragik di usus oleh karena itu dapat

menyebabka kerusakan parah. Heterakis gallinarum parasit menyebabkan

peradangan. Terjadinya infeksi usus yang berhubungan dengan Heterakis

gallinarum menunjukkan parah reaksi inflamasi pada sekum ( butt et al., 2016).

5.2 Pemeriksaan Parasitologi

Parasit merupakan penyebab kerugian berupa penurunan berat badan dan

hambatan pertumbuhan, penurunan produksi telur serta penurunan kualitas telur.

Ascaridia galli merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada

unggas termasuk ayam (Mubarokah dkk., 2019). Cacing yang hidup dan

berkembang di dalam saluran gastrointestinal sering ditemukan pada unggas. Pada

penelitian yang dilakukan kali ini ditemukan cacing golongan nematoda pada

22
organ berongga. Pada jejunum ditemukan cacing jenis Ascaridia galli dan

Heterakis gallinarum pada sekum.

Ascaridia galli berbentuk oval dan memiliki dinding yang tebal. Telur

Ascaridia galli berbentuk oval dan dilindungi oleh 3 lapisan: bagian dalam yaitu

lapisan permeabel disebut membrana vitelin, bagian tengah berupa lapisan cangkang

resisten yang tebal, dan bagian luar berupa lapisan albuminosa yang tipis

(Mubarokah dkk., 2019).

B
A
C

Gambar 5.6 Telur Ascaridia galli. membrana vitelin (A), lapisan cangkang (B),

lapisan albuminosa (C)

Perkembangan telur Ascaridia galli menjadi 8 tahap, yaitu: telur fertil, tahap

pembelahan telur, morula dengan blastomer besar, morula dengan blastomer kecil,

tahap awal diferensiasi, tahap “tad pole”, embrio bentuk awal dan embrio melingkar.

(Mubarokah dkk., 2019).

Morfologi Ascaridia galli pada ayam di Indonesia telah dilakukan oleh

Fauzi dan Sahara (2013), dimana panjang cacing Ascaridia galli yang didapat dari

ayam kampung adalah jantan 4,2-7,2 cm betina 3,3-11 cm.

23
A B C

Gambar 5.7 Ascaridia galli, kepala (A), badan (B), ekor (C)

Tarbiat (2012) menyatakan bahwa perkembangan telur Ascaridia galli

dipengaruhi oleh lingkungan (suhu dan kelembaban).Cacing Ascaridia galli tidak

membutuhkan hospes perantara, penularan cacing ini melalui pakan, air minum

ataupun feses yang mengandung telur.

Siklus hidup Ascaridia galli melibatkan dua populasi utama; parasit

seksual dewasa dalam saluran pencernaan dan tahap infektif (L2) dalam bentuk

telur resisten berembrio di lingkungan. Telur Ascaridia galli yang dilepaskan

bersama tinja inang definitif dapat berkembang dalam waktu 10 hari atau lebih

pada temperatur rendah. Perkembangantersebut menyebabkan massa telur

berubah dan dipenuhi oleh gelungan larva infektif. Daur hidup disempurnakan

ketika telur infektif Ascaridia galli teringesti oleh inang definitif melalui

makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung embrio secara mekanik

terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24 jam pasca ingesti.

Kadang-kadang cacing tanah dapat bertindak sebagai inang paratenik karena

menelan telur Ascaridia galli, selanjutnya cacing tanah tersebut dimakan oleh

ayam (Kurniawan dkk, 2010).

24
Morfologi Heterakis gallinarum berbentuk slinder, panjang, berkelok,

diameter dari pangkal sampai ujung ekor semakin mengecil dan panjang larva

dapat mencapai 2cm (Damayanti dkk., 2019).

A B

Gambar 5.8 Heterakis gallinarum, kepala (A), ekor (B)

Siklus hidup Heterakis sp tergolong langsung dengan cacing tanah dan

lalat sebagai inang antara. Telur-telur yang tidak berembrio keluar bersama feses

dan berkembang menjadi telur infektif sekitar 2 minggu, tergantung pada suhu

dan kelembaban. Ketika telur yang infektif tertelan oleh inang yang peka maka

telur menetas dalam usus kecil. Dalam waktu 24 jam, larva telah mencapai sekum

melalui lumen usus dimana mereka berkembang menjadi cacing dewasa.

Heterakis gallinarum adalah nematoda parasit yang paling umum pada unggas,

biasa dianggap tidak patogen walaupun dalam infeksi berat dapat memicu

penebalan sekum mukosa (Kurniawan dkk, 2010).

25
5.3 Pemeriksaan Patologi Klinik

Tabel 5.1 Hasil Pemeriksaan Hematologi Ayam

Jenis Normal
Unit Hasil Keterangan Interpretasi
Pemeriksaan Range
Eritrosit 106/µL 1.3-4.5 3,6 Normal -
Hb g/dL 7-13 9 Normal -
PCV % 23-55 34 Normal -
MCV Fl 85-200 94,4 Normal -
MCH Pg 33-47 25 Turun -
MCHC % 22-33 24,5 Normal -
TPP Awal g/dL 3–6 7 Naik Hiperproteinemia
TPP Akhir g/dL 3–6 6,4 Naik Hiperproteinemia
Fibrinogen g/dL 0,1 – 0,4 0,6 Naik Hiperfibrinogenemia
Leukosit 103/µL 12 – 30 37,6 Naik Leukositosis
R % 15 – 50 53
Heterofil Naik Heterofilia
A 103/µL 3–6 19,9
R % 29 – 84 7
Limfosit Turun Limfositopenia
A 103/µL 7 – 17,5 2,6
R % 0–7 10
Monosit Naik Monositosis
A 103/µL 1,5 - 2 3,8
R % 0 – 16 22
Eosinofil Naik Eosinofilia
A 103/µL 0–1 8,3
R % 0–8 8
Basofil Normal -
A 103/µL Rare 2,9

Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata – rata (mean corpuscular

hemoglobin, MCH) mengukur jumlah hemoglobin yang terdapat dalam satu

eritrosit, dan ditentukan melalui pembagian jumlah hemoglobin dalam 1000ml

darah melalui jumlah eritrosit permilimeter kubik darah. MCH dinyatakan dalam

pikogram hemoglobin/eritrosit (Price and Wilson, 2006). Nilai normal MCH

unggas adalah sekitar 33 – 47 Pg (Weis and Wardrop, 2010). Nilai MCH yang

26
didapatkan dari hasil perhitungan adalah 25 Pg yang berarti mengalami

penurunan.

Komposisi Total Protein Plasma (TPP) terdiri dari albumin, globulin dan

fibrinogen (Widhyari dkk., 2011). Nilai TPP awal 7 g/dL dan nilai TPP akhir 6,4

g/dL yang berarti mengalai kanaikan. Nilai TPP yang tinggi disebut dengan

Hiperproteinemia. Hiperproteinemia merupakan kelebihan konsentrasi protein

pada serum atau plasma yang disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adanya

hemokonsetrasi dan inflamasi. Hemokonsetrasi merupakan penyebab umum

keadaan hiperproteinemia. Hiperproteinemia terjadi karena konsentrasi dari

plasma protein yang kehilangan plasma H2O. H2O yang hilang dalam plasma

disebabkan karena penurunan volume cairan ektraseluler saat keadaan diare,

vomit, atau gangguan respirasi. Avibacterium paragallinarum merupakan

penyakit yang mengganggu sistem respirasi pada ayam serta paparan terus

menerus dapat menyebabkan inflamasi pada organ yang terserang. Keadaan

hemokonstrasi biasa diikuti oleh eritrositosis. Hiperproteinemia dapat disebabkan

dari inflamasi (Stockham and Scott, 2008)

Dari hasil pemeriksaan Fibrinogen didapatkan hasil 0,6 g/dL, nilai ini

mengalami kenaikan dari stadar normal, dimana standar normal dari kadar

fibrinogen unggas adalah antara 0,1 – 0,4 g/dL (Weis and Wardrop, 2010).

Kelainan kenaikan kadar fibrinogen ini disebut dengan Hyperfibrinogenemia.

Fibrinogen (FB) adalah glikoprotein terlarut yang ada dalam plasma

semua vertebrata (Ceron et al., 2005). Disintesis oleh hepatosit, FB berfungsi

27
sebagai indikator utama adanya peradangan selama penyakit (O'Reilly and

Eckersall, 2014). Kadar fibrinogen akan meningkat sewaktu terjadi peradangan

atau nekrosis jaringan, dimana deposisi fibrinogen sebagai gambaran umumnya

(Tampi dkk., 2016). Pada keadaan terjadinya inflamasi dan dehidrasi akan

menyebakan peningkatan konsentrasi dari fibrinogen dan beberapa protein lain

(Stockham and Scott, 2002). Ayam dengan nomor A – 93 mengalami

Hyperfibrinogenemia disebabkan adanya infeksi dari bakteri Avibacterium

paragallinarum yang menyebabkan kerusakan pada paru-paru yang mengalami

kongesti dan adanya hemoragi pada saluran pencernaan. hal ini sesuai dengan

pernyataan Ali et al (2013), pada ayam yang terinfeksi Avibacterium

paragallinarum lesi inflamasi pada organ paru - paru dilihatkan adanya kongesti,

perdarahan, pembengkakan, lendir.

Peningkatan atau penurunan jumlah leukosit dalam sirkulasi darah dapat

diartikan sebagai hadirnya agen penyakit, peradangan, penyakit autoimun atau

reaksi alergi. Nilai leukosit 37,6 103/µL, nilai ini mengalami kenaikan dari nilai

standart 12 – 30 103/µL. Peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) sebagai

respon fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Naiknya

jumlah leukosit merupakan indikator adanya infeksi yang mengakibatkan

terjadinya inflamasi (Sriwati et al. 2014). Ayam petelur dengan nomor protokol

A-93 terinfeksi Avibacterium paragallinarum. Terjadinya infeksi yang

berkepanjangan menyebabkan jumlah leukosit meningkat dari nilai normal. Hal

ini merupakan mobilisasi cadangan dan pembentukan leukosit berjumlah besar

selama beberapa hari atau minggu (Tambayong, 2002).

28
Limfositopenia merupakan endahnya persentase limfosit juga

berhubungan dengan rendahnya kemampuan beradaptasi pada suhu lingkungan

pemeliharaan yang panas. Lingkungan yang panas akan memicu sekresi hormon

kortikosteroid yang tinggi. Tingginya hormon tersebut di dalam darah, dapat

menghambat pembentukan limfosit, sehingga menyebabkan limfositopenia.

Limfosit adalah leukosit agranulosit dan merupakan leukosit terbanyak didalam

darah unggas, mempunyai ukuran dan bentuk bervariasi (Sturkie dan Griminger,

1976). Dijelaskan pula Yalcinkaya et al. (2008) menyatakan bahwa limfosit

merupakan unsur penting dalam sistem kekebalan tubuh, yang berfungsi

merespon antigen dengan membentuk antibodi. Fungsi utama limfosit adalah

merespon adanya antigen (benda asing) dengan membentuk antibodi yang

bersirkulasi dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (Tizard, 1982).

Infeksi Avibacterium paragallinarum sehingga monosit meningkat yang

berfungsi sebagai sel makrofag. Monositosis merupakan kondisi peningkatan

monosit dalam darah (Stockham and Scott, 2008). Monosit adalah prekursor

makrofag dalam darah sirkulasi. Begitu ada infeksi agen patogen, maka monosit

akan segera bermigrasi ke jaringan yang mengalami peradangan dan berubah

menjadi sel makrofag. Makrofag ini merupakan sel fagosit yang potensial, karena

ukurannya lebih besar, umurnya lebih panjang dan kemampuannya menelan

bakteri lebih banyak dari pada heterofil.

Peningkatan heterofil, dikarenakan heterofil merupakan yang bertindak

untuk menghilangkan iritasi, bakteri, atau sel dan jaringan yang rusak.

Peningkatan heterofil dapat menurunkan perlekatan heterofil pada dinding

29
pembuluh darah dan diduga meningkatkan pelepasan granulosit dari cadangan

thimus serta menghalangi migrasi granulosit, sehingga mengakibatkan heterofil

dalam sirkulasi bertambah (Bijanti dkk., 2010). Neutrofil dalam darah akan

meningkat jika terjadi infeksi dan berperan sebagai pertahanan pertama dalam

tubuh (Harikrishnan et al., 2010). Heterofil mempunyai aktivitas amuboid dan

sifat fagositosis untuk mempertahankan tubuh melawan infeksi benda asing

seperti virus dan partikel lain. Invasi bakteri, virus, dan parasit yang terjadi di

jaringan akan mengakibatkan heterofil bergerak ke daerah infeksi melalui

diapedesis dan gerak amuboid. Heterofil tertarik ke daerah invasi karena adanya

berbagai factor kemotaktik dari sel yang rusak untuk memfagosit bakteri dan

partikel asing lainnya (Yalcinkaya et al. 2008)

Eosinofilia berkaitan dengan obstruksi jalan napas yang reversibel.

Mekanisme yang paling mungkin adalah melalui dua jalan, yang pertama dengan

adanya pelepasan dari enzim yang dapat mendegradasi mediator sel mast dan

meningkatkan efek dari mediator tersebut. Pada sisi lain berkontribusi pada

kerusakan jaringan akibat tertumpuknya protein besar pada bronkus. (Tizzard,

1982). Eosinofil merupakan sel darah putih yang sitoplasmanya bergranula

berwarna eosin (Tizzard, 1982). Iritasi mukus saluran pencernaan sehingga

merangsang terbentuknya eosinofil yang meningkat. Eosinofil berperan dalam

reaksi alergi, serangan parasit (Caceci 1998) dan jumlahnya akan terus meningkat

selama serangan alergi. Heterofil bersifat fagositik terutama terhadap antigen dan

antibodi kompleks. Eosinofil muncul di tempat-tempat respon alergi dan berfungsi

protektif dengan mengakhiri respon peradangan (Corwin 2000). Biasanya

30
eosinophilia berhubungan dengan fungsi anti inflamasi ( Stockham and Scott,

2008).

5.4 Pemeriksaan Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan untuk menegakkan diagnosa bakteri

dengan isolasi dan identifikasi Avibacterium paragallinarum yang menjadi

penyebab bakterial pada ayam dengan nomor protokol A-93. Isolasi dilakukan

dengan menggunakan sampel swab sinus infraorbitalis kemudian ditanam pada

coklat agar lalu diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.

Gambar 5.9 Hasil Kultur di Media Colat Agar


Media coklat agar digunakan untuk bakteri yang menginfeksi pernafasan

salah satunya Avibacterium paragallinarum. Avibacterium paragallinarum

membutuhkan faktor pertumbuhan seperti NAD dan hematin. Coklat agar berasal

dari blood agar base. Blood agar base pada suhu 800C dicampurkan dengan darah

kemudian menghasilkan warna kecoklatan sehingga disebut coklat agar. Darah

domba atau darah kuda adalah darah yang digunakan sebagai blood agar base.

Pembuatan coklat agar akan meng-inaktivasi V faktor inactivating enzyme dan

31
melepaskan nicotinamide-adenine-dinucleotid (NAD atau faktor V) dari darah

kedalam media saat proses pemanasan. Hemin ada didalam darah, baik yang

sudah mengalami hemolysis maupun tidak (Sulistyaningsih, 2018).

Gambar 5.10 Hasil Kultur di Media Mac Conkey Agar (MCA)


Media Mac Conkey Agar (MCA) digunakan untuk membuktikan apakah

bakteri Avibacterium paragallinarum dapat tumbuh pada media MCA. Pada

penelitian ini menunjukkan bahwa Avibacterium paragallinarum tidak tumbuh

pada media MCA. Markey et al., (2013) menunjukkan bahwa Avibacterium

paragallinarum tidak tumbuh pada media MCA.

Gambar 5.11 Avibacterium paragalinarum

32
Pewarnaan gram dilakukan dengan memberikan kristal violet selama 1

menit, larutan lugol selama 1 menit, alkohol selama 1 menit, dan safranin selama

1 menit. Zat warna safranin diserap bakteri gram negatif karena senyawa kristal

violet dan alkohol akan larut sehingga sel mengikat warna safranin. Pewarnaan

gram terlihat bakteri berwarna merah dan berbentuk kokobasil, tidak berspora (El-

Ghany and Abd., 2011). Menurut Tangkonda dkk., (2019) bahwa pewarnaan

Avibacterium paragallinarum terlihat bentukan kokobasil, non motil, gram

negatif, dan tidak membentuk spora.

A B C D E F

Gambar 5.12 Uji Biokma. Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA) (A), Uji Simon

Citrat Agar (SCA) (B), Uji Sulfit Indol Motility (SIM) (C), Uji Methiyl Red (MR)

(D), Uji Voges Proskauer (VP) (E), Uji Katalase (F).

Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA) bertujuan untuk membedakan gram

negatif yang mampu memfermentasi karbohidrat dengan menghasilkan asam

(Priya et al., 2012). Penanaman Avibacterium paragallinarum pada media TSIA

menunjukkan hasil positif acid. Penanaman Avibacterium paragallinarum tahap

awal bagian dasar/butt dan bagian miring/slant akan berwarna kuning akibat

adanya produksi asam dari fermentasi glukosa, jika bakteri mampu

33
memfermentasi laktosa dan/atau sukrosa kondisi asam akan terus dipertahankan

sehingga butt dan slant akan tetap berwarna kuning. Bakteri yang tidak

memfermentasi laktosa dan sukrosa, setelah jumlah glukosa pada media menipis

maka akan menggunakan pepton sebagai sumber energi, metabolisme pepton akan

menyebabkan suasana basa yang menyebabkan bagian slant kembali ke warna

asalnya, yakni berwarna merah (El-Ghany and Abd., 2011). Kasus ini sesuai

dengan pernyataan Tangkonda dkk., (2019) yang menyatakan bahwa

Avibacterium paragallinarum dapat memfermentasi glukosa, laktosa dan sukrosa.

Pada uji Simon Citrat Agar (SCA) menunjukkan hasil negatif karena

media tetap berwarna hijau, apabila hasinya positif makan media akan berubah

menjadi warna biru. Berdasarkan penelitian Markey et al., (2013) Avibacterium

paragallinarum dengan uji SCA menunjukkan hasil negatif. Sitrat merupakan

salah satu komponen utama dalam siklus krebs yang merupakan hasil reaksi

antara asetil koenzim A (CoA) dengan asam oksaloasetat (4C). Sitrat dibuat oleh

enzim sitrase yang menghasilkan asam oksaloasetat dan asetat kemudian melalui

proses enzimatis diubah menjadi asam piruvat dan karbon dioksida. Selama reaksi

tersebut medium menjadi bersifat alkali (basa) karena karbondioksida yang

berikatan dengan sodium (Na) dan air (H2O) membentuk sodium carbonat (Na).

Adanya sodium karbonat inilah yang akan mengubah indikator bromthymol blue

pada medium menyebabkan medium berubah warna dari hijau menjadi biru tua

(Markey et al., 2013).

Uji Sulfit Indol Motility (SIM) menunjukkan hasil negatif (Thenmozhi and

Malmarugan 2013). Tangkonda dkk., (2019) mengatakan bahwa Avibacterium

34
paragallinarum tidak memproduksi indol. Uji produksi indol yang ditujukan

untuk mengetahui kemampuan mikroba mendegradasi asam amino triptofan.

Adanya enzim triptofanase pada bakteri yang dapat menghidrolisis asam amino

triptofan menjadi indol dan asam piruvat. Asam amino triptofan terdapat pada

protein, sehingga asam amino ini dengan mudah dapat digunakan oleh

mikroorganisme sebagai sumber energi. Reagen kovac’s digunakan untuk

mendeteksi indol yang membentuk lapisan atau cincin merah pada permukaan

medium. Warna tersebut terbentuk karena indol yang berada dalam medium

diekstrak ke dalam lapisan reagent oleh komponen asam butanol dan membentuk

kompleks dengan p-dimethylaminobenzaldehyde (Wahyuni dkk, 2018).

Uji Methiyl Red (MR) menunjukkan hasil negatif, hal ini sesuai dengan

pernyataan Akter et al., (2014). Uji MR bertujuan mengetahui Avibacterium

paragallinarum mampu dalam mengoksidasi glukosa dengan menghasilkan asam

sebagai produk akhir dan berkonsentrasi tinggi (Khatun et al., 2016).

Uji Voges Proskauer (VP) Avibacterium paragallinarum menunjukkan

hasil negatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khatun et al., (2016) uji VP

ditujukkan untuk mengevaluasi kemampuan organisme menghasilkan substansi

non asam atau produk akhir netral seperti asetilmetil karbonil dari asam organik

sebagai hasil metabolisme glukosa.

Pada uji katalase menunjukkan hasil negatif, Tangkonda dkk., (2019)

mengatakan bahwa Avibacterium Paragallinarum katalase bersifat negatif.

Proses respirasi aerobik, mikroba menghasilkan hydrogen peroksida yang dalam

35
kasus tertentu merupakan superoksida yang sangat toksik. Akumulasi senyawa

ini dapat menyebabkan kematian bila tidak segera didegradasi. Senyawa ini

dihasilkan bila mikroba aerobik, anaerobik dan mikroaerofilik menggunakan

lintasan respirasi aerobik dengan oksigen sebagai akseptor elektronnya dan

selama degradasi karbohidrat untuk menghasilkan energi. Mikroba yang

menghasilkan katalase dapat segera mendegradasi hydrogen peroksida. Mikroba

aerobik yang tidak memiliki katalase dapat mendegradasi terutama superoksida

toksik dengan enzim superoksida dismutase dan produk akhir adalah hidrogen

peroksida (H2O2) yang kurang toksik dibandingkan dengan superoksida lainnya.

Produksi katalase dapat dibuktikan dengan menambahkan substrat H2O2 ke

dalam kultur media miring TSIA. Dengan adanya katalase maka timbul

gelembung gas dari oksigen bebas (Wahyuni dkk, 2018). Hal ini sesuai dengan

pernyataan Wahyuni et al., (2018) dan Anjaneya, (2014) bahwa Avibacterium

Paragallinarum katalase bersifat negatif.

36

Anda mungkin juga menyukai