PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kasus HPAI pada ayam petelur komersial telah diketahui keberadaannya sejak bulan Juli
tahun 2003, meskipun pada saat itu terjadi perdebatan yang alot dalam peneguhan
diagnosanya sampai kemudian Direktur Jenderal Peternakan pada tanggal 25 Januari 2004
dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor
96/KPTS/PP.620/2/2004 tanggal 3 Februari 2004, menetapkan Indonesia telah terjangkit
wabah penyakit Avian Influenza pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A
subtipe H5N1.
Setelah terjadi kematian manusia oleh virus HPAI H5N1 pada bulan Juli tahun 2005 di
Tanggerang dan virus HPAI subtipe H5N1 berpotensi menimbulkan pandemi influenza pada
manusia maka ditetapkan adanya Komite Nasional Flu Burung dan Kesiapsiagaan
Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) dengan Peraturan Presiden no 7 tahun 2006.
Kekhawatiran dunia akan terjadinya pandemi Avian Influenza (AI) pada manusia dan dugaan
bahwa Indonesia sebagai episentrumnya menempatkan Indonesia sebagai negara yang harus
dicermati. Berbagai upaya pengendalian telah banyak dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dari tingkat pusat sampai daerah melalui koordinasi Komnas FBPI.
Dampak wabah AI pada unggas mempengaruhi suplai, impor dan ekspor day old chick
(DOC) ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer) dan harga input-output usaha
perunggasan. Kendala yang dihadapi pemerintah dalam penanganan AI adalah rendahnya
kesadaran masyarakat dan terbatasnya lahan realokasi untuk ayam kampung. Indonesia
sebagai negara yang korban manusianya paling tinggi di dunia serta rumit dan kompleksnya
sistem pemeliharaan unggas menarik perhatian peneliti di seluruh dunia untuk turut
berpartisipasi. Kabupaten/kota yang telah dinyatakan terjangkit virus HPAI H5N1 terberat
adalah Jawa, menyusul Sumatera, Bali dan Sulawesi dengan kerugian tidak kurang dari 4.3
Triliyun di luar kehilangan kesempatan kerja dan berkurangnya konsumsi protein hewani asal
ayam dan telur. Berbagai penelitian telah dilakukan oleh berbagai instansi berkaitan dengan
wabah AI dan berbagai aspek terkait, untuk mencari solusi penanganan dan pengendalian
wabah AI agar pandemi influenza bisa dicegah dan tidak akan pernah terjadi.
1.2.
Rumusan Masalah
Bagaimana prosedur nekropsi dan gambaran patologi anatomi pada penyakit Avian
Influenza ?
1.3.
Tujuan
Mengetahui prosedur nekropsi , gejala klinis, gambaran patologi, diagnosis, dan
nekropsi pada unggas yang terserang Avian Influenza
1.4.
Manfaat
Memahami dan mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang prosedur nekropsi ,
gejala klinis, gambaran patologi, diagnosis, dan nekropsi pada unggas yang terserang
Avian Influenza
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Gambar. Gejala klinis pada ayam.a) cyanosis pada kepala, b) perdarahan pada aki, c)
keluarnya cairan dari hidung dan paruh, d) pebengkakan pada kepala
2. Patologi
4
Pada nekropsi (bedah bangkai) yang terlihat adalah perdarahan umum, edema, hiperemi
atau ptekhie pada hampir seluruh bagian tubuh, kondisi ini sangat sulit dibedakan dari ND
ganas. Selain itu ditemukan edema subkutan. Perubahan pada nekropsi mungkin sangat
bervariasi sejalan dengan umur, spesies, dan patogenisitas virus. Beberapa ciri lesi tipikal
dapat berupa, edema subkutan pada daerah kepala dan leher, kongesti dan ptekhie
konjunctiva, trakea dilapisi mukus atau hemoragik, kongesti dan timbunan urat dalam ginjal,
ptekhie pada proventrikulus, tembolok, usus, lemak abdominal dan peritoneum. Ovarium
pada ayam petelur terlihat hemoragik atau nekrotik, kantung telur terisi dengan kuning telur
yang rupture sehinga sering terlihat adanya peritonits dan peradangan pada kantung udara.
Sering pada ayam muda yang mati perakut terlihat adanya dehidrasi dan kongesti otot yang
parah.
Bentuk Ringan. Terjadi radang nekrotik pada proventikulus dekat perbatasan dengan
ventrikulus, pankreas bewarna merah tua dan kuning muda, terdapat eksudat (kataralis,
fibrinous, serofibrinous, mukopurulen atau kaseus) pada trachea, penebalan kantong udara
berisi eksudat fibrinous atau kaseus, peritonits fibrinous dan peritonits, enterits kataralis
sampai fibrinous dan terdapat eksudat di dalam oviduct.Bentuk Akut. Bila mati dalam waktu
singkat tidak akan ditemukan perubahan makroskopik tertentu. Pada stadium awal terlihat
edema kepala yang disertai dengan pembengkakan sinus, sianosis, kongesti dan hemoragik
pada pial dan jenger, kongesti dan haemorhagi pada kaki, dan nekrosis pada hati, limpa,
ginjal serta paru- paru.
A menunjukkan perdarahan dan cyanosis pada jengger dan pial; B menunjukkan perdarahan
pada lapisan subkutan telapak kaki
Ket : A menunjukkan perdarahan pada lapisan sub kutan bagian ventral tubuh; B
menunjukkan petekhi pada otot paha; C menunjukkan perdarahan dan nekrosis pada hati; D
menunjukkan perdarahan pada ovarium
Pedoman Gambaran PA AI
Avian Influenza
3. Diagnosa
Diagnosa lapangan dengan melihat gejala klinis dan patologi anatomi. Secara
laboratorium diagnosa dapat ditegakan secara virologis dengan cara inokulasi suspensi
spesimen (suspensi swab hidung dan trakea, swab kloaka dan feses atau organ berupa trakea,
paru, limpa, pankreas dan otak) pada telur berembrio umur 9 1 hari (3 telur per spesimen).
Identifkasi dapat dilakukan secara serologis, antara lain dengan uji Agar Gel Immunodifusion
(AGID), uji Haemaglutination Inhibiton (HI). Penentuan patogenisitas virus dilakukan
dengan cara menyuntikan isolat virus dari cairan alantois secara intravena (IV) pada 10 ekor
anak ayam umur 6 mingu atau 4 8 minggu. Jika mati 6 ekor atau lebih dalam 10 hari, atau
Intravena patogenicity index (IVPI) > 1,2 diangap HPAI. Secara molekuler keberadan virus
AI dapat dideteksi dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT- PCR), real
time RT-PCR atau sekuensing genetik.
4. Diagnosa Banding
Avian Influenza sering dikelirukan dengan Newcastle Disease (ND), Infectious
Laryngotrachaetis (ILT), Infectious Bronchits (IB), Fowl cholera dan infeksi Escherichia coli.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen Spesimen yang diambil untuk uji serologi
adalah serum, sedangkan untuk uji virology adalah swab hidung dan trakea, swab kloaka dan
feses, paru, limpa, pankreas dan otak. Baik jaringan organ segar maupun spesimen swab
harus dikirm dalam media transpor ke laboratorium. Pengirman specimen harus dijaga dalam
keadaan dingin dan dikirmkan ke Laboratorium Veteriner setempat .
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan nekropsi dilakukan secara patologi anatomi
tanpa bantuan pemeriksaan laboratorium. Sebelum melakukan nekropsi, diperiksa
keadaan umum kadaver, status gizi, kulit, leleran dari lubang tubuh, adanya tumor /
bentukan abnormal lainnya, keadaan mata, pial, keadaan daerah kloaka (kotor, berdarah,
luka). Pada nekropsi (bedah bangkai) yang terlihat adalah perdarahan umum, edema,
hiperemi atau ptekhie pada hampir seluruh bagian tubuh, kondisi ini sangat sulit
dibedakan dari ND ganas. Beberapa ciri lesi tipikal dapat berupa, edema subkutan pada
daerah kepala dan leher, kongesti dan ptekhie konjunctiva, trakea dilapisi mukus atau
hemoragik, kongesti dan timbunan urat dalam ginjal, ptekhie pada proventrikulus,
tembolok, usus, lemak abdominal dan peritoneum. Ovarium pada ayam petelur terlihat
hemoragik atau nekrotik, kantung telur terisi dengan kuning telur yang rupture sehinga
sering terlihat adanya peritonits dan peradangan pada kantung udara.
DAFTAR PUSTAKA
DAMAYANTI et al. 2004.: Gambaran klinis dan patologis pada ayam yang terserang
flu burung sangat patogenik (HPAI) di beberapa peternakan.Bogor.Balai Penelitian
Veteriner.
Damayanti.Yunny et al. 2012. Evaluasi Penyakit Virus pada Kadaver Broiler Berdasarkan