Disusun oleh :
Desqi Vigia Anggis Dwimantara, S.K.H.
20/458146/KH/10516
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah meridhoi dan
memberi anugerah sehingga Laporan Koasistensi Diagnosa Laboratorik yang
berjudul “Infeksi African Swine Fever Virus dan Balantidiosis pada Babi (Sus
scrofa)” bisa terselesaikan sebagai salah satu syarat mencapai gelar dokter hewan
di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Selama penyusunan laporan ini, tentunya tidak lepas dari bantuan yang
diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. drh. Christin Marganingsih Santosa, M.Si., selaku Koordinator Koasistensi
Diagnosa Laboratorik.
2. Prof. drh. Kurniasih, M.VSc., Ph.D., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi Anatomi.
3. Prof. Dr. drh. A.E.T.H. Wahyuni, M.Si., selaku dosen pembimbing
Laboratorium Mikrobiologi.
4. Dr. drh. Dwi Priyowidodo, M.P., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Parasitologi.
5. drh. Dorothea Vera Magarani, MPH., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi Klinik.
6. Teman-teman kelompok koasistensi A.2020.12 atas dukungan dan kerja
samanya dalam menjalani Koasistensi Diagnosa Laboratorik.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk
perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran hewan.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
INTISARI
Manfaat
Manfaat pemeriksaan laboratorik dari babi ini adalah menjadi bahan
pembelajaran serta dapat memberikan informasi yang lebih akurat kepada
pembaca terutama pada pemilik atau peternak babi mengenai agen penyebab
penyakit, patogenesis penyakit serta dampak yang ditimbulkan, sehingga dapat
dilakukan tindakan penanganan dan pengobatan serta pencegahan dari serangan
penyakit serta peningkatan manajemen pemeliharaan.
KAJIAN PATOLOGI ANATOMI
Pengamatan makroskopis kasus African Swine Fever Virus pada
limfoglandula mesenterika terlihat ukuran membesar dan hemoragi di bagian
medula. Lesi tersebut yang terkadang membuat limfoglandula memiliki tampilan
seperti marmer dan khas pada bentuk infeksi akut. Pada pengamatan mikroskopis
terlihat limfoglandula mengalami kongesti karena terdapat debris sel. Sinus
medula mengalami dilatasi dan terdapat nekrosis limfosit yang ditandai dengan
karioreksis. Karena limfoglandula merupakan tempat replikasi ASFV sehingga
terdapat invasi makrofag di zona perifolikuler dan area sub kapsula. Di daerah
kortikal terjadi hemosiderosis sehingga terdapat endapan hemosiderin di daerah
sub kapsula (Ganowiak, 2012).
KAJIAN PARASITOLOGI
Balantidiosis
Etiologi dan Morfologi
Balantidiosis adalah suatu penyakit infeksius yang terjadi di seluruh dunia
dan disebabkan oleh protozoa, Balantidium coli. Parasit ini dapat ditemukan pada
lumen sekum, kolon babi, manusia, dan primata sebagai organisme komensal,
namun dapat menjadi patogen kalau didahului oleh adanya kerusakan pada
jaringan akibat mikroorganisme lain (Winaya et al., 2011).
Balantidium coli memiliki dua bentuk dalam siklus hidupnya, yaitu
tropozoit dan kista. Tropozoit berbentuk oval dan besar serta dikelilingi cilia
pendek yang memungkinkan begerak di dalam usus besar. Ukuran dari tropozoit
bervariasi, biasanya memiliki panjang 30 – 15- µm dan lebar 25 – 120 µm.
Sitostoma yang berperan sebagai mulut terletak di bagian anterior. Tropozoit
memiliki 2 nukleus, yang berukuran lebih besar disebut makronukleus dan
berukuran lebih kecil disebut mikronukleus. Makronukleus dan mikronukleus
terletak di bagian posterior dan biasanya saling tumpang tindih dan sulit untuk
diamati keduanya. Selain makronukleus dan mikronukleus, serig dijumpai adanya
vakuola pada sitoplasma. Kista berbentuk bulat dengan diameter 40 – 60 µm dan
dikelilingi oleh dinding sista yang tebal. Kista juga memiliki makronukleus,
vakuola dan silia (Gordo dan Pomajbikova, 2018 ; Winaya, dkk., 2011). Kista
merupakan stadium infektif dan dapat bertahan pada lingkungan selama beberapa
hari, terutama pada lingkungan yang lembab (Winaya, dkk., 2011 ; Purnama,
dkk., 2019). Gambar dari tropozoit dan kista Balantidium coli dapat dilihat pada
Gambar 9.
c
a
d
b
A B
Gambar 10. Siklus hidup B.coli (1-2) sista, (2.1) tropozoit, (CI) silia, (CW)
dinding sista, (CY) sitopige, (MA) makronukleus, (MI)
mikronukleus) (Mehlhorn, 2008).
Patogenesis
Patogenesis Balantidium coli dimulai dari tertelannya kista ke dalam
mulut baik berasal dari pakan, air minum, ataupun tanah di sekitar hospes berada.
Kemudian, kista mengalami eksitasi di dalam usus halus dan menjadi tropozoit.
Tropozoit menuju ke dalam sekum dan berkolonisasi dalam sekum yang
menimbulkan ulser pada mukosa usus. Tropozoit juga dapat melakukan invasi
hingga lapisan muskularis dan juga menimbulkan ulser karena memiliki enzim
proteolitik (seperti hyaluronidase) yang diproduksi sehingga menyebabkan
kerusakan. Infeksi yang berat juga dapat menimbulkan terjadinya hemoragi dan
nekrosis dan perdarahan serta menimbulkan respon seluler dari limfosit dan sel
polimorfonuklear. Adanya ulser , hemoragi, dan nekrosis pada infeksi yang berat
juga menimbulkan diare pada babi. Diare yang berat menyebabkan babi
kehilangan banyak cairan yang menimbulkan babi kehilangan berat badan dan
lemas (Kennedy, 2006; Mehlhorn, 2008; Gordo dan Pomajbikova, 2018).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbukan pada Babi yang terinfeksi Balantidium coli
kadang bersifat asimtomatik, hanya infeksi yang berat yang menunjukkan gejala
klinis. Infeksi kronis menunjukkan gejala klinis berupa diare, penurunan berat
badan, dan kelemahan. Pada infeksi akut menunjukkan gejala klinis berupa diare
berdarah, terjadi perdarahan yang hebat menyebabkan penyebaran parasit ke
berbagai organ dan menyebabkan kematian (Gordo dan Pomajbikova, 2018).
Diagnosa
Diagnosa Balantidium coli didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan post
mortem dan ditemukan adanya tropozoit pada organ, dan deteksi kista pada
sampel feses hewan bergejala klinis yang mengarah pada infeksi balantidiasis.
Sampel feses dikumpulkan dan harus segera diperiksa untuk mendapatkan hasil
yang baik. Sampel biopsi jaringan diperiksa dan diidentifikasi adanya tropozoit
dengan pembuatan preparat histologi (Gordo dan Pomajbikova, 2018).
Pemeriksaan
Pemeriksaan yang umum dilakukan yaitu pemeriksaan sampel feses
dengan menggunakan metode natif dan sentrifus untuk menemukan adanya kista
dan menggunakan metode Mc master untuk menghitung jumlah kista. Selain itu,
juga dilakukan pemeriksaan histopatologis pada organ kolon atau sekum babi
yang menunjukkan adanya perubahan (Gordo dan Pomajbikova, 2018).
a. Metode Natif
Metode natif merupakan metode paling sederhana dalam pemeriksaan
feses. Metode natif dilakukan dengan cara mengambil sedikit sampel feses
dengan menggunakan ujung gelas pengaduk yang kecil lalu dioleskan pada
object glass. Kemudian, ditambahkan satu sampai dua tetes air dan
meratakannya dan ditutup dengan cover glass lalu diamati dengan mikroskop
(Paramitha, dkk., 2017).
b. Metode Sentrifus/Apung
Metode sentrifus atau apung yaitu metode dengan menggunakan prinsip
pengapungan. Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh.
Prinsip dari metode ini adalah perbedaan berat jenis dari telur dan larutan,
berat jenis telur lebih ringan disbanding dengan berat jenis larutan sehingga
telur dapat mengapung. Selain itu juga dapat memisahkan dengan partikel-
partikel besar yang terdapat dalam feses (Paramitha, dkk., 2017).
Metode sentrifus dilakukan dengan cara memasukkan feses yang sudah
dihancurkan dan ditambahkan air ke dalam tabung sentrifus setinggi ¾ tabung.
Kemudian, disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm, kemudian
cairan di atas endapan di buang, lalu ditambahkan garam jenuh atau gula
jenuh di setinggi ¾ tabung dan diaduk. Selanjutnya, disentrifus kembali
selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Kemudian, tabung diambil dan
diletakkan pada rak tabung dan ditetesi larutan garam jenuh atau gula jenuh
hingga cairan terlihat cembung pada mulut tabung lalu dibiarkan selama
kurnag lebih 3 menit. Selanjutnya, object glass ditempelkan pada permukaan
cembung dengan hati-hati dan dibalik perlahan dan ditutup dengan cover
glass, lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100X (Paramitha,
dkk., 2017).
c. Metode Mc master
Metode Mc Master bertujuan untuk menghitung menghitung jumlah
oosista atau telur yang ditemukan per gram feses. Metode ini dilakukan
dengan cara menimbang feses sebanyak 2 gram dimasukkan dalam bekerglass
kemudian ditambahkan akuades sebanyak 28 ml (perbandingan antara air
dengan feses adalah 14 :1). Selanjutnya dimasukkan magnet lalu diaduk
dengan stirrer. Kemudian, dimasukkan 0,3 ml gula jenuh pada dobel object
glass dan diambil campuran feses sebanyak 0,3 ml lalu diaduk. Selanjutnya
ditunggu kurang lebih 3 menit dan diperiksa di bawah mikroskop lalu
dihitung semua sista pada semua bidang. Hasil hitungan dikalikan dengan 50.
Hasil tersebut menunjukkan jumlah sista per gram feses (Paramitha, dkk.,
2017; Pouillevet, dkk., 2017).
d. Pemeriksaan Histopatologis
Setelah babi dinekropsi, dilakukan pengambilan terhadap organ yang
menunjukkan adanya kelainan, selanjutnya disimpan dalam pot yang sudah
mengandung netral buffer formalin 10 % lalu dibuat preparat histopatologi.
Setelah jadi preparat histopatologi, diamati perubahan yang terjadi pada organ
dan dicari kemungkinan adanya tropozoit (Purnama, dkk., 2019).
5. Aujeszky’s Disease
Penyakit Aujeszky, juga dikenal sebagai pseudorabies, menyebabkan
masalah reproduksi dan neurologis yang parah pada hewan yang terkena,
seringkali menyebabkan kematian. Hewan yang lebih muda terkena dampak
paling parah, dengan tingkat kematian mencapai 100 persen selama dua
minggu pertama usia. Anak babi biasanya mengalami demam, berhenti
makan, dan menunjukkan tanda neurologis (gemetar, kejang, kelumpuhan),
dan sering mati dalam waktu 24-36 jam. Babi yang lebih tua (lebih dari dua
bulan) mungkin menunjukkan gejala yang sama, tetapi biasanya mengalami
gejala pernapasan dan muntah, dan kecil kemungkinannya untuk mati. Lesi
nekrotik dan ensefalomielitis fokal terjadi di otak besar, otak kecil, adrenal
dan organ dalam lainnya seperti paru-paru, hati atau limpa. Pada janin atau
anak babi yang masih sangat muda, bintik putih pada hati merupakan ciri khas
infeksi virus (Beltran-Alcrudo et al.,2017).
6. Salmonellosis
Babi muda biasanya lebih rentan. Hewan yang dirawat tepat waktu dapat
merespons terapi antimikroba. Konfirmasi diagnosis adalah dengan kultur
bakteri. Gambaran umum dengan ASF termasuk demam, kehilangan nafsu
makan, gangguan pernapasan atau gastrointestinal. Hewan bisa mati 3-4 hari
setelah terinfeksi. Babi yang mati karena salmonelosis septikemia
menunjukkan sianosis pada telinga, kaki, ekor, dan perut. Temuan nekropsi
dapat berupa perdarahan petekie di ginjal dan permukaan jantung, pembesaran
limpa (tetapi dengan warna normal), pembengkakan kelenjar getah bening
mesenterika, pembesaran hati, dan kongesti paru-paru (Beltran-Alcrudo et
al.,2017). Diferensial diganosa Virus ASF dapat dilihat pada gambar 14.
Gambar 14. Diferensial Diagnosa Virus ASF (Beltran-Alcrudo et al.,2017)
Isolasi dan Identifikasi
Gambar 22. Hasil Deteksi Genom dengan PCR (Yabe et al., 2015).
d. Deteksi Antibodi dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip metode immunoassay adalah reaksi antara antigen dan antibodi
spesifik dimana hasil reaksi dapat diamati dengan menggunakan suatu label
atau marker. ELISA merupakan salah satu metode immuno assay yang paling
banyak digunakan. Pada uji ini reaksi terjadi dengan mengabsorbsikan antigen
atau antibodi pada suatu solid phase serta dengan memberi label suatu enzim.
Enzim yang paling banyak digunakan adalah Horseradish peroxidase dan
Alkaline phosphatase. Enzim ini dapat dilabel baik pada antibodi maupun
antigen yang akan membentuk warna dengan penambahan suatu substrat.
Pengujian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan mengamati intensitas
warna yang terbentuk (Gallardo et al., 2015).
Prosedur ELISA yang dilakukan adalah sebagai berikut: serum uji dan
kontrol diencerkan 1/10 dalam buffer pemblokiran (PBS yang mengandung
0,05% Tween 20,2% susu skim dan serum babi normal 2%), dan satu lubang
pelat ELISA dibiarkan kosong sebagai sumur kontrol (100 µl buffer
pemblokiran). Serum diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 ± 2 ° C pada plate
shaker. Konjugat pra-titrasi pada working dilution (kisaran yang disarankan 1:
5000–1: 20000 protein A, 1 mg / ml) dipertahankan selama 45 menit pada 37
± 2 ° C pada plate shaker. Substrat baru yang terbentuk ditambahkan 100 µl /
per sumur dengan larutan substrat (ABTS [2,2'-azino-di (3-ethyl-
benzothiazoline) -6-sulfonic acid] diammonium salt) dan diinkubasi selama 30
menit pada suhu ruangan dalam keadaan gelap. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 100 µl / sumur dengan stopping solution (1% natrium dodesil
sulfat). Hasil yang diperoleh dibaca pada ELISA reader atau
spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm. Setiap batch ASF-Ag pada
pengecekan dengan menggunakan indirect ELISA, harus disesuaikan terhadap
referensi serum ASF positif, batas dan negatif (PC, LC dan NC) untuk
menentukan pengenceran antigen yang optimal untuk digunakan dalam
pelapisan pelat ELISA. Batch baru ASF-Ag dianggap optimal ketika pada
pengenceran 1: 1600 (0,5-0,9 g / per sumur) dan menggunakan pengenceran
tunggal serum pada 1/30. Semua sampel serum hasil pengenceran diukur rasio
hasil pengukuran level absorbennya (OD) dan dibandingan dengan level
background (OD PC/OD NC). Sampel dinyatakan “positif” apabila OD dari
PC (Kontrol Positif), setidaknya 4 kali lebih tinggi dari OD dari NC (Kontrol
Negatif).
(OIE, 2019)
A
B
D
C
A B C
Gambar 26. Sel darah normal pada babi. (A)Monosit, (B) Eosinofil, (C)
Neutrofil (Weiss dan Wardrop, 2010).
Eosinofil mempunyai granula eosinofilik berwarna merah. Eosinofil
terlibat dalam respon terhadap infeksi parasit, jamur, protozoa, alergi, dan
penyakit kompleks imun. Protein dalam granula bertanggung jawab atas tanda
pada nekrosis yang ditemukan dalam jaringan dengan inflamasi eosinofilik. Pada
hewan normal eosinofilik jarang muncul pada darah perifer. Eosinofilia
merupakan kenaikan jumlah eosinofil dalam sirkulasi yang biasanya berhubungan
dengan hipersensitivitas/alergi (dermatitis, alergi, asma), parasit (cacing hati,
parasit eksternal), enteritis eosinofilik dan sindrom hipereosinofilik. Beberapa
penyakit kulit dan leukimia juga dapat menyebabkan eosinofilia. Eosinophenia
adalah jumlah eosinofil yang kurang dari normal. Hal ini dapat terjadi karena ada
respon inflamasi terhadap infeksi akut dan dapat digunakan sebagai pertanda
adanya bakteri (Rosenfeld, 2010).
Basofil mempunyai granula basofilik berwarna ungu pada kebanyakan
spesies. Kandungan granular mirip dengan apa yang ditemukan pada sel mast,
jaringan sel mononuklear sering dikaitkan dengan respon inflamasi dan kondisi
alergi. Pada hewan normal jarang pada darah perifer. Jumlahnya sering
meningkat dalam respon penyakit seperti eosinofil (Rosenfeld, 2010).
Peningkatan basofil yang dinamakan basofilia biasanya disertai eosinofilia dan
leukimia granulosit basofilia. Jumlah sel basofil meningkat sehubungan dengan
hiperlipemia. Basopenia yaitu menurunnya jumlah basofil pada sirkulasi darah.
Penyebabnya adalah terapi kortikosteroid, reaksi induksi obat dan infeksi
pyogenik (Salasia dan Hariono, 2010).
Monosit berasal dari sum-sum tulang, masuk dalam sirkulasi darah, dan
berubah menjadi makrofag di dalam jaringan. Makrofag memiliki fungsi untuk
fagositosis dan digesti makromolekuler, partikulat dan sel debris, mensintesis
komponen-komponen tertentu, transferin, endogenous pyrogen, lysozyme dan
interferon, serta untuk imunitas seluler (Salasia dan Hariono, 2010). Monositosis
merupakan meningkatnya sirkulasi dari monosit yang berhubungan dengan
nekrosis jaringan dan peradangan kronis, jamur dan penderita neutropenia.
Monositosis dapat dipicu oleh defisiensi mineral Zn yang menyebabkan
kegagalan sel monosit dan makrofag dalam fagositosis. Monositopenia atau
menurunan jumlah monosit dalam sirkulasi tidak mempunyai arti klinik pada
pemeriksaan leukogram (Rosenfeld, 2010).
Limfosit adalah jenis sel paling banyak kedua dalam darah perifer anjing,
kucing, kuda dan manusia. Namun pada ruminansia limfosit adalah leukosit darah
perifer umum. Fungsi utama limfosit adalah berperan dalam kekebalan imunitas.
Ada dua tipe utama limfosit yaitu sel B produksi imunoglobulin dan sel T untuk
mengatur sistem imun dan proses imunitas. Limfosit mulanya diproduksi di sum-
sum tulang kemudian bermigrasi ke beberapa organ yang mengatur pembentukan
limfoid. Limfositosis adalah kenaikan jumlah leukosit yang tersirkulasi. Hal ini
disebabkan oleh kegembiraan yang berlebihan. Limfopenia adalah penurunan
jumlah limfosit dalam sirkulasi darah. Kondisi ini bisa disebabkan oleh stress
(steroid menghambat kembalinya limfosit ke sirkulasi dan menyebabkan limfosit
lisis chytothorax atau akumulasi cairan kaya limfosit cavum thorax menyebabkan
hilangnya limfosit di jaringan dan rongga tubuh) dan pelebaran pembuluh limfa
pada saluran pencernaan (penyakit defisiensi imun turunan dan penyakit viral)
(Rosenfeld, 2010).