Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK

INFEKSI AFRICAN SWINE FEVER VIRUS DAN BALANTIDIOSIS


PADA BABI (Sus scrofa)

Disusun oleh :
Desqi Vigia Anggis Dwimantara, S.K.H.
20/458146/KH/10516

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah meridhoi dan
memberi anugerah sehingga Laporan Koasistensi Diagnosa Laboratorik yang
berjudul “Infeksi African Swine Fever Virus dan Balantidiosis pada Babi (Sus
scrofa)” bisa terselesaikan sebagai salah satu syarat mencapai gelar dokter hewan
di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Selama penyusunan laporan ini, tentunya tidak lepas dari bantuan yang
diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. drh. Christin Marganingsih Santosa, M.Si., selaku Koordinator Koasistensi
Diagnosa Laboratorik.
2. Prof. drh. Kurniasih, M.VSc., Ph.D., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi Anatomi.
3. Prof. Dr. drh. A.E.T.H. Wahyuni, M.Si., selaku dosen pembimbing
Laboratorium Mikrobiologi.
4. Dr. drh. Dwi Priyowidodo, M.P., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Parasitologi.
5. drh. Dorothea Vera Magarani, MPH., selaku dosen pembimbing Laboratorium
Patologi Klinik.
6. Teman-teman kelompok koasistensi A.2020.12 atas dukungan dan kerja
samanya dalam menjalani Koasistensi Diagnosa Laboratorik.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan untuk
perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran hewan.

Yogyakarta, 9 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
INTISARI

INFEKSI AFRICAN SWINE FEVER VIRUS DAN BALANTIDIOSIS


PADA BABI (Sus scrofa)

Desqi Vigia Anggis Dwimantara, S.K.H.


20/458146/KH/10516

Babi betina berumur 6 bulan didapatkan dalam keaadan sakit dengan


gejala demam tinggi hingga 420C, depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak,
mata dan hidung keluar cairan, diare, feses encer dan berair. Hasil anamnesa
diketahui babi tersebut milik Bapak Wadikin yang beralamat di Deli Serdang,
Sumatera Utara. Populasi total 200 ekor babi, morbiditas 10% dan mortalitas 50%
per 1 bulan. Pakan yang diberikan berupa ampas tahu, bekatul, konsentrat, sisa
restoran, dan minum dari air sumur. Babi belum pernah diberi obat cacing dan
vaksin.
Hasil studi kasus patologi makroskopik dan mikroskopik babi mengalami
limfadenitis, splenitis, pneumonia, dan kolitis. Hasil studi kasus mikrobiologi
dengan sampel serum, darah, limpa, limfoglandula, jantung, sumsum tulang,
tonsil dan hati dengan pemeriksaan Haemadsorption Test, Direct Fluorescent
Antibody, Polymerase Chain Reaction, Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay, dan Indirect Fluorescent Antibody dapat terisolasi dan teridentifikasi virus
African Swine Fever. Hasil studi parasitologi dengan sampel feses dan kolon
ditemukan kista dan tropozoit Balantidium coli. Berdasarkan studi patologi klinik
babi mengalami anemia mikrositik hipokromik, hipoproteinemia,
hiperfibrinogenemia. leukopenia disertai left shift, eosinofilia, monositopenia, dan
limfopenia.
Kesimpulan berdasarkan studi kasus patologi, mikrobiologi, parasitologi
dan patologi klinik babi betina berumur 6 bualn tersebut didiagnosa mengalami
infeksi African Swine Fever Virus dan Balantidiosis.

Kata kunci : Babi, African Swine Fever, Balantidium coli


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak
keunggulan, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,
mudah mencari sumber pakan serta nilai karkas cukup tinggi sebagai penyedia
protein hewani bagi manusia. Ternak babi dan persilangannya banyak dipelihara
oleh masyarakat pedesaan dengan sistem pemeliharaan tradisional dan semi
intensif. Pemeliharaan ternak babi secara tradisional dan semi intensif tidak
membutuhkan biaya yang banyak jika dibandingkan dengan sistem pemeliharaan
intensif (Agustina et al., 2016).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam beternak babi seperti pada
hewan ternak lainnya yaitu manajemen pakan, pemeliharaan, dan kesehatannya.
Manajemen pakan sangat berpengaruh karena pertumbuhan dan perkembangan
babi sangat bergantung pada pakan. Manajemen yang buruk dapat menyebabkan
laju pertumbuhan terhambat, morbiditas dan mortalitas yang meningkat, timbul
penyakit yang menyebabkan peningkatan biaya pengeluaran dan kerugian
ekonomis karena penurunan produksi (Sihombing, 2006).
Penyakit yang dapat menyerang babi diantaranya virus, bakteri, jamur dan
parasit. Secara umum penyakit parasit pada babi dapat disebabkan oleh cacing,
arthropoda dan protozoa. Salah satu virus yang dapat menyerang ternak babi adalah
African Swine Fever Virus. Sedangkan protozoa yang menginfeksi saluran cerna
babi salah satunya adalah Balantidium coli. Penyakit viral dan protozoa saluran
cerna ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternak.
Kerugian yang ditimbulkan berupa penurunan berat badan, menghambat
pertumbuhan bahkan menimbulkan kematian (Ismail et al., 2010).
Tujuan
Tujuan dari Koasistensi Diagnosa Laboratorik ini adalah untuk
mengetahui, menganalisa dan mendiagnosa penyebab penyakit pada babi melalui
studi kasus secara komprehensif dari pemeriksaan patologi, mikrobiologi,
parasitologi, dan patologi klinik.

Manfaat
Manfaat pemeriksaan laboratorik dari babi ini adalah menjadi bahan
pembelajaran serta dapat memberikan informasi yang lebih akurat kepada
pembaca terutama pada pemilik atau peternak babi mengenai agen penyebab
penyakit, patogenesis penyakit serta dampak yang ditimbulkan, sehingga dapat
dilakukan tindakan penanganan dan pengobatan serta pencegahan dari serangan
penyakit serta peningkatan manajemen pemeliharaan.
KAJIAN PATOLOGI ANATOMI
Pengamatan makroskopis kasus African Swine Fever Virus pada
limfoglandula mesenterika terlihat ukuran membesar dan hemoragi di bagian
medula. Lesi tersebut yang terkadang membuat limfoglandula memiliki tampilan
seperti marmer dan khas pada bentuk infeksi akut. Pada pengamatan mikroskopis
terlihat limfoglandula mengalami kongesti karena terdapat debris sel. Sinus
medula mengalami dilatasi dan terdapat nekrosis limfosit yang ditandai dengan
karioreksis. Karena limfoglandula merupakan tempat replikasi ASFV sehingga
terdapat invasi makrofag di zona perifolikuler dan area sub kapsula. Di daerah
kortikal terjadi hemosiderosis sehingga terdapat endapan hemosiderin di daerah
sub kapsula (Ganowiak, 2012).

Gambar 1. Limfoglandula mesenterika membesar dan hemoragi


(Ganowiak, 2012).
Gambar 2. Limfoglandula mesenterika (A dan B) Dilatasi sinus medulla (C)
Endapan hemosiderin di sub kapsula, (D) Invasi makrofag di zona
perifolikuler (Ganowiak, 2012).
Limpa mengandung paling tinggi konsentrasi virus, dan DNA virus dapat
bertahan lebih lama di limpa dibandingkan organ dalam lainnya setelah kematian.
Infeksi akut menyebabkan limpa membesar, rapuh, dan berwarna merah tua atau
hitam. Pada infeksi sub akut, limpa membesar tetapi tidak rapuh, dengan warna
yang hampir normal. Pemeriksaan makroskopik limpa menunjukkan splenomegali
hiperemik karena ciri khas dari ASFV adalah dengan merusak jaringan dan organ
limfoid termasuk limpa. Pada pemeriksaan mikroskopik terdapat nekrosis
hemoragik pulpa merah dan putih. Pulpa merah limpa babi mengandung serat-
serat jala dan sel-sel otot polos yang dikelilingi oleh populasi makrofag yang
terikat pada tali-tali limpa. Nekrosis makrofag di pulpa merah diikuti oleh
hilangnya persimpangan antar sel dengan sel otot polos dan paparan lamina basal,
yang memicu aktivasi koagulasi, agregasi trombosit, dan deposisi fibrin, sehingga
menimbulkan akumulasi sel darah merah di dalam limpa (Salguero, 2020).
Gambar 3. Limpa membesar, tepi Gambar 4. Nekrosis hemoragik
membulat, warna merah tua pulpa merah dan putih
sampai hitam (Gallardo et limpa (Ganowiak, 2012).
al., 2015).
Edema pulmo dapat terjadi karena adanya infeksi parah pada makrofag
intravaskular paru (PIM) yang merupakan sel target utama untuk ASFV di pulmo.
PIM yang terinfeksi dan tidak terinfeksi cenderung membesar dan menunjukkan
tanda aktivasi sekretori. Produksi sitokin proinflamasi menginduksi aktivitas
kemotaksis dan meningkatkan permeabilitas endotel, yang menyebabkan
kebocoran cairan ke dalam septa interalveolar dan ruang alveolar. Pada
pemeriksaan mikroskopik terlihat parenkim paru mengalami kongesti, edema
interstitial dan intraalveolar. Terdapat infiltrat sel mononuklear di septa alveolar
dan lumina, infiltrat limfosit peribronkial dengan nekrosis limfosit, infiltrat
nekrosis endotel kapiler alveolar, serta terjadi pelebaran pembuluh darah karena
tersumbat oleh trombus trombosit (Salguero, 2020).

Gambar 5. Pulmo mengalami kongesti Gambar 6. Kongesti parenkim pulmo


dan edema (Ganowiak, dan terjadi pelebaran
2012). pembuluh darah (Ganowiak,
2012).
Perubahan patologi pada penyakit balantidiosis terutama terjadi pada
ruang abdomen dan sistem gastrointestinal. Sistema lain tidak terinfeksi dan tidak
mengalami perubahan patologi. Terjadi peritonitis ringan dengan terdapat
akumulasi cairan pada ruang peritoneum. Pada kolon dan usus halus teramati
mengalami distensi, hemoragik dan edema, Pengamatan pada mukosa usus
mengalami perdarahan terutama pada kolon (Winaya dkk., 2011).
Infeksi Balantidiosis pada kolon babi menimbulkan lesi berupa erosi,
distensi, hemoragi, dan edema. Erosi pada permukaan mukosa kolon disebabkan
oleh adanya enzim proteolitik yang disekresikan oleh Balantidium coli. Enzim ini
kemudian tersebar di permukaan mukosa dan menyebabkan kerusakan secara
perlahan sampai timbul nekrosis pada mukosa kolon. Pada pengamatan
mikroskopik, kolon mengalami peradangan dengan ditemukannya potongan
protozoa koloni B.coli di dalam mukosa dan masuk hingga lapisan submukosa
kolon. Peradangan juga dapat ditemukan mulai submukosa sampai mukosa. Pada
bagian mukosa ditemukan nekrosis. Sel radang yang ditemukan adalah sel
limfosit dan polimorfonuklear (Purnama, et al., 2019).

Gambar 7. Kolon dan usus Gambar 8. Kolon mengalami edema dan


mengalami distensi, peradangan pada membran
hemoragik dan edema serosa, sub mukosa sampai
(Purnama, et al., 2019). mukosa (Purnama, et al.,
2019).

KAJIAN PARASITOLOGI
Balantidiosis
Etiologi dan Morfologi
Balantidiosis adalah suatu penyakit infeksius yang terjadi di seluruh dunia
dan disebabkan oleh protozoa, Balantidium coli. Parasit ini dapat ditemukan pada
lumen sekum, kolon babi, manusia, dan primata sebagai organisme komensal,
namun dapat menjadi patogen kalau didahului oleh adanya kerusakan pada
jaringan akibat mikroorganisme lain (Winaya et al., 2011).
Balantidium coli memiliki dua bentuk dalam siklus hidupnya, yaitu
tropozoit dan kista. Tropozoit berbentuk oval dan besar serta dikelilingi cilia
pendek yang memungkinkan begerak di dalam usus besar. Ukuran dari tropozoit
bervariasi, biasanya memiliki panjang 30 – 15- µm dan lebar 25 – 120 µm.
Sitostoma yang berperan sebagai mulut terletak di bagian anterior. Tropozoit
memiliki 2 nukleus, yang berukuran lebih besar disebut makronukleus dan
berukuran lebih kecil disebut mikronukleus. Makronukleus dan mikronukleus
terletak di bagian posterior dan biasanya saling tumpang tindih dan sulit untuk
diamati keduanya. Selain makronukleus dan mikronukleus, serig dijumpai adanya
vakuola pada sitoplasma. Kista berbentuk bulat dengan diameter 40 – 60 µm dan
dikelilingi oleh dinding sista yang tebal. Kista juga memiliki makronukleus,
vakuola dan silia (Gordo dan Pomajbikova, 2018 ; Winaya, dkk., 2011). Kista
merupakan stadium infektif dan dapat bertahan pada lingkungan selama beberapa
hari, terutama pada lingkungan yang lembab (Winaya, dkk., 2011 ; Purnama,
dkk., 2019). Gambar dari tropozoit dan kista Balantidium coli dapat dilihat pada
Gambar 9.

c
a

d
b

A B

Gambar 9. Gambar A adalah Tropozoit Balantidium coli dengan (a)


adalah sistosoma dan (b) adalah makronukleus; Gambar B
merupakan kista Balantidium coli dengan dinding kista yang
tebal (c) dan makronukleus (d) (Gordo dan Pomajbikova,
2018)
Siklus Hidup
Balantidium coli merupakan penyakit yang dianggap sebagai food borne
disease dan water borne disease. Siklus hidup Balantidium dimulai dari
tertelannya pakan yang tercemar oleh kista. Kista yang masuk ke dalam tubuh
kita, lalu akan terjadi ekskistasi di dalam usus halus dan menjadi bentuk tropozoit.
Tropozoit ditutupi dengan deretan rambut seperti silia yang membantu dalam
motilitas, lalu menuju ke secum. Setelah sampai di sekum, tropozoit akan
berkembang dan membelah diri kemudian berkolonisasi dalam sekum yang
menimbulkan kerusakan sekum. Setelah itu, tropozoit akan membentuk kista.
Tropozoit dan kista akan dikeluarkan ke lingkungan melalui feses namun hanya
kista yang tahan terhadap kondisi lingkungan di luar tubuh untuk selanjutnya
mencemari air dan bahan makanan (Mehlhorn, 2008). Siklus hidup secara
sistematis ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Siklus hidup B.coli (1-2) sista, (2.1) tropozoit, (CI) silia, (CW)
dinding sista, (CY) sitopige, (MA) makronukleus, (MI)
mikronukleus) (Mehlhorn, 2008).
Patogenesis
Patogenesis Balantidium coli dimulai dari tertelannya kista ke dalam
mulut baik berasal dari pakan, air minum, ataupun tanah di sekitar hospes berada.
Kemudian, kista mengalami eksitasi di dalam usus halus dan menjadi tropozoit.
Tropozoit menuju ke dalam sekum dan berkolonisasi dalam sekum yang
menimbulkan ulser pada mukosa usus. Tropozoit juga dapat melakukan invasi
hingga lapisan muskularis dan juga menimbulkan ulser karena memiliki enzim
proteolitik (seperti hyaluronidase) yang diproduksi sehingga menyebabkan
kerusakan. Infeksi yang berat juga dapat menimbulkan terjadinya hemoragi dan
nekrosis dan perdarahan serta menimbulkan respon seluler dari limfosit dan sel
polimorfonuklear. Adanya ulser , hemoragi, dan nekrosis pada infeksi yang berat
juga menimbulkan diare pada babi. Diare yang berat menyebabkan babi
kehilangan banyak cairan yang menimbulkan babi kehilangan berat badan dan
lemas (Kennedy, 2006; Mehlhorn, 2008; Gordo dan Pomajbikova, 2018).

Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbukan pada Babi yang terinfeksi Balantidium coli
kadang bersifat asimtomatik, hanya infeksi yang berat yang menunjukkan gejala
klinis. Infeksi kronis menunjukkan gejala klinis berupa diare, penurunan berat
badan, dan kelemahan. Pada infeksi akut menunjukkan gejala klinis berupa diare
berdarah, terjadi perdarahan yang hebat menyebabkan penyebaran parasit ke
berbagai organ dan menyebabkan kematian (Gordo dan Pomajbikova, 2018).
Diagnosa
Diagnosa Balantidium coli didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan post
mortem dan ditemukan adanya tropozoit pada organ, dan deteksi kista pada
sampel feses hewan bergejala klinis yang mengarah pada infeksi balantidiasis.
Sampel feses dikumpulkan dan harus segera diperiksa untuk mendapatkan hasil
yang baik. Sampel biopsi jaringan diperiksa dan diidentifikasi adanya tropozoit
dengan pembuatan preparat histologi (Gordo dan Pomajbikova, 2018).
Pemeriksaan
Pemeriksaan yang umum dilakukan yaitu pemeriksaan sampel feses
dengan menggunakan metode natif dan sentrifus untuk menemukan adanya kista
dan menggunakan metode Mc master untuk menghitung jumlah kista. Selain itu,
juga dilakukan pemeriksaan histopatologis pada organ kolon atau sekum babi
yang menunjukkan adanya perubahan (Gordo dan Pomajbikova, 2018).
a. Metode Natif
Metode natif merupakan metode paling sederhana dalam pemeriksaan
feses. Metode natif dilakukan dengan cara mengambil sedikit sampel feses
dengan menggunakan ujung gelas pengaduk yang kecil lalu dioleskan pada
object glass. Kemudian, ditambahkan satu sampai dua tetes air dan
meratakannya dan ditutup dengan cover glass lalu diamati dengan mikroskop
(Paramitha, dkk., 2017).
b. Metode Sentrifus/Apung
Metode sentrifus atau apung yaitu metode dengan menggunakan prinsip
pengapungan. Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh.
Prinsip dari metode ini adalah perbedaan berat jenis dari telur dan larutan,
berat jenis telur lebih ringan disbanding dengan berat jenis larutan sehingga
telur dapat mengapung. Selain itu juga dapat memisahkan dengan partikel-
partikel besar yang terdapat dalam feses (Paramitha, dkk., 2017).
Metode sentrifus dilakukan dengan cara memasukkan feses yang sudah
dihancurkan dan ditambahkan air ke dalam tabung sentrifus setinggi ¾ tabung.
Kemudian, disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm, kemudian
cairan di atas endapan di buang, lalu ditambahkan garam jenuh atau gula
jenuh di setinggi ¾ tabung dan diaduk. Selanjutnya, disentrifus kembali
selama 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Kemudian, tabung diambil dan
diletakkan pada rak tabung dan ditetesi larutan garam jenuh atau gula jenuh
hingga cairan terlihat cembung pada mulut tabung lalu dibiarkan selama
kurnag lebih 3 menit. Selanjutnya, object glass ditempelkan pada permukaan
cembung dengan hati-hati dan dibalik perlahan dan ditutup dengan cover
glass, lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100X (Paramitha,
dkk., 2017).
c. Metode Mc master
Metode Mc Master bertujuan untuk menghitung menghitung jumlah
oosista atau telur yang ditemukan per gram feses. Metode ini dilakukan
dengan cara menimbang feses sebanyak 2 gram dimasukkan dalam bekerglass
kemudian ditambahkan akuades sebanyak 28 ml (perbandingan antara air
dengan feses adalah 14 :1). Selanjutnya dimasukkan magnet lalu diaduk
dengan stirrer. Kemudian, dimasukkan 0,3 ml gula jenuh pada dobel object
glass dan diambil campuran feses sebanyak 0,3 ml lalu diaduk. Selanjutnya
ditunggu kurang lebih 3 menit dan diperiksa di bawah mikroskop lalu
dihitung semua sista pada semua bidang. Hasil hitungan dikalikan dengan 50.
Hasil tersebut menunjukkan jumlah sista per gram feses (Paramitha, dkk.,
2017; Pouillevet, dkk., 2017).

d. Pemeriksaan Histopatologis
Setelah babi dinekropsi, dilakukan pengambilan terhadap organ yang
menunjukkan adanya kelainan, selanjutnya disimpan dalam pot yang sudah
mengandung netral buffer formalin 10 % lalu dibuat preparat histopatologi.
Setelah jadi preparat histopatologi, diamati perubahan yang terjadi pada organ
dan dicari kemungkinan adanya tropozoit (Purnama, dkk., 2019).

Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki sanitasi kandang/lingkungan
yang meliputi kebersihan secara umum. Pengobatan untuk Balantidium coli dapat
menggunakan tetrasiklin. Pilihan lain untuk pengobatan balantidiosis adalah
antiprotozoa seperti metrobidazol dan iodoquinol. Pengobatan lain yang dapat
dilakukan yaitu dengan oksitetrasiklin atau kombinasi meronidazole dan
furazolidone (Kennedy, 2006).
KAJIAN MIKROBIOLOGI
African Swine Fever
Etiologi
ASF disebabkan oleh virus DNA dengan untai ganda dari genus Asfivirus
dan famili Asfarviridae dengan morfologi icosahedral, memiliki ukuran 170 – 194
kbp, sitoplasmik dan beramplop. Virus ASF hanya memiliki satu serotipe
meskipun terdapat 23 genotipe dengan virulensi yang bervariasi. Virus ASF
sangat tahan terhadap pengaruh lingkungan, dan stabil pada pH 4-13, serta dapat
tahan hidup dalam darah (40C) selama 18 bulan, dalam daging dingin selama 15
minggu, dalam daging beku selama beberapa tahun, dan di dalam kandang babi
selama 1 bulan. Virus ASF merupakan virus yang sangat unik, hidup dalam
makrofag darah sehingga antibody yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menetralkan virus sehingga penggunaan vaksin masih belum efektif (Sendow et
al., 2020). Struktur Virus ASF dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Struktur Virus ASF (Beltran-Alcrudo et al.,2017).
Patogenesis
Rute infeksi utama adalah melalui saluran pernapasan bagian atas, dan
replikasi virus awal terjadi dalam waktu 24 jam setelah infeksi di tonsil faring dan
di jaringan limfoid yang mengeringkan mukosa hidung. Viremia mengikuti, dan
virus mempengaruhi endotel vaskular dan menyebabkan limfopenia, diikuti
trombositopenia. Setelah beberapa hari, lesi endotel melibatkan membran basal
dan kematian biasanya menyusul karena edema paru. ASFV bereplikasi terutama
di monosit dan makrofag tetapi replikasi juga terjadi di berbagai sel lain seperti
megakariosit, sel endotel, sel epitel mesangial dan tubular glomerulus, hepatosit,
sel retikulum-epitel timus, fibroblas, sel otot polos venula dan arteriol. Gambaran
histopatologi yang paling mencolok dari ASF adalah karioreksis masif di jaringan
limfoid, sering disertai dengan perdarahan dan koagulasi intravaskular diseminata.
Babi yang terinfeksi ASF umumnya menderita limfopenia parah, yang terjadi
selama fase tengah awal penyakit. Limfopenia dikaitkan dengan apoptosis
limfosit. Perdarahan disebabkan oleh sitokin dan mediator lain yang dilepaskan
oleh makrofag yang terinfeksi, mengakibatkan aktivasi kaskade pembekuan dan
koagulasi intravaskular diseminata. Trombositopenia dikaitkan dengan konsumsi
trombosit karena koagulopati atau sebagai efek langsung virus pada megakariosit
dan umumnya diamati pada fase akhir penyakit akut. Kerusakan makrofag secara
masif juga memainkan peran utama dalam gangguan hemostasis (Ganowiak,
2012).
ASFV memasuki sel inang melalui proses kompleks yang melibatkan
endositosis dan makropinositosis yang dimediasi oleh dinamin dan clathrin.
Hanya
beberapa detik kemudian, ASFV berkembang melalui jalur endositik dan
mencapai kompartemen endosom yang matang dimana terjadi dekapsidasi virus
dan fusi selubung virus bagian dalam dengan membran endosom. Virion yang
baru disintesis dirakit di pabrik virus dan akan keluar dari sel baik dengan
eksositosis yang tumbuh di membran plasma atau melalui pembentukan badan
apoptosis (Galindo dan Alonso, 2017). Patogenesis Virus ASF dapat dilihat pada
gambar 12.

Gambar 12. Patogenesis Virus ASF (Galindo dan Alonso, 2017).


Gejala Klinis
Masa inkubasi antara 3 – 15 hari dan penyakit dapat terjadi dalam bentuk
perakut, akut, sub akut dan kronis. Pada bentuk perakut biasanya hewan
ditemukan mati tanpa gejala apapun.
Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi berlangsung lebih singkat (3-7
hari), ditandai dengan demam tinggi hingga 42 °C, depresi, nafsu makan
menurun, malas bergerak, mata dan hidung keluar cairan, hemoragi pada kulit dan
organ dalam, lesi nekrotik di abdomen, leher, telinga, abortus pada babi bunting,
sianosis (warna kulit kebiruan), muntah, dan diare. Kematian biasanya terjadi
dalam 5-10 hari setelah muncul gejala klinis. Angka kematian dapat mencapai
100% dan terkadang, kematian terjadi bahkan sebelum tanda klinis dapat diamati.
Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan
virulensi yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung
dalam periode waktu yang lebih lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar
antara 30-70%. Manifestasi penyakit bentuk kronis di antaranya penurunan berat
badan, demam berkala, gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi.
Bentuk ini jarang ditemukan pada wabah penyakit (Salguero, 2020). Gejala klinis
Virus ASF dapat dilihat pada gambar 13.
Gambar 13. (A) Letargi pada infeksi akut. (B) Sianosis pada telinga dan moncong
(Salguero, 2020).
Diagnosa
Deteksi antibodi terhadap ASF dapat dilakukan dengan uji serologi seperti
uji ELISA, Indirect Immunoperoxidase, Indirect Fluorescent Antibody, dan
Immunoblotting. Sedangkan uji deteksi virus ASF yang paling sering digunakan
adalah Conventional dan Real time Polymerase Chain Reaction serta Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay.
Sampel yang dapat dikoleksi diantaranya serum untuk pemeriksaan
serologi dan untuk uji virologik berupa organ seperti limpa, hati, tonsil, ginjal,
limfoglandula, jantung dan paru atau darah dalam EDTA. Untuk pengujian RT-
PCR, dapat menggunakan sampel seperti tanah yang telah terkontaminasi cairan
tubuh babi atau tempat pemotongan babi secara tradisional, air minum babi, sisa
makanan atau tempat pembuangan feses. Isolasi virus ASF dapat dilakukan pada
Swine Pulmonary Alveolar Macrophages (PAMs) atau sel primer dari Swine
leucocyte (SL) (Sendow et al., 2020).
Diferensial Diagnosa
1. Classical Swine Fever (CSF)
Diagnosis yang paling penting dari ASF adalah demam babi klasik, juga
dikenal sebagai hog cholera, yang disebabkan oleh pestivirus dalam keluarga
Flaviviridae. Seperti ASF, ada berbagai presentasi atau bentuk klinis. CSF
akut menunjukkan tanda-tanda klinis dan lesi postmortem yang hampir identik
dengan ASF akut, dan juga ditandai dengan tingkat kematian yang tinggi.
Tanda klinis dapat berupa demam tinggi, kurang nafsu makan, depresi,
perdarahan (pada kulit, ginjal, amandel dan kandung empedu), konjungtivitis,
kelemahan, bergerombol, perubahan warna kulit menjadi ungu (sianotik), dan
kematian dalam 2-10 hari. Satu-satunya cara untuk membedakannya secara
tepat adalah melalui konfirmasi laboratorium (Beltran-Alcrudo et al.,2017).
2. Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS)
Juga dikenal sebagai penyakit telinga biru, PRRS ditandai dengan
pneumonia pada babi yang sedang tumbuh dan mati serta aborsi pada babi
betina yang hamil. Hal ini sering disertai dengan demam, kemerahan pada
kulit dan khususnya dengan perubahan warna kebiruan pada telinga.
Meskipun kematian akibat PRRS umumnya tidak tinggi, virus PRRS yang
sangat patogen telah menghancurkan kawanan babi di Cina, Vietnam, dan
Eropa Timur selama beberapa tahun terakhir, terkait dengan tingginya
mortalitas, demam tinggi, lesu, anoreksia, batuk, sesak, pincang, dan sianosis /
kebiruan (di telinga, tungkai dan perineum). Temuan nekropsi terdapat lesi di
paru-paru (pneumonia interstitial) dan organ limfoid (atrofi timus dan
pembengkakan, perdarahan di kelenjar getah bening) dan perdarahan petekie
di ginjal (Beltran-Alcrudo et al.,2017).
3. Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS)
PDNS biasanya menyerang petani. Meskipun tanda klinis sangat sugestif,
tidak ada tes diagnostik khusus. Sindrom ini ditandai dengan adanya lesi kulit
berwarna merah tua hingga keunguan yang seringkali paling menonjol di
bagian belakang dan daerah perineum, meskipun pada kasus yang parah
panggul juga dapat terpengaruh. Lesi pada dinding pembuluh darah
disebabkan oleh necrotizing vasculitis (peradangan pembuluh darah), dan
secara mikroskopis mudah dibedakan dengan ASF. Penyakit ini juga disertai
anoreksia, depresi, dan nefrosis berat (radang ginjal) yang biasanya menjadi
penyebab kematian. Kelenjar getah bening juga bisa membesar. Morbiditas
umumnya rendah tetapi babi yang terkena sangat sering mati (Beltran-Alcrudo
et al.,2017).
4. Erysipelas
Penyakit bakteri yang disebabkan oleh Erysipelothrix rhusiopathiae ini
mempengaruhi babi dari segala usia dan kemungkinan besar juga
mempengaruhi babi di peternakan skala kecil dan ekstensif seperti di unit
intensif komersial. Manifestasi klinis dalam bentuk akut atau subakut. Bentuk
akut, biasanya terlihat pada babi yang lebih muda, ditandai dengan kematian
mendadak, meskipun mortalitas biasanya jauh lebih rendah dibandingkan pada
ASF. Dua atau tiga hari setelah infeksi, babi yang terkena mungkin
menunjukkan lesi kulit berbentuk berlian yang sangat khas yang berhubungan
dengan necrotizing vasculitis (peradangan pembuluh darah). Pada babi dewasa
ini biasanya satu-satunya manifestasi klinis dari penyakit ini. Seperti pada
ASF akut, limpa mengalami kongesti dan sangat membesar. Temuan nekropsi
lainnya termasuk hemoragidi paru-paru dan kelenjar getah bening perifer,
serta perdarahan di korteks ginjal, jantung dan serosa lambung (Beltran-
Alcrudo et al.,2017).

5. Aujeszky’s Disease
Penyakit Aujeszky, juga dikenal sebagai pseudorabies, menyebabkan
masalah reproduksi dan neurologis yang parah pada hewan yang terkena,
seringkali menyebabkan kematian. Hewan yang lebih muda terkena dampak
paling parah, dengan tingkat kematian mencapai 100 persen selama dua
minggu pertama usia. Anak babi biasanya mengalami demam, berhenti
makan, dan menunjukkan tanda neurologis (gemetar, kejang, kelumpuhan),
dan sering mati dalam waktu 24-36 jam. Babi yang lebih tua (lebih dari dua
bulan) mungkin menunjukkan gejala yang sama, tetapi biasanya mengalami
gejala pernapasan dan muntah, dan kecil kemungkinannya untuk mati. Lesi
nekrotik dan ensefalomielitis fokal terjadi di otak besar, otak kecil, adrenal
dan organ dalam lainnya seperti paru-paru, hati atau limpa. Pada janin atau
anak babi yang masih sangat muda, bintik putih pada hati merupakan ciri khas
infeksi virus (Beltran-Alcrudo et al.,2017).
6. Salmonellosis
Babi muda biasanya lebih rentan. Hewan yang dirawat tepat waktu dapat
merespons terapi antimikroba. Konfirmasi diagnosis adalah dengan kultur
bakteri. Gambaran umum dengan ASF termasuk demam, kehilangan nafsu
makan, gangguan pernapasan atau gastrointestinal. Hewan bisa mati 3-4 hari
setelah terinfeksi. Babi yang mati karena salmonelosis septikemia
menunjukkan sianosis pada telinga, kaki, ekor, dan perut. Temuan nekropsi
dapat berupa perdarahan petekie di ginjal dan permukaan jantung, pembesaran
limpa (tetapi dengan warna normal), pembengkakan kelenjar getah bening
mesenterika, pembesaran hati, dan kongesti paru-paru (Beltran-Alcrudo et
al.,2017). Diferensial diganosa Virus ASF dapat dilihat pada gambar 14.
Gambar 14. Diferensial Diagnosa Virus ASF (Beltran-Alcrudo et al.,2017)
Isolasi dan Identifikasi

Jika dicurigai ASF, sampel berikut harus dikirim ke laboratorium: darah


dalam antikoagulan (EDTA untuk PCR, heparin atau EDTA untuk isolasi virus),
serum dan jaringan, terutama limpa, limfoglandula, sumsum tulang, paru, tonsil
dan ginjal (OIE, 2019). Isolasi dan identifikasi Virus ASF dapat dilihat pada
gambar 15.

Gambar 15. Isolasi dan Identifikasi Virus ASF (OIE, 2019).


a. Isolasi Virus dengan Haemadsorption Test
Uji haemadsorpsi (HAD) didasarkan pada fakta bahwa eritrosit babi akan
menempel pada permukaan monosit babi atau sel makrofag yang terinfeksi
ASFV dan sebagian besar isolat virus memiliki fenotipe HAD. Hasil positif
pada tes HAD pasti untuk diagnosis ASF. Sejumlah kecil virus 'non-
haemadsorbing' telah diisolasi, kebanyakan di antaranya dilemahkan atau
avirulen, tetapi beberapa memang menghasilkan ASF akut yang khas. Tes
dilakukan dengan menginokulasi darah atau suspensi jaringan dari babi yang
dicurigai ke dalam kultur leukosit primer dari darah babi atau ke dalam kultur
sel makrofag alveolar (OIE, 2019).
Adapun tahapan kultur leukosit primer yaitu :
1. Darah babi segar yang didefibrinasi dikumpulkan dalam jumlah yang
dibutuhkan.
2. Sentrifugasi pada 700 g selama 30 menit dan kumpulkan sel buffy coat.
Tambahkan tiga volume 0,83% amonium klorida ke leukosit yang
diperoleh. Campur dan inkubasi pada suhu kamar selama 15 menit.
Sentrifugasi 650 g selama 15 menit dan angkat supernatan dengan hati-
hati. Cuci pelet dalam medium atau phosphate buffered saline (PBS).
3. Resuspend sel pada konsentrasi 10 sel / ml dalam media kultur jaringan
yang mengandung 10-30% serum babi dan antibiotik. Untuk mencegah
haemadsorpsi nonspesifik, media harus mengandung serum atau plasma
dari babi yang sama dari mana leukosit diperoleh. Jika volume sampel
yang besar akan diuji, serum homolog dapat diganti dengan serum yang
telah diidentifikasi dengan pra-skrining yang mampu mencegah
pembentukan auto rosette nonspesifik.
4. Keluarkan suspensi sel dalam 96-piring sumur dengan 200 µl per sumur
(300.000 sel / sumur) dan inkubasi pada 37 ° C dalam inkubator 5% CO2
yang dilembabkan. Prosedur ini juga dapat dilakukan dalam alikuot 1,5 ml
dalam tabung 160 × 16 mm dan diinkubasi dalam posisi miring (5–10 °
dari horizontal) pada 37 ° C.
5. Setelah 3 hari, inokulasi tiga tabung atau pelat sumur dengan
menambahkan 0,2 ml / tabung atau 0,02 ml (pengenceran 1/10 akhir) /
sampel sumur yang telah disiapkan. Dianjurkan untuk menginokulasi
pengenceran sepuluh kali lipat dan seratus kali lipat ke dalam biakan, dan
ini penting terutama bila bahan lapangan yang dikirimkan dalam kondisi
yang buruk.
6. Inokulasi kultur kontrol positif dengan virus yang menyerap darah.
Kontrol negatif non inokulasi yang tidak diinokulasi sangat penting untuk
memantau kemungkinan hemadsorpsi nonspesifik.
7. Tambahkan 0,2 ml preparasi segar dari 1% eritrosit babi dalam buffer
saline ke setiap tabung. Untuk pelat 96 lubang, tambahkan 0,02 ml 1%
eritrosit babi per sumur.
8. Periksa biakan setiap hari selama 7-10 hari di bawah mikroskop untuk
mengetahui efek sitopatik (CPE) dan hemadsorpsi.
9. Pembacaan hasil. Haemadsorpsi terdiri dari penempelan sejumlah besar
eritrosit babi ke permukaan sel yang terinfeksi. CPE yang terdiri dari
pengurangan jumlah sel yang melekat dengan tidak adanya haemadsorpsi
mungkin disebabkan oleh sitotoksisitas inokulum, virus penyakit Aujeszky
atau ASFV non-haemadsorbing, yang dapat dideteksi oleh FAT pada
sedimen sel atau dengan menggunakan PCR. Jika tidak ada perubahan
yang diamati, atau jika hasil imunofluoresensi dan tes PCR negatif,
supernatan subkultur hingga tiga kali ke dalam kultur leukosit segar.
Semua isolasi harus dikonfirmasi oleh PCR dan sekuensing (OIE, 2019).

Gambar 18. Isolasi ASFV dengan uji HAD (Beltran-Alcrudo et.al.,2017)


b. Deteksi Antigen dengan Direct Fluorescent Antibody (FAT)
FAT merupakan teknik pewarnaan untuk mengetahui keberadaan protein
spesifik (antigen, hormon, antibodi) dengan mengandalkan ikatan spesifik
dengan antibodi yang memiliki kemampuan berpendar atau fluorescent
antibody. Kemampuan fluorescent antibodi untuk berpendar dipengaruhi oleh
agen yang terikat pada antibodi tersebut yang disebut fluorochrome yang akan
berpendar akibat tereksitasi oleh gelombang cahaya tertentu. FAT terbagi
menjadi dua jenis yaitu Direct Fluorescent Antibody (DFA) dan Indirect
Fluoescent Antibody (IFA). Pembacaan hasil dari FAT memerlukan
mikroskop khusus yaitu immunoflurescent microscope yang dilengkapi
dengan sinar UV dan akan menunjukan tampak berpendar pada bagian yang
terdapat ikatan antigen dan antibodi (Leboff dan Pierce, 2012).

Gambar 19. Prinsip kerja


DFA dan IFA (Leboff dan Pierce, 2012).

Pada DAF, antigen akan berikatan langsung dengan fluorescent antibody


sehingga menimbulkan hasil diagnosa yag cepat untuk mengetahui keberadaan
antigen dalam sebuah sampel. Antigen intraseluler dideteksi menggunakan
antibodi spesifik terkonjugasi Fluorescein Isothiocyanate (FITC). Sampel
yang digunakan dalam uji ini adalah inokulasi leukosit atau jaringan sumsum
tulang yang sudah dibekukan dalam cryostat. Kontrol positif dan negatif
digunakan untuk memastikan bahwa slide diinterpretasikan dengan benar.
FAT adalah tes yang sangat sensitif untuk kasus ASF akut dan dapat
dilakukan dengan cukup cepat.
Adapaun tahapan uji ini yaitu :
1. Disiapkan bagian cryostat atau apusan cetakan jaringan uji, atau
penyebaran endapan sel dari kultur leukosit yang diinokulasi pada slide,
dikeringkan dan fiksasi dengan aseton selama 10 menit pada suhu kamar.
2. Pewarnaan dengan fluorescein isothiocyanate (FITC) -conjugated anti-
ASFV immunoglobulin pada pengenceran yang direkomendasikan selama
1 jam pada suhu 37 ° C dalam ruangan yang lembab.
3. Fiksasi dan warnai preparat kontrol positif dan negatif dengan cara yang
sama.
4. Cuci dengan merendam empat kali dalam PBS bersih segar, letakkan
jaringan di dalam PBS / gliserol, dan periksa di bawah mikroskop sinar
ultraviolet dengan filter penghalang dan exciter yang sesuai.
5. Hasil positif akan terlihat fluoresensi sitoplasma granular spesifik pada
jaringan parakortikal organ limfoid atau makrofag di organ lain, dan atau
dalam kultur leukosit yang diinokulasi (Beltran-Alcrudo et al.,2017).

Gambar 20. Inklusi Bodi


berwarna Fluorescent (Beltran-Alcrudo et al., 2017).
c. Deteksi Genom dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan metode enzimatis untuk melipat gandakan suatu sekuen
dari nukleotida tertentu secara in vitro. Terdapat empat komponen utama
dalam PCR yang pertama adalah template DNA yang merupakan sekuen DNA
yang ingin digandakan, kedua adalah primer, yang merupakan sekuen
nukleotida pendek (18-24 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali
prose sintesis rantai DNA. Ketiga, deoksiribonukleotida trifosfat yang
merupakan asam nukleotida bebas yang akan dipakai untuk menggandakan
DNA. dan yang terakhir adalah enzim DNA polymerase, yang akan
mengkatalisi reaksi sintesis rantai DNA. Semua komponen tersebut dilarutkan
dalam larutan buffer.
Proses dari PCR secara garis besar terdiri dari 3 tahapan utama. Tahapan
pertama merupakan denaturasi dengan meningkatkan suhu di thermalcycler ke
96o C, agar memecah ikatan hidrogen pada DNA sehingga DNA dapat di
replikasi nantinya. Tahapan ke dua adalah Annealing, Pada tahapn ini suhu
diturunkan kembali menjadi 55o C, sehingga memungkinkan menempelnya
primer pada DNA template dan berikatan pada masing – masing basa
nukelotida komplemennya. Tahapan terakhir meruapakn ekstensi, dimana
suhu dinaikan kembali pada 72oC dan pada kondisi ini DNA polymerase akan
bekerja dengan menempel pada rantai DNA dan memulai sintesis dengan
mengambil dan mencocokan basa nukleotida bebas yang terdapat dalam
buffer dan mencocokanya dengan DNA template sehingga terbentuk sekuen
DNA baru yang sama dengan sekuen DNA template. Langkah ini dapat
diulang berkali-kali sesuai kebutuhan banyaknya DNA yang dibutuhkan,
karena PCR dapat menggandakan DNA secara eksponensial dalam sekali
siklus sehingga langkah ini sangat efektif untuk mendapatkan DNA spesifik
dalam jumlah yang banyak dan waktu yang relatif singkat.
Hasil pembacaan pada PCR dapat dilakukan dengan metode elektroforesis
agar menggunakan agarose atau SDS PAGE agar. Prinsip dari pembacaan
PCR meliputi pembacaan ukuran dari materi genetik yang telah digandakan
dengan bantuan arus listik yang mengalir dari anoda ke katoda sehingga
memisahkan DNA berdasarkan ukuranya. Semakin kecil ukuran dari sebuah
DNA maka akan semakin jauh terbawa arus listrik menjauhi sumur. Dengan
bantuan marker dan kontrol positif yang sudah tersedia maka dapat diketahui
keberadaan DNA dari sampel yang telah di multiplikasi oleh PCR (Leboffe
dan Pierce, 2012).
Gambar 21. Skema tahapan pemeriksaan PCR (Sudaryatma, 2014).
Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mendeteksi genom
ASFV dalam sampel babi (darah, organ, dll.). Semua tes PCR yang divalidasi
memungkinkan deteksi DNA virus bahkan sebelum munculnya tanda klinis.
PCR memungkinkan diagnosis ASF dibuat dalam beberapa jam setelah
sampel tiba di laboratorium. PCR menyediakan alternatif yang sensitif,
spesifik, dan cepat untuk isolasi virus guna mendeteksi ASFV (OIE, 2019).
DNA diekstraksi dari sampel yang dipilih yaitu tonsil, limfoglandula, hati,
limpa, dan ginjal menggunakan QIAamp DNA Mini Kit (QIAGEN) sesuai
dengan instruksi pabrik. DNA yang diekstraksi digunakan dalam PCR untuk
mendeteksi genom ASFV. PCR dilakukan menggunakan TaKaRa Ex Taq HS
(Takara Bio Inc.) sesuai dengan protocol pabrikan. Set primer diagnostik ASF
yaitu PPA1/PPA2 (PPA1, 5′AGTTATGGGAAACCCGACCC-3′; PPA2,5′
CCCTGAATCGGAGCATCCT-3′), yang menghasilkan amplicon 257-bp.
Langkah PCR terdiri dari denaturasi awal pada 980C selama 30 detik, diikuti
oleh 35 siklus denaturasi pada 980C pada 30 detik, annealing pada 62oC
selama 30 detik, ekstensi pada 720C pada 30 detik, dan ekstensi akhir pada 72o
C. Untuk identifikasi pasti amplikon, produk PCR dimurnikan dan kemudian
dilakukan pengurutan langsung menggunakan BigDye Terminator v3.1 Cycle
Sequencing Kit and a 3130 Genetic Analyze. Urutan ini menunjukkan
kemiripan yang tinggi dengan genom ASFV (Yabe et al., 2015).

Gambar 22. Hasil Deteksi Genom dengan PCR (Yabe et al., 2015).
d. Deteksi Antibodi dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip metode immunoassay adalah reaksi antara antigen dan antibodi
spesifik dimana hasil reaksi dapat diamati dengan menggunakan suatu label
atau marker. ELISA merupakan salah satu metode immuno assay yang paling
banyak digunakan. Pada uji ini reaksi terjadi dengan mengabsorbsikan antigen
atau antibodi pada suatu solid phase serta dengan memberi label suatu enzim.
Enzim yang paling banyak digunakan adalah Horseradish peroxidase dan
Alkaline phosphatase. Enzim ini dapat dilabel baik pada antibodi maupun
antigen yang akan membentuk warna dengan penambahan suatu substrat.
Pengujian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan mengamati intensitas
warna yang terbentuk (Gallardo et al., 2015).
Prosedur ELISA yang dilakukan adalah sebagai berikut: serum uji dan
kontrol diencerkan 1/10 dalam buffer pemblokiran (PBS yang mengandung
0,05% Tween 20,2% susu skim dan serum babi normal 2%), dan satu lubang
pelat ELISA dibiarkan kosong sebagai sumur kontrol (100 µl buffer
pemblokiran). Serum diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 ± 2 ° C pada plate
shaker. Konjugat pra-titrasi pada working dilution (kisaran yang disarankan 1:
5000–1: 20000 protein A, 1 mg / ml) dipertahankan selama 45 menit pada 37
± 2 ° C pada plate shaker. Substrat baru yang terbentuk ditambahkan 100 µl /
per sumur dengan larutan substrat (ABTS [2,2'-azino-di (3-ethyl-
benzothiazoline) -6-sulfonic acid] diammonium salt) dan diinkubasi selama 30
menit pada suhu ruangan dalam keadaan gelap. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 100 µl / sumur dengan stopping solution (1% natrium dodesil
sulfat). Hasil yang diperoleh dibaca pada ELISA reader atau
spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm. Setiap batch ASF-Ag pada
pengecekan dengan menggunakan indirect ELISA, harus disesuaikan terhadap
referensi serum ASF positif, batas dan negatif (PC, LC dan NC) untuk
menentukan pengenceran antigen yang optimal untuk digunakan dalam
pelapisan pelat ELISA. Batch baru ASF-Ag dianggap optimal ketika pada
pengenceran 1: 1600 (0,5-0,9 g / per sumur) dan menggunakan pengenceran
tunggal serum pada 1/30. Semua sampel serum hasil pengenceran diukur rasio
hasil pengukuran level absorbennya (OD) dan dibandingan dengan level
background (OD PC/OD NC). Sampel dinyatakan “positif” apabila OD dari
PC (Kontrol Positif), setidaknya 4 kali lebih tinggi dari OD dari NC (Kontrol
Negatif).

Nilai OD PC harus ≥ 1.0


Nilai OD NC harus ≤ 0.250
Nilai OD LC harus dalam rentang Cut off, dengan nilai OD maksimal 0.7
Perhitungan Cut Off

(OIE, 2019)

Gambar 23. Hasil Deteksi Antibodi dengan ELISA (OIE, 2019).


e. Deteksi Antibodi dengan Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA adalah teknik cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk
mendeteksi antibodi ASF dari eksudat serum, plasma atau jaringan. Uji IFA
dilakukan untuk mengetahui antibodi pada sampel. Dalam IFA, hubungan
antara antigen dengan fluorescent antibodi akan didahului oleh antibodi dari
sampel, kemudian fluorescent antibodi akan menempel pada antibodi yang
berada dalam sampel tersebut (Gallardo et al., 2015).
Adapun tahapan dalam uji yaitu:
1. Antigen ASDV disiapkan dalam piring kultur sel atau lempeng mikrotiter
96-well.
2. Sel yang digunakan itu dipersiapkan dengan dicampurkan dengan acetone-
alkohol selama 10 menit yang kemudian dikeringkan. Pelat dapat disimpan
dalam lemari es hingga siap untuk diwarnai atau dibekukan untuk jangka
waktu yang lebih lama.
3. Permukaan piring selanjutnya dibasahi dengan PBS, lalu ditambahkan
serum pada beberapa pengenceran (1:5, 1:10, 1:20, 1:40). Selanjutnya
dilakukan inkubasi dalam bak air atau inkubator pada suhu 37 oC selama
30-60 menit.
4. Serum selanjutnya dibuang, dan piring dicuci dengan air mengalir
sebanyak tiga kali dan diikuti dengan pencucian menggunakan PBS
sebanyak tiga kali.
5. Ditambahkan pengenceran yang telah ditentukan atau direkomendasikan
dari anti-pig immunoglobulin / FITC atau konjugat proteinA / FITC k
semua slide, dan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37 ° C dalam ruang
yang lembab.
6. Kemudian piring dicuci kembali seperti tahapan sebelumnya dan
dilakukan pembacaan preparat dengan segera menggunakan mikroskop
fluorescent.
(OIE, 2019).
Gambar 24. Hasil Deteksi Antibodi dengan IFA (Gallardo et al., 2015).
KAJIAN PATOLOGI KLINIK
Darah terdiri dari cairan tubuh, sel-sel, dan partikel menyerupai sel.
Komponen yang ada dalam darah antara lain 55% plasma dan 45% sel. Plasma
terdiri dari 93% air dan 5-7% molekul protein. Komponen sel dalam darah terdiri
dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Sel-sel darah dibentuk melalui proses yang
dinamakan hematopoiesis. Darah berfungsi sebagai pembawa nutrisi, ekstretorik,
pengangkut hormon, pengatur distribusi panas tubuh dan pemeliharaan osmotik
serta asam basa tubuh. Tubuh dilindungi dari bahan asing seperti virus, bakteri,
jamur, dan sel kanker dari antibodi dalam plasma (Salasia dan Hariono, 2010).
Kebanyakan parameter hematologis pada babi dipengaruhi oleh usia
hewan dan nilai normalnya sangat bervariasi antar strain. Berikut merupakan nilai
hematologi normal pada babi (Tabel 1).
Tabel 1. Nilai hematologi dan kimia klinik normal babi
(Weiss dan Wardrop, 2010)

Pemeriksaan Unit Standar


Eritrosit (x106 sel/μL) 5,0 – 8,0
Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0
PCV (%) 32 – 50
MCV (fL) 50 – 68
MCH (pg) 17 – 21
MCHC (%) 30 – 34
Leukosit (/μL) 11.000 – 22.000
Neutrofil seg. Relatif (%) 28 – 47
Absolut (/μL) 4.480 – 7.520
Neutrofil band Relatif (%) 1–3
Absolut (/μL) 110 – 660
Basofil Relatif (%) 0–2
Absolut (/μL) 0 – 320
Eosinofil Relatif (%) 0,5 – 11
Absolut (/μL) 80 – 1.760
Monosit Relatif (%) 2 – 10
Absolut (/μL) 320 – 1.600
Limfosit Relatif (%) 39 – 62
Absolut (/μL) 6.240 – 9.920
TPP (g/dL) 6,0 – 8,0
Fibrinogen (g/dL) 0,1 – 0,5
Bilirubin (μmol/L) 19,2 – 25
AST (U/L) 44,5 – 120
ALT (U/L) 32 – 38,2
Eritrosit
Eritrosit berasal dari kata erythro = merah, cyte = sel. Eritrosit terdiri dari
60 – 70% air, 28 – 35% haemoglobin, matrik anorganik dan organik, membran
sel non – elastik tetapi fleksibel (merupakan bentuk khusus atau biconcave),
eritrosit mamalia tidak berinti sedangkan eritrosit unta dan unggas berinti (Salasia
dan Hariono, 2010). Fungsi primer dari eritrosit adalah transpor gas respirasi
(oksigen dan karbondioksida) ke paru-paru dan jaringan tubuh serta
memastikannya cukup bersirkulasi. Kompensasi dari tubuh ketika terjadi
penurunan kadar oksigen dalam jaringan adalah peningkatan jumlah eritrosit tepi
pada sirkulasi atau yang dikenal dengan istilah polisitemia, sedangkan pada saat
kadar oksigen jenuh dalam darah akan terjadi penurunan jumlah eritrosit atau
yang dikenal dengan istilah anemia. Eritrosit babi seringkali ditemukan
mengalami krenasi, anisositos walaupun babi sehat (Weiss dan Wardrop, 2010).

A
B

D
C

Gambar 25. Sel darah


normal pada babi. (A) Eritrosit, (B) Neutrofil, (C) Basofil, (D)
Leukosit
Leukosit berasal dari kata leuco (putih) dan cyt (sel). Sel ini memiliki
fungsi fisiologi normal yaitu fagositosis dan ikut berperan dalam proses produksi
antibodi. Leukosit akan ditransportasikan ke area infeksi dan inflamasi, karena
fungsi utamanya sebagai pertahanan terhadap agen infeksius (Guyton dan Hall,
2006). Leukosit merupakan komponen darah dengan jumlah relatif sedikit
dibanding eritrosit, dengan perbandingan sekitar 1 leukosit untuk setiap 660
eritrosit (Salasia dan Hariono, 2010).
Leukosit dibagi dalam dua kelas berdasarkan ada tidaknya granula.
Granulosit meliputi neutrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit meliputi
limfosit, dan monosit. Peningkatan jumlah leukosit disebut leukositosis, hal ini
terjadi karena infeksi bakteri. Penurunan jumlah leukosit disebut leukopenia, hal
ini terjadi saat fase awal infeksi virus (Campbell dan Reece, 2005).
Neutrofil adalah granulosit yang sering ditemukan di dalam darah perifer
anjing, kucing, manusia dan kuda. Fungsi utama neutrofil adalah pertahanan
melawan penyakit bakterial. Neutrofil sangat efisien dalam memfagosit dan
menghancurkan bakteri. Granula neutrofil mengandung enzim dan antibakterial
untuk membunuh dan mendegradasi bakteri. Kenaikan jumlah neutrofil dalam
sirkulasi disebut neutrofilia. Tiga mekanisme utama yang menyebabkan
neutrofilia yaitu peradangan, stres (kenaikan sirkulasi kortikosteroid) dan
kegembiraan (kenaikan sirkulasi epineprin). Penurunan jumlah neutrofil dalam
sirkulasi disebut neutropenia, dapat disebabkan oleh peradangan yang parah,
luka di sum-sum tulang, serta defisiensi Cu dan Se (Rosenfeld, 2010).

A B C
Gambar 26. Sel darah normal pada babi. (A)Monosit, (B) Eosinofil, (C)
Neutrofil (Weiss dan Wardrop, 2010).
Eosinofil mempunyai granula eosinofilik berwarna merah. Eosinofil
terlibat dalam respon terhadap infeksi parasit, jamur, protozoa, alergi, dan
penyakit kompleks imun. Protein dalam granula bertanggung jawab atas tanda
pada nekrosis yang ditemukan dalam jaringan dengan inflamasi eosinofilik. Pada
hewan normal eosinofilik jarang muncul pada darah perifer. Eosinofilia
merupakan kenaikan jumlah eosinofil dalam sirkulasi yang biasanya berhubungan
dengan hipersensitivitas/alergi (dermatitis, alergi, asma), parasit (cacing hati,
parasit eksternal), enteritis eosinofilik dan sindrom hipereosinofilik. Beberapa
penyakit kulit dan leukimia juga dapat menyebabkan eosinofilia. Eosinophenia
adalah jumlah eosinofil yang kurang dari normal. Hal ini dapat terjadi karena ada
respon inflamasi terhadap infeksi akut dan dapat digunakan sebagai pertanda
adanya bakteri (Rosenfeld, 2010).
Basofil mempunyai granula basofilik berwarna ungu pada kebanyakan
spesies. Kandungan granular mirip dengan apa yang ditemukan pada sel mast,
jaringan sel mononuklear sering dikaitkan dengan respon inflamasi dan kondisi
alergi. Pada hewan normal jarang pada darah perifer. Jumlahnya sering
meningkat dalam respon penyakit seperti eosinofil (Rosenfeld, 2010).
Peningkatan basofil yang dinamakan basofilia biasanya disertai eosinofilia dan
leukimia granulosit basofilia. Jumlah sel basofil meningkat sehubungan dengan
hiperlipemia. Basopenia yaitu menurunnya jumlah basofil pada sirkulasi darah.
Penyebabnya adalah terapi kortikosteroid, reaksi induksi obat dan infeksi
pyogenik (Salasia dan Hariono, 2010).
Monosit berasal dari sum-sum tulang, masuk dalam sirkulasi darah, dan
berubah menjadi makrofag di dalam jaringan. Makrofag memiliki fungsi untuk
fagositosis dan digesti makromolekuler, partikulat dan sel debris, mensintesis
komponen-komponen tertentu, transferin, endogenous pyrogen, lysozyme dan
interferon, serta untuk imunitas seluler (Salasia dan Hariono, 2010). Monositosis
merupakan meningkatnya sirkulasi dari monosit yang berhubungan dengan
nekrosis jaringan dan peradangan kronis, jamur dan penderita neutropenia.
Monositosis dapat dipicu oleh defisiensi mineral Zn yang menyebabkan
kegagalan sel monosit dan makrofag dalam fagositosis. Monositopenia atau
menurunan jumlah monosit dalam sirkulasi tidak mempunyai arti klinik pada
pemeriksaan leukogram (Rosenfeld, 2010).
Limfosit adalah jenis sel paling banyak kedua dalam darah perifer anjing,
kucing, kuda dan manusia. Namun pada ruminansia limfosit adalah leukosit darah
perifer umum. Fungsi utama limfosit adalah berperan dalam kekebalan imunitas.
Ada dua tipe utama limfosit yaitu sel B produksi imunoglobulin dan sel T untuk
mengatur sistem imun dan proses imunitas. Limfosit mulanya diproduksi di sum-
sum tulang kemudian bermigrasi ke beberapa organ yang mengatur pembentukan
limfoid. Limfositosis adalah kenaikan jumlah leukosit yang tersirkulasi. Hal ini
disebabkan oleh kegembiraan yang berlebihan. Limfopenia adalah penurunan
jumlah limfosit dalam sirkulasi darah. Kondisi ini bisa disebabkan oleh stress
(steroid menghambat kembalinya limfosit ke sirkulasi dan menyebabkan limfosit
lisis chytothorax atau akumulasi cairan kaya limfosit cavum thorax menyebabkan
hilangnya limfosit di jaringan dan rongga tubuh) dan pelebaran pembuluh limfa
pada saluran pencernaan (penyakit defisiensi imun turunan dan penyakit viral)
(Rosenfeld, 2010).

Gambar 27. Limfosit normal dalam babi


(Weiss dan Wardrop, 2010).
STUDI KASUS PATOLOGI KLINIK

Hematologi dan Kimia Klinik African Swine Fever Virus


Tabel 2. Hasil pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pada babi yang
terinfeksi African Swine Fever Virus
Pemeriksaan Unit Standara Hasilb Keterangan
Eritrosit (x106 sel/μL) 5,0 – 8,0 4,9 Menurun
Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0 7,4 Menurun
PCV (%) 32 – 50 31,06 Menurun
MCV (fL) 50 – 68 47 Menurun
MCH (pg) 17 – 21 20,1 Normal
MCHC (%) 30 – 34 24,4 Menurun
Total Leukosit (/μL) 11.000–22.000 9.054 Menurun
Neutrofil seg. (/μL) 4.480 – 7.520 4.500 Normal
Neutrofil band (/μL) 110 - 660 1.188 Meningkat
Basofil (/μL) 0 – 320 0 Normal
Eosinofil (/μL) 80 – 1.760 1.456 Normal
Monosit (/μL) 320 – 1.600 129 Menurun
Limfosit (/μL) 6.240 – 9.920 1.851 Menurun
TPP (g/dL) 6,0 – 8,0 7,3 Normal
Fibrinogen (g/dL) 0,1 – 0,5 0,47 Normal
AST (U/L) 44,5 – 120 259 Normal
ALT (U/L) 32 – 38,2 33 Normal
a
(Weiss dan Wardrop, 2010)
b
(Karalyan et al., 2016)
Gambar 28. Apusan darah babi yang terinfeksi ASFV menunjukkan gambaran
anemia mikrositik hipokromik (Voigt dan Swist, 2011).

Pemeriksaan patologi klinik yang dilakukan antara lain pemeriksaan


Packed Cell Volume (PCV), kadar hemoglobin (Hb), Mean Corpuscular Volume
(MCV), Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), Mean Corpuscular
Haemoglobin Concentration (MCHC), total protein plasma, fibrinogen, AST,
ALT, total leukosit, total eritrosit, dan diferensial leukosit. Berdasarkan hasil
pemeriksaan patologi klinik babi yang terinfeksi African Swine Fever
mengalami anemia mikrositik hipokromik, leukopenia disertai left shift,
monositopenia, dan limfopenia.
Berdasarkan pemeriksaan hematologi, babi mengalami penurunan kadar
hemoglobin, penurunan PCV dan penurunan jumlah eritrosit total sehingga babi
teridentifikasi mengalami anemia. Interpretasi MCV menurun menunjukkan
anemia mikrositik dan MCHC mengalami penurunan menunjukkan hipokromik.
Penyebab umum terjadinya anemia adalah hemolisis, hemoragi, depresi
eritropoiesis di sumsum tulang belakang dan defisiensi nutrisi (Salasia dan
Hariono, 2010). Penyebab lain yang kemungkinan dapat menyebabkan anemia
mikrositik hipokromik adalah hemoragi kronis, defisiensi Cu, piridoksin atau
riboflavin. Hemoragi pada ginjal juga dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal, salah satunya adalah proses produksi hormon eritropoeitin. Eritropoietin
merupakan hormon yang merangsang sumsum tulang belakang untuk
meningkatkan produksi dan pelepasan eritrosit. Eritropoeitin menstimulasi
proses eritropoiesis mulai dari eritroblas hingga menjadi eritrosit yang beredar di
sirkulasi dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk
eritropoiesis. Oleh karena itu kerusakan pada ginjal akan mengganggu proses
eritropoiesis (Santosa, 2009). Patofisiologi terjadinya anemia mikrositik
hipokromik adalah prekursor erithroid yang membelah hingga mendekati
perbandingan normal dengan konsentrasi hemoglobin sehingga menghasilkan
ukuran eritrosit yang kecil. Sel tidak dapat mengatur konsentrasi normal
hemoglobin pada kasus defisiensi Fe (Voigt dan Swist, 2011). Anemia
mikrositik hipokromik pada kasus infeksi ASFV termasuk anemia regeneratif.
Menurut Salasia dan Hariono (2010), anemia regeneratif merupakan dugaan ke
arah adanya perdarahan atau destruksi eritrosit, sedangkan anemia non
regeneratif merupakan dugaan terhadap gangguan sumsum tulang. Karalyan et
al. (2016) melaporkan bahwa apusan darah babi yang terinfeksi ASF
menunjukkan adanya eritrosit berinti (eritrosit imatur). Umumnya, keluarnya
eritrosit berinti ke dalam darah perifer merupakan indikasi adanya rangsangan
yang sangat kuat yang memungkinkan pelepasan sel-sel ini sebelum melewati
tahap retikulosit untuk menjadi eritrosit dewasa. Adanya anemia berat
merupakan salah satu stimulus utama dalam pelepasan sel imatur ke dalam darah
tepi.
Pada kasus infeksi African Swine Fever anemia mikrositik hipokromik
terjadi karena adanya hemolisis eritrosit intravascular dan kehilangan darah
secara kronis. Hemolisis pada ASF disebabkan kemampuan virus melakukan
hemadsorpsi eritrosit ke sel yang terinfeksi (Karalyan et al., 2016). Kehilangan
darah secara kronis menyebabkan babi mengalami defisiensi Fe (Salasia dan
Hariono, 2010).
Leukopenia merupakan penurunan jumlah total leukosit. Leukopenia
dapat terjadi karena konsumsi leukosit perifer yang tinggi atau dapat juga terjadi
karena penurunan produksi leukosit. Leukopenia dapat disebabkan oleh virus
yang mensupresi sistem imun (Thrall et al., 2012). Leukopenia pada kasus ini
dapat terjadi karena infeksi African Swine Fever. Leukopenia yang terjadi pada
ASF berkaitan dengan nekrosis limfosit yang ekstensi di jaringan limfoid,
seperti lien, limfonodus, dan thymus (Karalyan et al., 2016). Hal ini sesuai
dengan pendapat Clark dan Coffer (2008) yaitu pada infeksi viral terjadi
penurunan jumlah total leukosit dan terjadi peningkatan jumlah neutrofil imatur
di darah perifer terutama pada infeksi akut.
Perubahan pada diferensial leukosit babi yaitu terjadi penurunan jumlah
limfosit atau limfopenia. Persentase penurunan limfosit yang diamati pada babi
yang terinfeksi kemungkinan disebabkan oleh apoptosis dan nekrosis yang
diinduksi ASFV. Babi yang menderita ASF umumnya mengalami limfopenia
yang dikaitkan dengan apoptosis limfosit yang diinduksi oleh sitokin yang
diproduksi oleh monosit dan makrofag yang terinfeksi ASFV. Limfopenia dapat
terjadi pada fase akut infeksi viral (Afayoa et al., 2014). Penyebab lain
limfopenia adalah respon steroid. Limfopenia pada babi dapat terjadi karena
adanya peningkatan hormon glukokortikosteroid yang disebabkan karena stres,
atau karena adanya septikemia (Campbell, 2015). Kasus infeksi African Swine
Fever menyebabkan stres fisiologis pada babi yang ditandai dengan babi tidak
aktif dan anoreksia. Stres fisiologis dapat terjadi karena peradangan sehingga
tubuh merespon dengan melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari
kelenjar pituitari sehingga menstimulasi pelepasan kortisol oleh kelenjar adrenal.
Steroid dapat menginduksi apoptosis limfosit dan mengganggu pola resirkulasi
limfosit (Thrall et al., 2012).
Perubahan lain pada leukosit yaitu jumlah neutrofil normal mendekati
batas bawah disertai peningkatan neutrofil imatur (left shift). Secara umum
penyebab terjadinya neutrofil mendekati batas bawah adalah penurunan produksi
neutrofil, redistribusi neutrofil dari sirkulasi ke marginal pool karena efek
endotoksin dan peningkatan konsumsi neutrofil ke jaringan (Weiss dan
Wardrop, 2010). Pada kasus infeksi African Swine Fever jumlah neutrofil
mendekati batas bawah kemungkian disebabkan oleh terjadinya peningkatan
kebutuhan neutrofil ke jaringan limfa, limfoglandula, pulmo dan gastrointestinal
yang mengalami peradangan. Hal tersebut juga menyebabkan peningkatan
pembebasan sel oleh sumsum tulang belakang dan peningkatan proporsi
neutrofil imatur di sirkulasi. Peningkatan neutrofil imatur karena kebutuhannya
sangat banyak untuk mengatasi infeksi, sehingga belum matang pun sudah
dikeluarkan. Hal ini biasanya terjadi pada kasus akut.
Perubahan lain pada leukosit babi yaitu penurunan jumlah monosit atau
monositopenia. Monositopenia disebabkan dari replikasi ASFV dalam sel yang
diikuti nekrosis. Monositopenia dapat terjadi karena respon pada peradangan
akut dan kronis. Monositopenia dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan sel
mononuklear ke jaringan (Thrall et al., 2012). Kasus infeksi African Swine
Fever pada babi menyebabkan peradangan pada organ limfoid yang meluas
sehingga terjadi peningkatan kebutuhan monosit ke jaringan untuk eliminasi
agen penyakit. Monosit merupakan penghasil sitokin proinflamasi yang
merupakan respon imun untuk mencegah inflamasi sistemik (Weiss dan
Wardrop, 2010).
Hematologi dan Kimia Klinik Balantidiosis
Tabel 3. Hasil pemeriksaan hematologi dan kimia klinik pada babi yang terinfeksi
Balantidiosis
Pemeriksaan Unit Standara Hasilb Keterangan
Eritrosit (x106 sel/μL) 5,0 – 8,0 2,01b Menurun
Hemoglobin (g/dL) 10,0 – 16,0 6,5b Menurun
PCV (%) 32 – 50 18b Menurun
MCV (fL) 50 – 68 73b Meningkat
MCH (pg) 17 – 21 20,6b Normal
MCHC (%) 30 – 34 27b Menurun
Total Leukosit (/μL) 11.000–22.000 32.156b Meningkat
Neutrofil Absolut (/μL) 4.480 – 7.520 20.832b Meningkat
Basofil Absolut (/μL) 0 – 320 0b Normal
Eosinofil Absolut (/μL) 80 – 1.760 4.464b Meningkat
Monosit Absolut (/μL) 320 – 1.600 560b Normal
Limfosit Absolut (/μL) 6.240 – 9.920 6.300b Normal
TPP (g/dL) 6,6 – 9,3 8,5c Normal
Albumin (g/dL) 1,5 – 3,5 3,5c Normal
Globulin (g/dL) 3,5 – 10,7 5c Normal
AST (IU/dL) 44,5 – 120 35.3c Menurun
ALT (IU/dL) 32 – 38,2 24c Menurun
a
(Weiss dan Wardrop, 2010)
b
(Saravanan et al., 2020)
c
(Thakur et al., 2019)
Pemeriksaan patologi klinik yang dilakukan antara lain pemeriksaan
Packed Cell Volume (PCV), kadar hemoglobin (Hb), Mean Corpuscular Volume
(MCV), Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), Mean Corpuscular
Haemoglobin Concentration (MCHC), total protein plasma, albumin, globulin,
AST, ALT, total leukosit, total eritrosit, dan diferensial leukosit. Berdasarkan
hasil pemeriksaan patologi klinik babi yang terinfeksi Balantidiosis mengalami
anemia makrositik hipokromik, leukositosis disertai neutrofilia dan eosinofilia,
serta penurunan enzim ALT dan enzim AST.
Berdasarkan pemeriksaan hematologi, babi mengalami penurunan kadar
hemoglobin, penurunan PCV dan penurunan jumlah eritrosit total sehingga babi
teridentifikasi mengalami anemia. Menurut Benjamin (1978), anemia merupakan
penurunan dibawah standar normal jumlah eritrosit per mikroliter, nilai
hemoglobin, dan packed cell volume (PCV). Anemia hipokromik berarti nilai
MCHC mengalami penurunan yang disebabkan karena turunnya hemoglobin lebih
besar daripada rata-rata penurunan volume eritrosit. Infeksi yang disebabkan oleh
Balantidium coli menyebabkan babi kesulitan bernapas dan menurunkan nafsu
makan. Penurunan nafsu makan ini dapat menyebabkan anemia makrositik
hipokromik karena terjadi penurunan asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh
sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah.
Leukositosis pada babi dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik.
Leukositosis yang patologik terjadi karena peradangan yang terkait dengan
etiologi infeksi atau non infeksi, perdarahan rongga tubuh dan leukemia.
Leukositosis yang fisiologik dapat terjadi karena tekanan lingkungan yang
menyebabkan stres pada hewan (Campbell, 2015). Berdasarkan hasil evaluasi
leukosit, penyebab babi mengalami leukositosis karena parasit Balantidium coli
yang menyebabkan perdarahan pada usus yang menunjukkan hasil pemeriksaan
kadar leukosit dan neutrofil yang tinggi. Selain itu dapat disebabkan karena faktor
stres lingkungan yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah leukosit.
Hasil dari evaluasi neutrofil ditunjukkan jumlah neutrofil meningkat
(neutrofilia). Neutrofilia bisa terjadi karena infeksi bakteri, virus, jamur, parasit,
nekrosis, endotoksin, hemolisis, maupun perdarahan akut (Salasia dan Hariono,
2010). Pernyataan tersebut juga didukung dari Campbell (2015), bahwa
neutrofilia dan leukositosis dapat dikaitkan dengan adanya infeksi lokal maupun
sistemik yang disebabkan agen infeksi seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit,
dan etiologi non-infeksif seperti cedera traumatis, toksisitas, dan stress.
Berdasarkan hasil evaluasi neutrofil, babi mengalami neutrofilia yang
menandakan adanya agen infeksi dari parasit yaitu Balantidium coli.
Berdasarkan gejala kinis yang terlihat babi mengalami lesu, gelisah, nafsu
makan menurun dan gangguan pernafasan. Gejala tersebut memperlihatkan ciri-
ciri babi mengalami stres. Ketika babi menderita stres akan disertai dengan
peningkatan kadar hormon kortikosteron. Konsentrasi kortikosteroid dalam darah
menurut Tamzil (2014) dapat dipengaruhi oleh stres terhadap lingkungan dapat
dipengaruhi oleh stres suhu dan stres pengangkutan dan/atau aktivitas fisiologis
pada babi. Menurut Tamzil (2014), stres merupakan suatu respon biologis pada
kondisi ternak yang disebabkan karena meningkatnya suhu di lingkungan ataupun
dari dalam tubuh ternak. Munculnya stres pada babi dapat memicu munculnya
penyakit dan perunan produksi.
Hasil dari evaluasi eosinofil menunjukkan jumlah eosinofil meningkat
(eosinofilia). Eosinofilia pada babi dapat diduga sebagai respon terhadap parasit
internal atau eksternal atau paparan antigen asing sebagai respon hipersensitivitas.
Menurut Campbell (2015), eosinofil babi berfungsi sebagai modulator inflamasi
pada respon hipersentivitas. Eosinofilia merupakan dugaan terkait dengan infeksi
parasit gastrointestinal pada babi. Dalam kasus ini peningkatan eosinofil
dikarenakan terdapat infeksi Balantidium coli pada saluran pencernaan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Bauri et al., (2012), bahwa pada kasus B. coli terjadi
eosinfilia sebagai respon pertahanan dari agen infeksi. Eosinofil mengekspresikan
reseptor untuk antibody IgE dan dapat mengikat partikel yang dilapisi IgE.
Eosinofil sangat efektif untuk menghancurkan agen infeksi yang merangsang
produksi IgE seperti agen parasit.
Pada gambaran serum darah babi dapat dilihat bahwa enzim Alanine
aminotransferase (ALT) dan Aspartate aminotrans-ferase (AST) mengalami
penurunan. Kadar enzim plasma yang rendah menunjukkan organ yang relevan
mengalami hiperplastik, atrofi, atau kerusakan (Kerr, 2002). Menurut Salasia dan
Hariono (2014), enzim ALT secara normal terdapat dalam sitoplasma sel hepar,
akan tetapi enzim ini akan keluar ke cairan ekstraseluler bila ada gangguan
permeabilitas membran, sementara itu AST bukan merupakan enzim hepar
spesifik, karena enzim ini bisa berasal dari hepar dan otot. Peningkatan aktivitas
plasma secara khusus disebabkan oleh parasit yang menyebabkan kerusakan pada
dinding usus (Kerr, 2002). Penurunan aktivitas serum ALT dan AST berkaitan
dengan penurunan eritrosit yang tinggi karena kehilangan darah pada saluran
pencernaan (Irizaary-Rovira, 2004). Menurut Topazio et al., (2015), kerusakan
pada enterosit yang disebabkan infeksi Balantidium coli menurunkan absorpsi
asam amino dan phosphor, yang merupakan elemen penting dalam proses
biosintesis ALT di hepar. Pada kasus ini, penurunan serum ALT dam AST
berkaitan dengan kehilangan darah pada saluran pencernaan akibat lesi yang
ditimbulkan pada infeksi Balantidium coli.
PEMBAHASAN
Babi betina berumur 6 bulan didapatkan dalam keaadan sakit dengan
gejala demam tinggi hingga 420C, depresi, nafsu makan menurun, malas bergerak,
mata dan hidung keluar cairan, diare, feses encer dan berair. Hasil anamnesa
diketahui babi tersebut milik Bapak Wadikin yang beralamat di Deli Serdang,
Sumatera Utara. Populasi total 200 ekor babi, morbiditas 10% dan mortalitas 50%
per 1 bulan. Pakan yang diberikan berupa ampas tahu, bekatul, konsentrat, sisa
restoran, dan minum dari air sumur. Babi belum pernah diberi obat cacing dan
vaksin. Berdasarkan gejala tersebut, dilakukan studi kasus patologi anatomi,
mikrobiologi, parasitologi, serta patologi klinik dan diduga bahwa babi tersebut
terinfeksi African Swine Fever Virus dan Balantidiosis.
Babi dieuthananasi dan dinekropsi untuk pemeriksaan makroskopis organ.
Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan incisi
organ yang mengalami perubahan untuk mengetahui abnormalitas warna, bentuk,
ukuran, dan konsistensi organ. Organ yang mengalami perubahan kemudian
diambil dan disimpan dalam plastik klip steril untuk pemeriksaan mikrobiologi
dan parasitologi, dan sebagian disimpan dalam pot jaringan berisi formalin 10%
untuk pembuatan preparat histopatologi. Preparat histopatologi dibuat dengan
metode pengecatan Hematoksilin Eosin.
Studi patologi anatomi menunjukkan
Kondisi diare yang dapat menyebabkan dehidrasi akibat dari infestasi
Balantidium coli yang dominan pada kolon dan sekum sehingga menjadi kolitis.
Perubahan pada kolon yaitu edema dan peradangan pada membrane serosa,
peradangan juga dapat ditemukan mulai sub mukosa sampai mukosa, pada bagian
mukosa ditemukan nekrosis (Winaya et al., 2011).
Protozoa B.coli merupakan agen komensal yang ada di saluran cerna babi,
anjing, dan manusia (Tajik et al., 2013) atau dapat bersifat oportunistik pada
ianng yang mengalami imunosupresif malnutrisi dan stress (Bauri et al., 2012).
Invasi B.coli tergantung oleh enzim proteolitik yang diproduksi sehingga
menyebabkan kerusakan pada permukaan epitel usus. Protozoa B.coli dapat
melakukan invasi ke dalam mukosa usus dengan melepaskan enzim proteolitik
(seperti hyaluronidase). Enzim ini dapat mengakibatkan kerusakan epitel seperti
ulser sampai nekrosis dan perdarahan, serta adanya respon seluler dari limfosit
dan polimorfonuklear (Mohammadi dan Petri, 2004; Giar ratana et al., 2012).
Studi kasus parasitologi untuk pemeriksaan balantidiosis yang umum
dilakukan selain dengan pemeriksaan histopatologis organ pencernaan adalah
dengan pemeriksaan sampel feses. Metode yang dapat digunakan untuk
pemeriksaan sampel feses yaitu metode natif, apung, dan Mc Master. Pemeriksaan
parasitologi menggunakan sampel feses, dan kolon (Winaya et al., 2011).
Pemeriksaan feses babi ditemukan kista dan tropozoit Balantidium coli. Kista
berbentuk lonjong, berdinding tebal, dan sitoplasma bergranul. Tropozoit
berbentuk oval dan seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh deretan silia
(Agustina et al., 2016).
Pengamatan histopatologi kolon mengalami peradangan dengan
ditemukannya potongan protozoa koloni B.coli di dalam mukosa kolon dan juga
ditemukan beberapa B.coli di permukaan mukosa kolon pada lapang pandang lain.
Ditemukan potongan koloni protozoa B.coli di lamina submukosa dari tunika
mukosa kolon (Winaya et al., 2011). Invasi B. coli ke lapisan jaringan usus diduga
menyebabkan terjadinya ulcer pada mukosa usus hingga pendarahan sehingga
terjadi kerusakan pada jaringan epitel usus.
Diagnosa virus ASF dapat dilakukan dengan berbagai macam metode
seperti isolasi virus, pemeriksaan histopatologis, uji serologis maupun pengujian
molekuler. Menurut
Berdasarkan hasil studi patologi klinik babi bisa mengalami anemia
mikrositik hipokromik, leukopenia disertai left shift, monositopenia, dan
limfopenia pada infeksi African Swine Fever Virus. Babi dengan infeksi
Balantidium coli mengalami anemia makrositik hipokromik, leukositosis disertai
neutrofilia dan eosinofilia, serta penurunan enzim ALT dan enzim AST.
Berdasarkan pemeriksaan hematologi ASFV, babi mengalami penurunan
kadar hemoglobin, penurunan PCV dan penurunan jumlah eritrosit total
sehingga babi teridentifikasi mengalami anemia. Interpretasi MCV menurun
menunjukkan anemia mikrositik dan MCHC mengalami penurunan
menunjukkan hipokromik. Penyebab umum terjadinya anemia adalah hemolisis,
hemoragi, depresi eritropoiesis di sumsum tulang belakang dan defisiensi nutrisi
(Salasia dan Hariono, 2010). Penyebab lain yang kemungkinan dapat
menyebabkan anemia mikrositik hipokromik adalah hemoragi kronis, defisiensi
Cu, piridoksin atau riboflavin. Hemoragi pada ginjal juga dapat menyebabkan
penurunan fungsi ginjal, salah satunya adalah proses produksi hormon
eritropoeitin. Eritropoietin merupakan hormon yang merangsang sumsum tulang
belakang untuk meningkatkan produksi dan pelepasan eritrosit. Eritropoeitin
menstimulasi proses eritropoiesis mulai dari eritroblas hingga menjadi eritrosit
yang beredar di sirkulasi dengan meningkatkan jumlah sel progenitor yang
terikat untuk eritropoiesis. Oleh karena itu kerusakan pada ginjal akan
mengganggu proses eritropoiesis (Santosa, 2009). Patofisiologi terjadinya
anemia mikrositik hipokromik adalah prekursor erithroid yang membelah hingga
mendekati perbandingan normal dengan konsentrasi hemoglobin sehingga
menghasilkan ukuran eritrosit yang kecil. Sel tidak dapat mengatur konsentrasi
normal hemoglobin pada kasus defisiensi Fe (Voigt dan Swist, 2011). Anemia
mikrositik hipokromik pada kasus infeksi ASFV termasuk anemia regeneratif.
Menurut Salasia dan Hariono (2010), anemia regeneratif merupakan dugaan ke
arah adanya perdarahan atau destruksi eritrosit, sedangkan anemia non
regeneratif merupakan dugaan terhadap gangguan sumsum tulang. Karalyan et
al. (2016) melaporkan bahwa apusan darah babi yang terinfeksi ASFV
menunjukkan adanya eritrosit berinti (eritrosit imatur). Umumnya, keluarnya
eritrosit berinti ke dalam darah perifer merupakan indikasi adanya rangsangan
yang sangat kuat yang memungkinkan pelepasan sel-sel ini sebelum melewati
tahap retikulosit untuk menjadi eritrosit dewasa. Adanya anemia berat
merupakan salah satu stimulus utama dalam pelepasan sel imatur ke dalam darah
tepi.
Pada kasus infeksi African Swine Fever Virus anemia mikrositik
hipokromik terjadi karena adanya hemolisis eritrosit intravascular dan
kehilangan darah secara kronis. Hemolisis pada ASF disebabkan kemampuan
virus melakukan hemadsorpsi eritrosit ke sel yang terinfeksi (Karalyan et al.,
2016). Kehilangan darah secara kronis menyebabkan babi mengalami defisiensi
Fe (Salasia dan Hariono, 2010).
Leukopenia merupakan penurunan jumlah total leukosit. Leukopenia
dapat terjadi karena konsumsi leukosit perifer yang tinggi atau dapat juga terjadi
karena penurunan produksi leukosit. Leukopenia dapat disebabkan oleh virus
yang mensupresi sistem imun (Thrall et al., 2012). Leukopenia pada kasus ini
dapat terjadi karena infeksi African Swine Fever Virus. Leukopenia yang terjadi
pada ASFV berkaitan dengan nekrosis limfosit yang ekstensi di jaringan limfoid,
seperti lien, limfonodus, dan thymus (Karalyan et al., 2016). Hal ini sesuai
dengan pendapat Clark dan Coffer (2008) yaitu pada infeksi viral terjadi
penurunan jumlah total leukosit dan terjadi peningkatan jumlah neutrofil imatur
di darah perifer terutama pada infeksi akut.
Perubahan pada diferensial leukosit babi yaitu terjadi penurunan jumlah
limfosit atau limfopenia. Persentase penurunan limfosit yang diamati pada babi
yang terinfeksi kemungkinan disebabkan oleh apoptosis dan nekrosis yang
diinduksi ASFV. Babi yang menderita ASF umumnya mengalami limfopenia
yang dikaitkan dengan apoptosis limfosit yang diinduksi oleh sitokin yang
diproduksi oleh monosit dan makrofag yang terinfeksi ASFV. Limfopenia dapat
terjadi pada fase akut infeksi viral (Afayoa et al., 2014). Penyebab lain
limfopenia adalah respon steroid. Limfopenia pada babi dapat terjadi karena
adanya peningkatan hormon glukokortikosteroid yang disebabkan karena stres,
atau karena adanya septikemia (Campbell, 2015). Kasus infeksi African Swine
Fever menyebabkan stres fisiologis pada babi yang ditandai dengan babi tidak
aktif dan anoreksia. Stres fisiologis dapat terjadi karena peradangan sehingga
tubuh merespon dengan melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari
kelenjar pituitari sehingga menstimulasi pelepasan kortisol oleh kelenjar adrenal.
Steroid dapat menginduksi apoptosis limfosit dan mengganggu pola resirkulasi
limfosit (Thrall et al., 2012).
Perubahan lain pada leukosit yaitu jumlah neutrofil normal mendekati
batas bawah disertai peningkatan neutrofil imatur (left shift). Secara umum
penyebab terjadinya neutrofil mendekati batas bawah adalah penurunan produksi
neutrofil, redistribusi neutrofil dari sirkulasi ke marginal pool karena efek
endotoksin dan peningkatan konsumsi neutrofil ke jaringan (Weiss dan
Wardrop, 2010). Pada kasus infeksi African Swine Fever jumlah neutrofil
mendekati batas bawah kemungkian disebabkan oleh terjadinya peningkatan
kebutuhan neutrofil ke jaringan limfa, limfoglandula, pulmo dan gastrointestinal
yang mengalami peradangan. Hal tersebut juga menyebabkan peningkatan
pembebasan sel oleh sumsum tulang belakang dan peningkatan proporsi
neutrofil imatur di sirkulasi. Peningkatan neutrofil imatur karena kebutuhannya
sangat banyak untuk mengatasi infeksi, sehingga belum matang pun sudah
dikeluarkan. Hal ini biasanya terjadi pada kasus akut.
Perubahan lain pada leukosit babi yaitu penurunan jumlah monosit atau
monositopenia. Monositopenia disebabkan dari replikasi ASFV dalam sel yang
diikuti nekrosis. Monositopenia dapat terjadi karena respon pada peradangan akut
dan kronis. Monositopenia dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan sel
mononuklear ke jaringan (Thrall et al., 2012). Kasus infeksi African Swine Fever
pada babi menyebabkan peradangan pada organ limfoid yang meluas sehingga
terjadi peningkatan kebutuhan monosit ke jaringan untuk eliminasi agen penyakit.
Monosit merupakan penghasil sitokin proinflamasi yang merupakan respon imun
untuk mencegah inflamasi sistemik (Weiss dan Wardrop, 2010).
Berdasarkan pemeriksaan hematologi Balantidiosis, babi mengalami
penurunan kadar hemoglobin, penurunan PCV dan penurunan jumlah eritrosit
total sehingga babi teridentifikasi mengalami anemia. Menurut Benjamin (1978),
anemia merupakan penurunan dibawah standar normal jumlah eritrosit per
mikroliter, nilai hemoglobin, dan packed cell volume (PCV). Anemia hipokromik
berarti nilai MCHC mengalami penurunan yang disebabkan karena turunnya
hemoglobin lebih besar daripada rata-rata penurunan volume eritrosit. Infeksi
yang disebabkan oleh Balantidium coli menyebabkan babi kesulitan bernapas dan
menurunkan nafsu makan. Penurunan nafsu makan ini dapat menyebabkan
anemia makrositik hipokromik karena terjadi penurunan asupan nutrisi yang
dibutuhkan oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah. Makrositik
biasanya juga masih bersifat regeneratif karena biasanya di gambaran apus masih
ada retikulosit dan atau polikromasia yang berukuran lebih besar dari eritrosit
normal. Sehingga adanya retikulosit ini bisa meningkatkan ukuran rata-rata
eritrosit.
Leukositosis pada babi dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik.
Leukositosis yang patologik terjadi karena peradangan yang terkait dengan
etiologi infeksi atau non infeksi, perdarahan rongga tubuh dan leukemia.
Leukositosis yang fisiologik dapat terjadi karena tekanan lingkungan yang
menyebabkan stres pada hewan (Campbell, 2015). Berdasarkan hasil evaluasi
leukosit, penyebab babi mengalami leukositosis karena parasit Balantidium coli
yang menyebabkan perdarahan pada usus yang menunjukkan hasil pemeriksaan
kadar leukosit dan neutrofil yang tinggi. Selain itu dapat disebabkan karena faktor
stres lingkungan yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah leukosit.
Hasil dari evaluasi neutrofil ditunjukkan jumlah neutrofil meningkat
(neutrofilia). Neutrofilia bisa terjadi karena infeksi bakteri, virus, jamur, parasit,
nekrosis, endotoksin, hemolisis, maupun perdarahan akut (Salasia dan Hariono,
2010). Pernyataan tersebut juga didukung dari Campbell (2015), bahwa
neutrofilia dan leukositosis dapat dikaitkan dengan adanya infeksi lokal maupun
sistemik yang disebabkan agen infeksi seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit,
dan etiologi non-infeksif seperti cedera traumatis, toksisitas, dan stress.
Berdasarkan hasil evaluasi neutrofil, babi mengalami neutrofilia yang
menandakan adanya agen infeksi dari parasit yaitu Balantidium coli.
Berdasarkan gejala kinis yang terlihat babi mengalami lesu, gelisah, nafsu
makan menurun dan gangguan pernafasan. Gejala tersebut memperlihatkan ciri-
ciri babi mengalami stres. Ketika babi menderita stres akan disertai dengan
peningkatan kadar hormon kortikosteron. Konsentrasi kortikosteroid dalam darah
menurut Tamzil (2014) dapat dipengaruhi oleh stres terhadap lingkungan dapat
dipengaruhi oleh stres suhu dan stres pengangkutan dan/atau aktivitas fisiologis
pada babi. Menurut Tamzil (2014), stres merupakan suatu respon biologis pada
kondisi ternak yang disebabkan karena meningkatnya suhu di lingkungan ataupun
dari dalam tubuh ternak. Munculnya stres pada babi dapat memicu munculnya
penyakit dan perunan produksi.
Hasil dari evaluasi eosinofil menunjukkan jumlah eosinofil meningkat
(eosinofilia). Eosinofilia pada babi dapat diduga sebagai respon terhadap parasit
internal atau eksternal atau paparan antigen asing sebagai respon hipersensitivitas.
Menurut Campbell (2015), eosinofil babi berfungsi sebagai modulator inflamasi
pada respon hipersentivitas. Eosinofilia merupakan dugaan terkait dengan infeksi
parasit gastrointestinal pada babi. Dalam kasus ini peningkatan eosinofil
dikarenakan terdapat infeksi Balantidium coli pada saluran pencernaan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Bauri et al., (2012), bahwa pada kasus B. coli terjadi
eosinfilia sebagai respon pertahanan dari agen infeksi. Eosinofil mengekspresikan
reseptor untuk antibody IgE dan dapat mengikat partikel yang dilapisi IgE.
Eosinofil sangat efektif untuk menghancurkan agen infeksi yang merangsang
produksi IgE seperti agen parasit.
Pada gambaran serum darah babi dapat dilihat bahwa enzim Alanine
aminotransferase (ALT) dan Aspartate aminotrans-ferase (AST) mengalami
penurunan. Kadar enzim plasma yang rendah menunjukkan organ yang relevan
mengalami hiperplastik, atrofi, atau kerusakan (Kerr, 2002). Menurut Salasia dan
Hariono (2014), enzim ALT secara normal terdapat dalam sitoplasma sel hepar,
akan tetapi enzim ini akan keluar ke cairan ekstraseluler bila ada gangguan
permeabilitas membran, sementara itu AST bukan merupakan enzim hepar
spesifik, karena enzim ini bisa berasal dari hepar dan otot. Peningkatan aktivitas
plasma secara khusus disebabkan oleh parasit yang menyebabkan kerusakan pada
dinding usus (Kerr, 2002). Penurunan aktivitas serum ALT dan AST berkaitan
dengan penurunan eritrosit yang tinggi karena kehilangan darah pada saluran
pencernaan (Irizaary-Rovira, 2004). Menurut Topazio et al., (2015), kerusakan
pada enterosit yang disebabkan infeksi Balantidium coli menurunkan absorpsi
asam amino dan phosphor, yang merupakan elemen penting dalam proses
biosintesis ALT di hepar. Pada kasus ini, penurunan serum ALT dam AST
berkaitan dengan kehilangan darah pada saluran pencernaan akibat lesi yang
ditimbulkan pada infeksi Balantidium coli.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi, parasitology, dan
patologi klinik, babi didiagnosa mengalami infeksi African Swine Fever Virus dan
Balantidiosis
Saran
Peningkatan manajemen pemeliharan sangat penting salah satunya dengan
memisahkan hewan sakit dan sehat. Selain itu perlu dilakukan sanitasi/desinfeksi
kandang/perlengkapan ataupun lingkungan secara berkala. Kandang ataupun
lingkungan sebaiknya terhindar dari vektor penyakit.
PATOGENESIS
DAFTAR PUSTAKA
Afayoa, M. Atuhaire, D.K., Ochwo, S., Okuni, J.B., Kisekka, M., Olaho-Mukani,
W., Ojok, L. 2014. Haematological, Biochemical and Clinical Changes in
Domestic Pigs Experimentally Infected with African Swine Fever Virus
Isolates from Uganda. Bull. Anim. Hlth. Prod. Afr., (2014), 62, 07-22.
Bauri, R.K., Rajeev, R., Deb, A.R., Ranjan, R. 2012. Prevalence and Sustainable
Control of Balantidium coli Infection in Pigs of Ranchi, Jahrkahnd, India.
Vet. World 5(2): 94-99.
Beltran-Alcrudo, D., Arias, M., Gallardo, C., Kramer, S. & Penrith, M.L. 2017.
African Swine Fever : Detection And Diagnosis – A Manual For
Veterinarians. USA : FAO Animal Production and Health Manual.
Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinical Pathology. 3rd edition.
Iowa : Iowa State University Press.
Campbell, N. A. dan Reece, J. B. 2005. Biology. San Fransisco : Pearson,
Benjamin Cummings.
Campbell, T. W. 2015. Exotic Animal Hematology and Cytology Fourth Edition.
Iowa:Wiley Blackwell.
Clark. S. G., dan Coffer, N. 2008. Normal Hematology and Hematologic
Disorders in Potbellied Pigs. Vet Clin Exot Anim 11 (2008) 569–582.
Gallardo, M.C., Reoyo, A.T., Fernandes, J., Iglesias, S., Munoz, M.J., Arias, M.L.
2015. African Swine Fever: A Global View of The Current Challenge.
Porcine Health Management (2015) 1:21.
Ganowiak, J. 2012. Patho-Anatomical Studies On African Swine Fever In
Uganda. Examensarbete Inom Veterinärprogrammet.
Guyton, A. C. dan Hall, J. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th Edition.
San Fransisco, USA : Appleton and Lange.
Irizaary-Rovira, A.R. 2004. Avian and Reptilian Clinical Pathology (Avian
Hematology and Biochemical Analysis) dalam R.L. Cowell, (ed.).
Veterinary Clinical Pathology Secrets. St. Louis, MO, USA: Elsevier Inc.
Karalyan, Z., Zakaryan, H., Arakelova, E., Aivazyan, V., Tatoyan, M., Kotsinyan,
A., Izmailyan, R., Karalova, E. 2016. Evidence of Hemolysis In Pigs
Infected With Highly Virulent African Swine Fever Virus. Veterinary
World, EISSN: 2231-0916.
Kennedy, M.J. 2006. Balantidium in Swine. Agriculture, Food and Rural
Deveolpment. AGRI-FACTS.
Kerr, M.G. 2002. Clinical Enzymology-Plasma Enzymes dalam Diagnosis in
M.G. Kerr, (ed.). Veterinary Laboratory Medicine (Clinical Biochemistry
and Haematology) 2nd ed. London, United Kingdom: Blackwell Science.
Latimer, K.S. 2011. Duncan & Prasse’s Veterinary Laboratory Medicine Clinical
Pathology Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.
Purnama, K.A., Kardena, A.M., Berata, I.K., Winaya, I.B.O., Adi, A.M. 2019.
Laporan Kasus: Patologi Balantidiosis pada Babi. Indonesia Medicus
Veterinus. Januari 2019, 8(1): 1-8.
Rosenfeld, A. J dan Sharon M. D. 2010. Clinical Pathology for the Veterinary
Team. USA : Wiley-Blackwell.
Salasia, S. I. O dan Hariono, B. 2010. Patologi Klinik Veteriner Kasus Patologi
Klinis. Yogyakarta : Samudra Biru. Hal 9-40.
Salguero, F.J. 2020. Comparative Pathology and Pathogenesis of African Swine
Fever Infection in Swine. Frontiers in Veterinary Science. May 2020.
Volume 7. Article 282.
Santosa, B. 2009. Aktifitas Hematopoiesis Akibat Suplementasi Tawas dan Seng
pada Tikus (Rattus norvegicus). Jurnal Kesehatan 2 (1): 4149.
Saravanan, M., Ramkumar, P.K., Rani, N., Kannan, K., Selvaraj, P., Venkatesan,
M., Yogespriya, S., Jayalakshmi, K., Senthilkumar, S. 2020.
Mucohaemorrhagic Enteritis Caused by Mixed Parasitic Infection in a Large
White Yorkshire Pig. Journal of Animal Health and Production. September
2020, Vol. 8.
Schmidt, G. D., dan Robert, L. S. 2009. Foundations of Parasitology. New York :
McGraw-Hill.
Sendow,I., Ratnawati, A., Dharmayanti, M Saepulloh, M. 2020. African Swine
Fever: Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia.
WARTAZOA Vol. 30 No. 1 Th. 2020 Hlm. 15-24.
Solaymani-Mohammadi, S. 2006. Review : Zoonotic Implications Of The Swine-
Transmitted Protozoal Infections. Veterinary Parasitology. 140 : 189–203.
Tamzil, Mohammad Hasil. 2014. Stres Panas pada Unggas: Metabolisme, Akibat
dan Upaya Penanggulangannya. WARTAZOA Vol. 24 No. 2 Th. 2014 Hlm.
57-66.
Thakur, N., Suresh, R., Chethan, G.E., Mahendran, K. 2019. Balantidiasis In An
Asiatic Elephant and Its Therapeutic Management. J Parasit Dis (Apr-June
2019) 43(2):186–189.
Thrall, M. A., Weise, G., Allison, R., Campbell, T.W. 2012. Veterinary
Hematology and Clinical Chemistry Second Edition. Oxford: Willey-
Blackwell.
Topazio, J.P., Campigotto, G., Boiago, M.M., Machado, G., Paiano, D., Tonin,
A.A., dan da Silva, A.S. 2015. Influence of gastrointestinal parasitism on
biochemical variables in blood of laying hens. Rev MVZ Cordoba, 20:
4864-4873.
Voigt, G. L., Swist, S. L. 2011. Hematology Techniques and Concepts for
Veterinary Technicians Second Edition. New Delhi: Willey-Blackwell.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology, Sixth
Edition. USA: Blackwell Publishing. Hal 843-851.
Winaya, I.B.O., Bearata, I.K., Apsari, I.A.P. 2011. Kejadian Balantidiosis pada
Babi Landrace. Jurnal Veteriner. Maret 2011, Vol. 12, No. 1: 65-68.
Xia, L., Yunhan, Y., Jialu, W., Yuchao, J., Qian, Y. 2018. Impact of TGEV
Infection on the Pig Small Intestine. Virology Journal (2018) 15:102.

Anda mungkin juga menyukai