Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN HASIL DISKUSI

SMALL GROUP DISCUSSION

SKENARIO 1: Enteritis Hemoragika pada Anjing

Disusun Oleh:

Nama: Monica Eka Chandra W

NIM: 18/427344/KH/09718

Kelompok: 9

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2022
I. Skenario
Enteritis Hemoragika pada Anjing

Nani sedih karena Bobi, anjing bastar jantan kesayangannya yang berumur 5
bulan sudah 3 hari ini sakit. Awalnya Bobi mengalami demam, nafsu makan menurun
drastis, muntah diikuti diare berbau busuk.
Karena kondisinya bertambah lemah, Nani membawa Bobi ke Rumah Sakit
Hewan. Dokter hewan jaga melakukan anamnesa diikuti pemeriksaan fisik lengkap
disertai pengambilan sampel feses dan darah. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan kondisi
tubuh gemuk, ekspresi muka somnolen, depresi, temperatur rektal 40,2 oC, turgor kulit
turun, peristaltik usus meningkat, sekitar anus kotor dan basah.
Hasil pemeriksaan laboratoris terhadap feses ditemukan telur cacing Toxocara
sp., dan Ancylostoma sp. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan nilai hemoglobin (Hb) 6
gr/dL, hematokrit (PCV) 20%, sel darah merah (RBC) 3,1 juta/mm3, jumlah lekosit
(WBC) 2.170 sel/mm3, TPP 6 g/dL. Uji rapid test kit parvo hasilnya positif.
Anjing Bobi didiagnosa infeksi canine parvovirus dan nematodiasis dengan
prognosa dubius-infausta. Dokter segera membuat rencana pengobatan sesuai dengan
kondisi pasien dan menyarankan agar Nani selalu menjaga kebersihan lingkungan dan
kesehatan anjingnya.

II. Kata Kunci


Anjing, muntah, diare, canine parvovirus

III. Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiswa mengetahui penyakit infeksi gastrointestinal pada anjing beserta etiologic
dan patogenesisnya
2. Mahasiswa mengetahui gejala klinis dan pemeriksaan laboratoris pendukung diagnose
penyakit infeksi gastrointestinal pada anjing
3. Mahasiswa mengetahui obat-obatan dan tatacara aplikasinya untuk penyakit infeksi
gastrointestinal pada anjing
4. Mahasiswa mampu memahami penyakit infeksi gastrointestinal sesuai yang diajarkan
dalam MK. Ilmu Penyakit Organik Hewan Kecil

IV. Pembahasan
Gejala Klinis Canine Parvovirus (CPV)
Gejala klinis pada infeksi ini dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan lokasi
bertumbuhnya virus pada sel yang sedang aktif membelah, yakni tipe miokarditis dan tipe
enteritis.
1. Tipe miokarditis
Kasus CPV pada tipe ini sering dijumpai pada anak anjing di bawah umur 4 minggu
dengan ditandainya kematian secara mendadak tanpa disertai adanya gejala klinis
diare dan muntah. Awalnya anak anjing tumbuh normal pada pemeriksaan umum,
tetapi pada beberapa jam sebelum kematian akan terlihat lemas, sesak napas,
menangis, kadang muntah, dan selaput lendir berwarna pucat. Pada anak anjing yang
berumur lebih dari 5 bulan, gejala klinis tidak nyata, namun pada infeksi yang akut
akan menunjukkan ritme pulsus femoral irregular, jantung terdengar murmur, dan
aritmia (Sendow, 2003).
2. Tipe enteritis
Tipe ini rentan terjadi pada semua umur anjing, baik anjing muda maupun anjing tua.
Memiliki nama lain yaitu Canine parvovirus enteritis, Infectious hemorrhagic
enteritis, Epidemic gastroenteritis, dan Canine panleukopenia. Gejala klinis yang
sering terlihat adalah muntah dan diare berdarah dengan aroma yang sangat khas. Pada
inkubasi 7-14 hari muncul gejala awal seperti muntah yang diikuti demam, tidak napsu
makan, lesu dan diare mulai dari mencret berwarna kekuningan, abu-abu dengan bau
yang khas hingga berdarah berwarna kehitaman seperti warna aspal. Seiring dengan
berkembangnya enteritis, terjadi neutropenia dan limfopenia terjadi (Sendow, 2003).

Pemeriksaan Laboratoris Pendukung Canine Parvovirus


1. Complete Blood Count/Uji Biokimia/Urinalisis
- Hasil yang paling sering ditemukan adalah limfopenia sebagai karakterisik CPV
dan umunnya terjadi pada post infection 4-6 hari akibat dari limfositolisis langsung.
- Beberapa anjing yang terinfeksi menunjukkan neutropenia yang parah bersamaan
dengan kerusakan usus karena sekuestrasi usus dan penghancuran sel-sel prekusor
di sumsum tulang.
- Panleukopenia terlihat pada beberapa kasus yang parah akibat nekrosis limfoid dab
destruksi sel sumsum tulang yang aktif secara mitosis.
- Leukositosis sering terjadi selama masa pemulihan.
- Penghitungan jumlah monosit dapat membantu dalam evaluasi myelopoiesis
karena produksinya yang lebih singkat dibanding leukosit lainnya
- Pemeriksaan serum dapat membantu mengevaluasi gangguan elektrolit (terutama
hipokalemia), adanya azotemia prerenal yang berhubungan dengan dehidrasi, dan
hipoglikemia akibat malnutrisi berat atau sepsis
(Mott & Morrison, 2019)
2. Uji Pembayangan
- Pemeriksaan secara pencitraan digunakan untuk menyelidiki diagnose banding
dengan klinis. Radiografi abdomen memperlihatkan perubahan non spesifik seperti
usus halus.
- Perubahan pada USG menunjukkan usus halus dan usus kecil yang berisi cairan
dan atonik; terjadi penipisan pada duodenal dan mukosa jejenum dengan atau tnapa
lapisan dinding yang tidak jelas dan permukaan mukosa luminal yang tidak teraturl
mukosa duodenum dan atau jejenum akan terlihat bintik yang hyperechoic; dan
adanya kerutan pada duodenum dan/atau jejenum.
(Mott & Morrison, 2019)
3. Prosedur Diagnostik
- Deteksi antigen virus melalui feses secara ELISA (rapid test) merupakan tes
diagnostic yang paling umum. Tes tersebut memiliki spesifisitas tinggi namun
sensitivitas yang kurang dikarenakan sempitnya jendela deteksi yang hanya
beberapa hari selama infeksi. Mengulang test satu jari setelah hasil negative akan
meningkatkan sensitivitas pada infeksi yang baru terjadi.
- Peluruhan virus dapat dideteksi setelah dilakukan vaksinasi melalui berbagai
metode molekuler tetapi dapat menyebabkan positif palsu jika menggunakan uji
ELISA yang komersial (rapid test).
- Penggunaan PCR mulai sering digunakan karena memiliki sensitivitas dan
spesitifitas yang lebih tinggi dibanding uji konvensional lainnya dan dapat
mengidentifikasi DNA CPV-2.
- Mikroskop electron dapat digunakan untuk mendeteksi virus melalui feses selama
tahap awal infeksi.
- Test secara serolgi tersedia secara luas namun tidak banyak digunakan untuk
diagnostic karena adanya seroprevalensi antibody pada anjing yang sudah divaksin
dan pulih.
(Mott & Morrison, 2019)
Gejala Klinis Nematodiasis
1. Toxocariasis
Anjing yang terinfeksi oleh Toxocara canis akan memperlihatkan gejala klinis berupa
penurunan nafsu makan, gangguan pencernaan berupa diare, dan pembesaran pada
bagian abdominal (pot belly). Adanya migrasi dari larva cacing ini akan menyebabkan
terjadinya kerusakan hati dan paru-paru. Pada anjing muda dengan infeksi yang berat
dapat menyebabkan obstruksi pada usus sehingga terjadinya peritonitis dan kematian.
Anjinf yang terinfeksi T.canis akan terlihat lemah karena mengalami anemia (Savitri,
Oktaviana, & Fikri, 2020).
2. Ancylostomiasis
Anjing yang terinfeksi oleh cacing Ancylostoma caninum akan menunjukkan gejala
klinis berupa mukosa pucat, diare berdarah, edema, anemia, bulu yang kering dan
kusam, pertumbuhan terhambat, dan dapat menyebabkan kematian. Gejala klinis yang
terjadi sangat bergantung pada umur, status gizi, jumlah parasite, dan daya tahan tubuh
dari hospes (Tjahajati, Purnamaningsih, Mulyani, & Yuriadi, 2006).

Pemeriksaan Laboratoris Pendukung Nematodiasis


1. Complete Blood Count/Uji Biokimia/Urinalisis
Pada kasus ancylostomiasis, hasil pengujian akan menunjukkan eosinophilia, anemia
(biasanya normokromik akut-normositik dan regenerative), dapat menjadi mikrositik,
hipokromik karena defisensi zat besi kronis (Mott & Morrison, 2019).
2. Uji Laboratoris Lainnya
- Pada cacing kait, pengujian dapat dilakukan dengan pengapungan feses yang akan
menunjukkan terlur strongylid yang mengalami morulasi (Mott & Morrison,
2019).

Gambar 1. Telur Ancylostoma caninum


(Foster et al., 2012)
- Pada kasus toxocariasis dapat dapat dilakukan pengujian dengan pengapungan
feses untuk mendeteksi telur yang memiliki permukaan dinding berlubang dengan
struktur polygonal berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaan berbintik dan
dinding luar yang sangat tebal (Mott & Morrison, 2019).

Gambar 2. Telur Toxocara canis


(Savitri et al., 2020)

V. Kesimpulan
1. Gejala klinis dari CPV tipe enteritis yang tampak adalah muntah yang diikuti dengan
demam, napsu makan menurun, diare kekuningan hingga berdarah, serta
mengeluarkan bau busuk yang khas.
2. Pemeriksaan laboratoris yang dapat dilakukan untuk CPV adalah rapid test, uji darah,
ELISA, PCR, isolasi virus dan uji serologis lainnya.
3. Gejala klinis dari nematodiasis adalah terjadinya diare, napsu makan menurun, anemia
pada ankilostomiasis dan pot belly pada toxocariasis.
4. Pemeriksaan laboratoris yang dapat dilakukan untuk nematodiasis adalah uji
pengapungan feses untuk mencari telur cacing.

VI. Daftar Pustaka


Foster, A., Liotta, J., Yaros, J., Briggs, K., Mohammed, H., & Bowman, D. (2012).
Morphologival Differentiation of Eggs of Ancylostoma caninum, Ancylostoma
tubaeforme, and Ancylostoma braziliense From Dogs and Cats in the United States.
J. Parasitol 98(5), 1041-1044.
Mott, J., & Morrison, J. (2019). Clinical Companion: Small Animal Gastrointestinal
Disease. Hoboken: John Wiley & Sons.
Savitri, R., Oktaviana, V., & Fikri, F. (2020). Infeksi Toxocara canis pada Anjing Lokal
di Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner, 127-131.
Sendow, I. (2003). Canine Parvovirus pada Anjing. WARTAZOA 13(2), 56-64.
Tjahajati, I., Purnamaningsih, H., Mulyani, G., & Yuriadi. (2006). Kasus Ankilostomiasis
pada Pasien Anjing di Klinik Penyakit Dalam, Rumah Sakit Hewan FKH-UGM
Selama Tahun 2005. J. Sain Vet 24(1), 119-124.

Anda mungkin juga menyukai