SKENARIO 2
“ NYERI PERUT’’
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 2
Nyeri Perut
Seorang laki-laki berusia 31 tahun datang ke poliklinik umum rumah sakit dengan keluhan nyeri
perut yang hilang timbul sejak ± 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai nausea, buang air besar
cair 2-3x sehari, nafsu makan menurun, berat badan menurun, pruritus ani, dan cephalgia.
Keluhan kejang dan demam disangkal. Pasien mengaku sering mengonsumsi daging setengah
matang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 96 x/menit, respirasi 19x/menit, suhu 36,1oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan epigastrium (+). Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia. Dokter
melakukan pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut pada pasien.
STEP 1
1.Pruritus ani : sensasi kulit yang tidak menyenangkan yang mencetuskan keinginan untuk
menggosok dan menggaruk kulit untuk menghilangkannya
4.Eosinofilia : peningkatan kadar eosinophil pada saat dilakukan pemeriksaan hitung jenis kadar
eosinofil
STEP 2
1. Mengapa dapat terjadi keluhan seperti yang sudah di sebutkan pada pasien yaitu nyeri
perut, nausea, Bab cair,cephalgia?
2. Apakah hubungan konsumsi daging setengah matang dengan keluhan pasien?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut
4. Bagaimana mekanisme timbulnya nyeri tekan epigastrium juga eosinophilia pada saat
pemeriksaan darah
5. Tatalaksana apa yang dapat diberikan kepada pasien?
6. Apa saja pemeriksaan lainnya yang perlu dilakukan ?
7. Apa saja yang kemungkinan terjadi apabila kondisi pasien memburuk dan bagaimana
mekanisme nya?
STEP 3
STEP 4
1. Awalnya pasien memakan daging yang kurang matang lalu mengandung cacing dan
cacing tersebut masuk kedalam tubuh manusia dan migrasi ke intestinal dan berubah
menjadi cacing dewasa
cacing dewasa menghasilkan telur dan telur itu ikut keluar brsamaan feses melalui anus
dan terlur cacing kontak dengan kulit sekitar anus dan terjadi iritasi dan inflamasi di
eoidermis dan memunculkan adanya mediator inflamasi khususnya histamine dan
dikeluarkan lalu terjadi pruritus ani, cacing tersebut masuk kedalam tubuh manusia dan
migrasi ke intestinal dan berubah menjadi cacing dewasa
cacing dewasa menghasilkan telur dan mengikuti sirkulasi dan ikut kedalam CNS atau
otak lalu bisa terjadi nyeri kepala.
2. Stadium infektif taeniasis yaitu cysterkus yang terletak pada otot sapi/babi ketika daging
sapi/babi tersebut tidak dimasak hingga matang maka cysterkus tersebut belum mati dan
jika terkonsumsi menyebabkan infeksi cacing selain itu, infeksi cacing juga dapat terjadi
secara penetrasi kulit seperti pada hookworm atau strongyloides yang biasanya
menyerang orang dengan riwayat tidak suka menggunakan alat kaki.
3. Agen penyebab yang dimana dalam kasus ini adalah parasit akan memasuki tubuh
manusia lewat makanan/tangan yang terkontaminasi oleh parasit. Parasin tersebut
kemudian akan menuju GItract dan bermigrasi ke usus halus (parasit stadium dewasa). di
dalam usus halus, akan terjadi dua proses yaitu kolonisasi dan invasi mukosa usus oleh
parasit yang kemudian akan memancing dan menimbulkan suatu respon imun sbg berikut
: 1. Mediator inflamasi lokal 2. Inflamasi mukosa duodenum 3. Aktifitas ujung serabubut
saraf afferen sensorik kemudian aktifitas respon imun tsb akan menciptakan suatu
potensial aksi dari reseptor di mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hal hal berikut :
1. Aktivasi reflex lokal yang nantinya akan meningkatkan gerakan peristaltik dan sekresi
air sehingga akan mengakibatkan diare cair. 2. Teraktivasinya CTZ di medula oblongata
yang akan mengakibatkan mual. 3. Afferen sarav visceral organ berongga yang akan
mengakibatkan nyeri pada abdomen.
4. Penyebab terjadinya nyeri tekan epigastrium dan eosinophilia, disebabkan oleh adanya
agen infeksi yang berasal dari daging yang tidak matang yang dikonsumsi dan
kemungkinan daging tersebut sudah terkontaminasi oleh larva atau telur dari agen infeksi
dalam hal ini ialah parasit (cacing). Jika larva ini berkembang dan berkolonisasi akan
menginvasi mukosa usus sehingga efeknya sel imun akan teraktivasi dan mengeluarkan
sel PMN jenis eosinophil sehingga menyebabkan eosinophilia dan nyeri tekan pada
epigastrium.
5. Praziquantel adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati taeniasis. Dosis
yang diberikan adalah 5-10 mg/kg secara oral untuk sekali minum pada orang dewasa
dan 5-10 mg/kg pada anak-anak. Jika pasien memiliki cysticercosis selain taeniasis,
praziquantel harus digunakan dengan hati-hati. Praziquantel adalah obat cysticidal yang
dapat menyebabkan peradangan di sekitar tempat cysticercosis, serta dapat menyebabkan
kejang atau gejala lainnya. Antibiotik faromomisin : dosis 75 mg/kg BB (maksimal 4
gram), diberikan karena terdapat laporan bahwa antibiotik ini memberikan angka
kesembuhan diatas 90% pada kasus taeniasis.
6. METODE DIAGNOSIS YANG DILAKUKAN
Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid
atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk
spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di
feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung
7. Apabila terjadi pada sistem saraf pusat disebut neurosistiserkosis, dengan manifestasi
epilepsi, peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala, muntah, gangguan penglihatan,
gangguan mental, serta munculnya tanda rangsang meningeal. Sistiserkosis timbul
apabila seseorang memakan telur T. solium yang kemudian menetas dalam usus dan
larva menembus usus, peredaran darah, dan menuju jaringan subkutan, otot, saraf
pusat, dan bola mata. Jaringan setempat akan membentuk reaksi radang. Pemeriksaan
darah tepi terdapat gambaran peningkatan eosinophil.
MIND MAP
Taeniasis
Refleksi Diri
Alhamdulillah, PBL kali ini berjalan dengan lancar. Seluruh mahasiswa aktof teta[i tidak
mendominasi. Semoga hal baik ini dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan.
STEP 6
Belajar Mandiri.
STEP 7
Masa inkubasi 60-75 hari. Gejala sewaktu masa inkubasi dan saat cacing menjadi
deawasa di dalam usus halus 🡪 metabolisme cacing 🡪 sensitasi (urtikaria, asma bronkial,
konjungtivitis akut, fotofobia, dan kadang hematuria). Gejala terjadi akibat adanya
cacing dewasa dan migrasi larva secara hematogen dan limfogen ke organ tubuh. Dalam
jumlah sedikit cacing dewasa tidak menimbulkan gejala. Gejala timbul pada penderita
disebabkan oleh cacing dewasa dan larva dalam jumlah banyak. Gangguan karena larva
terjadi saat migrasi ke paru. Jika larva merusak kapiler / dinding alveolus paru 🡪
perdarahan, penggumpalan sel leukosit, dan eksudat 🡪 konsolidasi paru (panas, batuk /
+ darah, sesak napas, pneumonitis ascaris), dan eosinophilia. Pada foto toraks tampak
infiltrate yang menghilang dalam waktu 3 minggu (Sindrom Loeffler), terjadi 4-6 hari
setelah infeksi. Larva cacing juga dapat menyebar dan menyerang organ lain 🡪 otak
(meningitis / encephalitis, kejang, meningismus, epilepsy, insomnia, tooth grinding),
ginjal, mata (granuloma), sumsum tulang belakang, dan kulit (gejala alergik : urtikaria,
gatal-gatal). Sedangkan, gangguan karena cacing dewasa yang menetap di lumen usus
halus 🡪 gejala usus ringan (tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi) : mual,
nafsu makan berkurang, diare / konstipasi. Bila infestasi cacing berat 🡪 cacing
menggumpal dalam usus 🡪 obstruksi usus (ileus), perforasi usus. Gejala lain pada
saluran cerna : apendisitis akut (masuknya cacing ke dalam lumen apendiks),
diverticulitis, nekrosis pankreas, icterus obstruktif, kolangitis supuratif, kolesistis
akut, abses hati, atau perforasi esofagus.
Pada anak 🡪 gejala disertai defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin A, hambatan
pertumbuhan karena malabsorbsi di usus halus 🡪 malnutrisi 🡪 rasa tidak enak di perut,
kolik akut daerah epigastrium, gangguan selera makan, mencret, diikuti demam
(peradangan dinding usus).
e. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Berdasarkan gejala klinis
Pemeriksaan fisik
- Konjungtiva anemis
- Tanda-tanda malnutrisi
- Nyeri abdomen jika terjadi obstruksi
Pemeriksaan penunjang
- Feses rutin 🡪 ditemukan telur / cacing dalam tinja
● Infeksi berat : ≥ 50.000 telur/gram feses (WHO)
● Ukuran cacing : 20-25 cm (betina), dan 15-40 cm (jantan)
f. Tatalaksana
Farmakologi
1. Pyrantel pamoat (obat alternatif) : 10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal
2. Mebendazole
● 100 mg (2x1), diberikan selama 3 hari berturut-turut (anak)
● 500 mg (dewasa)
3. Albendazole : > 2 tahun (2 tablet – 400 mg / 20 ml suspense) dosis tunggal. Tidak
boleh diberikan pada ibu hamil
4. Piperazin : 250 mg/500 mg
● BB 0-15 kg : 1x1 gr/2 hari
● BB 15-25 kg : 1x2 gr/2 hari
● BB 25-50 kg : 1x3 gr/2 hari
● BB > 50 kg : 1x3½ gr/2hari
Non-farmakologi
- Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
- Menutup makanan
- Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
- Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab
- Stadium larva
● Bila banyak larva filariform menembus kulit 🡪 pruritus kulit (ground itch / gatal
pada kulit), dermatitis, ruam makulopapula – vesikel, vesicular rash, dan
creeping eruption (cutaneus larva migrans)
● Larva di paru 🡪 batuk kering, asma, demam, hipereosinofilia, batuk darah
(rusaknya kapiler), atau pneumonitis
● Infeksi larva filariform A.duodenale secara oral 🡪 mual, muntah, iritasi faring,
batuk, sakit leher, dan serak
- Stadium dewasa
Gejala tergantung : spesies dan jumlah cacing (>500 cacing), status gizi penderita
(Fe dan protein),
● Infeksi kronik 🡪 anemia hipokorm mikrositerm, sekitar 10-20 minggu setelah
penetrasi kulit (N. americanus : kehilangan darah 0,005-0,1 cc/hari, A.
duodenale : 0,08-0,34 cc)
● Gangguan gastrointestinal (gejala iritasi cacing terhadap usus halus) 🡪
kembung, sering buang angin, diare 🡪 sekitar 2 minggu setelah penetrasi kulit,
nyeri abdomen, anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
e. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Berdasarkan gejala klinis
Pemeriksaan fisik
- Konjungtiva anemis
- Perubahan pada kulit (telapak kaki) / ground itch
Pemeriksaan penunjang
- Feses rutin
● Ditemukan telur / larva / cacing deawsa dalam tinja
- Darah rutin
● Eosinophilia
● Anemia mikrositik hipokorm
f. Tatalaksana
Non-farmako
- Masing – masing keluarga memiliki jamban keluarga
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
- Menggunakan alas kaki saat kontak dengan tanah
Farmako
1. Pyrantel pamoat : 10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal
2. Mebendazole
● 100 mg (2x1), diberikan selama 3 hari berturut-turut (anak)
● 500 mg (dewasa)
3. Albendazole : 400 mg dosis tunggal
4. Tetrakloretilen : 0,12 ml/kgBB (max.5 ml), dapat diulang 2 minggu kemudian.
Diberikan saat perut kosong + 30 g MgSO4
5. Befanium hidroksinaftat : 5 g 2x/hari, dapat diulang bila perlu
3) Strongyloidiasis
a. Definisi
Strongyloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh infestasi cacing
Strongyloides stercoralis. Penyakit ini bisa menjadi sangat berat dan berbahaya pada
orang dengan status imun menurun (HIV/AIDS), transplantasi organ, serta pasien yang
mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang.
b. Etiologi
Strongyloides stercoralis
c. Factor risiko
- Kurangnya penggunaan jamban
- Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides
stercoralis
- Penggunaan tinja sebagai pupuk
- Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah
d. Patofisiologi
Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasite di vilus duodenum dan
jejunum.. 3 macam daur hidup Strongyloides stercoralis :
1. Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rhabditiform 🡪 larva filariform (bentuk infektif) 🡪
larva filariform menembus kulit manusia 🡪 masuk ke pembuluh darah vena 🡪
jantung kanan 🡪 paru 🡪 menembus alveolus 🡪 trakea 🡪 laring (refleks batuk) 🡪 larva
tertelan ke usus halus bagian atas 🡪 larva berkembang menjadi cacing dewasa 🡪
cacing betina bertelur ± 28 hari setelah infeksi 🡪 Telur bentuk parasitic diletakkan di
mukosa usus 🡪 telur menetas menjadi larva rhabditiform 🡪 larva rhabditiform jantan
dan betina dikeluarkan bersama tinja 🡪 external sexual life
2. Siklus tidak langsung (external sexual life)
Larva rhabditiform ditanah 🡪 cacing jantan dan betina bentuk bebas 🡪 sesudah
pembuahan, cacing betina menghasilkan telur 🡪 telur menetas menjadi larva
rhabditiform 🡪 larva filariform infektif 🡪 masuk ke hospes, atau larva rhabditiform
mengulangi fase hidup bebas. Siklus ini terjadi bila keadaan lingkungan optimum
(iklim lembab)
3. Autoinfeksi
- Larva filariform tidak keluar bersama feses 🡪 menginvasi kembali usus besar /
daerah sekitar anus (perianal) 🡪 autoinfeksi eksternal
- Larva filariform menempati epitel bronkial dan menghasilkan keturunan
selanjutnya 🡪 autoinfeksi internal
- Infestasi cacing berat (>10.000 telur/gr tinja) 🡪 nyeri perut, sukar BAB, mencret,
kembung, sering flatus, mual, mutah, ileus, dan turunnya BB
- Keadaan berat 🡪 malnutrisi, perforasi usus, dan prolapse rekti (akibat mengejannya
penderita saat defekasi), perdarahan kolon, dan disentri
- Cacing menghisap darah hospes 🡪 anemia
- Cacing memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus 🡪 trauma 🡪 iritasi dan
peradangan mukosa usus
d. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Berdasarkan gejala klinis
Pemeriksaan penunjang
- Feses rutin
● Ditemukannya telur / cacing dewasa dalam tinja 🡪 infeksi berat : ≥ 10.000
telur/gr feses
4. Kedua ujung telur terdapat tonjolan yang Ujung posterior cacing jantan melingkar
disebut mucoid plug / polar plug / clear / melengkung ke arah ventral dengan
knop telur berisi embrio sebuah spicula di ujungnya. Ujung
posterior cacing betina lurus dan tumpul
membulat
- Darah rutin
● Eosinophilia
● Anemia hipokromik
e. Tatalaksana
Farmakologi :
1. Mebendazole : 100 mg PO setiap 12 jam (2x1) selama 3 hari berturut-turut
2. Albendazole : 400 mg PO per hari selama 3 hari (dosis tunggal)
Non Farmakologi
- Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan
- Cuci, kupas atau masak sayuran dan buah-buahan sebelum dimakan
- Mengajarkan pada anak-anak jangan bermain ditanah terutama tanah yang
kemungkinan terdapat kotoran manusia
- Diet tinggi kalori, pemberian preparat besi jika terdapat anemia
5) Enterobiasis
a. Definisi
Enterobiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh infestasi cacing
Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis
b. Etiologi
Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis
c. Faktor resiko
- Faktor iklim
Enterobiasis lebih umum di daerah dingin. Pada daerah tropis insiden lebih sedikit,
karena cukupnya sinar matahri dan udara panas. Telur menjadi rusak karena terkena
sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet.
- Umur
Cacingan umumnya menyerang anak-anak karena daya tahan tubuhnya masih
rendah. Prevalensi terbanyak cacingan adalah anak-anak berupa diatas 2 tahun (usia
sekolah).
- Kepadatan penduduk
Daerah pemukiman yang padat penduduk akan memudahkan terjadinya penularan
penyait enterobiasis melalui debu.
- Kondisi ekonomi social
Cacingan banyak terpadat pada daerah miskin, sosial ekonomi rendah. 7
d. Patofisiologi
Tertelannya telur melalui jari yang kotor, makanan yang terkontaminasi, inhalasi udara
yang mengandung telur, dan kadang-kadang retroinfeksi anus (telur menetas di mukosa
anus, dan larva bermigrasi ke usus besar) 🡪 telur menetas menjadi larva di duodenum 🡪
larva cacing berkembang menjadi cacing dewasa di jejunum dan bagian atas ileum 🡪
kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di sekum 🡪 cacing jantan mati setelah kopulasi,
dan cacing betina mati setelah bertelur 🡪 cacing dewasa betina yang hamil bermigrasi
pada malam hari ke daerah perianal dan meletakkan telurnya dalam lipatan-lipatan kulit
sekitar anus 🡪 pruritus ani. Daur hidup mulai dari tertelannya telur matang sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal memerlukan waktu sekitar 2
minggu – 2 bulan.
e. Penegakan diagnosis
Anamnesis
- Gatal perianus, paling sering malam hari (gejala utama) 🡪 Akibat migrasi nokturnal
cacing betina dewasa
- Infeksi berat 🡪 nyeri abdomen dan penurunan berat badan
- Insomnia
- Emosi labil, atau
- Enuresis
- Anoreksia 🡪 BB turun
- Gigi menggeretak
- Irritable (anak)
- Nyeri perut
- Mencret
Pemeriksaan fisik
- Ditemukan cacing dewasa pada anus
- Iritasi disekitar anus
Pemeriksaan penunjang
- Feses rutin
● Ditemukannya telur
- Hapusan perianal (anal swab)
Anal swab ditempelkan waktu pagi hari sebelum BAB dan mencuci pantat.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut.
- Darah rutin
● Sedikit eosinophilia
f. Tatalaksana
Non farmakologi
- Jika ada anggota keluarga yang terinfeksi 🡪 mencuci sprei, handuk, dan pakaian
dalam terpisah dari seluruh anggota keluarga dengan air hangat, jangan diaduk
karena dapat menyebarkan telur cacing ke udara.
- Pastikan ruangan mendapat cahaya matahari yang cukup, karena telur cacing dapat
rusak oleh cahaya matahari
- Pastikan anggota keluarga yang dicurigai terinfeksi cacing melakukan mandi pagi,
membersihkan bagian rektum pada saat mandi, dan tidak mandi dalam bath tub
- Gunakan disinfektan pada toilet duduk selama masa pengobatan
- Bersihkan dengan penyedot debu (vacuum cleaner) atau pel dengan air (jangan
gunakan sapu) daerah sekitar tempat tidur dan seluruh kamar tidur
- Bersihkan kuku dengan menggunting kuku secara rutin
- Cuci tangan secara berkala, terutama sebelum makan dan setelah ke kamar mandi.
Farmakologi
1. Piperazin 🡪 efektif diberikan pada pagi hari, kemudian minum segelas air 🡪 obat
sampai ke sekum dan kolon
2. Mebendazole : 500 mg dosis tunggal, diulang setelah 2 minggu
3. Albendazole : 400 mg dosis tunggal, diulang setelah 2 minggu
4. Pirantel Pamoat : 10 mg/kgBB dosis tunggal
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Sungkar S, dkk. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Badan
Penerbit FK UI ; 2017.
2. Longo L Dan, Fauci Anthony S. Harisson Gastroenterologi & Hepatologi. Jakarta :
EGC ; 2018.
3. Siti S, Alwi Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta : Interna
Publishing ; 2017.