Anda di halaman 1dari 11

Taenia Saginata

Piter Pical
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
102010235
Jalan Anggrek XVI Blok PS nomor 6 Harapan Indah – Bekasi Barat
piter_pical@live.com

Pendahuluan
Taeniasis atau penyakit cacing pita ialah infeksi pada manusia oleh cacing pita
dewasa yang tergolong dalam genus tainea. Secara tradisional dikenal 2 jenis infeksi
cacing pita yaitu taeniasis oleh karena infeksi Taenia solium (cacing pita babi) dan
Taenia saginata (cacing pita sapi). Akhir-akhir ini ditemukan spesies baru yang
berhubungan erat dengan T.saginata, disebut sebagai Taenia asiatica, tetapi ada
yang menganggap sebagai subspecies T.saginata sehingga disebut sebagai Taenia
saginata asiatica. Pada manusia, bentuk larva Taenia solium dapat menimbulkan
infeksi yang dikenal sebagai sistiserkosis. Apabila sistiserkosis mengenai jaringan
otak maka disebut sebagai neurocysticercosis (NCC).
Taeniasis merupakan penyakit yang endemic pada beberapa daerah tertentu,
terutama Negara-negara yang sedang berkembang. 1

Anamnesa
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui
riwayat penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan
teliti, teratur dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari
anamnesis untuk menegakkan diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis,
yaitu identitas, riwayat penyakit, dan riwayat perjalanan penyakit.
 Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa,
pendidikan, pekerjaan.

1
 Keluhan utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan
utama tidak harus sejalan dengan diagnosis utama.
 Keluhan penyerta
Apakah ada keluhan lain seperti nyeri, demam, pusing, mual, dan
muntah. Tanyakan juga sejak kapan keluhan tersebut muncul.
 Riwayat pribadi
Makanan apa saja yang sering dikonsumsi? Apakah makanannya matang
atau setengah matang? Lingkungan tempat makannya bersih atau tidak?
Apakah punya hewan peliharaan? Kebersihan lingkungan dan pribadi
bagaimana?
 Riwayat keluarga
Di dalam keluarga apakah ada yang punya penyakit seperti ini juga?
 Riwayat obat
Obat apa saja yang sudah diminum, dan apakah ada perubahan setelah
meminum obat tersebut?

Pemeriksaan
A. Fisik
Setelah melakukan anamnesis, dapat kita lakukan pemeriksaan fisik pada abdomen
untuk lebih meyakinkan suatu diagnosis. Untuk melakukan pemeriksaan fisik
abdomen yang baik, pasien harus rileks dan bagian abdomen dari bagian atas
processus xyphoideus hingga simphisis pubis terlepas dari pakaian yang menempel.
Bagian daerah inguinal harus dapat dilihat. Otot-otot abdomen harus dalam keadaan
relaksasi untuk lebih memudahkan pelaksanaan semua aspek pemeriksaan, kecuali
pada palpasi. Selain memeriksa abdomen, mata, mulut, anus, punggung, dan otot
masseter harus diperiksa juga untuk melihat apakah ada manisfestasi dari cacing
tersebut.
 Inspeksi
Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan adalah inspeksi. Seorang
dokter harus berdiri di sebelah kanan pasien, ada baiknya jika seorang dokter

2
membungkuk agar dapat melihat abdomen secara tangensial. Buatlah garis-
garis imajiner berdasarkan regio-regio abdomen. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah:
 Kulit yang meliputi warna kulit, jaringan parut (sikatriks), striae atau
stretch marks, dan vena yang berdilatasi, serta ruam dan lesi.
Beberapa vena kecil mungkin normalnya akan terlihat.
 Umbilicus. Amati apakah ada tanda-tanda inflamasi atau hernia.
 Kontur abdomen. Apakah abdomen tersebut rata, bulat, buncit, atau
skafoid.
 Peristaltis. Amati apakah terdapat suatu peristaltis selama beberapa
menit jika kita mencurigai kemungkinan obstruksi intestinal. Tetapi
pada orang yang sangat kurus, peristaltik ini juga dapat terlihat.
 Pulsasi. Pulsasi dari aorta abdominalis yang normal sering terlihat di
daerah epigastrium.
 Auskultasi
Auskultasi adalah bagian yang paling penting dalam pemeriksaan fisik
abdomen. Lakukan auskultasi abdomen sebelum melakukan perkusi dan
palpasi karena kedua pemeriksaan tersebut dapat mengubah frekuensi bunyi
usus. Yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah bunyi usus.
Bunyi usus dapat terdengar normal karena gerakan peristaltik usus tersebut
atau abnormal karena obstruksi atau inflamasi. Auskultasi juga apakah ada
bunyi bruits yaitu bunyi vascular yang menyerupai bising jantung di daerah
aorta atau pembuluh arteri lainnya pada abdomen, terdengarnya bunyi ini
menunjukkan adanya kemungkinan penyumbatan dalam pembuluh darah.
Dengarkan bunyi usus dan frekuensi serta sifatnya. Bunyi normal terdiri atas
bunyi dentingan (click) atau gemericik (gurgles) yang terdengar dengna
frekuensi sebanyak 5-34 kali per menit. Terkadang juga dapat terdengar
bunyi gemericik yang panjang (borborigmi) atau gurgles yang panjang, hal ini
terjadi karena hiperperistaltik karena perut yang kosong.
 Perkusi
Perkusi dapat membantu untuk mengetahui adanya massa padat atau cairan
dalam abdomen. Penggunaannya dapat juga digunakan untuk mengetahui

3
adanya besar dari organ-organ di dalam abdomen seperti hepar dan lien.
Pada bagian abdomen terutama usus yang terdapat isi (biasanya makanan)
maka akan terdengar bunyi yang redup. Sebaliknya bila usus atau lambung
diperkusi, maka akan terdengar bunyi timpani.
 Palpasi
Palpasi biasanya dilakukan untuk pasien yang mengalami nyeri pada
abdomen. Tanyakan pada pasien dimanakah letak nyeri tersebut, dan
lakukan palpasi pada bagian tersebut di terakhir. Lakukan palpasi dalam
untuk mengetahui batas-batas massa abdominal pada kuadran-kuadaran.
Lakukan palpasi ringan untuk mengidentifikasikan nyeri tekan pada
abdomen, resistensi otot, dan beberapa organ serta massa yang letaknya
superficial. 2,3

B. Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk lebih menegakkan diagnosis pasti
jika pada anamnesis dan pemeriksaan fisik masih belum dapat menentukan suatu
diagnosis pasti. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam kasus parasit pada
abdomen adalah pemeriksaan tinja. Pada pemeriksaan ini diperlukan tinja yang
segar. Pemeriksaan meliputi warna tinja, bau, konsistensi, lendir, darah, dan parasit.
Warna pada tinja dapat disebabkan oleh faktor makanan maupun bagian
pencernaan seperti defisiensi enzim-enzim pencernaan. Pada pemeriksaan tinja,
kemungkinan dapat ditemukan parasit seperti cacing utuh atau hanya sebagian saja
yaitu bagian proglotid yang terlepas pada cacing pita (cestoda).
Pemeriksaan mikroskopi dilakukan untuk menemukan adanya suatu protozoa
dan telur cacing. Untuk mencari protozoa digunakan larutan eosin 1-2% sebagai
bahan pengencer tinja atau larutan lugol 1-2% pada cacing maupun protozoa.
Penelitian biologi molecular mengenai taenia sudah mulai banyak dilakukan.
Nunes dkk memakai cara PCR dan restriction fragment length polymorphism dapat
membedakan T. saginata dan T. solium, dimana T. saginata menunjukkan 2-band
pattern (421 dan 100bp) sedangkan T. solium menunjukkan 3-band pattern (234,
188, dan 99bp). Telur dari kedua jenis cacing pita ini juga menunjukkan perbedaan
tersebut.

4
Aspek imunologi infeksi cacing pita belum banyak diungkap. Apakah infeksi
cacing dewasa di usus disertai respon imun adekuat dari hospes, belum diketahui
dengan baik. Penelitian imunologi lebih banyak dilakukan pada kasus sistiserkosis.
Suatu teknik serodiagnosis baik dengan ELISA telah dikembangkan. 2,3

Working Diagnosis
- Taenia Saginata
Diagnosis taenia saginata ditegakkan dengan ditemukannya proglotid yang aktif
bergerak dalam tinja, atau keluar spontan, juga dengan ditemukannya dalam tinja
atau usap anus. Proglotid kemudian diidentifikasi dengan merendamnya dalam
cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan cabang-cabangnya terlihat
jelas, jumlah cabang-cabang dapat dihitung. 6

Differential Diagnosis
1. Taenia solium
Merupakan cacing pita dari daging babi. Nama penyakit yang disebabkan
oleh cacing dewasa adlah teniasis solium dan yang disebabkan stadium larva adalah
sistiserkosis. Penyebarannya kosmopolit, tetapi jarang ditemukan di Negara Islam.
Gejala yang timbul berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala.
Kalau ada gejala klinis yang lebih parah dan sering, biasanya disebabkan oleh larva
yang disebut sistiserkosis. 6
2. Diphyllobothrium latum
Penyakit yang disebabkan oleh cacing pita ikan. Parasit ini menyebabkan
penyakit yang disebut difilobotriasis. Cara penularannya jika ikan air tawar yang
dimakan mentah atau dimasak kurang baik kemudian dimakan oleh manusia.
Penyakit ini tidak menimbulkan gejala berat, mungkin hanya gejala saluran cerna
seperti diare, tidak nafsu makan dan tidak enak di perut. Penyakit ini jarang ditemui
di Indonesia, kebanyakan di Negara yang banyak makan ikan salem mentah atau
kurang matang. 6

3. Enterobius vermicularis

5
Nama penyakitnya adalah enterobiasis atau oksiuriasis. Parasit ini kosmopolit
tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada daerah panas. Hal itu
disebabkan karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan
mengganti baju dalam. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar
anus,perineum,vagina sehingga menyebabkan pruritus local, karena cacing
bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita
menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garus di sekitar anus. 6

Etiologi
Penyebab penyakit ini taenia saginata atau dinamakan beef tapeworm,
cacing pita sapi sehingga disebut juga penyakit cacing pita sapi.
Manusia sebagai hospes definitive tunggal. Cacing dewasa hidup di bagian
atas jejunum. Cacing ini dapat bertahan hidup sampai 25 tahun. Pada tubuh manusia
biasanya ditemukan hanya satu ekor cacing dewasa. Sebagai hospes perantara sapi
serta binatang herbivora lain sehingga disebut cacing pita sapi. Dalam tubuh sapi
ditemukan larva yang disebut cysticercus bobis terdapat pada otot masseter, pada
belakang, dan kelosa serta otot lainnya. 4
Cacing dewasa panjangnya 4-12 m terdiri atas 1000-2000 proglotid. Skoleks
berdiameter 1-2 mm, bentuk piriform, batil isap empat buah, setengah bulat atau
menonjol, tanpa rostelum. Proglotid gravid berukuran 18x6 mm, panjang segmennya
tiga kali lebar segmennya, uterus bercabang-cabang 15-30 pasang, lubang genitalia
di sisi lateral. Telur berukuran 35x30 mikron, bulat, berdinding tebal dengan struktur
linear, berisi onkosfer dan memiliki 6 buah kait-kait. 5

Epidemiologi
Taeniasis saginata sering ditemukan di Negara yang penduduknya banyak
makan daging sapi/kerbau. Cara penduduk memakan daging tersebut yaitu matang
(well done), setengah matang (medium), atau mentah (rare), dan cara memelihara
ternak memainkan peranan. Ternak yang dilepas di padang rumput lebih mudah
dihinggapi cacing gelembung, daripada ternak yang dipelihara dan dirawat dengan
baik di kandang. 6

6
Taeniasis tersebar di seluruh dunia. Daerah endemic berat dilaporkan di
afrika sebelah selatan, gurun sahara, bagian timur mediterania, dan sebagian uni
soviet. Sedangkan india, asia selatan, jepang, Filipina, dan amerika latin tergolong
daerah endemic sedang. Prevalensi infeksi T.saginata lebih tinggi dibandingkan
dengan T.solium. Prevalensi terutama tinggi di daerah pedesaan. Taeniasis karena
T.saginata dijumpai dengan prevalensi tinggi di Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika
Tengah, dan TImur. Sedangkan daerah prevalensi rendah adalah Asia Tenggara,
Eropa, dan Amerika Tengah serta Selatan.
Di Indonesia infeksi T.saginata pertama kali dilaporkan di Malang oleh
Luchtman pada tahun 1867 dan infeksi T.solium ditemukan pertama kali di
Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun 1940.
Menurut laporan dari WHO, tampaknya terdapat peningkatan insidens
taeniasis setiap tahun di seluruh dunia. Faktor-faktor epidemiologic yang
memudakan penyebaran penyakit ini ialah adanya sumber infeksi yaitu pasien
taeniasis, cara pembuangan tinja sembarangan sehingga terjadi kontaminasi tanah
atau tumbuh-tumbuihan oleh telur taenia, adanya binatang perantara yang
dipelihara pada tempat yang terkontaminasi, pengawasan pemotongan daging yang
tidak baik, kebiasaan makan daging yang tidak dimasak sempurna. 1
Kosmopolit, lebih banyak ditemukan daripada taenia solium. Cacing ini juga
ditemukan di Indonesia.4

Patofisiologi
Hospes definitive Taenia hanya manusia. Sedangkan hospes perantara alami
Taenia Saginata adalah sapi. Cacing dewasa hidup pada bagian proksimal yeyunum.
Proglotid gravid terlepas dari strobili, keluar bersama tinja, kemudian pecah dan
mengeluarkan telur. Telur dapat tahan beberapa minggu diluar tubuh. Jika termakan
oleh sapi, akibat pengaruh asam lambung, getah pancreas dan empedu, telur akan
pecah dan mengeluarkan embryo hexacant yang mampu menembus dinding usus.
Embrio ini melalui peredaran darah menuju jaringan otot dan subkutan. Dalam
waktu 12-15 minggu menjadi kista, yang pada sapi disebut cysticercus bovis dan
pada babi disebut cysticercus cellulosae. Jika daging yang mengandung sistiserkus

7
termakan oleh manusia, larva akan keluar dari kista dan tumbuh menjadi cacing
dewasa dalam yeyunum dalam waktu 5-12 minggu. Cacing pita dewasa dapat tahan
hidup sampai 20 tahun dalam usus.1,4

Gejala Klinis
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak patognomonik. Sebagian
besar karier bersifat asimptomatik, hanya mengetahui dirinya menderita infeksi
setelah keluarnya proglotid dalam tinja. Pada sebagian pasien timbul keluhan
gastrointestinal ringan seperti nausea atau nyeri perut. Pawloski dan Schultz
mengemukakan urutan gejala sebagai berikut : keluarnya proglotid dalam tinja, rasa
tidak enak pada lambung, mual, badan lemah, berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, sakit kepala, konstipasi, diare, dan pruritus ani. Bakta dkk meneliti 35
kasus mendapatkan gejala sebagai berikut : keluarnya proglotid dalam tinja (91%),
perut berbunyi (91%), sering mengantuk (57%), badan lemah (17%), mual (17%),
sakit perut (11%), dan diare (3%). Eosinofilia dijumpai pada 26% kasus. Sedangkan
sutisna yang meneliti 33 kasus mendapatkan urutan gejala: mengeluarkan proglotid
dalam tinja (100%), rasa mual (84%), rasa gatal di anus (78%), sakit kepala (66%), dan
mules/sakit perut (60%). Gejala klinik taeniasis karena infeksi T.solium tidak dapat
dibedakan dengan infeksi karena T.saginata. 1
Biasanya timbul rasa tidak enak di perut, anoreksia, eosinophilia, obstruksi
usus. Penderita pergi ke dokter dengan keluhan proglotid bergerak ke luar melalui
anus. 5
Gejala klinis disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Cacing dewasa tidak
membuat masalah yang berarti, tetapi dapat terjadi iritasi ringan di tempat
pelekatan, nyeri ulu hati, sakit kepala, dan anoreksia. Gejala abdominal, seperti
diare, konstipasi, rasa lapar, mual, dan indigesti. Kasus berat terjadi jika skoleks
menembus dinding usus dan menyebabkan peritonitis atau obstruksi.7
Gejala sistiserkosis muncul dalam waktu beberapa hari sampai lebih dari 10
tahun. Telur cacing tampak pada tinja 10-14 hari pasca-infeksi untuk T.saginata. 8

Penatalaksanaan

8
Berbagai macam obat dapat dipakai sebagai terapi taeniasis, Obat pilihan
untuk infeksi cacing pita pada saat ini ialah prazikuantel dan niklosamid.
- Prazikuantel . Sebelumnya obat ini dipakai pada penyakit
skistosomiasis dan saat ini merupakan obat pilihan untuk
cestodiasiss. Untuk infeksi cacing pita dewasa (taeniasis) obat
ini diberikan sebagai dosis tunggal 10mg/kgBB, dua jam
kemudian dapat diberikan laksans (magnesium sulfat) .
Efektifivitas prazikuantel untuk T.saginata dilaporkan mendekati
100%. Sutisna mendapatkan efektivitas sebesar 92%, sedangkan
Koesharjono dkk mendapatkan hasil 87%. Efek samping sangat ringan,
seperti misalnya pusing, mual dan rasa mual di ulu hati.
- Niclosamide. Obat ini bekerja dengan menimbulkan nekrosis pada
skoleks. Merupakan pilihan yang cukup efektif untuk taeniasis. Dosis
adalah 2gram (4tablet @500mg) sekali makan atau diberikan 1 gram
dengan jarak 1 jam, pagi-pagi pada waktu perut kosong. Tablet harus
dikunyah sebelumnya, kemudian diminum dengan sedikit air. Pda
infeksi T.solium dianjurkan pemberian laksans untuk mencegah
autoinfeksi yang secara teoritis dapat menimbulkan sistiserkosis.
Niklosamid memberikan angka kesembuhan lebih dari 85%.
- Albendazol. Albendazol menurunkan produksi ATP oleh cacing,
menimbulkan kekurangan energy, imobilisasi, dan akhirnya kematian.
Dosis yang diberikan adalah 400mg peroral dua kali sehari selama 8-
30 hari. Efek samping nyeriperut, mual, muntah, diare, pusing, dan
peningkatan transaminase serum.
- Mebendazol. Mebendazol merupakan obat cacing berspektrum
luas yang sebelumnya banyak dipakai untuk cacing yang
ditularkan melalui tanah (A.lumbricoides,T.trichura dan cacing
tambang), ternyata dapat diberikan untuk taeniasis.
Mebendazole diberikan dalam dosis 600mg-1200mg/hari selama
3-5 hari.

9
- Obat lain. Obat-obat yang sebelumnya dipakai untuk
taeniasis tetapi sekarang jarang digunakan ialah : atabrin,
1
biti onol dan diklorofen.

Komplikasi
Kebanyakan dari penyakit taeniasis yang disebabkan oleh Taenia saginata,
jarang menimbulkan komplikasi. Biasanya cacing ini menimbulkan komplikasi yang
ringan seperti berat badan menurun, diare atau konstipasi. Sedangkan pada taeniasis
yang disebabkan oleh Taenia solium dapat menimbulkan komplikasi yang sangat
serius terutama pada sistiserkosisnya yang dapat mencapai sistem saraf pusat..7

Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai tindakan :
1. Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati pasien taeniasis1
2. Memakan daging sapi yang terlebih dulu telah dimasak di atas suhu 56 oC.
Adapun resistensi larvam terhadap pendinginan sampai (-10) oC, dapat
bertahan selama 5 hari, sedangkan dengan mengasin dalam larutan
garam 25%, dapat bertahan selama 5 hari. 4
3. Pencegahan kontaminasi tinja pada tanah, air, makanan manusia dan
pakan hewan. 8

Prognosis
Prognosis pada penyakit ini baik, karena infeksi T.saginata jarang sekali
menimbulkan komplikasi, sehingga prognosis pasien pun baik. Tetapi infeksi oleh
T.solium dapatm emberi komplikasi yaitu sistiserkosis pada susunan syaraf pusat
yang dapat memberikan prognosis buruk.1 Kadang kadang sulit untuk menemukan
skoleks dalam tinja setelah pengobatan dilakukan. 6

Kesimpulan

10
Berdasarkan kasus tersebut diketahui bahwa perempuan tersebut mengalami
taeniasis saginata. Kesimpulan diterima.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta : Interna
Publishing,2009.h2949-53
2. Hartono A. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Terjemahan.
Lynn SB. Bates’ guide to physical examination & history taking. Ed 8. Jakarta :
EGC. 2009. Hal 339-44.
3. Qlintang S. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Terjemahan. Welsby PD.
Clinical history taking and examination. Jakarta : EGC. 2010. Hal 83-5.
4. Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,2009. H116-8
5. Prianto JLA, Tjahaya PU, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta :
Gramedia,2006. h23.
6. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK. Buku ajar parasitologi kedokteran. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008.h79-82
7. Muslim HM. Parasitologi untuk keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2009.h108-10
8. Hartono A. Penyakit bawaan makanan fokus pendidikan kesehatan. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC,2006.h207-8

11

Anda mungkin juga menyukai