Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK 2

MODUL CACING
SISTEM KEDOKTERAN TROPIS

Kelompok :2
ERVINA SURNIANINGSI JUFRI
RACHMA AROMATIKA HUSEN UMAR
FADILAH MEGALISA ZULHADJI
PUTRI RATU AMELIA
MOHAMMAD ZEID FIRLY
AZRIL
NUR’ANA VINA DHITA BAHANAN
M FAHRANDI ALMUNAWARA ALBAAR
RIZKI A GAFUR
UNIVERSITAS KHAIRUN
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2020
 Skenario
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke klinik dokter
umum dengan keluhan demam sejak 2 hari yang lalu. Keluhan
disertai batuk dan ada keluar cacing 1 ekor. Pasien sudah
diberikan obat cacing dan keesokan harinya pasien BAB dengan
konsistensi cair, sedikit ampas dan mengeluarkan cacing

 Kalimat Kunci
- Seorang laki-laki
- Berusia 35 tahun
- Demam 2 hari yang lalu
- Keluhan disertai batuk dan ada keluar cacing 1 ekor
- Pernah berobat lalu diberikan obat cacing
- BAB dengan konsistensi cair, sedikit ampas dan
mengeluarkan cacing

 Pertanyaan
1. Jelaskan definisi, klasifikasi, dan etiologi demam!
2. Jelaskan patomekanisme demam dan gejala lain!
3. Sebutkan DD!
Etiologi
Epidemiologi
Manifestasi klinis
Patomekanisme
Langkah diagnosis
Penatalaksanaan
Komplikasi
Pencegahan
Prognosis
 Jawaban

1. Definisi demam :

Demam adalah suhu diatas batas normal, (35,9/36,5-37,2/36 ± 37,4


derajat celcius) dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak atau bahan
toksik yang dapat mempengaruhi pusat pengaturan suhu. 

KLASIFIKASI DEMAM

Demam Septik
Pada demam ini suhu badan naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas normal pada pagi hari
Demam Hektik
Pada demam ini suhu badan naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari
Demam Remiten
Pada demam ini suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu normal
Demam kontinyu
Pada demam ini terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak
berbeda lebih dari 1 derajat
Demam siklik
Pada demam ini kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian
diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula
Demam intermiten
Pada demam ini suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam 1 hari
2. Patomekanisme demam dan gejala lain

3. Deferensial Diagnosis :
 Askariasis
 Strongyloidiasis
 Ankilostomiasis
Askariasis
Penyakit. Askariasis adalah infeksi usus kecil yang disebabkan oleh
Ascaris lumbricoides (nematoda atau cacing gelang terbesar).

Epidemiologi
lnfeksi pada manusia terjadi karena tertelannya telur cacing yang
mengandung larva infektif melalui makanan dan minuman yang
tercemar. Sayuran mentah yang mengandung telur cacing yang
berasal dari pupuk kotoran manusia adalah salah satu media
penularan. Vektor serangga seperti lalat juga dapat menularkan telur
pada makanan yang tidak disimpan dengan baik. Askariasis paling
banyak terjadi pada anak-anak baik di negara tropis dan berkembang
terutama menyerang anak, dengan bagian terbesar adalah anak
prasekolah (usia 3-8 tahun). Askariasis banyak dijumpai pada daerah
tropis. Bayi mendapatkan penyakit ini dari tangan
ibunya yang tercemar larva infektif.

Etiologi
Ascaris lumbricoides adalah cacing yang berwarna merah dan
berbentuk silinder, dengan ukuran cacing jantan 15-25 cm x 3 mm
dan betina 25-35 cm x 4 mm. Cacing betina mampu bertahan hidup
selama 1-2 tahun dengan memproduksi 26 juta telur atau sekitar
200.000 telur per hari. Ukuran telur 40-60 pm dan dilapisi
lapisan tebal sebagai pelindung terhadap situasi lingkungan yang
tidak sesuai sehingga telur dapat bertahan hidup dalam tanah sampai
berbulan-bulan bahkan sampai 2 tahun. lnfeksi cacing betina saja
pada usus akan menghasilkan telur infertil.
Patofisiologi

Siklus hidup. Cacing dewasa berada di bagian atas usus kecil, tempat
mereka bertahan hidup dengan makanan yang telah dicerna. Cacing
membuat diri mereka menjadi bentuk seperti huruf S dan menekan
epitel usus sambil bergerak melawan peristaltik untuk bertahan di
usus kecil. Cacing betina bertelur, dan dia dapat menghasilkan hingga
200.000 telur per hari. Telur-telur ini dibuahi tetapi tidak berembrio,
dan telur-telur itu dikeluarkan bersama tinja. Telur yang sudah
dibuahi tetapi berkembang melalui embrionasi dalam tinja yang
berada di tanah. Proses embrionasi membutuhkanwaktu2-4 minggu.
Telur dapat bertahan berbulan-bulan sebelum embrionasi dimulai,
tetapi mereka membutuhkan lingkungan aerobik yang lembab untuk
berkembang. Telur-telur itu dapat bersifat infektif jika sudah
berembrio dan memiliki larva di dalamnya. Setelah berembrio, telur
infektif harus tertelan oleh manusiaagarsiklus hidup A.
lumbricoides dapat lengkap atau selesai. Garam empedu dan alkaline
enteric juice yang berada diusus kecil merangsang pelepasan larva
dari telur. Larva tahap kedua ini kemudian melakukan perjalanan dari
usus kecil ke hati. Kemudian larva bermigrasi ke jantung melalui
sirkulasi paru-paru. Larva sudah dalam tahapan ketiga di kapiler
alveolar, dan larva memasuki ruang alveolar. Setelah itu larva
bermigrasi ke bronkus ke dalam tranchea dan kemudian ke epiglotis.
Pada kasus terakhir larva bermigrasi ke trakea, tertelan dan tiba lagi di
usus untuk menjadi cacing dewasa.

Referensi :
R. Kusumasari. Askariasis. Menara Ilmu Parasitologi Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. 4 September 2019.Available from
:https://parasito.fkkmk.ugm.ac.id/askariasis/
Buku_Panduan_Praktik_Klinis_Dokter_Layan
Referensi : Robbins_s_Basic_Pathology_9th_Ed, Penyakit Diare 585

Gejala Klinis :

Biasanya terjadi tanpa adanya gejala dan dapat bermanifestasi sebagai


retardasi pertumbuhan, pneumonitis, obstruksi usus, atau cedera
hepatobilier dan pankreas. Hanya sebagian kecil penderita yang
menunjukkan gejala klinis, sebagian besar asimtomatis. Gejala yang
muncul biasanya disebabkan oleh migrasi larva dan cacing dewasa.
Paru merupakan organ yang dilalui cacing pada siklus hidupnya,
maka keluhan klinis sering berasal dari organ tersebut. Gejala
penyakit berkisar dari yang ringan berupa batuk sampai yang berat
seperti sesak napas. Gejala yang disebabkan cacing dewasa dapat
bervariasi mulai dari penyumbatan lumen usus karena banyaknya
cacing, kemudian cacing berjalan ke jaringan hati, sampai muntah
cacing yang bisa menyumbat saluran napas.

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing


dewasa dan larva.
 Gangguan karena larva : biasanya terjadi pada saat berada diparu.
Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan
batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat
yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut
sindrom Loeffler.
 Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-
cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus
(ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran
empedu, apendiks, atau ke bronkus
dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang
perlu tindakan operatif.
Referensi :
R. Kusumasari. Askariasis. Menara Ilmu Parasitologi Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. 4 September 2019.Available from
:https://parasito.fkkmk.ugm.ac.id/askariasis/
Buku_Panduan_Praktik_Klinis_Dokter_Layan

Faktor Resiko :
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan.
2. Kurangnya penggunaan jamban.
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
4. Kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi, dan suhu yang
berkisar antara 250C –
300C.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan :
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan
menurun, mual, muntah.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik :
1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan generalis tubuh : konjungtiva anemis, terdapat tanda-
tanda malnutrisi,
nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukkan
pemeriksaan tinja secara
langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Ascarisis.
Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan feses: ditemukannya telur
berukuran besar berwarna cokelat berukuran 60 X 50 mm. Telur yang
dibuahi memiliki lapisan mucopolysaccharide yang tidak rata di
permukaan luarnya. Larva dapat diamati dalam sediaan mikroskopis
basah selama fase migrasi paru. Eosinofilia selama fase migrasi
jaringan infeksi.

Penegakan Diagnostik (Assesment)


Diagnosis Klinis :
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan ditemukannya larva
atau cacing dalam tinja.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan :
Farmakologis
- Pirantel pamoat 10 mg /kg BB , dosis tunggal
- Mebendazol, 500 mg, dosis tunggal atau 100 mg, 2 kali sehari
selama 3 hari.
- Albendazol (anak >2 tahun) 400 mg (2 tablet) dosis tunggal. Tidak
boleh diberikan pada ibu hamill.
Obat anthelminthic (obat yang membersihkan tubuh dari cacing
parasit), seperti albendazole dan mebendazole, adalah obat pilihan
untuk pengobatan infeksi genus Ascaris, terlepas dari jenis spesies
cacingnya. Infeksi pada umumnya dirawat selama 1-3 hari.

Pengobatan dapat dilakukkan secara perorangan atau secara massal


pada masyarakat.
Syarat untuk pengobatan massal antara lain :
a. Obat mudah diterima dimasyarakat
b. Aturan pemakaian sederhana
c. Mempunyai efek samping yang minim
d. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa
jenis cacing
e. Harga mudah dijangkau.

Rencana Follow up :
Memberikan informasi kepada pasien, dan keluarga mengenai
PentiIngnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain
:
a. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga
kotoran manusia tidak
menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat
tinggal kita.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja
manusia.
d. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
e. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan
menggunakan sabun.
f. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak
lembab.

Pencegahan
Karena pintu utama penularan adalah masuknya telur cacing yang
termakan oleh
manusia, maka program utama adalah perbaikan perilaku yang berupa
kebiasaan
mencuci tangan, menjaga kebersihan pribadi, menggunakan alas kaki,
tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman terutama sayuran, dan
perbaikan
sanitasi lingkungan terutama jamban keluarga yang memenuhi syarat
kesehatan.
- Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya
kebersihan diri dan lingkungan,
antara lain:
- Kebiasaan mencuci tangan
- Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
- Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
- Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak
lembab.

Sarana-Prasarana
1. spesimen tinja
2. objek glass
3. Sarung tangan
4. Mikroskop
5. Laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen
tinja.
6. Obat : pirantel palmoate, mebendazole, albendazole

Komplikasi
Cacing saluran cerna menyebabkan penyakit apabila terdapat dalam
jumlah besar atau mencapai daerah di luar usus, misalnya
mengobstruksi usus dan merusak saluran empedu (Ascaris
lumbricoides). Cacing tambang mengakibatkan anemia defisiensi besi
karena menyedot darah melalui vili intestinal;
Referensi : Robbins_s_Basic_Pathology_9th_Ed

Prognosis
Vitam : bonam
Fungsionam : bonam
Sanationam : bonam
Penyakit jarang menimbulkan kondisi yang berat secara klinis.

Referensi :
R. Kusumasari. Askariasis. Menara Ilmu Parasitologi Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. 4 September 2019.Available from
:https://parasito.fkkmk.ugm.ac.id/askariasis/
Buku_Panduan_Praktik_Klinis_Dokter_Layan
Widoyono. Penyakit Tropis 2nd Ed. Penerbit Erlangga
Robbins_s_Basic_Pathology_9th_Ed
Strongyloidiasis
Strongyloidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Strongyloides
stercoralis (dan jarang S. fülleborni), hidup di usus kecil manusia.

Epidemiologi

Cacing tersebut hadir terutama di daerah tropis dan subtropis tetapi


juga di daerah beriklim sedang. Sekitar 30-100 juta orang
diperkirakan terinfeksi di seluruh dunia. Infeksi. Strongyloidiasis
ditularkan melalui penetrasi langsung kulit manusia oleh larva infektif
ketika kontak dengan tanah; Oleh karena itu, berjalan tanpa alas kaki
merupakan faktor risiko utama tertular infeksi. Strongyloides spp.
larva menembus inang manusia dan mencapai usus tempat mereka
dewasa menjadi dewasa dan menghasilkan telur; telur-telur itu
menetas di lumen usus dan menghasilkan larva yang dievakuasi
dalam feses. Keunikan cacing ini adalah bahwa beberapa larva tidak
diekskresikan tetapi dihidupkan kembali kulit usus atau perianal
untuk mengabadikan infeksi (“siklus autoinfeksi”).

Morfologi. Betina partenogenik dari usus memiliki panjang 2,1 – 2,7


mm. Kapsul bukal mereka kecil dan faring berbentuk filariform.
Betina yang hidup bebas sekitar 1 mm, jantan sedikit lebih pendek.
Keduanya memiliki faring rhabditiform. Kedua tipe betinanya
adalah didelphic, dengan vulva betina parasit dua pertiga sepanjang
tubuh dan betina yang hidup bebas di titik tengah tubuh. LF filariform
infektif memiliki panjang 490-630 μm, rhabditiform L1 yang lolos
dalam tinja adalah panjang 180-240 μm. Telur betina parasit
bercangkang tipis dan berembrio saat ditumpahkan. Mereka
berukuran 54×32 μm.

Perkembangan. S. stercoralistidak memiliki inang perantara. Fase


parasit dimulai ketika filariform L3 dari tanah yang terkontaminasi
menyerang tubuh, biasanya kaki. Larva dibawa melalui sirkulasi ke
paru-paru dan trakea, menembus aveoli paru, dan batuk dan ditelan.
Di duodenum dan jejunum, mereka berganti kulit dua kali dan
menimbulkan betina partenogenetik (bisa memproduksi telur tanpa
melalui proses fertilisasi). Rhabditiform L1 menetas dari telur di usus
dan diekskresikan dengan feses. Telur jarang ditemukan di tinja. Fase
hidup bebas dimulai dengan larva tahap pertama menetas di usus dan
diekskresikan dengan tinja. Mereka dapat mengikuti dua jalur:
meranggas dua kali dan menjadi larva tahap ketiga betina infektif
(filariform L3) atau meranggas empat kali, sehingga melalui tahap
rhabditiform L3 lalu menjadi jantan dan betina dewasa yang hidup
bebas, yang dapat berkembang biak lagi di lingkungan bebas.

Gejala klinis

Pada infeksi berat, gejala seperti pneumonia dengan batuk kering


dapat terjadi selama perjalanan larva melalui paru-paru. Gejala usus
biasanya tidak ada atau hanya sedikit pada fase kronis. Pruritus anal,
meskipun, dapat terjadi, ketika L1 menyerang kulit perianal. Perhatian
utama adalah hiperinfeksi. Sejumlah besar perempuan dan migrasi
larva melalui tubuh selama hiperinflasi menginduksi diare berair,
masalah pencernaan, edema, pneumonia berat, kadang-kadang
meningitis, dan bahkan kematian, karena terapi yang tersedia jarang
berhasil.

Referensi:

R. Kusumasari. Penyakit Strongyloidiasis. Menara Ilmu Parasitologi


Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 4 September 2019.Available
from : https://parasito.fkkmk.ugm.ac.id/penyakit-strongyloidiasis/

PATOFISIOLOGI

Strongyloides. Larva Strongyloides hidup di tanah yang


terkontaminasi tinja dan dapat menembus kulit utuh. Mereka
bermigrasi melalui paru ke trakea, kemudian tertelan dan
selanjutnya matang menjadi cacing dewasa di usus. Tidak seperti
cacing usus lain, yang membutuhkan telur atau stadium larva di luar
manusia, telur Strongyloides dapat menetas dalam usus dan
melepaskan larva yang menembus mukosa membentuk lingkaran
setan disebut sebagai autoinfeksi. Oleh karena itu, infeksi
Strongyloides dapat menetap seumur hidup dan pada individu
dengan imunosupresi infeksi dapat berkembang.

Siklus hidup Strongyloides stercoralis kompleks, bergantian antara


siklus hidup bebas dan parasit dan melibatkan autoinfeksi. Dalam
siklus hidup bebas: Larva Rhabditiform ditularkan melalui tinja dari
citra inang definitif yang terinfeksi 1, berkembang menjadi citra larva
filariform infektif (perkembangan langsung) 6 atau citra jantan dan
betina 2 dewasa yang hidup bebas yang kawin dan menghasilkan citra
telur 3, dari mana Citra larva rhabditiform 4 menetas dan akhirnya
menjadi citra infektif filariform (L3) slarvae 5 . Larva filariform
menembus kulit inang manusia untuk memulai siklus parasit (lihat di
bawah) gambar 6 . Larva filariform generasi kedua ini tidak bisa
menjadi dewasa yang hidup bebas dan harus mencari inang baru
untuk melanjutkan siklus hidupnya.

Siklus parasit: Larva filariform di tanah yang terkontaminasi


menembus kulit manusia saat kulit bersentuhan dengan citra tanah 6,
dan bermigrasi ke citra usus halus 7. Diperkirakan bahwa larva L3
bermigrasi melalui aliran darah dan limfatik ke paru-paru, di mana
mereka akhirnya terbatuk dan tertelan. Namun, larva L3 tampaknya
mampu bermigrasi ke usus melalui rute alternatif (misalnya melalui
jeroan perut atau jaringan ikat). Di usus halus, larva berganti kulit dua
kali dan menjadi citra cacing betina dewasa 8. Betina hidup tertanam
di submukosa usus halus dan menghasilkan telur melalui citra
partenogenesis (parasit jantan tidak ada)9, yang menghasilkan larva
rhabditiform. Larva rhabditiform dapat ditularkan melalui gambar
tinja 1 (lihat “Siklus hidup bebas” di atas), atau dapat menyebabkan
gambar autoinfeksi.10

Referensi : https://www.cdc.gov/dpdx/strongyloidiasis/index.html
2019
Ankilostomiasis
Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infestasi parasit Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale.
Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan
nekatoriasis, dan ankilostomiasis.

Epidemiologi
Pejamu utama cacing tambang adalah manusia. Penyakit cacing
tambang menyerang
semua umur dengan proporsi terbesar pada anak. Belum ada
keterangan yang pasti
mengapa banyak anak yang diserang, tetapi penjelasan yang paling
mungkin adalah
karena aktivitas anak yang relatif tidak higienis dibandingkan dengan
orang dewasa.
Di seluruh dunia diperkirakan penyakit ini menyerang 700-900 juta
orang, dengan
l juta liter darah hilang (1 orang: 1 mL darah terhisap cacing). Suatu
penelitian
melaporkan bahwa angka kesakitannya adalah 50% pada balita,
sedangkan 90%
anak yang terserang penyakit ini adalah anak berusia 9 tahun.
Diperkirakan sekitar 576 – 740 juta orang di dunia terinfeksi dengan
cacing tambang. Di
Indonesia insidens tertinggi ditemukan terutama didaerah pedesaan
khususnya perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang
langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari
70%.

Etiologi
Terdapat tiga spesies cacing tambang yang menyebabkan penyakit,
yaitu Necafor
americanus, Ancylostoma duodenale, dan Ancylostoma ceylonicum.
Dua spesies
yang pertama banyak ditemukan di Asia dan Afrika. N. americanus
paling banyak
ditemukan di lndonesia daripada spesies lainnya. N. americanus
berbentuk silinder
dengan ukuran 5-13 mm x 0,3-0,6 mm, cacing jantan lebih kecil
daripada betina.
Cacing ini mampu memproduksi 10.000-20.000 telur per hari, dengan
ukuran
telur adalah 64-76 mm x 36-40 mm. A. duodenale berukuran sedikit
lebih besar
daripada N. americanus, dengan kemampuan menghasilkan 10.000-
25.000 telur
sehari dan ukuran telur 56-60 mm x 36-40 mm.

Faktor Resiko :
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga.
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
3. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

Patofisiologi
Cacing dewasa hidup dan bertelur di dalam usus halus, kemudian
keluar melalui tinja. Telur akan berkembang menjadi larva di tanah
yang sesuai suhu dan kelembabannya. Larva bentuk pertama adalah
rhabditiform yang akan berubah menjadi filariform. Dari telur sampai
menjadi filariform memerlukan waktu selama 5-10 hari. Larva akan
memasuki tubuh manusia melalui kulit (telapak kaki, terutama untuk
N. americanus) untuk masuk ke peredaran darah. Selanjutnya larVa
akan ke paru, naik ke trakea, berlanjut ke faring. kemudian larva
tertelan ke
saluran pencernaan. Larva bisa hidup dalam usus sampai delapan
tahun dengan menghisap darah (1 cacing = 0,2 mL/hari). Cara infeksi
kedua yang bukan melalui kulit adalah tertelannya larva (terutama A.
duodenale) dari makanan atau minuman yang tercemar. Cacing
dewasa yang berasal dari larva yang tertelan tidak akan mengalami
siklus paru.
Referensi ; Widoyono. Penyakit Tropis 2nd Ed. Penerbit erlangga

Infeksi dimulai oleh larva yang menembus kulit. Sesudah


perkembangan berikutnya di paru, larva bermigrasi ke trakea dan
tertelan. Sekali di duodenum, larva matang dan cacing dewasa
melekat di mukosa, mengisap darah
dan bereproduksi. Cacing tambang adalah penyebab utama anemia
defisiensi besi di negara berkembang.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan dan Gejala Klinis :
Penyakit cacing umumnya tanpa gejala. Manifestasi klinis
ankilostomiasis berhubungan
dengan derajat infeksinya.
 Terdapat keluhan kulit seperti gatal akibat masuknya larva.
 Siklus pada paru biasanya tidak menimbulkan gejala.
 Gangguan saluran pencernaan berupa berkurangnya nafsu makan,
mual, muntah, nyeri perut, dan diare, berhubungan dengan adanya
cacing dewasa pada usus halus.
 Pada infeksi kronis, anemia dapat terjadi karena penghisapan
darah oleh cacing.
Bila di dalam tubuh terdapat kurang dari 50 cacing maka gejalanya
akan subklinis; bila terdapat 50-125 cacing maka akan timbul gejala
klinis; dan bila terdapat 125-500 cacing maka gejalanya akan berat.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik :
1. Konjungtiva anemis
2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang
menembus kulit, disebut
sebagai ground itch.
(gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang bergantung pada
jenis spesies cacing, jumlah
cacing, dan keadaan gizi penderita.)
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan mikroskopik : menemukan telur dalam tinja segar.
Dalam tinja lama mungkin
ditemukan larva..
Penegakan Diagnostik (Assesment)
Diagnosis Klinis :
Diagnosisi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Klasifikasi :
- Nekatoriasis
- Ankilostomiasis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan farmakologis
- Pemberian pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB selama 3 hari
- Mebendazole 500mg dosis tunggal atau 100mg, 2x sehari, selama 3
hari
- Albendazole 400mg, dosis tunggal selama 5 hari, tidak diberikan
pada wanita hamil.
- Sulfasferosus

Komplikasi : anemia, jika menimbulkan perdarahan.

Sarana-Prasarana
1. Mikroskop
2. Objek glass
3. Sarung tangan
4. Spesimen tinja
5. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.
6. Obat : Pirantel palmoat, Mebendazole, Albendazole.

Pencegahan
Memberikan informasi kepada pasien, dan keluarga mengenai
Pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara
lain :
a. Sebaiknya masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
Sehingga kotoran
manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar
lingkungan tempat tinggal
kita.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
c. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja
manusia.
d. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
e. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan
menggunakan sabun.
f. Menggunakan alas kaki saat berkontak dengan tanah.

Prognosis
Vitam : bonam
Fungsionam : bonam
Sanationam : bonam
Penyakit ini jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat, kecuali
terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.

Anda mungkin juga menyukai