Anda di halaman 1dari 7

Nama : Shelvia Eka Putri

NPM : 2110070100099

1. Ascariasis
DEFINISI
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides. Penyakit ini
ditularkan melalui telur cacing pada feses manusia yang mengkontaminasi tanah pada daerah
yang rendah sanitasinya. Penyakit kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderita.
ETIOLOGI
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda usus. Transmisi askariasis paling sering melalui rute
fekal-oral, yaitu dengan tertelannya telur infektif. Tanah yang lembap, gambur, dan hangat
menjadi tempat hidup telur yang baik. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 15-26 cm dengan
lebar sekitar 5 mm, sedangkan yang betina lebih panjang yaitu berukuran 22-30 cm dengan lebar
6 mm. Telur cacing ini berwarna kuning, berdinding cukup tebal, dengan ukuran telur sekitar 75-
95 x 60-75 µm.
SIKLUS HIDUP

MANIFESTASI KLINIS
Gejala askariasis pada umumnya, yaitu:
 Nyeri perut hebat.
 Mual, muntah, dan lemas.
 Diare.
 Penurunan berat badan atau sulit menaikkan berat badan.
 BAB berdarah.
 Penurunan nafsu makan.
 Terdapat cacing pada kotoran atau muntahan.

Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan migrasi larva dan perkembangbiakan
cacing dewasa, yaitu:
1. Gejala akibat migrasi larva A. lumbricoides Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides
di paru penderita akan membuat perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul
gangguan batuk dan demam. Pada foto thorak penderita Ascariasis akan tampak infiltrat
yaitu tanda pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer (Sindrom Loeffler)
2. Gejala akibat cacing dewasa. Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa usus halus
dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah, dan sakit perut
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti : telur cacing pada tinja, cacing dewasa keluar tubuh dan ditemukan dalam
tinja
Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui pemeriksaan laboratorium. Secara
garis besar Ascariasis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Ditemukannya telur A. lumbricoides fertilized, unfertilized, maupun dekortikasi di tinja
seseorang.
2. Ditemukannya larva A. lumbricoides di dalam sputum seseorang.
3. Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun bersama dengan muntahan .
Jika terjadi Ascariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak ditemukan telur sehingga dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan foto thorak.

KOMPLIKASI

1. Hilangnya nafsu makan yang berujung kekurangan nutrisi (malnutrisi).


2. Gangguan tumbuh kembang anak akibat malnutrisi.
3. Penyumbatan usus buntu yang memicu radang usus buntu.
4. Penyumbatan saluran enzim pankreas dan cairan empedu yang ditandai dengan nyer
perut hebat.
5. Penyumbatan usus oleh cacing yang dapat mengakibatkan robekan dan perdarahan di
usus.

TATALAKSANA
Pengobatan
Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat, albendazol, mebendazol, dan piperazin.
15,16 - Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka penyembuhan 85-100%.
Efek samping dapat berupa mual, muntah, diare, dan sakit kepala, namun jarang terjadi.
- Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan menghasilkan angka 10 penyembuhan
lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada ibu hamil. Pada infeksi berat, dosis tunggal
perlu diberikan selama 2-3 hari.
- Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada infeksi ringan,
mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).
- Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis piperazin adalah 75
mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari, sebelum atau sesudah makan pagi. Efek samping
yang kadang ditemukan adalah gejala gastrointestinal dan sakit kepala.

2. Strongiloides stecoralis
DEFINISI
Strongyloidiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing gelang
jenis Strongyloides stercoralis. Cacing ini umumnya hidup di daerah dengan iklim tropis.
Infeksi cacing Strongyloides dapat bertahan sangat lama di dalam tubuh apabila tidak
ditangani dengan tepat.

ETIOLOGI
Etiologi strongyloidiasis adalah cacing spesies Strongyloides stercoralis. Cacing ini dapat hidup
dan berkembang biak di luar inang, dan di dalam inang sebagai parasit. Strongyloides
stercoralis bisa menyebabkan autoinfeksi, yaitu kemampuan untuk menginfeksi ulang tubuh
inangnya.

SIKLUS HIDUP
MANIFESTASI KLINIS
Invasi larva filariform pada kulit, terutama pada kaki menimbulkan gejala eritemia, vesicula
dengan rasa gatal dan sedikit sakit. Pada orang yang sensitif dapat menimbulkan urticaria, serta
dapat berupa creeping eruption. Migrasi larva pada paru-paru dapat menyebabkan pneumonitis
atau lobular pneumonia. Cacing dewasa betina dapat membuat saluran-saluran di mukosa
intestinum tenue sehingga dapat menyebabkan infeksi catarrhal pada mukosa dan reaksi karena
intoxicasi. Gejala yang timbul dapat berupa sakit perut terutama pada waktu lapar (hunger pain),
diare dengan darah dan lendir berselang-seling dengan konstipasi.

DIAGNOSIS

. Baku emas diagnosis adalah dengan pemeriksaan mikroskopik tinja untuk menemukan
larva Strongyloides stercoralis.
 Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk mengetahui gejala klinis, baik pada fase akut maupun kronis. Pada
anamnesis, penting untuk mencari tahu faktor risiko pasien terinfeksi Strongyloides.
 Pemeriksaan Fisik
Pada strongyloidiasis akut, pemeriksaan fisik dapat memberikan gambaran edema, urtikaria, dan
petekie di lokasi masuknya larva Strongyloides stercoralis, biasanya pada kaki. Gambaran
bronkopneumonia dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik saat masa larva bermigrasi di saluran
pernapasan. Pasien dapat terlihat anemis saat larva masuk ke dalam mukosa usus.
Pada strongyloidiasis kronik, lesi kulit yang dapat ditemukan berupa larva currens. Larva
currens merupakan lesi linear serpiginosa disertai urtikaria sebagai gambaran pergerakan cacing
intradermal. Kecepatan pergerakan larva yang mencapai 5–10 cm/jam dan lokasi lesi biasanya
pada bokong, selangkangan, perut, dan batang tubuh. Lesi akan hilang setelah 12–48 jam, tetapi
dapat bersifat rekuren akibat autoinfeksi
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis strongyloidiasis
adalah pemeriksaan tinja dan serologi.
1. Sampel Tinja

Penemuan larva pada tinja, cairan duodenum, atau pada cairan jaringan lain dapat menegakkan
diagnosis strongyloidiasis secara definitif. Tetapi, karena densitas larva umumnya rendah,
pemeriksaan disarankan untuk dilakukan berulang. Beberapa metode yang dianjurkan untuk
memeriksa sampel tinja secara mikroskopis adalah :

 Microscopy after concentration, dengan teknik Baermann funnel dan formalin-ether


concentration technique (FECT)
 Microscopy after culture, dengan teknik yang disarankan adalah Harada-Mori filter
paper culture dan kultur agar Koga
 Mikroskopi direk, dengan melihat apusan tinja dalam salin dan pewarnaan Lugol
iodin secara langsung di bawah mikroskop.

2. Serologi
Dibandingkan pemeriksaan tinja, tes serologi memiliki sensitivitas yang lebih besar. Namun,
beberapa ahli masih meragukan spesifisitasnya karena adanya reaksi silang dengan parasit
filarial, schistosomiasis, dan askariasis, serta sulit untuk membedakan antara kasus aktif dan
infeksi terdahulu.

3. Polymerase Chain Reaction

Berpotensi membantu diagnosis strongyloidiasis. Namun, belum terstandarisasi, dan studi yang
ada masih menunjukkan sensitivitas yang beragam. Pada PCR, akan ditemukan DNA cacing di
sampel tinja.

KOMPLIKASI
Perdarahan saluran cerna, terutama pada pasien hiperinfeksi, malabsorpsi, obstruksi
dan perforasi usus, peritonitis, serta ileus.

TATALAKSANA

Obat pilihan adalah ivermectin 200mcg/kg dosis tunggal diulang setelah 1 minggu atau setiap
hari selama 3 hari. Terapi lain: albendazol, mebendazol, tiabendazol kurang efektif

Medikamentosa

Pada strongyloidiasis fase akut maupun kronis, dosis ivermectin pasien dewasa adalah 200
μg/kg/hari per oral selama 2 hari. Pada pasien yang mengalami infeksi berat, dosis ivermectin
adalah 200 μg/kg/hari hingga larva tidak ditemukan lagi pada sputum ataupun tinja selama 2
minggu. Terapi alternatif dapat menggunakan albendazole 400 mg per oral , sebanyak 2 kali/hari,
selama 1 minggu.
Terapi Suportif
Pasien dengan hiperinfeksi sangat menular dan harus dirawat di ruang isolasi karena dahak,
feses, muntah, dan kotoran tubuh lainnya bisa mengandung larva infektif
(filariform). Screening anggota keluarga dan tindakan pencegahan diperlukan untuk mencegah
penyebaran infeksi. Terapi antibiotik, seperti ciprofloxacin atau ceftriaxone, harus diberikan jika
ada bakteremia atau meningitis.Untuk mengatasi wheezing, pasien dapat diberikan agonis beta,
misalnya salbutamol. Pemberian kortikosteroid, misalnya dexamethasone, harus dihindari karena
dapat menyebabkan hiperinfeksi yang mengancam jiwa.

Anda mungkin juga menyukai