Anda di halaman 1dari 13

STRONGYLOIDES STERCORALIS

Oleh: Kelompok 3
Organisme & Morfologi
 Cacing betina Strongyloides Stercoralis dewasa (Panjang sekitar 2mm)
yang mendiami usus bersifat partenogenetik; karena mereka tidak
perlu kawin dengan cacing jantan untuk dapat bereproduksi. Mereka
meletakkan telur didalam usus; larva kemudian menetas dari telur dan
dikeluarkan kedalam feses.
 Larva ini dapat berkembang menjadi bentuk parasitik atau menjadi
cacing jantan dan betina yang hidup bebas dan kawin menghasilkan
beberapa generasi cacing didalam tanah; ini merupakan satu contoh
adaptasi evolusioner untuk mempertahankan populasi.
 dibawah keadaan lingkungan tertentu seperti suhu, dapat berkembang
menjadi bentuk parasitik. Oleh sebab itu, Strongyloides Stercoralis
memiliki adaptasi evolusioner unik yang dapat meningkatkan
keberhasilan reproduksinya.

Sumber: Jawetz, Edisi 25


Siklus Hidup
Telur Cacing Strongyloides Stercoralis

Telur Cacing Strongyloides Stercoralis pada feses


Manusia
Larva Strongyloides Stercoralis

Larva Strongyloides Stercoralis dari bilasan bronkiolus

Sumber: Jawetz, Edisi 25


Patologi dan Patogenesis
Pada bidang medis, Strongyloides dapat menimbulkan
reinfeksi atau autoreinfeksi internal jika larva yang baru menetas
tidak keluar dari tubuh pejamu, tetapi terus menjalani stadium
ganti kulit didalam usus. Larva ini menembus usus, berimigrasi
melalui sistem sirkulasi, masuk kedalam paru dan jantung
(serupa dengan migrasi cacing tambang ketika menembus
kulit), lalu berkembang menjadi cacing betina parasitik di dalam
usus. Nematoda ini mampu menimbulkan infeksi selama
bertahun-tahun, dan dalam keadaan imunosupresi,
menghasilkan hiperinfeksi berupa infeksi fulminan yang
mematikan. Pada infeksi diseminata, tanda dan gejala klinis
yang utama melibatkan saluran cerna (diare berat, nyeri
abdomen, perdaraan saluran cerna, mual, muntah) paru, (batuk,
mengi, hemoptisis) dan kulit (ruam pruritus, larva currens). Larva
yang berimigrasi dari usus dan membawa bakteri enterik dapat
menyebabkan infeksi setempat atau sepsis, sehingga terjadi
kematian.

Sumber: Jawetz, Edisi 25


Gejala Klinis
 Infeksi Akut
Manifestasi klinik pada fase akut berhubungan dengan jalur
masuk parasit dari kulit sampai ke dalam usus. Individu yang
terinfeksi pada fase ini akan mengalami iritasi kulit pada tempat
masuk larva filariform, diikuti dengan iritasi trakea atau batuk kering
dan akhirnya gejala pencernaan seperti diare, konstipasi, sakit perut
atau anoreksia. Masa inkubasi (pre–patent period) sejak pertama
infeksi sampai larva rhabditiform keluar di tinja adalah 1 bulan.

 Infeksi Kronis
Pada sebagian besar kasus, beberapa cacing dewasa
S.stercoralis akan tetap tinggal di dalam usus kecil selama bertahun-
tahun (> 30 tahun) tanpa menimbulkan gejala klinis, tetapi dapat
menyebabkan gejala klinis yang berulang ketika larva filariform
penetrasi kulit perianal dan menyebabkan recurrent rash – ‘larva
currens’ dan urtikaria. Ditandai dengan nyeri pada epigastrik dan
perut bagian kanan atas disertai dengan mual, diare kronis dan berat
badan berkurang.
Diagnosis

Menemukan larva rhabditiform atau pun


larva filariform pada sediaan feses, cairan
duodenum, cairan asites, dan sputum (pada
kasus yang disseminated). Larva rhabditiform
biasanya dijumpai pada sediaan tinja segar.
Larva filariform dapat dijumpai pada
pembiakan tinja dan pembiakan sekret
duodenum yang diambil dengan duodenal
sonde.
Pengobatan dan Penanganan
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk
Strongyloidiasis dosis ivermectin 0,2 mg / kg bb / hari,
diberikan dalam dosis tunggal. Angka kesembuhan 98, 7 %.
Sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada
umumnya adalah Albendazole. Dosis Albendazole 25 mg / kg
bb/ hari. Pemberiannya biasa berupa Albendazole 400 mg 2 x
per hari (anak < 2 tahun : 200 mg) selama 3 - 5 hari. Efek
samping pengobatan berupa diare, gatal – gatal dan
mengantuk lebih sering dijumpai pada ivermectin
dibandingkan albendazole.
Pencegahan infeksi adalah dengan memakai alas kaki
dan menghindari kontak dengan tanah yang tercemar. Pasien
harus diskrining terlebih dahulu terhadap kemungkinan
adanya infeksi strongyloidiasis sebelum pemakaian obat -
obat immunosupresif.
Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Tinja
Pemeriksaan langsung feses dengan pewarnaan saline-lugol iodin :
 Konsentrasi Baermann
 Konsentrasi Formalin-ethyl acetate
 Kultur Harada Mori
 Kultur Nutrient agar plate

 Pemeriksaan aspirasi duodenal

 Endoskopi

 Pemeriksaan histologi

 Biopsi kulit

 Radiologi diagnostik
Sumber:
 Jawetz, Melnick, Adelberg. 2010. Mikrobiologi Kedokteran:
Edisi25. EGC. Jakarta
 Microbiology & Molecular Biology
 www.dpd.cdc.gov/dpdx
Anggota Kelompok :
Patricia Lintong
Dewi Rambi
Jesika Kunu

Anda mungkin juga menyukai