A. PENDAHULUAN
prevalensinya di dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat asimtomatis.
Prevalensi paling besar pada daerah tropis dan di negara berkembang di mana sering terjadi kontaminasi
tanah oleh tinja sebagai pupuk. Gejala penyakitnya sering berupa
pertumbuhan yang terhanbat, pneumonitis, obstruksi intestinal atau hepatobiliar dan
1. ETIOLOGI
Askariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi terutama
di daerah tropis dimana tanahnya memiliki kondisi yang sesuai untuk kematangan telur di dalam tanah.
Diperkirakan hampir 1 miliar penduduk yang terinfeksi dengan 4 juta kasus di Amerika Serikat.
Prevalensi pada komunitas-komunitas tertentu lebih
besar dari 80%. Prevalensi dilapokan terjadi di lembah sungai Yangtze di Cina. Masyarakat dengan kondisi
sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada masyarakat
yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis yang mendukung. Walaupun infeksi
dapat menyerang semua usia, infeksi tertinggi terjadi pada anak-anak pada usia sebelum sekolah dan usia
sekolah. Penyebarannya terutama melalui tangan ke mulut (hand to mouth) dapat juga melalui sayuran atau
buah yang terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan selama 2 tahun pada suhu 5-10 ºC. Empat dari 10
orang di Afrika, Asia, dan Amerika Serikat terinfeksi oleh cacing ini.
Prevalensi dan intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi pada anak-anak. Pada anak-
anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi penyakit yang paling sering ditemui. Diantara anak-
anak usia 1-12 tahun yang berada di rumah sakit Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-
1962, 12.8 % dari infeksinya disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Anak-anak dengan askariasis
kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat
berkaitan dengan penurunan jumlah makanan yang dimakan.
3. PATOFISIOLOGI
1. Cacing betina menghasilkan 240.000 telur setiap hari yang akan terbawa bersama tinja.
2. Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut
dapat menginfeksi manusia.
3. Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi umumnya terjadi melalui
kontaminasi tanah pada tangan atau makanan.
4. Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum).
5. Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah melalui sistem portal
menuju hepar (4d) dan kemudian paru.
6. Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian dibatukkan dan
tertelan kembali menuju jejunum.
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada sebagian besar
penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya asimtomatis atau simtomatis. Gejala klinis
paling sering ditemui berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan
pada usus atau saluran empedu. Gejala klinis yang nyata biasanya berupa nyeri perut, berupa kolik di
daerah pusat atau epigastrum, perut buncit ( pot belly), rasa mual dan kadang-kadang muntah, cengeng,
anoreksia, susah tidur dan diare.
Telur cacing askariasis akan menetas didalam usus. Larva kemudian menembus dinding usus dan
bermigrasi ke paru melalui sirkulasi dalam vena. Parasit dapat menyebabkan Pulmonari ascariasis ketika
memasuki alveoli dan bermigrasi melalui bronki dan trakea. Manifestasi infeksi pada paru mirip
dengan sindrom Loffler dengan gejala seperti
batuk, sesak, adanya infiltrat pada paru dan eosinofilia. Cacing dewasa akan memakan sari makanan hasil
pencernaan host. Anak-anak yang terinfeksi dan memiliki pola makanan yang tidak baik dapat mengalami
kekurangan protein, kalori, atau vitamin A, yang akhirnya dapat mengalami pertumbuhan terlambat.
Obstruksi usus, saluran empedu dan pankreas dapat terjadi akibat sumbatan oleh cacing yang besar.
Cacing ini tidak berkembang biak pada host. Infeksi dapat bertahan selama umur cacing maksimal (2
tahun), serta mudah terjadi infeksi
berulang.
5. KOMPLIKASI
1. Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi. Pada
penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”, sedangkan protein dan
lemak tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah hospes. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis disebabkan oleh diare dan anoreksia.
2. Toksin. Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut askaron yang kemudian
ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan dan kematian, tetapi
kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin yang spesifik dari askaris.
Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh
protein asing.
DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2002. Buku