Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris Lumbrocoides. Penyakit


yang disebabkannya disebut askariasis. Ascaris lumbricoides atau lebih dikenal
dengan cacing gelang merupakan cacing yang penularannya dengan perantaraan
tanah (Soil Transmited Helminths). Dalam tubuh sendiri, infeksi cacing Ascaris
menimbulkan banyak gejala klinik, dimulai dengan rasa mual pada saluran
pencernaan sampai ditemukan gejala diare.1

Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya


bersarang dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan
mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus,
mengadakan iritasi setempat. Ascaris lumbrocoides merupakan parasit yang
kosmopolit yaitu tersebar di seluruh dunia, lebih banyak sehingga mengganggu
gerakan peristaltik dan penyerapan makanan.1,2

Cacing ini di temukan di daerah beriklim panas dan lembab. Di beberapa


daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai 100% dari penduduk. Pada umumnya
lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 10 tahun sebagai host
(penjamu) yang juga menunjukkan infeksi cacing yang lebih tinggi.3

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak


sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena
kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun
mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehingga anak-anak lebih mudah
terinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi
melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur
Ascaris lumbricoides. 2

1
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis yang baik. Tanpa
pengobatan, penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan
pengobatan angka kesembuhan 70-99 %.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris


lumbricoides, yang merupakan nematode usus terbesar. Angka
kejadiannya di dunia lebih banyak dari infeksi cacing lainnya,
diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia pernah terinfeksi dengan
cacing ini. Infeksi paling sering pada anak prasekolah atau umur sekolah
awal. Askariasis berada paling banyak pada negara bermusim panas.
Meskipun demikian, didapati sekitar 4 juta individu, terutama anak, di
Amerika Utara.3

2.2 Morfologi

Cacing dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarna


krem / merah muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40 cm.
Ukuran cacing betina 20-35cm, diameter 3-6 mm dan cacing jantan 15-31
cm dan diameter 2,4 mm. Mulut terdapat tiga tonjolan bibir berbentuk
segitiga (satu tonjolan di bagian dorsal dan dua lainnya di ventrolateral)
dan bagian tengahnya terdapat rongga mulut (buccal cavity). Cacing jantan
mempunyai ujung posterior melengkung ke ventral seperti kait,
mempunyai 2 buah copulatory spicule panjangnya 2 mm yang muncul dari
orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing
betina pula mempunyai ujung posterior tidak melengkung ke arah ventral
tetapi luas. Cacing ini juga mempunyai vulva yang sangat kecil terletak di
ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah tubuh dan mempunyai
tubulus genitalis berpasangan terdiri dari uterus, saluran telur (oviduct) dan
ovarium.3

3
Telur Ascaris ditemukan dalam dua bentuk, yang dibuahi
(fertilized) dan tidak dibuahi (unfertilized). Telur yang dibuahi berbentuk
bulat lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron.
Telur ini berdinding tebal terdiri dari tiga lapis; lapisan dalam dari bahan
lipoid (tidak ada pada telur unfertile), lapisan tengah dari bahan glikogen,
lapisan paling luar dari bahan albumin (tidak rata, bergerigi, berwarna
coklat keemasan berasal dari warna pigmen empedu). Telur yang dibuahi
ini mempunyai bagian dalam tidak bersegmen berisi kumpulan granula
lesitin yang kasar. Kadang-kadang telur yang dibuahi, lapisan albuminnya
terkelupas dikenal sebagai decorticated eggs. Telur yang tidak dibuahi
mempunyai ukuran panjang 88 94 mikron dan lebarnya 44 mikron. Telur
unfertile dikeluarkan oleh cacing betina yang belum mengalami fertilisasi
atau pada periode awal pelepasan telur oleh cacing betina fertile.2,3

2.3 Epidemiologi

A.lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1,3


milyar orang pernah terkena infeksi ini. Tidak jarang dijumpai infeksi
dengan cacing jenis lain, terutama Trichuris trchiura. Askariasis ditularkan
melalui tanah, tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan
lingkungan yang cocok untuk pematangannya. Defekasi di tempat
sembarangan dan menggunakan pupuk manusia merupakan praktik tidak
higienis yang menyebabkan endemisitas askariasis. Manusia mendapat
infeksi dengan cara tertelan telur cacing A.lumbricoides yang mengandung
larva. Prevalensi tertinggi askariasis di daerah tropik pada usia 3-8 tahun.4
Diperkirakan 1300 juta orang terinfeksi askariasis. Paling banyak
ditemukan pada daerah tropis, tanah lembap, dan terlindung dari sinar
matahari,ini merupakan kondisi yang baik untuk trasmisi askariasis secara
terus menurus. Tanah liat merupakan tempat yang paling baik untuk
perkembangan telur askaris dan tetap infektif dalam genangan air. 5

4
Gambar 1. Telur cacing ascariasis Gambar 2. Cacing ascaris dewasa

2.4 Etiologi

Etiologi dari penyakit ascariasis pada anak adalah cacing ascaris


lumbrocoides. Transmisi atau penularan terutama masuk melalui air atau
makanan (sayuran mentah dan buah terutama) yang mengandung telur
Ascaris lumbricoides. Anak-anaknya yang suka bermain tanah yang
terkontaminasi dapat tertular parasit askaris melalui tangan. Koinfeksi
dengan penyakit parasit lain sering terjadi dikarenakan faktor predisposisi
penularan yang sama 5

2.5 Patogenesis

Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus kecil. Cacing Ascaris


lumbricoides yang sangat aktif berkembang biak, mampu menghasilkan
sehingga 240.000 telur per hari yang akan dijumpai di dalam feses orang
yang terinfeksi. Telur Acaris lumbricoides yang sangat tahan terhadap
lingkungan, menjadi infektif setelah beberapa minggu di dalam tanah dan
masih dalam keadaan infektif untuk beberapa tahun. Setelah telur dalam
bentuk infektif termakan oleh penderita, larva akan menetas di dalam usus
dan menginvasi mukosa usus lalu, larva akan masuk ke sirkulasi dan

5
bermigrasi ke paru-paru, kemudian masuk ke alveoli dan naik ke bronkus
dan menjadi matur. Akibat tertelan, larva matur tadi akan kembali semula
ke usus kecil dan membesar menjadi cacing dewasa. Terdapat 2 hingga 3
bulan selepas seseorang itu tertelan telur dalam bentuk infektif sehingga
terhasilnya telur-telur Ascaris yang baru. Jangka hayat cacing dewasa
adalah sekitar 1 hingga 2 tahun. 7

2.6 Gambaran Klinis

Kurang lebih 85% kasus askariasis tidak menunjukan gejala klinis


(asimtomatik), namun beberapa individu dengan keluhan rasa terganggu di
abdomen bagian atas dengan intensitas bervariasi.
Migrasi pulmonal
Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak
menimbulkan gejala klinis, namun pada infeksi berat dapat
menyebabkan pneumonitis. Larva askaris dapat menimbulkan reaksi
hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi dan pada individu yang
sensitif dapat menyebabakan gejala seperti asma misalnya batuk,
demam, dan sesak nafas. Reaksi jaringan karena migrasi larva yakni
inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan dan hipersensitifitas
local menyebabakan peningkatan sekresi mucus, inflamasi bronkiolar
dan eksudat serosa. Pada kondisi berat karena larva yang mati,
menimbulkan vaskulitis dengan reaksi granuloma perivaskuler.
Inflamasi eosinofilik dikenal dengan lofflers sindrom .
Migrasi kulit

Jika migrasi ke kulit akan menyebabkan gejala alergi seperti


urtikaria dan kemerahan di kulit (skin rash), nyeri pada mata dan
insomnia karena reaksi alergi terhadap :

- Ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa

- Cacing dewasa yang mati

6
Infeksi intestinal

Cacing dewasa menimbulkan gejala klinis ringan, kecuali pada


infeksi berat. Gejala klinis yang sering timbul, gangguan abdominal,
nausea, anoreksia dan diare.8
Komplikasi serius akibat migrasi cacing dewasa ke pencernaan
lebih atas akan menyebabkan muntah (cacing keluar lewat mulut atau
hidung) atau keluar lewat rectum. Migrasi larva dapat terjadi sebagai
akibat rangsangan panas (38,9 0C).
Sejumlah cacing dapat membentuk bolus (massa) yang dapat
menyebabkan obstruksi intestinal secara parsial atau komplet dan
menimbulkan rasa sakit pada abdomen, muntah dan kadang-kadang
massa dapat di raba
Migrasi ke kantung empedu
Migrasi cacing ke kandung empedu, menyebabkan kolik biliare
dan kolangitis. Migrasi pada saluran pankreas menyebabkan
pankreatitis. Apendisitis dapat disebabkan askaris yang bermigrasi ke
dalam saluran apendiks.
Askaris dapat menyebabkan protein energy malnutrition. Pada
anak-anak yang diinfeksi 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4
gram protein dari diet yang mengandung 35-50 gram protein/hari.
Efek terhadap ekonomi telah banyak diketahui orang, yaitu,
menguras banyak uang, karena kemampuan A. lumbrikoides memakan
karbohidrat yang cukup besar.

2.6 Diagnosis
Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja
pasien atau ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut. Telur
dapat di temukan ditinja pada sedian basah apus tinja ( direct wet smear )
atau sedian basah dari sedimen pada metode konsentrasi. Jumlah eosinofil
di dalam darah bisa jadi meningkat. Tanda-tanda adanya perpindahan

7
parasit bisa terlihat pada foto rontgen dada. Telur dapat di periksa dengan
cara langsung atau dengan cara konsentrasi, larva dalam tinja dapat
ditemukan pada pemeriksaan langsung atau dengan cara sedian tinja basah
atau pada pembiakan. 5

2.7 Terapi

Untuk pengobatan askariasis dapat digunakan obat-obat sepreti :


Pirantel pamoat

Dosis 10 mg/kg BB (maksimum 1 g) dapat diberikan dosis


tunggal. Efek samping : gangguan gastrointestinal, sakit kepala,
pusing, kemerahan pada kulit dan demam.

Mebendazol

Dosis 100 mg dua kali per hari selama lebih dari 3 hari. Efek
samping : diare rasa sakit pada abdomen, kadang kadang leucopenia.
Mebendazol tida k di anjurkan pada wanita hamil karena dapat
membahayakan janin.

Piperasin sitrat

Dosis 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g/hari), pemeberian selama


dua hari. Efek samping : kadang kadang menyebabkan urtikaria,
gangguan gastrointestinal dan pusing.

Albendazol
Dosis tunggal 400 mg,dengan angka kesembuhan 100% pada
infeksi cacing Ascariasis.
Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole
(400 mg P.O. sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3
hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate (11
mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama :
150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari)

8
2.8 Pencegahan
Pencegahan askaris dapat terjadi secara oral, maka untuk
pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat
menimbulkan adanya konstaminasi dari telur-telur askaris. Oleh karena
itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan. Selain hal tersebut, hindaru
juga mengkonsumsi sayuran mentah dan jangan membiarkan makanan
terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang berterbangan dapat
mengontaminasi makan tersebut ataupun dihinggapi serangga dimana
membawa telur-telur tersebut. Untuk menekan volume dan lokasi dari
aliran telur-telur melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan
mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan
syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak
boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak
terkontaminasi telur-telur askaris.1,4
Mengingat tingginya prevalensi terjadinya askariasis pada anak,
maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing
askaris ini. Dianjurkan pula untuk membiasakan mencuci tangan sebelum
makan, mencuci makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas
kaki terutama diluar rumah. Untuk melengkapi hal tersebut perlu ditambah
dengan penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga, sehingga
sebagaimana telah terjadi program nasional, rehabilitasi sarana perumahan
juga merupakan salah satu perbaikan keadaan social-ekonomi yang
menjurus kepada perbaikan kebersihan dan sanitasi. 4
Cara- cara perbaikan tersebut adalah :
Buang air pada jamban dan menggunakan air untuk membersihkannya,
Memakan makanan yang sudah di cuci dan dipanaskan serta menggunakan
sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur
cacing, Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang lembab dan
kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur, Halaman rumah selalu
dibersihkan

9
2.9 Prognosis

Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik.


Kesembuhan askariasis mencapai 70 hingga 99% 4

10
BAB 3
PENUTUP

Askariasis (ascariasis) adalah infeksi usus kecil yang disebabkan oleh


cacing Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides adalah cacing gelang besar
yang panjangnya dapat mencapai 40 cm dan setebal pensil. Askariasis terjadi di
seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada daerah yang beriklim tropis dan
subtropis.
Seseorang terinfeksi setelah menelan telur Ascaris lumbricoides. Di dalam
perut, telurnya menetas menjadi larva, kemudian menembus dinding usus dan
melakukan perjalanan hingga ke jantung dan paru-paru melalui aliran darah.
Setelah menghabiskan waktu antara enam hingga 10 hari di paru-paru, larva
berjalan ke tenggorokan, lalu orang tersebut batuk dan kemudian menelannya
hingga masuk ke perut. Kemudian di usus kecil larva dewasa terus berkembang
menjadi cacing dewasa, dan terus tinggal disana hingga mati.

Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik. Kesembuhan


askariasis mencapai 70 hingga 99% (Sutanto et al, 1998). Tanpa pengobatan,
infeksi cacing ini dapat sembuh dalam waktu 1,5 tahun. Komplikasi bisa
disebabkan oleh cacing dewasa yang bergerak ke organ tertentu menyebabkan
blockage usus.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman , Kliegman , Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. In. Jakarta:


EGC; 2000. p. 1220-1230.
2. Bell John. C, dkk. 1995. Zoonosis (Infeksi yang Ditularkan dari Hewan ke
Manusia). Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
3. Chin, James. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV. Info
Medika: Jakarta.
4. Pedro dan Szyfres, Boris. 1980. Zoonoses and Commumcable Diseases
Common to Man and Animals. Pan American Health Organization:
Washington DC.
5. Soedarto. 2016. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Widya Medika:
Jakarta.
6. Soeparman. 2008. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
7. T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
8. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
& Pemberantasannya. Erlangga: Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai