Anda di halaman 1dari 18

FAKULTAS KEDOKTERAN MINI REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN SEPTEMBER 2019

ASCARIASIS

Disusun Oleh:
Nancy Dwi Puspita C014182113
Multazam C014182120
Sri Angilda C014182215
Moh. Fauzan C014182222
Asfira Asmawat C014182241

Residen Pembimbing:
dr. A. Ita Maghfirah

Supervisor Pembimbing:
dr. Kartika Paramita, Sp.PK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama:
Nancy Dwi Puspita C014182113
Multazam C014182120
Sri Angilda C014182215
Moh. Fauzan C014182222
Asfira Asmawat C014182241

Judul Referat: Ascariasis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar, September 2019

Pembimbing Supervisor Residen Pembimbing

dr. Kartika Paramita, Sp.PK dr. A. Ita Maghfirah

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Definisi ........................................................................................................ 2
B. Epidemiologi ............................................................................................... 2
C. Etiologi ........................................................................................................ 3
D. Siklus Hidup ................................................................................................ 4
E. Patofisiologi Penyakit ................................................................................. 5
F. Manifestasi Klinis ....................................................................................... 9
G. Aspek Laboratorium.................................................................................. 10
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I PENDAHULUAN
Ascaris lumbricoides adalah salah satu parasit cacing yang paling umum
dan mempengaruhi manusia. Penyakit ini muncul terutama di daerah pedesaan di
negara-negara tropis dan subtropis dengan kondisi kebersihan dan sosial ekonomi
yang buruk. Frekuensi global ascariasis tergantung pada kondisi regional, iklim,
ekonomi, dan budaya Negara. Infeksi Ascaris lumbricoides terjadi pada semua
kelompok umur tetapi lebih sering pada anak-anak pra-sekolah.1
Pada 2010, diperkirakan 819 juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi
Ascaris lumbricoides, yang merupakan infeksi paling umum di antara cacing yang
ditularkan melalui tanah. Di atas segalanya, kecacatan yang signifikan telah
dilaporkan dengan Ascaris lumbricoides, yang mencapai 1,10 juta tahun hidup
dengan kecacatan. Meskipun kasus ascariasis biasanya tidak menunjukkan gejala,
infeksi menyebabkan kekurangan gizi pada anak anak-anak dan menyebabkan
sekitar 3000-60.000 kematian setiap tahun, biasanya sebagai akibat dari obstruksi
usus.2
Ascariasis biasanya asimptomatik, tetapi dapat menyebabkan komplikasi
intra-abdominal yang serius seperti obstruksi usus, volvulus, intususepsi,
obstruksi bilier, kolangiohepatitis, abses hati, pankreatitis, radang usus buntu akut,
perforasi usus, dan peritonitis granulomatosa. Obstruksi usus adalah komplikasi
yang paling umum. Sanitasi yang buruk dan pembuangan limbah yang tidak
memadai merupakan peran penting dalam kasus ascariasis.3

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi
Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing Ascaris
lumbricoides. Ascariasis sendiri termasuk penyakit cacing yang paling besar
prevalensinya diantara penyakit cacing lainnya yang menginfeksi tubuh manusia.
Cacing. Ascaris lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda berasal
dari kata nematos yang berarti benang dan oidos yang berarti bentuk, sehingga
cacing ini sering disebut cacing gilik ataupun cacing gelang. Nematoda itu sendiri
dibagi menjadi 2 jenis yakni nematoda usus dan nematoda jaringan. Manusia
merupakan hospes untuk beberapa nematoda usus yang dapat menimbulkan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus yang ada
terdapat beberapa spesies yang membutuhkan tanah untuk pematangannya dari
bentuk non infektif menjadi bentuk infektif yang disebut Soil Transmitted
Helminths (STH). Cacing yang termasuk golongan STH adalah Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, Necator americanus,
Strongyloides stercoralis, dan beberapa spesies Trichostrongylus.4
Taksonomi Ascaris lumbricoides (Jefrey, 1983) :
Phylum : Nemathelminthes
Sub phylum : Ascaridoidea
Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides

B. Epidemiologi
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun
2012 lebih dari 1.5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi STH. Di
Indonesia sendiri infeksi kecacingan masih relatif tinggi pada tahun 2011, yaitu
sebesar 28 %, survei pada anak Sekolah Dasar menunjukkan prevalensi antara 0 –
76.67 %.

2
Di Indonesia, penyakit cacing adalah penyakit rakyat umum, infeksinya
pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa jenis cacing sekaligus.
Diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita suatu infeksi
cacing, rendahnya mutu sanitasi menjadi penyebabnya. Di Indonesia angka
prevalensi kecacingan meningkat pada tahun 2012 yang menunjukkan angka di
atas 20% dengan prevalensi tertinggi mencapai 76.67%.
Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang cukup
menjadi perhatian selain karena potensi yang dimiliki dalam bidang ekonomi,
perdagangan dan pariwisata. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan bahwa penderita kecacingan di Sulawesi Selatan masih ter-
bilang banyak yaitu pada tahun 2011 (11.884 kasus), 2012 (9.476 kasus), 2013
(12.949 kasus), 2014 (13.375 kasus). Iklim tropis di pulau ini mendukung siklus
perkembangbiakan cacing khu- susnya Ascaris lumbriciodes, selain itu juga
didukung oleh kondisi hygiene perorangan penduduk disana yang buruk dan
sebagian besar kepala keluarganya berprofesi sebagai nelayan.5

C. Etiologi
Etiologi infeksi ascariasis adalah Ascaris lumbricoides atau disebut juga
sebagai cacing gelang. Cacing dewasa bentuknya silindris dengan ujung anterior
meruncing. Betina berukuran 20-35cm, sedang pada jantan berukuran 15-20cm.
Jenis ini mempunyai tiga buah bibir, satu terletak mediodorsal dan dua
ventrolateral. Bentuk ekor cacing betina lurus sedangkan cacing jantan
melengkung.pada ujung posterior terdapat duri-duri halus yang disebut copulatory
spikula.
Ascaris memiliki beberapa jenis telur. Telur yang dibuahi bentuknya
lonjong berukuran 60-45 mikron dengan dinding luar tebal berwarna coklat
karena zat warna empedu, dinding telur terdiri dari 3 lapisan, terdapat lapisan
albuminoid bergerigi yang tebal, biasanya terdapat 1-4 sel. Sedangkan telur yang
tidak dibuahi berbentuk lebih lonjong daripada telur yang dibuahi dengan dinding
tipis dimana lapisan albuminnya lebih tipis dan bagian dalamnya berisi penuh

3
granula. Adapun telur infektif memiliki morfologi seperti telur yang dibuahi,
berisi rhabditoid larva yang terbentuk setelah 3 minggu berada di tanah.6

Gambar 1 cacing Ascaris lumbricoides


Sumber : Penuntun Parasitologi Kedokteran

D. Siklus Hidup
Infeksi pada manusia terjadi karena menelan telur matang dari tanah yang
terkontaminasi. Telur yang tertelan akan menetas di duodenum, kemudian secara
aktif menembus dinding usus dan via sirkulasi portal menuju jantung kanan.
Kemudian larvanya masuk ke dalam sirkulasi pulmonal dan tersaring kapiler.
Setelah kira-kira 10 hari di paru-paru, larva menempus kapiler dan masuk ke
alveoli, melalui bronchi bermigrasi sampai trakea dan faring, lalu tertelan. Cacing
akan menjadi matur dan kawin di dalam usus dan memproduksi telur yang akan
keluar bersama tinja. Siklus ini membutuhkan waktu 8-12 minggu mencapai
27.000.000 telur.
Pada tinja penderita ascariasis yang membuang air tidak pada tempatnya
dapat mengandung telur ascariasis yang telah dibuahi. Telur ini akan matang
dalam waktu 21 hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah
tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja
makan dan menelan telur Ascaris.

4
Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan
beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-
paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus,
bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran
cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap
di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan
keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita
baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya.7

Gambar 2 Siklus hidup Ascaris lumbricoides


Sumber : www.cdc.gov
E. Patofisiologi Penyakit
Patogenesis yang disebabkan infeksi Ascaris dihubungkan dengan
1) respon imun hospes,

5
2) efek migrasi larva,
3) efek mekanik cacing dewasa, dan
4) defisiensi gizi akibat keberadaan cacing dewasa.
Ascaris menyebabkan penyakit yang disebut ascariasis. Perjalanan larva
melalui hati dan paru-paru biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi dalam
jumlah besar dapat menimbulkan gejala pneuminitis. Ketika larva menembus
jaringan paru masuk ke alveoli, dapat terjadi kerusakan pada epitel bronkhial.
Dengan terjadi reinfeksi dan migrasi dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk ke
dalam saluran empedu, saluran pankreas, hati, rongga peritonium atau tempat-
tempat kecil lain. Larva dalam jumlah sedikitpun dapat menimbulkan reaksi yang
hebat. Reaksi jaringan dapat terjadi di sekitar larva dalam hati, paru-paru, disertai
infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel epiteloid. Keadaan ini disebut sebagai
pnemonitis ascaris yang disertai reaksi alergi seperti dispnea, batuk kering atau
batuk produktif, mengi atau bronkhi kasar, demam 39,9-40,0 C, dan eosinofilia
yang bersifat sementara. Foto torax menunjukkan ilfiltrat yang menghilang dalam
tiga minggu. Keadaan ini disebut sindroma Loeffler.
Setelah tertelan telur ascariasis yang inefektif, telur ini akan menetap di
bagian atas usus halus dengan melepaskan larva yang berbentuk rabditiformis.
Larva ini akan menembus dinding usus dan mencapai venule dan pembuluh limfe
kemudian melalui sirkulasi portal mencapai hati, bagian kanan jantung dan paru-
paru.
Di dalam paru, larva akan merusak kapiler dan mulai mengikuti
percabangan paru sampai mencapai glotis dan kemudian melewati epiglotis
masuk ke dalam esofagus untuk seterusnya kembali ke usus halus, dimana meraka
akan jadi matur dan berubah menjadi cacing dewasa.
Keseluruhan siklus mulai dari telur yang infektif sampai menjadi cacing
dewasa memerlukan waktu sekitar 2 bulan. Infeksi bertahan dalam masyarakat
akibat pembuangan feses di tanah yang memungkinkan perkembangan telur
menjadi infektif lagi. Ini memerlukan waktu 2 minggu.7
Sistem innate imunity yang pertama berperan adalah barier epitel traktus
gastrointestinal yaitu mukosa usus. Sistem ini berfungsi sebagai respon

6
pertahanan host sebelum larva cacing menembus mukosa usus. Sistem imun pada
mukosa usus terdiri dari lapisan epitel yang mensekresi mukus sebagai
penghalang alami. Mukus ini dihasilkan oleh sel goblet pada sel epitel usus yang
berisi antibodi sekretori (SIgA) yang dihasilkan oleh panneth cell sebagai
pertahanan terhadap invasi patogen dan sel M berfungsi membantu transportasi
antigen dari lumen ke dalam jaringan dibawahnya. Lapisan lamina propria usus
halus banyak terdapat makrofag, PMN, sel mast, dan sel dendritik (DC).8
Antigen cacing berupa produk sekresi/eksresi (ES) dari cacing yaitu
protein, lipid, glycan, enzim protease, dan chitin pada permukaan cacing dikenali
oleh sistem imun. Larva cacing askaris yang lolos dari pertahanan mukosa usus
halus mencari makan dengan mengigit epitel usus yang akan mengaktivasi
pembentukan alarmin yaitu interleukin-25 (IL-25), interleukin-33 (IL-33) dan
thymic stromal lymphopoietin (TSLP). Alarmin TSLP akan mengaktivasi DC
yang merupakan antigen presenting cell (APC). Sel mast juga teraktivasi selama
infeksi cacing dan dapat memperbanyak produksi alarmin. Alarmin IL-25 dan IL-
33 akan menginduksi amplifikasi sel helper innate yang disebut innate lymphoid
2 cells (ILC-2s). Alarmin akan dilepas secara cepat oleh endotel dan sel epitel.
Aktivasi alarmin ini akan menghasilkan IL-5 dan IL-13, IL-5 akan menstimulasi
eosinofil yang diharapkan dapat mematikan parasit cacing. Aktivasi eosinofil dan
basofil akan memicu pelepasan IL-4. Interleukin-4 dan IL-13 dapat mengaktivasi
makrofag alternatif (M2) untuk perbaikan jaringan invasi akibat invasi cacing.9
Innate immunity yang diperankan oleh APC belum dapat menetralisir
cacing. Proses eliminasi cacing berlanjut ke adaptive immunity. Limfosit T CD4
naif dapat mengenali antigen yang dipresentasikan oleh APC melalui mayor
histocompatibility complex (MHC) kelas II. Proses aktivasi sel Th2 CD4 naif
menjadi sel Th2 CD4 efektor berlangsung dalam limfonodus. Differensiasi dan
proliferasi menjadi sel Th2 diinduksi oleh IL-4 yang disintesis oleh sel dendritik
dan sel mast yang juga terpicu oleh adanya cacing atau alergen. Sintesis IL-4 oleh
sel Th2 digunakan untuk amplifikasi respon sehingga terbentuklah subset sel Th2
dalam jumlah yang banyak dan mencegah diferensiasi ke subtipe lain yaitu sel
Th1 dan sel Th17.10

7
Interleukin (IL-4) akan merangsang sel limfosit B untuk menghasilkan IgE
dan IgG4 yang menyelimuti cacing dan IL-5 merangsang perkembangan dan
aktivasi eosinofil. Interleukin 4 dan IL-13 akan mengaktivasi makrofag alternatif
untuk memperbaiki jaringan akibat invasi larva cacing. Imunoglobulin E(IgE)
yang berikatan pada permukaan cacing diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil
diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang akan menghancurkan cacing.
Eosinofil menempel pada cacing dan melepaskan protein kationik, mayor basic
protein (MBP) dan neurotoksin yang bersifat toksik. Imunoglobulin E (IgE) juga
dapat menempel pada sel mast dan basofil melalui FcεRI yang terdapat pada
permukaan sel tersebut sehingga teraktivasi dan mensekresi granula. Keluarnya
granula tersebut akan memberikan seperti pruritus, sesak nafas dan diare.11
Infeksi cacing usus dapat berlangsung kronik akibat adanya efek proteksi
cacing terhadap alergi yang disebabkan oleh beberapa mekanisme berikut : 12
1. Saturasi sel mast
Infeksi cacing akan merangsang imunoglobin E poliklonal. IgE
poliklonal bersifat tidak spesifikakan menempel pada reseptor FcεRI sel
mast sehingga penempelan IgE spesifik allergen pada sel mast terhambat
dan tidak terjadi granulasihistamin. Induksi IgE poliklonal ini juga dapat
melindungi cacing dari serangan imunitas host sehingga memungkinkan
cacing dapat hidup lama dan berkembang biak dalam tubuh host tanpa
menimbulkan gejala dan tanpa membahayakan cacing itu sendiri.
2. Penghambatan oleh Ig G4
Infeksi cacing akan memodulasi produksi IgG4. Antibodi ini akan
menghambat degranulasi sel efektor sehingga akan menekan reaksi alergi
dan mampu menghambat Ig E untuk berikatan dengan allergen dengan
cara menetralkan molekul alergen sebelum alergen tersebut berinteraksi
dengan IgE yang terikat pada reseptor sel mast dan basophil.
3. Modified Th2
Proses ini melibatkan peranan Tregulator. Sel ini akan mengekspresikan
IL-10 dan TGF-beta yang akan menghambat imunitas seluler dan
inflamasi alergi.

8
F. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang timbul dari ascariasis tergantung dari beratnya infeksi,
keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi
cacing ini. Penderita Ascariasis tidak akan merasakan gejala dari infeksi ini
(asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20 ekor didalam tubuh manusia
sehingga baru dapat diketahui jika ada pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya
cacing dewasa bersama dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa
dimulai dari gejala yang ringan seperti batuk sampai dengan yang berat seperti
sesak nafas dan perdarahan. Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis
berdasarkan migrasi larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:4
1. Gejala akibat migrasi larva Ascaris Lumbricoides
Selama fase migrasi, larva Ascaris lumbricoides di paru penderita akan
membuat perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan
batuk dan demam. Pada foto thorak penderita ascariasis akan tampak
infiltrat yaitu tanda terjadi pneumonia dan eosinophilia di daerah
perifer yang disebut sebagai sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan
menghilang dalam waktu 3 minggu.
2. Gejala akibat cacing dewasa
Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya berasal dari
dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus yang lain atau perforasi
ke dalam peritoneum. Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa
usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah, dan
sakit perut. Perforasi cacing dewasa Ascaris lumbricoides ke dalam
peritoneum biasanya menuju ke umbilikus pada anak sedangkan pada
dewasa mengarah ke inguinal. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides
juga dapat menyebabkan obstruksi diberbagai tempat termasuk
didaerah apendiks (terjadi apendisitis), di ampula vateri (terjadi
pancreatitis haemoragis), dan di duktus choleduchus terjadi
cholesistitis. Anak yang menderita ascariasis akan mengalami
gangguan gizi akibat malabsorpsi yang disebabkan oleh cacing dewasa
sehingga pada anak memperlihatkan gejala pucat , lesu, perut buncit.

9
G. Aspek Laboratorium6,13,14
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk diagnosa adanya cacing usus
dalam tubuh yaitu :
1. Darah rutin
Infeksi Ascaris lumbricoides pada pemeriksaan darah rutin memberikan
gambaran anemia mikrositik hipokrom dan peningkatan jumlah
eosinofil (eosinofilia) terutama pada fase larva memasuki paru-paru
sebelum masuk ke saluran cerna.
2. Feses rutin
Tes feses rutin digunakan untuk menemukan adanya telur atau cacing.
Identifikasi telur atau cacing pada feses merupakan gold standar untuk
diagnosis infeksi ascariasis.
Metode yang dapat digunakan yaitu :
a. Metode Natif/ Direct Slide
Metode ini mudah dan dipergunakan untuk pemeriksaan secara
cepat serta baik untuk infeksi cacing berat, tetapi pada infeksi
ringan sulit ditemukan telur cacing ascaris. Tes ini mudah
dilakukan, cara kerjanya adalah dengan meneteskan 1-2 tetes NaCl
0,9% (larutan fisiologis) atau eosin 2% pada slide. Feses diratakan
diatas larutan kemudian ditutup dengan decklass dan diamati
dengan menggunakan mikroskop.
b. Metode Floating/ Apung
Metode flotasi atau pengapungan adalah salah satu cara untu
memisahkan padatan dari cairan dengan cara mengapungkan.
Prinsip tes ini dengan metode pengendapan yaitu adanya perbedaan
berat jenis telur cacing dengan larutan yang digunakan. Metode ini
lebih mudah dilakukan, hasilnya lebih akurat dan sedikit false
negative dibandingkan metode natif. Tes ini menggunakan larutan
NaCl jenuh (BJ 1,200). Berat jenis telur cacing lebih ringan
sehingga telur akan mudah terapung ke permukaan larutan serta
memisahkan partikel-partikel besar yang ada dalam feses akan

10
mengendap di dasar tabung sehingga mudah diamati. Cara kerjanya
adalah dengan mengambil 10 gram feses dan dicampur kedalam
beker glass yang berisi 200 ml larutan NaCL jenuh (33%), lalu
diaduk hingga feses tercampur rata. Campuran ini lalu dituang
kedalam tabung reaksi sampai rata dengan permukaan tabung dan
diamkan selama 5 – 10 menit. Kemudian dengan ose ambil larutan
permukaan dan letakkan diatas kaca objek dan tutup decklass.
Amati di bawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif 10x
dan 40x.
c. Metode Kato-Katz
Tes ini merupakan tes secara kuantiatif untuk menentukan jumlah
cacing yang dalam usus sehingga dapat diketahui derajat infeksi
penderita. Prinsip tes ini adalah melakukan pewarnaan dasar sediaan
dengan malachite green sehingga dasar sediaan berwarna kehijauan
dan telur cacing tidak terwarnai akan tampak lebih jelas. Cara
menghitung telur cacing secara kuantitatif yaitu dengan menghitung
jumlah telur per gram tinja (egg per gram/ EPG) dengan rumus :
Intensitas cacing = Jumlah telur cacing (n) x 1000/R
Keterangan :
R : berat feses sesuai ukuran lubang karton (mg) sekitar + 40 mg

Kriteria tingkat infeksi pada penderita ascariasis menurut WHO


2012 adalah:
Cacing Tingkat infeksi Jumlah telur/Gram tinja
Ascariasis Ringan 1-4999
lumbricoides Sedang 5000-49.999
Berat ≥50.000

11
Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk,
yaitu:
- Telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40x60μm dengan
dinding albuminoid, berbenjol benjol, berwarna kuning
tengguli, dengan lapisan hialin tebal transparan pada bagian
bawahnya yang diwarnai oleh cairan empedu.
- Telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40x90μm,
bentuknya lebih panjang dan lebih langsing dari pada telur
yang dibuahi, dan tampak sejumlah granula didalamnya.
- Telur tanpa korteks (decorticated). Tanpa lapisan yang
berbenjol-benjol, dibuahi atau tidak dibuahi. Telur tanpa
korteks ini hanya terkadang ditemukan, dan sangat mungkin
merupakan artefak.
Berikut gambar telur cacing ascaris:

(a) (b) (c) (d)


Gambar 3. Telur cacing ascaris
(a) Telur Infertil; (b) Telur Fertil; (c) Telur Embryonated; (d) Telur Decorticated
Sumber : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat
didapatkan:
- cacing diusus belum menghasilkan telur.
- hanya ada cacing jantan.
- penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat
bentuk larva.

12
3. Kultur larva
Tes ini digunakan untuk membedakan jenis larva cacing pada fase
migrasi paru-paru dengan menggunakan metode Baermann. Feses ini
disimpan pada suhu ruangan selama 14 – 21 hari dan ditambahkan air
setiap 1-2 hari. Jika menggunakan inkubator dengan suhu 27oC
disimpan selama 7-10 hari.
4. Tes Imunologis
a. Immunoglobin E
Tes Imunoglobin E dibedakan atas IgE total serum dengan
menggunakan metode ELISA. Kasus infeksi cacing didapatkan
kadar IgE total meningkat > 100 IU/ml.
b. Sitokin (IL-4, IL-5, IL-13)
Sitokin diperiksa dengan menggunakan metode ELISA. Kadar IL-4
akan meningkat pada infeksi cacing dengan kadar > 1,585 pg/ml
dengan sensitifitas 66,7% dan spesifisitas 65.9%. Tes sitokin ini
masih dilakukan pada tahap penelitian.

13
BAB III PENUTUP

Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Ascaris


lumbricoides yang merupakan soil transmitted helminth. Umumnya penyakit ini
asimptomatik dan memberikan gejala yang bervariasi dari ringan-berat. Diagnosis
ascariasis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang didapatkan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik lalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
laboratorium berupa darah rutin dan pemeriksaan feses rutin. Identifikasi telur
atau cacing pada feses merupakan gold standar untuk diagnosis infeksi ascariasis.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. De Silva NR, Brooker S, Hotez PJ, Montresor A, Engels D, Savioli L.)


Soil-transmitted helminth infections: updating the global picture. Trends
in parasitology. 2003. 19(12): 547-551.
2. Pullan RL, Smith JL, Jasrasaria R, Brooker SJ. Global numbers of
infection and disease burden of soil transmitted helminth infections in
2010. Parasites & vectors. 2014. 7(1): 37
3. Aleksandra L, Barbara Z, Natalia LA, Danuta KB, Renata GK, Ewa ML.
Respiratory failure associated with Ascariasis in a patient with
immunodeficiency. Case reports in infectious diseases. 2016
4. Natadisastra Djaenuddin. Parasitologi Kedokteran Ditinjau Dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta:EGC. 2014
5. Andi Tri Rezki Amaliah, Azriful. Distribusi Spasial Kasus Kecacingan
(Ascaris lumbricoides) Terhadap Personal Higiene Anak Balita di Pulau
Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Tahun 2016.
HIGIENE, VOLUM E 2, NO. 2, MEI-AGUSTUS 2016
6. Ideham.Bariah, Pusarawati.Suhintam. Penuntun Parasitologi Kedokteran
Edisi 2. Surabaya:Airlangga University Press. 2009
7. Sutanto.I dkk, Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta:Badan
Penerbit FKUI. 2014
8. Rusjdi SR. Tinjauan Pustaka : Infeksi Cacing dan Alergi. Bagian
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015
9. Abbas AK, Lichtman A, Pillai S .Antibody. Celluler and Moleculer
Immunology.7thEdition.Elsevier. Philadelphia.2012.p 90-106
10. Mak TW, Saunders ME. Mucosal and Cutaneus Immunity in Prime to the
Immune Response. Elsevier. 2008.p 188-96
11. Mishra PK, Palma M, Bleich D, Loke P, Gause WC. Review. Systemic
Impact of Intestinal Helminth Infection. Mucosal Immunology. Nature
publishing group Vol. 7 No. 4. July 2014.753-62
12. Tille PM, Parasitology. Bailey and Scott’s Diagnostic Microbiology. 13th
edition , 2014. 549 - 600
13. Reed SL, Davis CE. Laboratory Diagnosis of Parasitic Infections in
Protozoal and Helminthic Infections: General Considerations. Section 17.
The McGraw-Hill Companies Inc. 2012.25.1-8
14. Hermawati I, Herman H, Agoes R. Uji Validasi Kadar IL4 sebagai
Alternatif Uji Diagnosis Infeksi Kecacingan. Majalah Kedokteran
Bandung. 2017

15

Anda mungkin juga menyukai