PENYAKIT TROPIS
“ASCARIS LUMBRICOIDES (CACING GELANG)”
KELOMPOK 7
Kelompok 7
i
DAFTAR SINGKATAN
A.lumbricoides : Ascaris Lumbricoides
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan .............................................................................................. 2
C. Manfaat ............................................................................................ 2
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 3
A. Pengertian Askariasis ...................................................................... 3
B. Epidemiologi Askariasis ................................................................... 3
C. Etiologi Askariasis ............................................................................ 3
D. Faktor yang Dapat Menyebabkan Penyakit Askariasis .................... 5
E. Masa Inkubasi Askariasis ................................................................. 7
F. Gambaran Klinis Askariasis ............................................................. 8
G. Mekanisme Penularan Askariasis .................................................... 9
H. Diagnosis Askariasis ........................................................................ 9
I. Dampak Penyakit Askariasis .......................................................... 10
J. Upaya Pencegahan dan Rehabilitasi Askariasis ............................ 11
K. Hasil Temuan Terbaru ................................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................... 12
A. Kesimpulan .................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi soil transmitted helminths (STH), merupakan penyakit
neglected tropical diseases yang disebabkan oleh beberapa jenis
spesies cacing yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus) dan cacing
cambuk (Trichuris trichiura). Infeksi STH bergantung pada kondisi
sosial ekonomi dan banyak ditemukan pada anak-anak di negara yang
sedang berkembang. Prevalensi STH tinggi banyak ditemukan di
daerah perdesaan yang miskin, dengan kondisi sanitasi lingkungan dan
hygiene kurang baik dan tidak tersediannya jamban, sehingga perilaku
membuang air besar di sembarang tempat dapat mencemari tanah
dengan telur STH infektif (Ahmed, 2011).
Soil transmitted helminthes merupakan penyakit tersebar hampir
di seluruh dunia, diperkirakan 2 miliar orang terinfeksi penyakit yang
disebabkan oleh parasit STH dan umumnya ditemukan pada
masyarakat miskin dan sanitasi lingkungan yang buruk. World Health
Organization (WHO) memperkirakan 250 juta orang terinfeksi
askariasis, 151 juta orang terinfeksi ankilostomiasis, 100 juta orang
terinfeksi strongiolidiasis dan 45,4 juta orang terinfeksi trikhuriasis.
Anak usia sekolah berisiko tinggi terinfeksi penyakit infeksi penyakit ini.
Faktor kemiskinan, sanitasi lingkungan dan sistem imun juga
berkontribusi terhadap terjadinya infeksi kecacingan STH. Efek
merugikan dari infeksi parasit intestinal seperti STH dapat bermacam
macam dan merugikan antara lain memberikan dampak pada
perkembangan fisik terhambat, aktivitas anak terganggu, dan
kemampuan menerima pelajaran berkurang, infeksi STH dalam jangka
waktu lama dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia
(Shiferaw, 2011).
1
Di Indonesia infeksi STH masih menjadi permasalahan
kesehatan di daerah urban dan semi urban dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah, sanitasi lingkungan dan higiene yang buruk.
Umumnya data prevalensi infeksi STH di Indonesia bervariasi
bergantung pada kondisi geografis, iklim, perilaku masyarakat, tingkat
pendidikan dan higiene individu masing-masing Indonesia dengan iklim
tropis sangat mendukung perkembangan dari STH, di mana
kelembaban yang tinggi, intensitas cahaya dan curah hujan dapat
mempengaruhi proses kematangan telur dan larva infektif (Tjitra, 1991).
Cacing gelang (A.lumbricoides) merupakan nematoda usus
terbesar (panjang mencapai 30 cm). Cacing ini termasuk soil
transmitted helmint karena membutuhkan tanah untuk proses
pematangan telur menjadi telur infektif. Manusia merupakan inang
(hospes) perantara cacing dewasa A.lumbricoides dan cacing ini tidak
memiliki hospes perantara. Infeksi cacing ini dikenal dengan askariasis
yang menyebabkan anak/orang dewasa menjadi kekurangan gizi
karena setiap 20 ekor cacing dewasa akan menghisap 2,8 gram
karbohidrat dan 0,7 gram protein, sehingga menimbulkan gejala klinik
(perut buncit, pucat, lesu, rambut berwarna merah dan mudah lepas,
badan kurus) keadaan ini semakin diperparah jika sebelumnya anak
menderita under- 7-9 nutrition (gizi buruk) (Natadisastra, 2009).
B. Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini, yaitu untuk menganalisis
masalah penyakit tropis yang terabaikan salah satunya penyakit
ascariasis yang disebabkan oleh cacing ascaris lumbrcoides atau lebih
dikenal dengan cacing gelang.
C. Manfaat
Adapun manfaat dari KTI ini, yaitu diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan terkait penyakit ascaris yang disebabkan oleh
cacing ascaris lumbrcoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang.
2
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Askariasis
Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides atau yang secara umum dikenal sebagai cacing
gelang. Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies cacing
yang termasuk ke dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda,
Ordo Rhabditia, Famili Ascarididae dan Genus Ascaris. Cacing
gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar pada
manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding
infeksi cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa
menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap
kekeringan atau temperatur yang panas (Amaliah, 2016).
B. Epidemiologi Askariasis
Terdapat lebih dari 1 milyar orang didunia dengan infeksi
askariasis. Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang,
ditemukan diseluruh area tropis didunia, dan hampir diseluruh populasi
dengan sanitasi yang buruk. Telur cacing bias didapatkan pada tanah
yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi askariasis lebih banyak
terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang
terkenatanah kedalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah,
dibawah pohon, ditempat mencuci dan tempat pembuangan sampah.
Telur bias hidup hingga bertahun-tahun pada feses, selokan, tanah
yang lembab, bahkan pada larutan formalin 10% yang digunakan
sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi askariasis pada
tahun 2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80% pada
tahun 2008 (Mardiana, 2008).
C. Etiologi Askariasis
Askariasis disebabkan oleh ascaris lumbricoides. Cacing ascaris
lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki
umur 10-2 bulan. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur
3
setiap hari. Ascariasis sering terjadi di wilayah yang tidak menggunakan
jamban sehingga sanitasi lingkungannya buruk. Cacing parasit ini
bertransmisi melalui air dan makanan yang tidak sehat. Infeksi
seringkali tidak memiliki gejala, tetapi penumpukan cacing perut
dewasa dapat menciptakan masalah di paru-paru atau usus manusia.
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya
bersarang dalam usus halus. Adanya cacing di dalam usus penderita
akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal
dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu
(Indriyati, 2016).
Kita dapat terinfeksi askariasis setelah secara tidak sengaja
menelan telur ascaris lumbricoides. Telur dapat ditemukan di tanah
yang terkontaminasi tinja manusia atau makanan yang tidak dimasak
dengan sempurna terkontaminasi tanah yang mengandung telur cacing
gelang. Anak-anak seringkali terinfeksi karena kebiasaan memasukkan
tangan ke mulut setelah bermain-main di tanah, askariasis juga dapat
menular secara langsung dari manusia ke manusia (Indriyati, 2016).
Ascaris lumbricoides tergolong dalam Soil Transmitted Helminth
(STH) yaitu cacing yang memerlukan tanah untuk siklus hidupnya
khususnya untuk pematangan telur dari stadium non efektif menjadi
stadium infektif. Pada siklus hidupnya, telur cacing mencapai tanah
melalui tinja. Pada musim panas, telur menjadi infektif setelah 20-24
hari dengan suhu optimum 30℃ dan tetap infektif selama beberapa
bulan atau beberapa tahun di tanah dalam kondisi yang cocok. Dilihat
dari proses penularan maka infeksi dapat terjadi jika responden tidak
melaksanakan dengan baik kebersihan diri perorangan atau personal
hygiene. Telur cacing dapat tertelan secara langsung jika responden
tidak mencuci tangan sebelum makan dan tidak menggunting kuku
yang menyebabkan telur cacing terselip pada kuku. Selain itu telur
cacing juga dapat tertiup angin bersama debu dan menempel pada
4
makanan sehingga memakan makanan yang tidak ditutup/dikemas
dengan baik juga dapat menularkan infeksi ascariasis (Indriyati, 2016).
5
akan menjadi tempat berkembangbiakan bibit penyakit.
Misalnya sebuah perumahan yang memiliki sanitasi buruk
dengan tempat pembuangan feses tidak tercover, akan
menyebabkan pencemaran tanah oleh feses yang kemudian
menjadi tempat berkembangbiakan telur cacing ascarisis.
Tanah yang tercemar tadi terpegang oleh sesorang dan
seseorang tadi tidak mencuci tangan sebelum makan, maka
orang tersebut menelan telur ascariasis dan terkenan penyakit
ascariasis.
c. Pencetus
Penyakit ascariasis dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
yang kotor (sanitasi kehidupan sehari-hari, penggunaan feses
sebagai pupuk masih banyak terdapat di masyarakat. Padahal
bahaya dari pencemaran tanah akibat pupuk tersebut sangat
mengancam kehidupan dan menjadi jalan masuk penyakit
ascariasis.
Pola hidup tidak sehat dengan kurang memperhatikan
kebersihan lingkunag dan kebersihan diri juga menjadi salah sati
faktor pencetus penyakit ascariasis. Orang yang suka
sembarangan makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu
sangat beresiko terkena penyakit ascariasis karena mereka
menelan telur cacing ascariasis. Membuang feses tidak pada
tempatnya (membuang hajat sembarangan) juga menjadi hal yang
perlu diperhatikan. Tanah akan tercemar oleh feses dan menjadi
tempat perkembangbiakan telur cacing ascariasis.
d. Pemberat
Jenis pekerjaan merupakan faktor pemberat dari penyakit
ascariasis, yang mudah terkena penyakit ini biasanya mereka
yang bekerja di dan terpapar langsung dengan tanah. Hal ini
6
dikarenakan tempat hidup cacing ascariasis banyak di tambang.
Jenis pekerjaan lainnya yang memudahkan penularan telur cacing
ascariasis adalah pekerja perkebunan yang menggunakan feses
sebagai pupuk. Karena tanah tempat mereka bekerja menjadi
tempat bertelurnya cacing ascariasis.
7
tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur ascaris.
Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus (Imansyah, 2010).
Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia
akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan
kemudian di paru-paru. Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan
tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan
menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian
berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali
bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini
membuang tinjanya tidak pada tempatnya (Imansyah, 2010).
8
Tahap awal adalah fase ketika larva cacing berpindah dari
usus ke paru-paru. Fase ini terjadi 4-16 hari setelah telur cacing
masuk ke tubuh. Gejala yang muncul pada tahap ini, antara lain
demam tinggi, batuk kering, sesak napas.
2. Gejala tahap lanjut
Tahap ini terjadi ketika larva cacing berjalan ke tenggorokan
dan kembali tertelan ke usus, serta berkembang biak. Fase ini
berlangsung 6-8 minggu pasca telur masuk ke dalam tubuh. Pada
umumnya gejala tahap ini meliputi sakit perut, dare, terdapat darah
pada tinja, serta mual dan muntah.
H. Diagnosis Askariasis
Menurut ariwati (2017), diagnosis pasti askariasis adalah
ditemukannya cacing dewasa pada atau muntahan penderita, atau
ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan empedu penderita.
Pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan kolangiografi
intravena. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi, dengan
mengamati cacing yang memakan barium. Cacing tampak sebagai
gambaran memanjang radiolusen.
9
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat
didapatkan bila:
a. Cacing di usus belum menghasilkan telur.
1) Hanya ada cacing jantan.
2) Penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat
bentuk larva.
b. Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai
bentuk, yaitu:
1) Telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40x60μm dengan
dinding albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli,
dengan lapisan hialin tebal transparan pada bagian bawahnya.
2) Telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40x90μm,
bentuknya lebih panjang dan lebih langsing daripada telur yang
dibuahi dan tampak sejumlah granula di dalamnya.
3) Telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol
benjol, dibuahi atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya
terkadang ditemukan dan sangat mungkin merupakan artefak.
10
J. Upaya Pencegahan dan Rehabilitasi Askariasis
Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan
sanitasi, tidak berak di sembarang tempat, melindungi makanan dari
pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makanan, dan
tidak memakai tinja manusia sebagai pupuk tanaman (Safar, 2010).
Untuk pengobatan dari penyakit Ascaris lumbricoides dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2017 tentang Penanggulangan Cacingan yakni; Albendazol dan
mebendazol merupakan obat pilihan untuk askariasis. Dosis albendazol
untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 400 mg per oral.
WHO merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia 12 – 24 bulan.
Dosis mebendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun yaitu
500 mg. Albendazol dan mebendazol diberikan dosis tunggal. Pirantel
pamoat dapat digunakan untuk ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg
BB per oral, dosis maksimum 1 gram (Permenkes, 2017).
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh ascaris
lumbricoides atau yang secara umum dikenal sebagai cacing
gelang. Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang,
ditemukan diseluruh area tropis didunia, dan hampir diseluruh populasi
dengan sanitasi yang buruk. Telur cacing bias didapatkan pada tanah
yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi askariasis lebih banyak
terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang terkena
tanah kedalam mulut. Pencegahannya dapat dilakungan dengan
menjaga kebersihan diri serta kebersihan rumah atau PHBS (Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat) dan untuk pengobatannya dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi obat yang mengandung zat anthelmintic yang
dapat membunuh cacing. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh
Muslimin (2018) bahwa pengobatan penyakit ini dapat dilakukan
dengan cara pengobatan secara tradisional menggunakan daun
mangga dan biji pepaya.
B. Saran
Diharapkan agar masyarakat lebih meningkatkan PHBS untuk
selalu menjaga kebersihan dalam maupun luar rumah juga diharapkan
agar pemerintah dapat lebih berperan aktif dalam mencanangkan hidup
sehat serta mengajak warga agar lebih menjaga kesehatan rumah serta
lingkungan sekitar.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Choy SH, Ithoi I, Al- Adhroey A, Abdulsalam AM,
Surin J. The Burden of Moderate-to-. Heavy Soil Transmitted Helminth
Infections Among Rural Malaysian Aborigines: An Urgent Need for An
Integrated Control Programme. Journal Parasites and Vectors. 2011; 4:242-
249.
Alemu A, Atnafu A, Addis Z, Shiferaw Y, Teklu T, Mathewos B, et al. Soil
Transmitted Helminths and Schistosoma Mansoni Infections among School
Children in Zarima Town, Northwest Ethiopia., BMC Infectious Deseases.
2011; 11:189-196.
Ariawati, 2017. Infeksi Ascaris Lumbricoides, Universitas Udayana.
Andi Tri Rezkita Amaliah, Azriful. 2016. Distribusi Spasial Kasus Kecacingan
(Ascaris lumbricoides) Terhadap Personal Higiene Anak Balita di Pulau
Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Tahun 2016. Jurnal
Higiene. Vol 2. No. 2. Hal. 74-80.
Hana Naili Rosyidah, Heru Prasetyo. “Prevalence Of Intestinal Helminthiasis In
Children At North Keputran Surabaya At 2017. ”Journal of Vocational
Health Studies, vol. 01, 2016, pp. 117–20.
Imansyah, Teuku Romi. “Ascariasis.” Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, vol. 10,
2010, pp. 109–16.
Indriyati, Liestiana. “Ascariasis in South Kalimantan.” Jurnal of Health
Epidemiologi and Communicable Disease, vol. 2, no. 1, 2016, pp. 1–6.
Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib
belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh
diwilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; 7: 769–774.
Muslimin, W.A, 2018, “Damang Jaya (Daun Mangga dan Biji Pepaya: Agen
Pemberantasan Kecacingan atau Askariasis)”, Hasanuddin Student Journal,
Vol. 2, No. 1, Hal. 203-207, ISSN 2579-7867.
Natadisastra D, Ridad A. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang. Editor Djaenuddin Natadisastram, Ridad Agoes. EGC,
Jakarta; 2009.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017 tentang
Penanggulangan Cacingan.
Rahmartani, 2013, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Ascaris Lumbricoides
dengan Karakteristik Murid SD X, Bantargebang, Bekasi, Jurnal Universitas
Indonesia.
Safar. 2010. Parasitology Kedokteran: Protozoology, Entomologi dan
Helmintologi. Certakan I. Bandung: Yrama Widya.
Sandy, 2014, Analysis of risk factors for infection models roundworm (Ascaris
lumbricoides) on elementary school students in Arso District of The Keerom
Regency, Papua, Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang,
Vol. 5, No. 1, Juni 2014, Hal : 35 – 42.
Tjitra E. Penelitian-Penelitian Soil Transmitted Helminths di Indonesia, Cermin
Dunia Kedokteran, Jakarta. 1991;72:13-17