Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENYAKIT TROPIS
“ASCARIS LUMBRICOIDES (CACING GELANG)”

KELOMPOK 7

Sophie Rhamadany Putri N20116030

Mawaddah Azalia N20116085

Leony Miranda Yuda N20116153

Suci Ramdhani N20116210

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”Ascaris Lumbricoides” untuk memenuhi tugas dari
mata kuliah Penyakit Tropis.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun.

Palu, 17 September 2019

Kelompok 7

i
DAFTAR SINGKATAN
A.lumbricoides : Ascaris Lumbricoides

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

STH : Soil Transmitted Helminths

WHO : World Health Organization

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan .............................................................................................. 2
C. Manfaat ............................................................................................ 2
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 3
A. Pengertian Askariasis ...................................................................... 3
B. Epidemiologi Askariasis ................................................................... 3
C. Etiologi Askariasis ............................................................................ 3
D. Faktor yang Dapat Menyebabkan Penyakit Askariasis .................... 5
E. Masa Inkubasi Askariasis ................................................................. 7
F. Gambaran Klinis Askariasis ............................................................. 8
G. Mekanisme Penularan Askariasis .................................................... 9
H. Diagnosis Askariasis ........................................................................ 9
I. Dampak Penyakit Askariasis .......................................................... 10
J. Upaya Pencegahan dan Rehabilitasi Askariasis ............................ 11
K. Hasil Temuan Terbaru ................................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................... 12
A. Kesimpulan .................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi soil transmitted helminths (STH), merupakan penyakit
neglected tropical diseases yang disebabkan oleh beberapa jenis
spesies cacing yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus) dan cacing
cambuk (Trichuris trichiura). Infeksi STH bergantung pada kondisi
sosial ekonomi dan banyak ditemukan pada anak-anak di negara yang
sedang berkembang. Prevalensi STH tinggi banyak ditemukan di
daerah perdesaan yang miskin, dengan kondisi sanitasi lingkungan dan
hygiene kurang baik dan tidak tersediannya jamban, sehingga perilaku
membuang air besar di sembarang tempat dapat mencemari tanah
dengan telur STH infektif (Ahmed, 2011).
Soil transmitted helminthes merupakan penyakit tersebar hampir
di seluruh dunia, diperkirakan 2 miliar orang terinfeksi penyakit yang
disebabkan oleh parasit STH dan umumnya ditemukan pada
masyarakat miskin dan sanitasi lingkungan yang buruk. World Health
Organization (WHO) memperkirakan 250 juta orang terinfeksi
askariasis, 151 juta orang terinfeksi ankilostomiasis, 100 juta orang
terinfeksi strongiolidiasis dan 45,4 juta orang terinfeksi trikhuriasis.
Anak usia sekolah berisiko tinggi terinfeksi penyakit infeksi penyakit ini.
Faktor kemiskinan, sanitasi lingkungan dan sistem imun juga
berkontribusi terhadap terjadinya infeksi kecacingan STH. Efek
merugikan dari infeksi parasit intestinal seperti STH dapat bermacam
macam dan merugikan antara lain memberikan dampak pada
perkembangan fisik terhambat, aktivitas anak terganggu, dan
kemampuan menerima pelajaran berkurang, infeksi STH dalam jangka
waktu lama dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia
(Shiferaw, 2011).

1
Di Indonesia infeksi STH masih menjadi permasalahan
kesehatan di daerah urban dan semi urban dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah, sanitasi lingkungan dan higiene yang buruk.
Umumnya data prevalensi infeksi STH di Indonesia bervariasi
bergantung pada kondisi geografis, iklim, perilaku masyarakat, tingkat
pendidikan dan higiene individu masing-masing Indonesia dengan iklim
tropis sangat mendukung perkembangan dari STH, di mana
kelembaban yang tinggi, intensitas cahaya dan curah hujan dapat
mempengaruhi proses kematangan telur dan larva infektif (Tjitra, 1991).
Cacing gelang (A.lumbricoides) merupakan nematoda usus
terbesar (panjang mencapai 30 cm). Cacing ini termasuk soil
transmitted helmint karena membutuhkan tanah untuk proses
pematangan telur menjadi telur infektif. Manusia merupakan inang
(hospes) perantara cacing dewasa A.lumbricoides dan cacing ini tidak
memiliki hospes perantara. Infeksi cacing ini dikenal dengan askariasis
yang menyebabkan anak/orang dewasa menjadi kekurangan gizi
karena setiap 20 ekor cacing dewasa akan menghisap 2,8 gram
karbohidrat dan 0,7 gram protein, sehingga menimbulkan gejala klinik
(perut buncit, pucat, lesu, rambut berwarna merah dan mudah lepas,
badan kurus) keadaan ini semakin diperparah jika sebelumnya anak
menderita under- 7-9 nutrition (gizi buruk) (Natadisastra, 2009).

B. Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini, yaitu untuk menganalisis
masalah penyakit tropis yang terabaikan salah satunya penyakit
ascariasis yang disebabkan oleh cacing ascaris lumbrcoides atau lebih
dikenal dengan cacing gelang.

C. Manfaat
Adapun manfaat dari KTI ini, yaitu diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan terkait penyakit ascaris yang disebabkan oleh
cacing ascaris lumbrcoides atau lebih dikenal dengan cacing gelang.

2
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Askariasis
Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides atau yang secara umum dikenal sebagai cacing
gelang. Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies cacing
yang termasuk ke dalam Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda,
Ordo Rhabditia, Famili Ascarididae dan Genus Ascaris. Cacing
gelang ini tergolong Nematoda intestinal berukuran terbesar pada
manusia. Distribusi penyebaran cacing ini paling luas dibanding
infeksi cacing lain karena kemampuan cacing betina dewasa
menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan relatif tahan terhadap
kekeringan atau temperatur yang panas (Amaliah, 2016).

B. Epidemiologi Askariasis
Terdapat lebih dari 1 milyar orang didunia dengan infeksi
askariasis. Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang,
ditemukan diseluruh area tropis didunia, dan hampir diseluruh populasi
dengan sanitasi yang buruk. Telur cacing bias didapatkan pada tanah
yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi askariasis lebih banyak
terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang
terkenatanah kedalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah,
dibawah pohon, ditempat mencuci dan tempat pembuangan sampah.
Telur bias hidup hingga bertahun-tahun pada feses, selokan, tanah
yang lembab, bahkan pada larutan formalin 10% yang digunakan
sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi askariasis pada
tahun 2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80% pada
tahun 2008 (Mardiana, 2008).

C. Etiologi Askariasis
Askariasis disebabkan oleh ascaris lumbricoides. Cacing ascaris
lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki
umur 10-2 bulan. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur

3
setiap hari. Ascariasis sering terjadi di wilayah yang tidak menggunakan
jamban sehingga sanitasi lingkungannya buruk. Cacing parasit ini
bertransmisi melalui air dan makanan yang tidak sehat. Infeksi
seringkali tidak memiliki gejala, tetapi penumpukan cacing perut
dewasa dapat menciptakan masalah di paru-paru atau usus manusia.
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya
bersarang dalam usus halus. Adanya cacing di dalam usus penderita
akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal
dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu
(Indriyati, 2016).
Kita dapat terinfeksi askariasis setelah secara tidak sengaja
menelan telur ascaris lumbricoides. Telur dapat ditemukan di tanah
yang terkontaminasi tinja manusia atau makanan yang tidak dimasak
dengan sempurna terkontaminasi tanah yang mengandung telur cacing
gelang. Anak-anak seringkali terinfeksi karena kebiasaan memasukkan
tangan ke mulut setelah bermain-main di tanah, askariasis juga dapat
menular secara langsung dari manusia ke manusia (Indriyati, 2016).
Ascaris lumbricoides tergolong dalam Soil Transmitted Helminth
(STH) yaitu cacing yang memerlukan tanah untuk siklus hidupnya
khususnya untuk pematangan telur dari stadium non efektif menjadi
stadium infektif. Pada siklus hidupnya, telur cacing mencapai tanah
melalui tinja. Pada musim panas, telur menjadi infektif setelah 20-24
hari dengan suhu optimum 30℃ dan tetap infektif selama beberapa
bulan atau beberapa tahun di tanah dalam kondisi yang cocok. Dilihat
dari proses penularan maka infeksi dapat terjadi jika responden tidak
melaksanakan dengan baik kebersihan diri perorangan atau personal
hygiene. Telur cacing dapat tertelan secara langsung jika responden
tidak mencuci tangan sebelum makan dan tidak menggunting kuku
yang menyebabkan telur cacing terselip pada kuku. Selain itu telur
cacing juga dapat tertiup angin bersama debu dan menempel pada

4
makanan sehingga memakan makanan yang tidak ditutup/dikemas
dengan baik juga dapat menularkan infeksi ascariasis (Indriyati, 2016).

D. Faktor yang Dapat Menyebabkan Penyakit Askariasis


Faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ascaris
lumbricoides menurut (Hana, 2016) adalah sebagai berikut:
a. Predisposisi
1) Umur
Penyakit ascariasis biasa menyerang anak-anak berusia 5-
10 tahun. Ada pula yang menyerang dewasa tetapi prevalensinya
sedikit.
2) Jenis Kelamin
Penyakit ascariasis menyerang wanita maupun pria. Tidak
ada indikator khusus untuk kriteria penderita ascariasi.
b. Pemungkin
a. Pendapatan Rendah
1) Tingkat pendapatan rendah merupakan salah satu faktor
penurunan kesadaran masyarakat untuk menggunakan
pelayanan kesehatan yang ada. Masyarakat dengan
pendapatan rendah biasanya tidak memeriksakan kesehatan
secara berkala sehingga tidak mengetahui kondisi
kesehatannya karena keterbatasan biaya. Mengingat biaya
kesehatan yang semakin tinggi.
2) Gizi Buruk
Gizi buruk yang menimpa penderita akan memudahkan
penularan penyakit ascariasis. Hal ini dikarenakan penderita
gizi buruk mengalami penurunan daya tahan atau imunitas.
Daya tahan tubuh sangat penting untuk melindungi tubuh, salah
satunya dari serangan parasit cacing.
3) Perumahan Kumuh
Kondisi lingkungan rumah yang kumuh dapat
menyebabkan penyakit ascariasis. Sanitasi yang tidak baik

5
akan menjadi tempat berkembangbiakan bibit penyakit.
Misalnya sebuah perumahan yang memiliki sanitasi buruk
dengan tempat pembuangan feses tidak tercover, akan
menyebabkan pencemaran tanah oleh feses yang kemudian
menjadi tempat berkembangbiakan telur cacing ascarisis.
Tanah yang tercemar tadi terpegang oleh sesorang dan
seseorang tadi tidak mencuci tangan sebelum makan, maka
orang tersebut menelan telur ascariasis dan terkenan penyakit
ascariasis.

c. Pencetus
Penyakit ascariasis dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
yang kotor (sanitasi kehidupan sehari-hari, penggunaan feses
sebagai pupuk masih banyak terdapat di masyarakat. Padahal
bahaya dari pencemaran tanah akibat pupuk tersebut sangat
mengancam kehidupan dan menjadi jalan masuk penyakit
ascariasis.
Pola hidup tidak sehat dengan kurang memperhatikan
kebersihan lingkunag dan kebersihan diri juga menjadi salah sati
faktor pencetus penyakit ascariasis. Orang yang suka
sembarangan makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu
sangat beresiko terkena penyakit ascariasis karena mereka
menelan telur cacing ascariasis. Membuang feses tidak pada
tempatnya (membuang hajat sembarangan) juga menjadi hal yang
perlu diperhatikan. Tanah akan tercemar oleh feses dan menjadi
tempat perkembangbiakan telur cacing ascariasis.
d. Pemberat
Jenis pekerjaan merupakan faktor pemberat dari penyakit
ascariasis, yang mudah terkena penyakit ini biasanya mereka
yang bekerja di dan terpapar langsung dengan tanah. Hal ini

6
dikarenakan tempat hidup cacing ascariasis banyak di tambang.
Jenis pekerjaan lainnya yang memudahkan penularan telur cacing
ascariasis adalah pekerja perkebunan yang menggunakan feses
sebagai pupuk. Karena tanah tempat mereka bekerja menjadi
tempat bertelurnya cacing ascariasis.

E. Masa Inkubasi Askariasis


Infeksi pada manusia terjadi karena menelan telur matang dari
tanah yang terkontaminasi. Telur yang tertelan akan menetas di
duodenum, kemudian secara aktif menembus dinding usus dan via
sirkulasi portal menuju jantung kanan. Kemudian larvanya masuk ke
dalam sirkulasi pulmonal dan tersaring kapiler. Setelah kira-kira 10 hari
di paru-paru, larva menempus kapiler dan masuk ke alveoli, melalui
bronchi bermigrasi sampai trakea dan faring, lalu tertelan. Cacing akan
menjadi matur dan kawin di dalam usus dan memproduksi telur yang
akan keluar bersama tinja. Siklus hidup cacing ascaris mempunyai
masa yang cukup panjang dua butan sejak infeksi pertama terjadi,
seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkar 200.000-250.000
butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3-4 minggu
untuk turnbuh manjadi benih infektif (Imansyah, 2010).
Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium larva dimana
telur tersebut keluar bersama tinja manusia dao diluar akan mengalami
perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yarg bersifat infektif.
Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap
hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Di daerah hiperendemik,
anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika
beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa dan
menggantikannya (Imansyah, 2010).
Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada
tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah dibuahi. Telur
ini akan matang dalam waktu 21 hari, bila terdapat orang lain yang
memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci

7
tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur ascaris.
Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva
pada usus (Imansyah, 2010).
Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia
akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan
kemudian di paru-paru. Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan
tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan
menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian
berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali
bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini
membuang tinjanya tidak pada tempatnya (Imansyah, 2010).

F. Gambaran Klinis Askariasis


Gejala pada askariasis dapat berakibat fatal, ringan, bahkan
dapat tidak terdapat gejala. Pada stadium larva, Ascaris lumbricoides
dapat menimbulkan gejala yang cukup berat yaitu sindrom Loeffler,
ditandai dengan pneumonia dan dapat mengalami batuk darah
beserta dengan keluarnya larva cacing. Setelah stadium dewasa di
usus, A. lumbricoides akan menimbulkan gejala yang menyerag
sistem pencernaan dan mengakibatkan berkurangnya asupan gizi,
muntah, mual, diare dan konstipasi. Pada kasus berat, cacing dapat
keluar bersama muntahan. Namun, apabila A. lumbricoides masuk
hingga ke saluran empedu, maka dapat menimbulkan ikterik atau
kolik. Pada sebagian besar kasus pada anak, askariasis sangat
berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan anak. Hal tersebut
dikarenakan terganggunya asupan nutrisi dan dapat mengakibatkan
gizi buruk pada anak (Rahmartani, 2013).
Menurut (Rahmartani, 2013) Sebagian orang yang terinfeksi
cacing gelang mengalami sejumlah gejala, yang terbagi dalam dua
tahapan, yaitu:
1. Gejala tahap awal

8
Tahap awal adalah fase ketika larva cacing berpindah dari
usus ke paru-paru. Fase ini terjadi 4-16 hari setelah telur cacing
masuk ke tubuh. Gejala yang muncul pada tahap ini, antara lain
demam tinggi, batuk kering, sesak napas.
2. Gejala tahap lanjut
Tahap ini terjadi ketika larva cacing berjalan ke tenggorokan
dan kembali tertelan ke usus, serta berkembang biak. Fase ini
berlangsung 6-8 minggu pasca telur masuk ke dalam tubuh. Pada
umumnya gejala tahap ini meliputi sakit perut, dare, terdapat darah
pada tinja, serta mual dan muntah.

G. Mekanisme Penularan Askariasis


Cara penularan Ascariasis terjadi melalui beberapa jalan yakni
telur infektif A.lumbricoides yang masuk ke dalam mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi, melalui tangan
yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif yang
terhirup udara bersamaan dengan debu. Pada keadaan telur infektif
yang terhirup oleh pernapasan, telur tersebut akan menetas di mukosa
alat pernapasan bagian atas dan larva akan segera menembus
pembuluh darah dan beredar bersama aliran darah. Cara penularan
Ascariasis juga dapat terjadi melalui sayuran dan buah karena tinja
yang dijadikan pupuk untuk tanaman sayur-mayur maupun buah-
buahan.

H. Diagnosis Askariasis
Menurut ariwati (2017), diagnosis pasti askariasis adalah
ditemukannya cacing dewasa pada atau muntahan penderita, atau
ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan empedu penderita.
Pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan kolangiografi
intravena. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi, dengan
mengamati cacing yang memakan barium. Cacing tampak sebagai
gambaran memanjang radiolusen.

9
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat
didapatkan bila:
a. Cacing di usus belum menghasilkan telur.
1) Hanya ada cacing jantan.
2) Penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat
bentuk larva.
b. Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai
bentuk, yaitu:
1) Telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40x60μm dengan
dinding albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli,
dengan lapisan hialin tebal transparan pada bagian bawahnya.
2) Telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40x90μm,
bentuknya lebih panjang dan lebih langsing daripada telur yang
dibuahi dan tampak sejumlah granula di dalamnya.
3) Telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol
benjol, dibuahi atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya
terkadang ditemukan dan sangat mungkin merupakan artefak.

I. Dampak Penyakit Askariasis


World Health Organization (WHO) memperkirakan 250 juta
orang terinfeksi askariasis, 151 juta orang terinfeksi ankilostomiasis,
100 juta orang terinfeksi strongiolidiasis dan 45,4 juta orang terinfeksi
trikhuriasis.Anak usia sekolah berisiko tinggi terinfeksi penyakit infeksi
penyakit ini. Faktor kemiskinan, sanitasi lingkungan dan sistem imun
juga berkontribusi terhadap terjadinya infeksi kecacingan. Efek
merugikan dari infeksi parasit intestinal dapat bermacam-macam dan
merugikan antara lain memberikan dampak pada perkembangan fisik
terhambat, aktivitas anak terganggu dan kemampuan menerima
pelajaran berkurang, bahkan dalam jangka waktu lama dapat
menurunkan kualitas sumber daya manusia (Sandy, 2014).

10
J. Upaya Pencegahan dan Rehabilitasi Askariasis
Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan
sanitasi, tidak berak di sembarang tempat, melindungi makanan dari
pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makanan, dan
tidak memakai tinja manusia sebagai pupuk tanaman (Safar, 2010).
Untuk pengobatan dari penyakit Ascaris lumbricoides dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2017 tentang Penanggulangan Cacingan yakni; Albendazol dan
mebendazol merupakan obat pilihan untuk askariasis. Dosis albendazol
untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 400 mg per oral.
WHO merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia 12 – 24 bulan.
Dosis mebendazol untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun yaitu
500 mg. Albendazol dan mebendazol diberikan dosis tunggal. Pirantel
pamoat dapat digunakan untuk ascariasis dengan dosis 10–11 mg/kg
BB per oral, dosis maksimum 1 gram (Permenkes, 2017).

K. Hasil Temuan Terbaru


Daun mangga (Mangifera Indica Linn) dan biji pepaya (Carica
Papaya L.) merupakan bahan alami yang mudah didapatkan
masyarakat di lingkungan sekitarnya dan tidak dimanfaatkan. Padahal
kedua bahan ini merupakan sumber anthelmintik terbaru dengan
kandungan enzim papain dalam biji pepaya yang dapat mengurai
cacing dan senyawa tanin serta saponin dalam daun mangga yang
dapat memparalisiskan cacing sehingga menimbulkan kematian.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muslimin
(2018) disimpulkan bahwa infusa biji pepaya lebih efektif dalam
mematikan cacing dilihat dari waktu kematian yang diperlukan lebih
singkat dibanding infusa daun mangga ataupun kombinasi keduanya.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Askariasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh ascaris
lumbricoides atau yang secara umum dikenal sebagai cacing
gelang. Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang,
ditemukan diseluruh area tropis didunia, dan hampir diseluruh populasi
dengan sanitasi yang buruk. Telur cacing bias didapatkan pada tanah
yang terkontaminasi feses, karena itu infeksi askariasis lebih banyak
terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan jari yang terkena
tanah kedalam mulut. Pencegahannya dapat dilakungan dengan
menjaga kebersihan diri serta kebersihan rumah atau PHBS (Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat) dan untuk pengobatannya dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi obat yang mengandung zat anthelmintic yang
dapat membunuh cacing. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh
Muslimin (2018) bahwa pengobatan penyakit ini dapat dilakukan
dengan cara pengobatan secara tradisional menggunakan daun
mangga dan biji pepaya.

B. Saran
Diharapkan agar masyarakat lebih meningkatkan PHBS untuk
selalu menjaga kebersihan dalam maupun luar rumah juga diharapkan
agar pemerintah dapat lebih berperan aktif dalam mencanangkan hidup
sehat serta mengajak warga agar lebih menjaga kesehatan rumah serta
lingkungan sekitar.

12
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Choy SH, Ithoi I, Al- Adhroey A, Abdulsalam AM,
Surin J. The Burden of Moderate-to-. Heavy Soil Transmitted Helminth
Infections Among Rural Malaysian Aborigines: An Urgent Need for An
Integrated Control Programme. Journal Parasites and Vectors. 2011; 4:242-
249.
Alemu A, Atnafu A, Addis Z, Shiferaw Y, Teklu T, Mathewos B, et al. Soil
Transmitted Helminths and Schistosoma Mansoni Infections among School
Children in Zarima Town, Northwest Ethiopia., BMC Infectious Deseases.
2011; 11:189-196.
Ariawati, 2017. Infeksi Ascaris Lumbricoides, Universitas Udayana.
Andi Tri Rezkita Amaliah, Azriful. 2016. Distribusi Spasial Kasus Kecacingan
(Ascaris lumbricoides) Terhadap Personal Higiene Anak Balita di Pulau
Kodingareng Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar Tahun 2016. Jurnal
Higiene. Vol 2. No. 2. Hal. 74-80.
Hana Naili Rosyidah, Heru Prasetyo. “Prevalence Of Intestinal Helminthiasis In
Children At North Keputran Surabaya At 2017. ”Journal of Vocational
Health Studies, vol. 01, 2016, pp. 117–20.
Imansyah, Teuku Romi. “Ascariasis.” Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, vol. 10,
2010, pp. 109–16.
Indriyati, Liestiana. “Ascariasis in South Kalimantan.” Jurnal of Health
Epidemiologi and Communicable Disease, vol. 2, no. 1, 2016, pp. 1–6.
Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib
belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh
diwilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; 7: 769–774.
Muslimin, W.A, 2018, “Damang Jaya (Daun Mangga dan Biji Pepaya: Agen
Pemberantasan Kecacingan atau Askariasis)”, Hasanuddin Student Journal,
Vol. 2, No. 1, Hal. 203-207, ISSN 2579-7867.
Natadisastra D, Ridad A. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang. Editor Djaenuddin Natadisastram, Ridad Agoes. EGC,
Jakarta; 2009.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017 tentang
Penanggulangan Cacingan.
Rahmartani, 2013, Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Ascaris Lumbricoides
dengan Karakteristik Murid SD X, Bantargebang, Bekasi, Jurnal Universitas
Indonesia.
Safar. 2010. Parasitology Kedokteran: Protozoology, Entomologi dan
Helmintologi. Certakan I. Bandung: Yrama Widya.
Sandy, 2014, Analysis of risk factors for infection models roundworm (Ascaris
lumbricoides) on elementary school students in Arso District of The Keerom
Regency, Papua, Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang,
Vol. 5, No. 1, Juni 2014, Hal : 35 – 42.
Tjitra E. Penelitian-Penelitian Soil Transmitted Helminths di Indonesia, Cermin
Dunia Kedokteran, Jakarta. 1991;72:13-17

Anda mungkin juga menyukai