Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA APRIL 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT: EFEK OBAT ANTI CEMAS PADA IBU MENYUSUI

LAPORAN KASUS: SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK (F25.0)

DISUSUN OLEH:
Multazam
C014182120

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Devina

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. A. Suheyra Syauki, M.Kes. Sp.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Multazam
NIM : C014182120
Universitas : Universitas Hasanudddin
Judul Referat : Efek Obat Anti Cemas Pada Ibu Menyusui
Judul Laporan Kasus : Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui serta
telah dibacakan di hadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan
klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar, April 2019

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr. A. Suheyra Syauki, M.Kes., Sp.KJ dr. Devina

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................ iii
REFERAT
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................3
A. Gangguan Cemas ...............................................................................................3
B. Obat Anti Cemas ..............................................................................................10
C. Efek Obat Anti Cemas Pada Ibu Menyusui .....................................................11
BAB III KESIMPULAN............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................19
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien ................................................................................................21
II. Riwayat Psikiatri ..............................................................................................22
III. Pemeriksaan Status Mental ..............................................................................26
IV. Pemeriksaan Fisik Dan Neurologi ...................................................................29
V. Ikhtisar Penemuan Bermakna ..........................................................................29
VI. Evaluasi Multi Aksial ......................................................................................30
VII. Daftar Masalah ...........................................................................................32
VIII. Rencana Terapi ..........................................................................................32
IX. Prognosis ..........................................................................................................33
X. Diskusi .............................................................................................................33
LAMPIRAN................................................................................................................37

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Cemas didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk

mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala,

berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah. 1,2

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada

Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan

perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf

kualitas hidup pasien.3

Obat anti cemas terutama berguna utnuk simtomatik penyakit psikoneurosis

(neurosis, keluhan subjektif tanpa gangguan somatik yang nyata dengan fungsi mental-

kognitif tidak terganggu) dan berguna untuk terapi tambahan penyakit somatic dengan ciri

perasaan cemas dan ketegengan mental. Obat anti cemas mempunyai beberapa sinonim,

antara lain psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Obat anti cemas disebut

anxiolitika yaitu obat yang dapat mengurang cemas patologik, ketegangan dan agitasi obat-

obat ini tidak berpengaruh pada proses kognitif dan persepsi, efek otonomik dan ekstra

piramidal tetapi menurunkan ambang kejang dan berpotensi untuk ketergantungan obat

apabila digunakan dalam dosis tinggi dan jangka panjang.3

Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air

susu ibu (ASI) dari payudara ibu. Bayi menggunakan refleks menghisap untuk

mendapatkan dan menelan susu. Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu jenis makanan yang

mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. ASI

1
mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan, faktor pertumbuhan, anti alergi serta anti

inflamasi.

Ibu yang mengalami gangguan cemas selama menyusui dan mengonsumsi obat

anti cemas bisa memberikan efek kepada bayinya. Beberapa obat anti cemas dapat

menghalangi proses pengeluaran ASI maupun menimbulkan efek sedasi pada bayi.4

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gangguan Cemas

1. Definisi

Cemas didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk

mengatasi ancaman. Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala,

berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah.

Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya

terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga.

Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang sendiri.1,2

2. Epidemiologi

Gangguan cemas merupakan gangguan yang sering dijumpai pada klinik psikiatri.

Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3-8% dan rasio antara perempuan

dan laki-laki sekitar 2:1. Adapun untuk gangguan panik prevalensi sepanjang hidup

gangguan panik dilaporkan 1,5% sampai 5%. Prevalensi untuk agoraphobia adalah 2-6%

sedangkan fobia spesifik sekitar 11% dan fobia sosial adalah 3-13%. Gangguan obsesif

kompulsif memiliki prevalensi sebesar 2-3% dengan usia rata-rata yakni 20 tahun.1

3. Tanda dan Gejala Gangguan Cemas

Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni, kesadaran

terhadap sensasi fisiologis (palpitasi atau berkeringat) dan kesadaran terhadap rasa gugup

atau takut. Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi

kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan rasa

3
bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat menganggu belajar dengan menurunkan

kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan menganggu kemampuan

untuk menghubungkan satu hal dengan lainnya.

Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan

melakukan seleksi terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi

mereka mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.2

4. Patofisiologi Gangguan Cemas

a. Teori psikoanalitik

Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya “1926 Inhibitons, Symptoms,

Anxiety” bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu

dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan

dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk

mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Jika kecemasan

naik di atas tingkatan rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu

sinyal, ia akan timbul sebagai serangan panik.2

b. Teori Perilaku

Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang

spesifik.

Contohnya, seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibunya yang

memperlakukannya semena-mena, akan segera merasa cemas bila ia bertemu

ibunya. Melalui proses generalisasi, ia akan menjadi tidak percaya dengan

wanita. Bahkan seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya yang cemas.2

c. Aspek Biologis

4
Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari

timbulnya cemas yang patologis antara lain:

 Sistem saraf otonom

 Neurotransmiter2

Sistem Saraf Otonom

Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat stimulus terhadap sistem saraf otonom

adalah:

o sistem kardiovaskuler (palpitasi)

o muskuloskeletal (nyeri kepala)

o gastrointestinal (diare)

o respirasi (takipneu)

Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan cemas, terutama pada

pasien dengan gangguan serangan panik, mempertunjukan peningkatan tonus

simpatetik, yang beradaptasi lambat pada stimuli repetitif dan berlebih pada

stimuli yang sedang. Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem

limbik dan korteks serebri dianggap memegang peran penting dalam proses

terjadinya cemas.

Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio parahippocampal,

cingulate gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan

cemas. Korteks temporal juga dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini

diduga karena adanya kemiripan antara presentasi klinis dan EEG pada pasien

dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.

5
Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem limbik

juga memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan

stimulasi pada primata juga menunjukan jikalau sistem limbik berpengaruh

pada respon cemas dan takut. Dua area pada sistem limbik menarik perhatian

peneliti, yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampal, yang diduga

berkaitan dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan

dengan gangguan obsesif kompulsif.2

Neurotransmitter

1) Norepinephrin

Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas

berupa serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal,

merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori

umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan cemas, adalah

pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang

buruk terkait dengan peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari

sistem noradrenergic terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada

rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri,

sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada

primata menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut

menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak

menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien

dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor β-

adrenergik (Isoproterenol) dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat

6
mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat.

Kebalikannya, clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan

gejala cemas.2

2) Serotonin

Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan

pencarian peran serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat

menimbulkan peningkatan 5-hydroxytryptamine pada prefrontal korteks,

nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut

juga dilakukan berdasarkan penggunaan obat-obatan serotonergik seperti

clomipramine pada gangguan obsesif kompulsif. Efektivitas pada

penggunaan obat buspirone juga menunjukkan kemungkinan relasi antara

serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor

serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem

dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.2

3) GABA

Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas

obat-obatan benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada

reseptor GABA tipe A. Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling

efektif terhadap gejala gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine

potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam ditemukan efektif pada

terapi gangguan serangan panik.

Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan

peningkatan ukuran ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien

7
mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada satu studi MRI, sebuah defek

spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien dengan

gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak lainnya juga

menunjukan adanya penemuan abnormal pada hemisfer kanan otak, tapi

tidak ada pada hemisfer kiri. fMRI, SPECT, dan EEG menunjukan

penemuan abnormal pada korteks frontal pasien dengan gangguan cemas,

yang ditemukan juga pada area oksipital, temporal, dan girus hippocampal.

Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat kelainan pada nukleus

kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas pada

amygdala.2

5. Klasifikasi Gangguan Cemas

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V),

gangguan cemas terdiri dari :

a. Gangguan cemas perpisahan

b. Mutisme selektif

c. Fobia spesiifik

d. Fobia social

e. Gangguan panik

f. Agorafobia

g. Gangguan cemas menyeluruh

h. Gangguan cemas yang diinduksi obat

i. Gangguan cemas karena kondisi medis lainnya

j. Gangguan cemas yang golongan lainnya

8
k. Gangguan cemas tidak tergolongkan5

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia

III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan neurotik, gangguan somatoform dan

gangguan yang berkaitan dengan stress (F40-48)

F40–F48 GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN

GANGGUAN YANG BERKAITAN DENGAN STRES

F40 Gangguan Anxieta Fobik

F40.0 Agorafobia

.00 Tanpa gangguan panik

.01 Dengan gangguan panik

F40.1 Fobia sosial

F40.2 Fobia khas (terisolasi)

F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya

F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT

F41 Gangguan Anxietas Lainnya

F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)

F41.1 Gangguan cemas menyeluruh

F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif

F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya

F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT

F41.9 Gangguan anxietas YTT

F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif

F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan

9
F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)

F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional

F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya

F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT

F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43.0-F43.9)

F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)

F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)

F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9)5

B. Obat Anti Cemas

Anti cemas atau anti ansietas adalah obat-obat yang digunakan untuk mengatasi

kecemasan dan juga mempunyai efek sedatif, relaksasi otot, amnestik, dan antiepileptik.3

Obat anti cemas dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Golongan Benzodiazepine

b. Golongan Non-Benzodiazepin

Anti cemas yang utama adalah benzodiazepine. Banyak golongan obat yang

mendepresi system saraf pusat (SSP) lain telah digunakan untuk sedasi siang hari pada

pengobatan gangguan cemas, namun penggunaannya saat ini telah ditinggalkan. Alasannya

ialah antara lain golongan barbiturate dan meprobamat, lebih toksik pada takar lajak

(overdoses).

Dari golongan benzodiazepine, yang dianjurkan untuk anti cemas adalah

klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam, dan

halozepam. Sedangkan klorazepam lebih dianjurkan untuk pengobatan panic disorder.3

10
Secara umum obat-obat anti cemas ini bekerja di reseptor GABA. Benzodiazepine

menghasilkan efek pengikatan terhadap reseptor GABA tersebut. Anti cemas non

benzodiazepin seperti buspirone menimbulkan efek ansiolitik yaitu dengan bekerja sebagai

agonis sebagian pada reseptor 5-HT1A.4

Efek samping obat anti cemas dapat berupa sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan

berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif melemah) dan relaksasi otot.

Potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari narkotika. Penghentian obat secara

mendadak akan menimbulkan gejala putus obat seperti irritable, bingung, gelisah,

insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin, dan konvulsi.4

C. Efek Obat Anti Cemas Pada Ibu Menyusui

1. Alprazolam

Alprazolam merupakan salah satu dari golongan obat benzodiazepin atau disebut

juga Minor Transquillizer dimana golongan ini merupakan obat yang paling umum

digunakan sebagai anti cemas. Alprazolam merupakan obat anti cemas dan anti panik yang

efektif digunakan untuk mengurangi rangsangan abnormal pada otak, menghambat

neurotransmitter asam gama-aminobutirat (GABA) dalam otak sehingga menyebabkan efek

penenang.6

Karena laporan efek pada bayi, termasuk sedasi, alprazolam mungkin bukan

benzodiazepine terbaik untuk penggunaan berulang selama menyusui, terutama pada

neonatus atau bayi prematur. Benzodiazepine yang bekerja lebih pendek tanpa metabolit

aktif lebih dipilih. Setelah penggunaan alprazolam dosis tunggal, biasanya ibu disarankan

untuk tidak kembali menyusui.

11
Pada wanita menyusui yang rata-rata 11,8 minggu postpartum (kisaran 6-28

minggu) diberi dosis tunggal alprazolam 0,5 mg per oral. Sebelas sampel ASI diperoleh

selama 36 jam setelah dosis. Rata-rata tingkat alprazolam pada ASI adalah 3,7 mcg/L

terjadi pada rata-rata 1,1 jam (kisaran 0,47-3,8 jam) setelah dosis. Waktu paruh alprazolam

dalam ASI rata-rata 14,5 jam. Metabolit 4-hydroxyalprazolam dan alpha-

hydroxyalprazolam tidak terdeteksi (<0,5 hingga 1 mcg/L) dalam ASI. Sehingga bayi yang

disusui secara eksklusif yang ibunya mengonsumsi alprazolam dalam kisaran dosis normal

akan menerima dosis harian 0,5 hingga 5 mcg / kg atau sekitar 3% dari dosis yang

disesuaikan dengan berat badan ibu.7

Peningkatan iritabilitas bayi setelah penghentian ASI terjadi pada bayi berusia 1

minggu yang ibunya minum alprazolam selama kehamilan dan terus meminumnya setelah

melahirkan. Reaksi ini mungkin menunjukkan bahwa ada cukup alprazolam dalam ASI

untuk mencegah efek withdrawal. Gejala withdrawal bayi seperti tangisan, iritabilitas, dan

gangguan tidur selama 2 minggu pada bayi cukup bulan yang disusui secara eksklusif

setelah 3 minggu penghentian alprazolam (dosis tidak spesifik).8

Tidak seperti benzodiazepin lainnya, alprazolam dapat meningkatkan serum

prolaktin. Pada wanita dapat terjadi galaktorea, amenorea, dan peningkatan serum prolaktin

setelah mengonsumsi alprazolam selama beberapa bulan untuk mengatasi rasa takut,

kurang tidur, jantung berdebar, dan ketidaknyamanan pada saluran cerna. Setelah

penghentian lambat alprazolam dan pemberian quetiapine dan fluvoxamine, galaktorea

berhenti setelah sekitar satu bulan, menstruasi menjadi normal setelah sekitar 2 bulan, dan

serum prolaktin menurun ke tingkat normal. Tingkat prolaktin pada ibu dengan laktasi yang

mapan mungkin tidak memengaruhi kemampuannya menyusui.9,10

12
2. Lorazepam

Lorazepam memiliki kadar yang rendah pada ASI, waktu paruh relatif singkat

dibandingkan benzodiazepin lainnya, dan aman diberikan secara langsung ke bayi. Bukti

dari ibu menyusui menunjukkan bahwa lorazepam tidak menyebabkan efek buruk pada

bayi yang disusui dengan dosis ibu biasa.

Pada ibu yang mengonsumsi lorazepam 2,5 mg per oral dua kali sehari selama 5

hari pertama pascapersalinan memiliki ASI dengan level lorazepam bebas dan terkonjugasi

masing-masing 12 dan 35 mcg/L. Dengan menggunakan jumlah total yang diekskresikan,

bayi yang disusui secara eksklusif akan menerima sekitar 7 mcg/kg setiap hari dengan dosis

ibu ini atau sekitar 8,5% dari dosis yang disesuaikan dengan berat badan ibu.

Bayi baru lahir dari seorang ibu yang mengonsumsi lorazepam 2,5 mg per oral

dua kali sehari selama 5 hari setelah melahirkan tidak menunjukkan tanda-tanda sedasi.

Dalam sebuah, 124 ibu yang menggunakan benzodiazepine saat menyusui melaporkan

apakah bayi mereka memiliki tanda-tanda sedasi, 64 ibu yang minum lorazepam saat

sedang menyusui dan tidak ada yang melaporkan sedasi pada bayinya.11.12

3. Diazepam

Diazepam diekskresikan ke dalam ASI dalam bentuk metabolit aktifnya,

nordiazepam, terakumulasi dalam serum bayi yang disusui dengan dosis berulang. Karena

waktu paruh diazepam dan nordiazepam panjang, waktu pemberian ASI sehubungan

dengan dosisnya sedikit atau tidak bermanfaat dalam mengurangi paparan bayi. Agen anti

cemas lain lebih baik, terutama saat menyusui bayi yang baru lahir atau bayi prematur.

Pada ibu yang diberikan diazepam 10 mg oral 3 kali sehari selama 6 hari setelah

melahirkan. Kadar rata-rata diazepam pada ASI ditambah nordiazepam adalah 79 mcg/L

13
setelah 4 hari (total diazepam dosis130 mg) dan 130 mcg/L setelah 6 hari (total dosis

diazepam 190 mg). Oxazepam tidak terdeteksi.13

Pada ibu menyusui diberikan diazepam 10 mg oral 3 kali sehari dimulai pada hari

ke 5 pasca persalinan. Penurunan berat badan, kelesuan, dan EEG yang konsisten dengan

efek sedatif pada usia 8 hari mungkin disebabkan oleh diazepam atau metabolitnya dalam

ASI.

Sedasi dilaporkan pada bayi baru lahir yang disusui dari ibu yang minum

diazepam oral 6 sampai 10 mg setiap hari jika bayi disusui beberapa jam setelah pemberian

dosis, tetapi tidak jika dia menyusu 8 jam atau lebih setelah pemberian dosis. Sedasi pada

bayi mungkin disebabkan oleh diazepam dan metabolit utamanya dalam ASI.

Dalam sebuah pada 124 ibu yang menggunakan benzodiazepine saat menyusui

melaporkan apakah bayi mereka memiliki tanda-tanda sedasi. Sekitar 10% ibu

mengonsumsi diazepam saat sedang menyusui dan tidak ada yang melaporkan sedasi pada

bayinya. Dalam studi longitudinal pada wanita yang minum obat selama menyusui,

beberapa ibu yang menggunakan diazepam melaporkan penghentian menyusui karena

kantuk pada bayi yang disusui.12

4. Clobazam

Informasi terbatas menunjukkan bahwa dosis clobazam pada ibu menyusui hingga

30 mg setiap hari menghasilkan susu dalam kadar rendah. Penggunaan jangka pendek

diperkirakan tidak menyebabkan efek buruk pada bayi yang disusui, terutama jika bayi

berusia lebih dari 2 bulan. Selama pemberian jangka panjang, pantau bayi terhadap

kemungkinan sedasi dan mengisap yang buruk serta penambahan berat badan.

14
Clobazam memiliki waktu paruh 36 hingga 42 jam dan dimetabolisme menjadi N-

desmethylclobazam, yang memiliki sekitar 20% aktivitas clobazam dan waktu paruh 71

hingga 82 jam. Pada 6 pasien yang menerima clobazam oral 10 mg pada jam 7 pagi dan 20

mg pada jam 3 sore setiap hari selama 5 hari. Sampel ASI diambil 2 jam setelah setiap

dosis pada hari 2 dan 5 pemberian obat. Rata-rata level clobazam plus N-

desmethylclobazam adalah 0,125 mg/L pada hari ke-2 dan 0,152 mg/ L pada hari ke-5.

Level Clobazam tertinggi adalah 0,33 mg/ L pada hari 2 dan 0,25 mg/ L pada hari 5.

Karena potensi yang lebih rendah dan waktu paruh N-desmethylclobazam yang lebih lama,

nilai-nilai ini mungkin memiliki dampak farmakologis yang meningkat dari clobazam

dalam ASI.14

5. Sulpride

Sulpiride meningkatkan prolaktin serum, tetapi nilai klinisnya dalam

meningkatkan suplai ASI dipertanyakan. Dalam sebuah penelitian yang hanya melibatkan

ibu dengan produksi ASI rendah beberapa minggu pascapersalinan, sulpiride efektif dalam

meningkatkan volume ASI, tetapi itu hanya lebih efektif daripada plasebo dalam

menghindari suplementasi pada mereka yang tidak memiliki produksi susu awal.

Sulpiride diekskresikan ke dalam ASI dalam jumlah yang agak besar, jauh di atas

nilai yang diterima 10% dari dosis yang disesuaikan dengan berat badan ibu dalam

beberapa kasus, tetapi konsentrasi pada serum bayi yang disusui belum dievaluasi. Dua

penelitian tidak menemukan efek buruk pada bayi yang disusui ibunya yang diobati dengan

sulpiride selama 2 hingga 4 minggu sebagai galactogogue.15

Ibu postpartum memiliki risiko yang relatif tinggi untuk depresi pascapersalinan

dan sulpiride dapat menyebabkan depresi sebagai efek samping. Oleh karena itu, sulpiride

15
mungkin harus dihindari pada wanita dengan riwayat depresi berat dan tidak digunakan

dalam waktu lama pada ibu mana pun selama masa kerentanan tinggi ini. Kelelahan terjadi

sesekali dan kasus sakit kepala dan edema kaki juga telah dilaporkan pada ibu menyusui

yang menggunakan sulpiride sebagai galactogoge.15

Pada 20 wanita yang menggunakan sulpiride 50 mg dua kali sehari per oral untuk

meningkatkan produksi ASI. Sampel ASI tunggal dari setiap wanita diambil pada 2 jam

setelah dosis pagi antara 3-7 hari terapi. Konsentrasi sulpiride ASI rata-rata adalah 970

mcg/ L (kisaran 260-1970 mcg/L). Ini berarti dosis harian maksimum bayi harian rata-rata

146 mcg/ kg (kisaran 39- 297 mcg/ kg) pada bayi atau 8,7% (kisaran 2- 18%) dari dosis ibu

yang disesuaikan dengan berat badan.16

Dalam sebuah penelitian terhadap 14 wanita yang diberi sulpiride 50 mg 3 kali

sehari selama 4 minggu, tidak ada efek samping yang dilaporkan pada bayi yang disusui.

Pada penelitian lain terhadap 24 ibu menyusui yang menerima sulpiride 50 mg 3 kali sehari

selama 2 minggu, tidak ada efek samping yang dilaporkan pada bayi yang disusui. Dalam

sebuah penelitian yang membandingkan sulpiride dengan plasebo untuk peningkatan

produksi ASI, kenaikan berat badan bayi lebih besar pada bayi perempuan yang dirawat

hingga hari ke 15, tetapi tidak ada perbedaan kenaikan berat badan antara kelompok

setelahnya.15

6. Buspirone

Informasi terbatas menunjukkan bahwa dosis buspirone hingga 45 mg setiap hari

menghasilkan susu dalam kadar rendah. Karena tidak ada informasi yang tersedia tentang

penggunaan jangka panjang buspirone selama menyusui, obat lain mungkin lebih dipilih,

terutama saat menyusui bayi baru lahir atau bayi prematur.

16
Ibu yang mengonsumsi buspirone 15 mg 3 kali sehari selama kehamilan dan

pascapersalinan. Pada hari ke 13 pascapersalinan, buspirone tidak terdeteksi dalam ASI

oleh uji High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dimana batas deteksi dan

waktu sampel tidak disebutkan. Pada bayi yang disusui secara eksklusif dari seorang ibu

yang menggunakan buspirone 15 mg 3 kali sehari, buspirone tidak terdeteksi dalam serum

bayi dengan uji HPLC pada hari ke 13 dan 21 postpartum.

Buspirone meningkatkan prolaktin serum. Galaktorea dilaporkan pada wanita

yang memakai venlafaxine setelah buspirone ditambahkan ke rejimennya. Namun, ketika

buspirone dihentikan, galaktorea bertahan. Tingkat prolaktin pada ibu dengan ASI yang

banyak mungkin tidak memengaruhi kemampuannya menyusui.17

17
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan cemas merupakan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia

memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang

mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Gangguan cemas ditandai dengan gejala

otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, dan gelisah.

Obat anti cemas terbagi atas dua golongan yakni Benzodiazepine dan Non

Benzodiazepine. Benzodiazepine menghasilkan efek pengikatan terhadap reseptor GABA

sedangkan Non Benzodiazepine bekerja sebagai agonis sebagian pada reseptor 5-HT1A.

Obat anti cemas yang paling aman digunakan pada ibu menyusui adalah

Lorazepam karena memiliki kadar yang rendah pada ASI, dengan penggunaan dosis biasa

pada umumnya.

Obat anti cemas lainnya bisa memberikan efek sedasi pada bayi bahkan sampai

menyebabkan bayi mengalami letargi. Perlu juga diperhatikan bahwa obat anti cemas dapat

menyebabkan peningkatan produksi serum prolactin terutama Alprazolam dan Buspirone.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia D. Elvira, Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI. 2017.

2. Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock’s Comprehensive

Textbook of Psychiatry 10th Edition. Philadephia. Wolters Kluwer. 2009.

3. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psyhotropic Medication). PT Nuh

Jaya-Jakarta; 2014.

4. Arozal W, Gan S. Psikotropik. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, editors.

Farmakologi dan Terapi Edisi 5 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.

5. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5.

Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2013.

6. Ito S, Blajchman A, Stephenson M et al. Prospective follow-up of adverse reactions

in breast-fed infants exposed to maternal medication. Am J Obstet Gynecol. 1993;

7. Oo CY, Kuhn RJ, Desai N et al. Pharmacokinetics in lactating women: prediction of

alprazolam transfer into milk. Br J Clin Pharmacol. 1995.

8. Anderson PO, McGuire GG. Neonatal alprazolam withdrawal possible effects of

breast feeding. DICP. 1989;

9. Madhusoodanan S, Parida S, Jimenez C. Hyperprolactinemia associated with

psychotropics--a review. Hum Psychopharmacol. 2010.

10. Petric D, Peitl MV, Peitl V. High doses alprazolam induced amenorrhoea and

galactorrhoea. Psychiatr Danub. 2011.

11. Whitelaw AGL, Cummings AJ, McFadyen IR. Effect of maternal lorazepam on the

neonate. Br Med J (Clin Res Ed). 1981

19
12. Kelly LE, Poon S, Madadi P, Koren G. Neonatal benzodiazepines exposure during

breastfeeding. J Pediatr. 2012.

13. Cole AP, Hailey DM. Diazepam and active metabolite in breast milk and their

transfer to the neonate. Arch Dis Child. 1975

14. Bar-Oz B, Nulman I, Koren G, Ito S. Anticonvulsants and breastfeeding. A critical

review. Paediatr Drugs. 2000

15. Brodribb W. ABM Clinical Protocol #9: Use of galactogogues in initiating or

augmenting maternal milk production, second revision 2018. Breastfeed Med. 2018

16. Aono T, Shioji T, Aki T et al. Augmentation of puerperal lactation by oral

administration of sulpiride. J Clin Endocrinol Metab. 1979.

17. Gomez-Gil E, Navines R, Martinez De Osaba MJ et al. Hormonal responses to the

5-HT1a agonist buspirone in remitted endogenous depressive patients after long-

term imipramine treatment. Psychoneuroendocrinology. 2010.

20
LAPORAN KASUS

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. AN

Umur : 24 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/ tanggal Lahir : Wajo/01 Januari 1995

Agama : Islam

Suku : Bugis

Status Pernikahan : Belum Menikah

Pendidikan Terakhir : S1 Biologi

Pekerjaan : Tidak ada

Diagnosis Sementara : Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)

Pasien masuk ke perawatan Pakis RSWS pada tanggal 29 Maret 2019 untuk ketiga

kalinya. Pasien diantar oleh ibu dan kakaknya.

21
II. RIWAYAT PSIKIATRI

Diperoleh dari catatan medis, autoanamnesis, dan alloanamnesis dari:

Nama : Ny. AC

Umur : 59 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan / sekolah : IRT / SMP

Hubungan dengan pasien : Ibu pasien

A. Keluhan Utama

Mengamuk

B. Riwayat Gangguan Sekarang

a. Keluhan dan Gejala

Seorang pasien perempuan masuk perawatan Pakis RSWS untuk ketiga

kalinya diantar oleh ibu dan kakaknya. Pasien baru saja keluar dari opname 3

hari yang lalu. Pasien mengamuk sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit.

Pasien sering marah tanpa sebab, gelisah, mondar-mandir tidak jelas, selalu

ingin keluar rumah bahkan tidur di Alfamart. Tidur malam terganggu, sering

mandi dan main air, makan masih baik.

Awal perubahan perilaku dialami pasien sejak SMP, pasien sering

menangis tiba-tiba tanpa sebab dan membaik dengan sendirinya satu minggu

kemudian. Pada tahun 2017 pasien kembali mengalami keluhan yang sama

sehingga dirawat inap di Pakis untuk pertama kalinya selama 18 hari, pulang

dalam keadaan baik dan kontrol di poli jiwa. Satu tahun terakhir, pasien tidak

22
lagi rutin kontrol dan tidak mau minum obat karena merasa sudah membaik

sehingga gejala muncul kembali. Tanggal 21 januari 2019 pasien kontrol

kembali ke poli jiwa RSWS dengan diagnosis Gangguan Afektif Bipolar

Episode kini Depresi dan diberi terapi Olanzapine 5 mg 1 tablet/ 24 jam/ oral/

malam, Kalxetine 10 mg 1 tablet/ 24 jam/ oral/ malam, dan Trihexyphenidyl 2

mg 1 tablet/24 jam/ oral/ malam tapi tidak ada perbaikan sehingga dirawat

inap kedua kalinya di Pakis pada tanggal 22 maret 2019 dan pulang 26 maret

2019, diberi obat Depakote 250 mg 1 tablet/ 12 jam/ oral, clozapine 25 mg 1

tablet/ 24 jam/ oral/ malam, Chlorpromazine 50 mg 1 tablet/ 24 jam / oral/

malam. Pasien hanya 3 hari di rumah lalu masuk kembali.

b. Hendaya dan disfungsi

 Hendaya sosial (+)

 Hendaya pekerjaan (+)

 Hendaya penggunaan waktu senggang (+)

c. Faktor stress psikososial

Tidak ditemukan stressor psikososial yang jelas

d. Hubungan gangguan sekarang dengan riwayat fisik dan psikis sebelumnya:

 Riwayat infeksi (-)

 Riwayat trauma (-)

 Riwayat kejang (-)

 Riwayat NAPZA (-)

23
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada.

2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif

Tidak ada

3. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya

Pada saat SMP pasien sering menangis tanpa sebab namun tidak berobat karena

membaik dalam 1 minggu. Pada tahun 2017 pasien mengalami hal yang sama

dan dirawat di Pakis selama 18 hari, pasien pulang dengan membaik. Pasien

dirawat untuk kedua kalinya di Pakis pada 22 Maret 2019 sampai dengan 26

Maret 2019.

D. Riwayat kehidupan pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal (0-1 tahun)

Pasien lahir cukup bulan melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan dan

dukun di rumahnya. Tidak ditemukan cacat lahir maupun kelainan bawaan,berat

badan lahir tidak diketahui. Selama kehamilan ibu pasien dalam keadaan sehat

dan tidak mengkonsumsi obat-obatan atau jamu. Pasien diasuh oleh kedua orang

tuanya serta minum ASI hingga waktu yang tidak diketahui. Pertumbuhan dan

perkembangan pada masa bayi normal.

2. Riwayat Masa Kanak Awal (usia 1-3 tahun)

Perkembangan masa kanak-kanak awal pasien seperti berbicara dan berjalan baik

sesuai anak anak sebayanya. Perkembangan bahasa dan motorik berlangsung

baik.

24
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (usia 3-11 tahun)

Pertumbuhan dan perkembangan normal. Pasien masuk TK juga SD dan bergaul

dengan teman sebayanya. Pasien bersekolah di SD 280 Ongkoe. Pasien memiliki

prestasi yang baik yakni peringkat 1 atau 2 di sekolah.

4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja (usia 12-18 tahun)

Pasien melanjutkan jenjang pendidikan di SMP 1 Belawa dan SMA 3 Sengkang.

Pasien menempuh SMA hanya 2 tahun dengan prestasi yang cukup baik.

5. Riwayat Masa Dewasa

Pasien melanjutkan pendidikan di UNM jurusan Biologi dan menyelesaikan S1

tepat waktu.

6. Riwayat Agama

Pasien memeluk agama Islam dan menjalankan ibadahnya dengan baik.

7. Riwayat Hukum

Selama ini pasien tidak pernah terlibat dengan masalah pelanggaran hukum.

8. Riwayat Militer

Pasien tidak pernah melanggar hukum.

9. Aktivitas Sosial

Pasien merupakan pribadi yang cenderung pendiam, dan jarang menceritakan

masalahnya pada teman maupun keluarganya.

E. Riwayat Kehidupan Keluarga

Pasien adalah anak keenam dari enam bersaudara (♂,♂,♂,♂,♂,♀). Hubungan

pasien dengan keluarga baik. Saudara ayah pasien memiliki riwayat gangguan jiwa

namun tidak berobat.

25
Genogram pasien :

= Pasien = Laki-laki = Perempuan

= Tinggal Serumah = Meninggal

F. Situasi Sekarang

Pasien saat ini tinggal bersama ibu dan kakak pertamanya yang sudah menikah.

Ayah pasien meninggal saat pasien SMA.

G. Persepsi Pasien tentang diri dan kehidupannya

Pasien tidak merasa dirinya sakit.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL (7 April 2019)

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

Seorang perempuan, perawakan normal, perawatan diri cukup, wajah sesuai usia

(24 tahun), memakai gamis pink dan jilbab pink.

2. Kesadaran

Secara kuantitatif compos mentis, GCS 15. Secara kualitatif berubah.

3. Perilaku dan aktivitas psikomotor

26
Cenderung gelisah.

4. Pembicaraan

Spontan, lancar, intonasi meningkat.

5. Sikap terhadap pemeriksa

Saat dilakukan wawancara cukup kooperatif

B. Keadaan Afektif (Mood), Perasaan, Empati, dan Perhatian

1. Mood : Disforik

2. Afek : Labil

3. Empati : Tidak dapat dirabarasakan

C. Fungsi Intelektual (Kognitif)

1. Taraf pendidikan :

Pengetahuan umum dan kecerdasan pasien sesuai dengan taraf pendidikan.

2. Daya konsentrasi : Mudah teralihkan

3. Orientasi

 Waktu : Baik

 Tempat : Baik

 Orang : Baik

4. Daya ingat

 Jangka panjang : Baik

 Jangka pendek : Baik

 Jangka segera : Baik

5. Pikiran Abstrak : Baik

6. Bakat kreatif : Tidak ada

27
7. Kemampuan menolong diri sendiri : Baik

D. Gangguan Persepsi

1. Halusinasi

 Auditorik : Suara laki-laki atau perempuan yang berbisik tetapi

tidak jelas bicara apa dan mengganggu konsentrasi pasien.

 Visual : Bayangan hitam di kamar pasien.

2. Ilusi : Tidak ada

3. Depersonalisasi : Tidak ada

4. Derealisasi : Tidak ada

E. Proses Berpikir

1. Arus Pikiran

 Produktivitas : Berlebih

 Kontinuitas : Cukup relevan, koheren, kadang asosiasi longgar,

dan flight of idea

 Hendaya berbahasa : Tidak ada hendaya dalam berbahasa

2. Isi Pikiran

 Preokupasi : Tidak ada

 Gangguan isi pikiran : Tidak ada

F. Pengendalian Impuls

Terganggu

G. Daya Nilai

1. Norma sosial : Terganggu

28
2. Uji daya nilai : Terganggu

3. Penilaian realitas : Terganggu

H. Tilikan (Insight)

Derajat 1 (Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyaki).

I. Taraf Dapat Dipercaya : Dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI

A. Status Internus

Tekanan darah : 120/80 mmHg.

Nadi : 72x/menit

Pernapasan : 18x/menit

Suhu : 36,1oC

B. Status Neurologis

GCS: E4M6V5, Gejala rangsang selaput otak: kaku kuduk negatif, pupil bulat

isokor 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya (+/+), fungsi motorik dan sensorik keempat

ekstremitas dalam batas normal. Tidak ditemukan refleks patologis. Cara berjalan

normal, keseimbangan baik. Sistem saraf sensorik dan motorik dalam batas normal.

Kesan: Normal.

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Seorang pasien perempuan masuk perawatan Pakis RSWS untuk ketiga kalinya

diantar oleh ibu dan kakaknya karena mengamuk sejak satu sebelum masuk Rumah

Sakit. Pasien sering marah tanpa sebab, gelisah, mondar-mandir tidak jelas, selalu

ingin keluar rumah bahkan tidur di alfamart. Tidur malam terganggu, sering mandi dan

main air, makan masih baik.

29
Pasien sebelumnya dirawat di Pakis selama empat hari dengan diagnosis

Gangguan Afektif Bipolar Episode kini Depresi. Setelah dua hari di rumah pasien

mengamuk sehingga dibawah ke poli jiwa RSWS dan diputuskan dirawat kembali

untuk ketiga kalinya.

Pada pemeriksaan status mental diperoleh kesadaran kualitatif berubah dan

kuantitatif GCS 15 (Compos mentis), mood disforik, afek labil, empati tidak dapat

dirabarasakan. Terdapat gangguan persepsi berubah halusinasi auditorik yaitu suara

laki-laki atau perempuan yang berbisik tetapi tidak jelas bicara apa dan mengganggu

konsentrasi pasien serta halusinasi visual berupa bayangan hitam di kamar pasien.

Proses berpikir produktivitas berlebih, kontinuitas relevan, koheren, kadang asosisasi

longgar dan flight of idea. Tidak ada preokupasi maupun gangguan isi pikir.

Pengendalian impuls terganggu. Norma sosial, penilaian daya nilai, dan penilaian

realita terganggu. Tilikan 1 dimana pasien menyangkal sepenuhnya terhadap

penyakitnya.

VI. EVALUASI MULTI AKSIAL

AKSIS I :

Berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis ditemukan adanya gejala klinis yang

bermakna yaitu pasien mengamuk sebelum masuk ke Pakis RSWS dan tidur

terganggu. Keluhan timbul secara tiba-tiba. Keadaan ini menimbulkan penderitaan

(distress) pada dirinya, sulit melakukan tugas dalam kehidupan harian, dan sulit

mengisi waktu luangnya dengan hal yang bermanfaat (disability) sehingga dapat

disimpulkan bahwa pasien menderita Gangguan jiwa. Pasien mengalami hendaya

berat dalam menilai realitas sehingga pasien digolongkan dengan Gangguan Jiwa

30
Psikotik. Pasien tidak ditemukan adanya riwayat infeksi dan trauma kepala maupun

gangguan neurologis sehingga Gangguan Jiwa Organik dapat disingkirkan.

Berdasarkan pemeriksaan status mental, pasien memiliki kesadaran yang berubah,

kesulitan dalam menilai realita, adanya halusinasi auditorik dan visual, serta afek yang

labil dimana pasien cenderung gelisah. Oleh karena itu berdasarkan PPDGJ III, pasien

didiagnosis Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0)

Pasien didiagnosis banding dengan:

1. Gangguan Afektif Bipolar Episode Kini Manik Dengan Gejala Psikotik

(F31.2). Pada pasien ini mood pasien disforik dan afek labil, pasien kelihatan

seperti suka berbicara dan mengalami gejala psikotik. Diagnosis banding ini

disingkirkan karena gejala psikotik pasien memenuhi kriteria skizofrenia yakni

halusinasi audiotorik tetapi pada pasien tidak ada fase remisi sempurna diantara

dua episode gangguan afektif yang dialami pasien.

2. Skizofrenia YTT (F20.9). Pasien mengalami halusinasi auditorik dan memenuhi

gejala skizofrenia. Diagnosis banding ini disingkirkan karena gejala afektif

pasien cukup menonjol.

AKSIS II : Ciri kepribadian saat ini belum dapat ditentukan, namun sebelum

sakit pasien cenderung pendiam, jarang menceritakan masalahnya

pada teman dan keluarganya.

AKSIS III : Tidak ada diagnosis.

AKSIS IV : Tidak ada diagnosis.

AKSIS V : GAF Scale 50 - 41, gejala berat (severe), disabilitas berat.

31
VII. DAFTAR MASALAH

A. Organobiologik

Tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tapi terdapat

ketidakseimbangan neurotransmitter, maka pasien memerlukan farmakoterapi.

B. Psikologik

Ditemukan adanya masalah psikologi sehingga memerlukan psikoterapi suportif.

C. Sosiologik

Ditemukan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan penggunaan waktu

senggang maka membutuhkan sosioterapi.

VIII. RENCANA TERAPI

A. Farmakoterapi

• R/ Risperidone 2 mg/ 1 tablet/ 8 jam/ oral

• R/ Clozapine 25 mg/ 1 tablet/ 24 jam/ oral/ malam

• R/ Depakote 250 mg/ 1 tablet/ 8 jam/ oral

• R/ Trihexyphenidyl 2 mg 1 tablet/ 24 jam/ oral (bila muncul gejala EPS)

B. Psikoterapi Suportif

Memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat membantu pasien dalam

memahami dan menghadapi penyakitnya. Memberi penjelasan dan pengertian

mengenai penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan, efek samping yang

mungkin timbul selama pengobatan, serta memotivasi pasien supaya mau minum

obat secara teratur.

32
C. Sosioterapi

Memberikan penjelasan kepada orang-orang terdekat pasien sehingga bisa

menerima keadaan pasien dan memberikan dukungan moral serta menciptakan

lingkungan yang kondusif untuk membantu proses penyembuhan dan keteraturan

pengobatan.

IX. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Bonam

Quo ad functionam : dubia ad Malam

Quo ad sanationam : dubia ad Malam

Faktor pendukung berupa :

 Gejala positif yang menonjol.

 Keluarga yang mendukung

Faktor penghambat berupa :

 Stressor yang tidak jelas

 Usia pasien yang masih muda

 Pengobatan yang tidak teratur

X. DISKUSI

Gangguan skizoafektif adalah gangguan jiwa yang mempunyai gambaran baik

skizofrenia maupun gangguan afektif. Penyebab gangguan skizoafektif hingga

sekarang tidak diketahui meskipun beberapa data riset menunjukkan bahwa

skizoafektif terkait dengan faktor genetik. Sebuah studi yang dilakukan untuk

mengamati apakah ada pola tertentu dari sejarah keluarga pada orang dengan

33
gangguan skizoafektif dibandingkan dengan orang dengan gangguan bipolar dan

skizofrenia. Dari studi tersebut, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara pasien

pria dan wanita ketika dampak riwayat keluarga masuk kejiwaan diperiksa. Selain itu,

juga ditemukan bahwa gangguan skizoafektif terkait sama kuat dengan bipolar dan

skizofrenia pada kerabat tingkat pertama dalam keluarga.

Statistik umum gangguan ini yaitu kira-kira 0,2% di Amerika Serikat dari populasi

umum dan sampai sebanyak 9% orang dirawat di rumah sakit karena gangguan ini.

Gangguan skizoafektif diperkirakan terjadi lebih sering daripada gangguan bipolar.

Insidensi skizoafektif lebih besar pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada wanita

yang menikah, insidensinya lebih besar dibandingkan dengan wanita yang belum

menikah. Meskipun prevalensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria,

namun angka remisi pada wanita lebih baik dibandingkan dengan pria.

Berdasarkan PPDGJ III, untuk diagnosis pasti Gangguan Skizoafektif (F25) harus

memenuhi:

• Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif

adanaya gejala skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat

bersamaan (stimultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang

lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi

dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun

episode manik atau depresif.

• Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan

gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.

34
• Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami

suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi Pasca Skizofrenia).

Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis

manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran keduanya (F25.2). Pasien

lain mengalami satu atau dua episode skizoafektif terselip diantara episode manik

atau depresif (F30-F33).

Gangguan Skizoafektif Tipe Manik (F25.0) harus memenuhi :

• Kategori ini digunakan baik untuk episode skizofrenia tipe manik yang tunggal

maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif

tipe manik.

• Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tidak

begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang

memuncak.

• Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua,

gejala skizorenia yang khas.

Gejala skizofrenia khas yang dimaksud (sesuai dengan F20.- a sampai dengan d)

adalah:

a) - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan; walaupun isinya sama, namun

kualitasnya berbeda; atau

- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke

dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari

luar dirinya (withdrawal); dan

35
- “thought broadcasting” = isi pikitannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya;

b) - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang dirinya= secara jelas merujuk ke

pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan

khusus);

- “delusion perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna

sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;

c) Halusinasi auditorik:

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku

pasien, atau

- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai

suara yang berbicara), atau

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap

tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau

politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya

mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari

dunia lain.

36
LAMPIRAN WAWANCARA

DM: Dokter Muda, P: Pasien, K: Keluarga Pasien


DM : Selamat siang Nur
P : Siang Kak
DM : Perkenalkan nama saya Multazam, boleh saya Tanya-tanya Nur?
P : Tanya saja kak, saya jawab kita Tanya terserah mau apa Nur tidak peduli
DM : Siapa nama lengkapnya Nur?
P : Andi Nurhidayah dipanggil Andi Nur bisa juga Nur
DM : Kenapa Nur bisa ada disini?
P : Ndak tau itu, Nur maumi pulang kak tidak apaji Nur tapi dibawa kesini. Capekma
disini kak. Kalo di rumah Nur bisa main-main disini bosan sekali Nur dipaksa minum obat,
Nur disuntik juga disini kak, sakit kak
DM : Apa yang Nur rasakan sekarang? Rasa mau menangis atau mau marah?
P : Ndak tauka kak, mauka marah ini kurasa. Mau marah mau menangis mau juga
tidur kak
DM : Marah sama siapa?
P : Tidak tau Nur, ais capek Nur ditanya sudahmi kak. Ayomi menulis kak, pinjamka
dulu pulpenta kak.
DM : Nur kemarin kuliah dimana?
P : S1 UNM Biologi, di Parangtambung, Kosnya Nur di Mannuruki, sama teman-
temannya Nur.
DM : Nur masuk kuliah tahun berapa Nur?
P : Tahun 2013, Nur kkn tahun 2016, Nur wisuda tahun 2017
DM : Nur ini dimana sekarang?
P : Di rumah sakit tempatnya orang sakit mau diperiksa sama dokter
DM : Nur ingat sama siapa kesini?
P : Sama Andi cenrara, andi iman, andi nur. Masuk ketemu dr Saidah, ketemu bunda
perawat.
DM : Nur ada tidak dengar suara-suara yang ganggu Nur?
P : ada, banyak ribut bisik bisik sembarang diganggu Nur kak
DM : suara apa?
P : suara berbisik-bisik tidak jelas sembarang kak
DM : Laki-laki atau perempuan?
P : Biasa laki-laki, biasa juga perempuan kak. Tidak tau Nur apa nabilang
DM : Nur lihat ada tidak yang ganggu yang Nur lihat orangnya?
P : Ada kak
DM : Bentuk apa itu?
P : Hitam kak

37
DM : Laki-laki atau perempuan?
P : Pokoknya hitam kak
DM : Dimana itu bayangannya? Ada disini?
P : Ada di kamar kak
DM : ada itu di kamar sekarang?
P : Ada kak. Takut Nur masuk kamar kalo ada itu. Makanya nur lebih suka jalan-jalan
keluar kamar ke tempat itu (tunjuk nurse station), Nur bisa putar lagunya sulis disitu kak.
DM : Jadi Nur tidak mau masuk kamar?
P : Tidak mau, bosan Nur di kamar, tidak ada teman. Kita tau Diana kak?
DM : Tidak, siapa itu?
P : Masa’ tidak kita tau, itu teman KKNnya Nur. Ada juga Asrar, Ihsan, Mirna.
DM : Sudahmi dulu Nur ya. Saya Tanya-tanya saja dulu mamanya Nur

DM : Selamat siang Bu, Perkenalkan saya Multazam. Boleh saya Tanya-tanya tentang
Nur?
K : Bolehji dok
DM : Kenapa Nur masuk lagi ke sini Bu? Ini yang ketiga kalinya kan?
K : Iya dok. Kemarin mengamuk ki, selalu mandi terus, marah-marah tidak jelas,
bahkan tidur di Alfamart. Padahal baru 3 hari keluar dari sini baru dikasi masuk RS lagi.
DM : Nur memangnya tidak minum obat saat pulang bu?
K : Minum dok, tapi tetap begitu
DM : Bagaimana keadaannya Nur pas dipulangkan kemarin?
K : Baik-baik dok
DM : Sejak kapan mulai begini Nur, Bu?
K : Sejak sudah KKN diam-diam terus sering menangis makanya dia telpon saya
untuk pergi temani di kosnya. Baru saat itu juga sempat diambil tasnya, dia melawan
awalnya tapi karena diancam parang makanya dia serahkan.
DM : Bagaimana Nur setelah itu?
K : Karena diam-diam terus saya bawa ke sepupu ku yang dokter penyakit dalam di
Makassar juga. Setelah diperiksa tidak ada apa-apa makanya saya dianjurkan bawa ke
dokter jiwa saja, makanya saya bawa ke RSWS dan dirawat kemarin 18 hari.
DM : Bagaimana Nur sudah dirawat disini adaji perubahan?
K : Jadi bagus dok, bisaji kembali kuliah dan selesai kuliahnya.
DM : Apa yang Nur lakukan setelah selesai kuliah sampai akhirnya bisa masuk kembali
ke sini untuk yang kedua?
K : Dia kan mau mengajar dan ditawari mengajar di Maros sama keluargaku tapi tidak
mau dulu makanya ikut menjual jual sama kakaknya di Ruko. Sampai nabilang mauki
lanjut sekolah S2 tapi saya bilang tunggu dulu ada rezeki nak atau cari saja beasiswa.
Makanya kemarin dia daftar LPDP dan Alhamdulillah lulu semua tes kecuali yang terakhir

38
wawancara tidak luluski. Baru setelah itu dia daftar lagi CPNS tapi peringkat 7 dan 2 saja
yang mau diterima. Setelah itu dipanggil sama sepupuku di Maros untuk mengajar
makanya dia siapkan berkasnya tapi setelah itu mulai lagi sering menangis dan marah-
marah tidak jelas.
DM : Apakah Nur masih rutin kontrol ke dokter jiwa dan minum obat Bu?
K : Ada setahun Nur minum obat nak tapi karena dia rasa enak dan baikan makanya
dia berhenti minum obat
DM : Nur kalo tidak sakit bagaimana orangnya Bu? Apakah pendiam atau memang
banyak bicara?
K : Pendiam itu anaknya dok, jarang juga bicara atau cerita sesuatu sama saya. Baru
sekarang dia banyak bicara begitu.
DM : Sebelum sebelumnya ada tidak Nur begitu? Kayak mungkin menangis atau
bagaimana?
K : Pernah dulu sering menangis tanpa sebab waktu awal SMP. Ada kayaknya satu
minggu tapi setelah itu baik-baikmi lagi
DM : Kalau masa kecilnya dulu Nur bagaimana Bu?
K : Bagus kok Nak
DM : Sesuai anak seusianya kan Bu? Mulai dari lahir dimana bu?
K : Lahir di rumah dulu, pertumbuhan sama seperti anak seusianya.
DM : SD, SMP, SMAnya bagaimana?
K : SD normal, dulu sering peringkat 1 atau 2 di sekolah.
DM : Kalo SMP dan SMAnya? 3 tahun semua?
K : Kalo SMA hanya 2 tahun saja
DM : Tidak pernahji Nur ada sakit sakit sejak kecil?
K : Tidak ada dok, palingan demam sekali-kali
DM : Kalo begitu terima kasih banyak Bu atas kesempatannya untuk saya wawancarai
K : iya dok

39

Anda mungkin juga menyukai