Anda di halaman 1dari 27

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN Desember-Januari 2018-2019

Diagnosis dan Tata Laksana


Scabies dan Cutaneous Larva Migran

Oleh :

Muhammad Fakhri B Marzuki C014172144


Alifiah Putri Baharuddin C014172144
Yuniarni Sulistiawati C014172149
Nendy Floresta C014182024

Pembimbing Residen
dr. Erlian Dimas A

Dosen Pembimbing
dr. Widya Widita,Sp.KK,M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:
Muhammad Fakhri B Marzuki C014172144
Alifiah Putri Baharuddin C014172144
Yuniarni Sulistiawati C014172149
Nendy Floresta C014182024

Judul Referat:
Diagnosis dan Tata Laksana Scabies dan Cutaneous Larva
Migran

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Desember 2018

Supervisor Pembimbing Residen


Pembimbing

dr. dr. Widya Widita,Sp.KK,M.Kes. dr.Erlian Dimas A

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB 1 ..................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
2.1. DEFINISI ................................................................................................. 5
2.2. EPIDEMIOLOGI ..................................................................................... 5
2.3. ETIOPATOGENESIS .............................................................................. 6
2.4 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS .......................................... 22
2.5 TERAPI .................................................................................................. 24
2.6 KOMPLIKASI…………………………………………………………24

2.7 PROGNOSIS……………………………………………………………25

BAB 3 ................................................................................................................... 26
KESIMPULAN ..................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Skabies adalah penyakit infeksi parasite yang termasuk dalam kelompok


penyakit yang mudah menular. Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the
itch,gudig,budukan dan gatal agogo. Penyebab dari penyakit ini sudah dikenal
sejak 100 tahun yang lalu, sebagai akibat investasi dan sensitisasi terhadap
kutu(tungau) yang dinamakan acarus atau Sarcoptes scabiei (S.scabiei) varian
huminis yang menyerang manusia. Penularannya terjadi secara kontak langsung
dan tidak langsung.2

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat menyerang semua ras dan
kelompok umur, yang tersering adalah kelompok usia anak-anak.Skabies
menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di puskesmas dan
menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit tersering di Indonesia.2

Penyebab utama terjadinya Creeping eruption adalah larva yang berasal


dari cacing tambang yang hidup di usus anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum .Creeping Eruption sering terjadi pada anak
anak terutama yan sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berhubungan
dengan tanah atau pasir. Demikian pula dengan para petani atau tentara sering
mengalami hal yang sama.1

Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropics yang hangat
dan lembab, misalnya Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyk
dijumpai.1

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi tungau Sarcoptes Scabiei var, hominis dan produknya.1
Sedangkan creeping eruption, istilah ini digunakan pada kelainan kulit
yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif, disebabkan oleh invansi larva cacing tambang yang berasal dari
anjing dan kucing. 1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut The Global Burden of Disease Study pada tahun 2010, prevalensi
skabies di seluruh dunia diperkirakan mencapai 100 juta kasus setiap tahunnya.
Di Asia, Indonesia adalah negara kedua dengan prevalensi skabies tertinggi
setelah India.10

Penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang beriklim tropis


dimana sumber daya kesehatan kurang diperhatikan.4 Angka kejadian skabies
di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2008 adalah 5,6-12,95%
. Data ini diambil dari puskesmas seluruh Indonesia.5 Skabies adalah penyakit
yang sangat menular. Skabies menular melalui kontak langsung dengan kulit
penderita skabies.10

Penggunaan baju dan berbagi tempat tidur bersama juga merupakan risiko
penularan penyakit ini. Angka kejadian skabies yang terjadi di Pondok
Pesantren yang terletak di Magelang mencapai 43% dan 29% diantaranya
terkait dengan higiene perorangan. Untuk kabupaten Demak sebanyak 45,5%

5
santri mengidap penyakit skabies. Untuk angka kejadian di Pati sendiri belum
diketahui.10

Cutaneous Larva Migrans (CLM) atau creeping eruptions merupakan


penyakit yang spesifik untuk daerah tropis dan merupakan masalah
dermatologis yang sering terjadi pada pelancong di daerah tropis dan
subtropis.9
Cutaneous larva migrans (CLM) terdistribusi luas, umumnya di daerah
tropis dan subtropis, terutama di Asia Tenggara, Karibia, Afrika, Amerika
Selatan, dan India.2,3 Faktor kebersihan atau higiene berperan penting dalam
penyebaran penyakit.4 Kelainan kulit ini ditransmisikan melalui kontak
langsung dengan pasir atau tanah yang terkontaminasi kotoran hewan
mengandung larva filariform (larva infektif).8

2.3. ETIOPATOGENESIS

2.3.1 SKABIES

2.3.1.1 ETIOLOGI

Penyebab terjadi skabies adalah dari sejenis tungau, Sarcoptes scabies


varian homini. Sarcoptes scabeis termasuk dalam famili Sarcoptidae, kelas
Arachnida. Secara morfologi, Sarcoptes scabies kelihatan tranlusen tidak
bewarna, berbentuk lonjong, koveks di bagian dorsal, pipih di bagian ventral,
tidak bermata dan memiliki 4 pasang kaki. Sarcoptes scabies betina berukuran
kurang lebih 0.4 x 0.3mm sedangkan yang jantan berukuran lebih kecil sedikit
berbanding yang betina hingga sukar dibedakan dengan pandangan mata
kasar. Tubuhnya terbagi dua, anterior disebut nototoraks, posterior disebut
notogaster juga dengan dua pasang kaki kedua. Dua pasang kaki pertama yang
berakhir dengan ambulakra (alat untuk melekat), dan dua pasang kaki kedua
pada Sarcoptes scabies betina berkhir dengan rambut, sedangkan pada jantan,
pasangan yang ketiga berkahir dengan rambut dan keempat berakhir dengan
ambulakra. Alat genital betina terletak pada bagian ventral berupa cleha

6
dibagian posterior dari sternum, sedangkan alat genital jantan terletak diantara
pasangan kaki keempat berbentuk huruf Y. Pada larva mempunyai 3 pasang
kaki sedangkan nimfa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan
kecepatan 2,5cm permenit pada permukaan kulit. Sarcoptes scabies mampu
hidup 3 hari di dalam tabung uji steril dan ia tidak dapat terbang maupun
melompat. Siklus hidupnya terjadi sepenuhnya di kulit manusia.2, 4

2.3.1.2 SIKLUS HIDUP


Siklus hidup Sarcoptes scabiei, dari telur ke dewasa (mampu
reproduksi) memerlukan waktu dalam 10 hari untuk yang jantan sedangkan
yang betina memerlukan 14 hari. S. scabiei betina mampu untuk hidup selama
30 hari atau lebih. S. scabiei jantan pula tidak dapat hidup dapat bertahan
hidup selama S. scabiei betina. Siklus hidup S. scabiei adalh setelah kopulasi
yang terjadi di atas permukaan kulit atau di dalam terowongan yang digali
oleh S. scabiei betina. S. scabiei jantan akan mati, kadang-kadang dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan.6

S. scabiei betina akan melepaskan telur dia dalam terowongan yang


digali.selepas 3-4 hari, telur akan kemudian menjadi larvae, dan akan menetap
di terowongan selama 1 hari dan selepas itu, sebagian larvae akan keluar dari
terowongan menuju permukaan kulit membentuk kantung di stratum korneum.
Larvae akan bertukar memasuki stase protonymph selepas 2-3 hari dan stase
tritonymph juga selepas 2-3 hari. Setiap perubahan menjadi nimfa yang baru
disertai dengan perubahan ke tempat yang baru dan pengalian terowongan
yang baru. Selepas 2-3 hari, tritonymph akan menjadi dewasa (mampu
melakukan persenyawaan) S. scabiei betina akan mengali terowongan dan
menunggu S. scabiei jantan untuk melakukan persenyawaan. Selepas itu, S.
scabiei betina akan mengali terowongan/ mencari tempat untuk melepaskan
telurnya. S. scabiei betina dan menetaskan 2-3 telur dalam satu hari sepanjang
hidupnya. ( scabies prevention and control manual)6

7
Gambar 1 : Siklus hidup S. scabiei6

2.3.1.3 PATOGENESIS

Infestasi dimulai saat tungau betina yang telah dibuahi tiba di


permukaan kulit. Dalam satu jam, tungau tersebut akan mulaii mengali
terowongan dan setelah 30 hari, terowongan yang awalnya hanya beberapa
milimeter akan bertambah panjang menjadi beberapa centimeter. Meskipun
begitu, terowongan ini hanya terdapat di stratum korneum dan tidak
menembus lapisan kulit di bawah epidermis. Terowongan ini dibuat ubtuk
menyimpan telur-telur tungau, kadang-kadang ditemukan skibala dalamnya.
Tungau dan produk-produk inilah yang berperan sebagai iritan yang
merangsang sistem imum tubuh. Dalam beberapa hari pertama, akan terjadi
perlawanan dri tubuh oleh sistem imun non spesifik yang disebut inflamasi
(kemerahan pada kulit, panas, nyeri dan bengkak). Hal ini disebabkan karena
peningkatan darah ke tempat inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin
vasoaktif (histamin, triptamin dan mediator lainya yang berasal dari sel
mastosit). Mediator-mediator inflamasi inijuga menyebabkan rasa gatal di
kulit. Molekul-molekul seperti prostaglandin dan kinin juga berperan
meningkatkan permeabilitas dan mengakirkan plasma dan protein plasma
melintasi endotelyang menimbulkan kemerahan dan panas.2

8
Kemotaktik yang diproduksi seperti C5a, histamin leukotrien akan
menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas akan menarik fagosit.
Peningkatan permeabilitas memudahkan neutrofil dan monosit memasuki
jaringan tersebut. Neutrofil datang terlebih dahuli untuk menghancurkan dan
menyingkirkan antigen. Meskipun biasanya berhasil, tetapi beberapa sel akan
mati dan mengeluarkan isinya yang juga merusakan jaringan sehingga
menimbulkan proses inflamasi. Sel mononuklear selanjutnya yang berperan
untuk menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan.2

Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahan non spesifik


belum dapat mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka
imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah
mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa
bantuan koponen sistem imun lainnya seperti makrofag dan komplemen.2

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B


dengan bantun sel Th, kemudian akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B
sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi dan
differensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi dapat menetralkan antigen
sehingga infektivitasnya hilang taua berikatan dengan antigen sehingga lebih
mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi.
Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang
akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-
antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta
penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi
komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunya reseptor Fc
juga mempunyai reseptor C3b yang merupakan hasil aktivasi komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi-antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang
mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-
dependent cellualr mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula
terjadi karena aktivasi komponen. Komponen berikatan dengan bagian Fc

9
antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya
lisis antigen. 2

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan


sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak
berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi akan mencapai
kadar protektif yang berlangsung dalam waktu cukup lama. Hal ini
disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam
kalenjar limfe yang aka dipresentasikan pada sel memori sewaktu di
kemudian hari.2

Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungaudan produknya


menunjukkn adanya peran yang penting dalam perkembangan lesi dan
terhadap timbulnya gatal. S,. scabiei melepaskan substansi sebagai respon
adanya kontak antara tungau dan sel keratinosi dan sel langerhans ketika
melakukan penetrasi ke dalam kulit.2

Bebrapa penelitian menunjukkan adanya keterlibatab reaksi


hipersensitifitas tipe I dan IV, pada rekasi hipersnsifitas tipe I, pertemuan
antigen tungau dengan immunoglobulin E (IgE) pada sel mast yang terjadi di
epidermis menyebabkan degranulasi sel mast sehingga terjadi peningkatan
antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan
memperlihatkan gejala klinis sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan
akan menyebabkan timbunya papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat
dari perubahan histopatologik dan jumlah sel limfosit T yang banyak pada
infiltrat kutaneus.2

10
2.3.2 CUTANEOUS LARVA MIGRAN

2.3.2.1 ETIOLOGI

Penyebab utama terjadinya Creeping eruption adalah larva yang


berasal dari cacing tambang yang hidup di usus anjing dan kucing, yaitu
Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia Timur, umumnya
disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Echinococcus Strogyloides sterconalis, Dermatobia maxiales dan Lucillia
caesar. Selain itu, dapat pula disebabkan larva dari beberapa jenis lalat,
misalnya Castrophilus (the horse boot fly) dan cattle fly.1

2.3.2.2 MORFOLOGI

Ancylostoma caninum memiliki tiga pasang gigi. Panjang cacing


jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa
kopulatriks dan cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm. cacing betina rata-
rata 16000 telur setiap harinya. Morfologi Ancylostoma braziliense mirip
Ancylostoma caninum, tetapi kapsul bukalnya memanjang dan berisi dua
pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral lebih besar, sedangkan gigi sebelah
medial sangat kecil. Selain itu, pada Ancylostoma braziliense juga terdapat
sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul. Cacing betina berukuran 6-9mm
dan cacing jantan berukuran 5-8mm. cacing betina dapat mengeluarkan telur
4000 butir setiap hari.1, 7

2.3.2.3 PATOGENESIS

Ancylostoma caninum betina meletakkan rata-rata 16000 telur setiap


hari sedangkan Ancylostoma braziliense betina dapat mengeluarkan telur 4000
butir sehari. Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan
(lembap, hangat dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2
hari. Larva rhabditiform tumbuh di tinja atau tanah, menjadi filariform (larva
stadium tiga) yang inefektif setelah 5-10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan
selama 3-4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Jika terdapat kontak

11
dengan pejamu haiwan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa
melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva menembus
alveoli, naik ke bronkiolus menuju faring dan tertelan. Larva mencapai usus
kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa.7

Manusia terinfeksi dengan cara larva menembus kulit. Cutaneus Larva


Migrans diperoleh dari kontak langsung antara kulit dengan tanah yang
terkontaminasi, dengan kaki, bokong, dan paha menjadi area yang paling
sering terkena. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang
lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis7.

Pada telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari
dan berkembang menjadi larva inefektif tahap ke tiga setelah sekitar 1
minggu. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena
matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembap. Jika
terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah
menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat
penetrasiyang sesuai. Akhirnya larva menembus ke lapisan korneum
epidermis.Larva inefektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat
bermigrasi di kulit manusia. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang
dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus
hidupnya. Akibatnya, larva terjebak di jaringan subkutan membentuk
terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lain.7

Gambar 1 : Siklus Hidup Cacing Tambang Hewan7

12
2.4 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS
2.4.1 SKABIES

2.4.1.1 GAMBARAN KLINIS

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh Sarcoptes scabiei sangat
bervariasi. Terdapat 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies,
yaitu : 1,4

1. Priuritus nocturnal
Adanya gatal hebat pada malam hari karena aktifitas tungau yang
meningkat pada suhu yang lembab dan panas.

2. Menyerang secara berkelompok


Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut.Didalam suatu kelompok
mungkin akan ditemukan individu yang hiposensitisasi sehingga walaupun
mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita
dikenal sebagai pembawa atau carrier bagi individu lain.

3. Terowongan (kanalikulus)
Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat predileksi berwarna putih
atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata 1 cm,
pada ujung terowongan ditemukan papula atau vesikel. Jika timbul infeksi
sekunder ruam kulit menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi, dan lain-lain).
Namun, terowongan biasanya sukar terlihat, karena sangat gatal pasien
selalu menggaruk, terowongan dapat rusak karenanya. Tempat
predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang
tipis, yaitu sela-sela jari, pergelangan tangan bagian volar dan lateral
telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, umbilicus, bokong, penis, labia, dan

13
areola wanita. Pada pasien dewasa yang sehat, lesi tidak terdapat pada
kepala dan leher. Sedangkan pada bayi, lansia, serta pada pasien dengan
imunodefisiensi, lesi dapat terjadi pada seluruh permukaan kulit.

4. Menemukan Sarcoptes scabiei


Apabila masih terdapat kanalikulus/terowongan yang masih utuh
kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa
maupun kotoran (skibala) dan ini merupakan hal yang paling diagnostik.

Gambar 1 : scabies

14
Varian skabies :1
1. Skabies norwegia (skabies berkrusta)
Bentuk scabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan
kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini
sangat menular karena tungau berada dalam jumlah yang banyak. Penyakit
terdapat pada pasien dengan retardasi mental, kelemahan fisis, gangguan
imunologik dan psikosis.

Gambar 2: skabies norwegia (berkrusta)

2. Skabies nodular
Skabies dalam berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi sering
terjadi pada bayi dan ana, atau pada pasien dengan imunokompremais.

2.4.1.2 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis skabies dapat dilakukan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisis (gejala klinis) dan dikomfirmasi dengan penunjang. Bila gejala
klinik spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan. Pada umumnya diagnosis
klinik ditegakkan berdasarkan ditemukan dua dari empat cardinal sign, yaitu
yaitu: pruritus nocturna, mengenai sekelompok orang, menemukan terowongan
atau Sarcoptes scabiei. Dalam praktiknya sulit untuk menegakkan diagnosis
dikarenakan berbagai penyakit kulit lainnya memberikan gambaran klinis yang

15
mirip dengan skabies. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan tungau dan
produknya dengan cara, yaitu : 2

a. Kerokan kulit
Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau KOH
10% lalu dilakukan kerokan dengan meggunakan skalpel steril yang
bertujuan untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan
diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diperiksa
dibawah mikroskop.2

Gambar 1: Pemeriksaan mikroskopik dengan minyak mineral setelah dilakukan pengerokan


kulit yang didapatkan kutu betina yang hamil dengan telur berbentuk oval, telur warna
keabuan dan terdapat kotoran4

b. Mengambil tungau dengan jarum


Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam
terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya
kemudian dikeluarkan. Bila positif, tungau terlihat pada ujung jarum sebagai
parasit yang sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi
memerlukan keahlian tinggi.2

16
c. Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test)
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30 menit.
Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut akan
kelihatan lebih gelap dibandingkan kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta
didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbetuk gambaran
kanalikuli yang khas berupa garis menyerupai bentuk S.2

d. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)


Dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan telunjuk kemudian
dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superfisial menggunakan pisau dan
berhati-hati dalam melakukannya agar tidak berdarah. Kerokan tersebut
diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan minyak mineral yang
kemudian diperiksa dibawah mikroskop.Biopsi irisan dengan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE).2

e. Uji tetrasiklin
Pada lesi dioleskan salep tetrasiklin yang akan masuk ke dalam kanalikuli.
Setelah dibersihkan, dengan menggunakan sinar ultraviolet dari lampu Wood,
tetrasiklin tersebut akan memberikan efluoresensi kuning keemasan pada
kanalikuli.2

f. Dermoskopi
Dermoskopi awalnya dipakai oleh dermatolog sebagai alat yang berguna
untuk membedakan lesi-lesi berpigmen dan melanoma. Dermoskopi juga
dapat menjadi alat yang berguna dalam mendiagnosis scabies secara in vivo.
Alat ini dapat mengidentifikasi struktur bentuk triangular atau bentuk-V yang
diidentifikasi sebagai bagian depan tubuh tungau, termasuk kepala dan kaki.
Banyak laporan kasus yang didapatkan mengenai pengalaman dalam
mendiagnosis scabies dengan menggunakan Dermoskopi. Dermoskopi sangat
berguna, terutama dalam kasus-kasus tertentu, termasuk kasus scabies pada

17
pasien dengan terapi steroid lama, pasien imunokompromais dan scabies
nodular.2

Gambar 2 : Scabies yang teridentifikasi dengan Dermoskopi 12

2.4.1.3 DIAGNOSIS BANDING

Skabies dikatakan merupakan the great imitator karena dapat


menyerupai banyak penyakit kulit. Adapun diagnosis banding skabies
1. Insect bite (gigitan serangga) :

Karakteristik lesi berupa urtikaria papul eritematous 1-4 mm


berkelompok dan tersebar di seluruh tubuh, sedangkan tungau skabies
lebih suka memilih area tertentu yaitu menghindari area yang
memiliki banyak folikel pilosebaseus.Pada umumnya popular urtikaria
terjadi akibat gigitan dan sengatan serangga tetapi area lesinya hanya
terbatas pada daerah gigitan dan sengatan serangga saja sedangkan
skabies ditemukan lesi berupa terowongan yang tipis dan kecil seperti
benang berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan ditemukan
papul atau vesikel. 11

Gigitan serangga biasanya hanya mengenai satu anggota keluarga


saja, sedangkan skabies menyerang manusia secara kelompok,
sehingga dalam sebuah keluarga biasanya mengenai seluruh anggota
keluarga.11

18
Gambar 1 : Tampak gigitan serangga berupa bulla 11
2. Prurigo nodularis
Merupakan tanda klinik yang kronis yaitu nodul yang gatal dan secara
histologi ditandai adanya hiperkeratosis dan akantosis hingga ke
bawah epidermis. Sedangkan pada skabies ditemukan Sarcoptes
scabiei di bagian teratas epidermis yang mengalami akantosis. Pada
prurigo, penyebabnya belum diketahui. Namun dalam beberapa kasus,
faktor stress emosional menjadi salah satu pemicu sehingga sulit
untuk ditentukan apakah ini adalah penyebab atau akibat dari prurigo
sedangkan pada skabies disebabkan oleh adanya tungau Sarcoptes
scabiei melalui pewarnaan Hematoksilin-Eosin (H.E).11

Gambar 2 : Tampak prurigo nodularis di daerah lengan 11

19
2.4.2 CUTANEOUS LARVA MIGRAN

2.4.2.1 GAMBARAN KLINIS

Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula
akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk
linear atau berkelok-kelok menimbul dengan diameter 2-3 mm, serta panjang
15-20 cm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritomatosa ini
menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam
atau hari1

Gambar 1: Cutaneus larva migrans dengan eritema serpiginosa pada interdigitalis pedis (A)
tangan (B) tampak lesi vesikobulla 3

Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang


berkelok-kelok, polisiklik, serpinginosa, menimbul, dan membetuk
terowogan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal biasanya
lebih hebat pada malam hari. Selain itu juga dapat menimbulkan lesi vesicular
dan bula.1

20
Gambar 2: Cutaneus larva migrans dengan lesi vesicular dan bula.4

Tempat predileksi adalah di tungkai, telapak kaki, pinggang panggul,


pundak, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha, juga bagian tubuh di mana
saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Satu lesi yang
muncul juga dapat berhubungan beberapa saluran tempat masuknya cacing
tersebut.11

Penyakit ini merupakan self-limiting disease. Perkiraan durasi alami


penyakit ini sangat bervariasi. Variasi ini tergantung pada spesies larva yang
diamati, dan ini biasa tidak diketahui. Dalam sebuah penelitian, 25-33% larva
mati setiap 4 minggu sedangkan yang lainnya (diduga karena Ancylostoma
brasilienseI) 81% lesi menghilang dalam 4 minggu. Cutaneus larva migrans
juga dapat disertai Löeffler’s syndrome11

21
2.4.2.2 DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis cutaneus larva migran ditetapkan berdasarkan


manifestasi klinis yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang
lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel di
atasnya. Biopsi pada larva migrans tidak dapat menunjang sebuah
diagnosis.11

2.4.2.3 DIAGNOSIS BANDING

Dengan melihat adanya terwongan harus dibedakan dengan scabies,


pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti
penyakit ini. Bila melihat bentuk yang polisiklik sering dikacaukan dengan
dermatofitosis. Pada permulaan lesi berupa papul, karena itu sering diduga
insects bite. Bila invasi larva yang multiple timbul serentak, papul-papul lesi
dini sering menyerupai herpes zoster stadium permulaan.1

2.5 TERAPI
2.5.1 TATALAKSANA SKABIES

Syarat obat yang ideal adalah :

1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau


2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik
3. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai
pakaian
4. Mudah diperoleh dan harganya murah
Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termaksud
penderita) yang hiposensitisasi1

Jenis obat topical :

1. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk


salap atau krim. Preparat ini karena tidak efektif terhadap stadium telur,
maka penggunaan dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Kekurangan

22
yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian serta kadang-kadang
menimbulkan iritasi. Dapat dipake pada bayi berumur kurang dari 2
tahun.1
2. Emulsi-Bensil-benzoas 20-25% efektif terhadap semua diberikan setiap
malam selama 3 hari obat ini sulit diperoleh sering memberi iritasi dan
kadang-kadang makin gatal dan panas setelah dipake.1
3. Gama benzena heksa klorida kadarnya 1% dalam krim atau lotion,
termaksud obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak
dibawah 6 tahun dan ibu hamil karena toksin terhadap susunan saraf pusat.
Pemberian cukup sekali, kecuali jika masi ada gejala, diulangi seminggu
kemudian.1
4. Krotamiton 10% dalam krim atau lotion juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai anti scabies dan anti gatal; harus dijauhkan
dari mata, mulut dan uretra. 1
Permethrin dalam kadar 5% dalam krim, efektifitas sama, aplikasi hanya
sekali, dan dibersihkan dengan mandi setelah 8-10 jam. Pengobatan diulani
setelah seminggu.tidak dianjurkan pada bayi dibawah umur 2 bulan.1

2.5.2 TATALAKSANA CLM

Cutaneous larva migran merupakan self-limited. Lesi biasanya menghilang


dalam 2-8 minggu, namun pernah dilaporkan lesi aktif bertahan hingga 2 tahun.
Meskipun CLM dapat menghilang tanpa pengobatan, terapi antilmintik diperlukan
untuk mengurangi gejal, risiko rekurensi dan komplikasi infeksi bacterial
sekunder.

Sebelum tahun 1960, terapi CLM adalah dengan ethyl chloride spray
(disemportkan sepanjang lesi), liquid nitrogen, phenol, carbon dioxide snow (CO2
snow dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut),
piperazine citrate, elektro-kauterisasi dan radiasi. Pengobatan tersebut sering tidak
berhasil karena kita tidak mengetahui secara pasti dimana larva berada, dan bila

23
terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya, kemoterapi dengan chloroquine,
antimony, dan diethylcarbamazine juga tidak memuaskan.1

Sejak tahun 1993 telah diketahui bahwa antihelmintes berspektrum luas,


misalnya tiabendazol (mintezol), ternyata efektif. Dosisnya 25-50 mg/kg BB/hari.
Sehari 2 kali, diberikan berturut-turut selama 2-5 hari. Dosis maksimum 3 gram
sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Obat ini susah
didapat. Efek sampingnya mual, pusing dan muntah. Eyster mencobakan
pengobatan topikal solusio tiabendazol dalam DMSO dan ternyata efektif.
Demikan pula Davis dan Israel menggunakan suspensi obat tersebut (500mg/5ml)
secara oklusi selama 24-48 jam. Sekarang albendazole dan ivermectin diluar negri
merupakan obat lini pertama. Diluar negri terapi dengan ivermectin peroral
(200ug/kg) dosis tunggal dan diulang setelah 1-2 minggu, memberi kesembuhan
94-100%.1

2.6 KOMPLIKASI
2.6.1 KOMPLIKASI SKABIES

Infeksi sekunder pada pasien scabies merupakan akibat dari infeksi bakteri
atau karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran klinik yang ada, erosi
merupakan yang paling sering muncul pada lesi sekunder. infeksi sekunder dapat
ditandai dengan munculnya pustule, supurasi dan ulkus. Selain itu dapat muncul
eritema, skuama dan semua tanda inflamasi lain pada ekzem sebagai respon imun
tubuh yang kuat terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada daerah yang tertutup
seperti bokong, skrotum, inguinal, penis dan axilla. Infeksi sekunder local
sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan biasanya mempunyai
respon yang bagus terhadap topical atau antibiotic oral. Tergantung tingkat
piodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemiadapat juga terjadi terutama
pada scabies Norwegian, post-streptococcal glomerulonephritis bisa terjadi
karena scabies induced piodermas yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.2

24
2.6.2 KOMPLIKASI CUTANEOUS LARVA MIGRAN

Komplikasi termaksud infeksi sekunder yang paling umum adalah


Staphylococcal. Impetiginisasi sekunder terjadi 8% kasus. Infeksi berkepanjangan
glomerulonephritis pasca streptococcus telah dilaporkan. Meskipun diketahui
dengan baik larva tidak dapat menembus membran basalis kulit, penyakit visceral
jarang dilaporkan. Larva telah ditemukan di sputum, ditemukan pada viscera
sebagai hostnya pada manusia dan juga ditemukan dalam otot skelet. Respon host
pada infeksi telah jarang terjadi yaitu eritema multiform5

2.7 PROGNOSIS

2.7.1 SKABIES

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat


pengobatan dan menghilangkan factor predisposisi, antara lain hygiene, serta
semua orang yang berkontak erat dengan pasien harus diobati, maka penyakit ini
dapat diberantas dan prognosis baik1

2.7.2 CUTANEUS LARVA MIGRAN

Cutaneus larva migran mengancam kehidupan, umumnya sembuh dengan


terapi antihelmintes albendazole atau tiabendazol.

25
BAB 3

KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Skabies
ditandai gatal malam hari (priuritus nocturnal), mengenai kelompok orang dengan
predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat dan lembap, terdapat terowongan dan
ditemukan Sarcoptes scabiei. Untuk penegakan diagnosis, dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan dikonfirmasi dengan penunjang.
Pada umumnya, ditegakan berdasarkan ditemukan dua dari empat cardinal sign.
Cara penularan bisa kontak langsung dan kontak tidak langsung. Dengan
memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan
menghilangkan faktor predisposisi, antara lain hygien, serta semua orang yang
berkontak erat dengan pasien harus diobati, maka penyakit ini dapat diberantas
dan prognosis baik.

Cutaneus Larva Migrans atau creeping aruption adalah erupsi di kulit


berbentuk penjalaran serpiginosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap
invasi larva cacing tambang atau produknya. Cutaneus Larva Migrans diperoleh
dari kontak langsung antara kulit dengan tanah yang terkontaminasi. Penyebab
utama CLM adalah larva yang berasal dari cacing tambang yang hidup di usus
anjing dan kucing yaitu Ancylostoma caninum dan Ancylostoma braziliense.
Antara gejala klinis CLM , rasa gatal dan panas, timbulnya papul bentuk yang
khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelokmenimbul dengan diameter
2-3 mm, serta panjang 15-20 cm dan berwarna kemerahan. Untuk tatalaksana,
tiabendazol (mintezol) dengan dosis 25-50mg/kg/bb diberikan berturut-turut
selama 2-5 hari ternyata efektif. CLM tidak mengancam nyawa, umumnya
sembuh dengan terapi antihelmintes albendazole atau tiabendazol.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Anwar IA, Sakka Z, Harfiah. Penyakit skabies. Makassar. Bagian kulit dan
kelamin FK UNHAS; 2012.
3. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology, 2nd Ed. Spain:
Elsevier. Inc. 2008
4. Klaus Wolff, etc. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Eight
Edition Volume 2. McGraw Hill. 2012.
5. Maxfield,L. & Crane,J.S., 2018. Larva Migrans Cutaneus, pp.1-3
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507706/#_article-32767_s11_
6. Michigan Department of Community Health. Scabies Prevention and
Control Manual Version 1.0. May 2005
7. Nareswari S. Cutaneus Larva Migrans yang Disebabkan Cacing Tambang.
Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. 2015
8. Novita,S. & Buhari, B., 2018. Cutaneus Larva Migran. Cermin dunia
kedokteran , 45(3), pp.211-212.
9. Syahputri, S.A.H. & Nurdian, Y., 2017. Cutaneous Larva Migrans
Merupakan Masalah Dermatologis yang Sering Terjadi di Daerah Tropis
dan Subtropi, https://www.researchgate.net/publication/321770536
10. Tarigan, C.V.R., Subchan, P., Widodo, A.,2018. Pengaruh Higiene
Perorangan Terhadap Prevalensi Terjadinya Scabies di Pondok Pesantren
Mtaholiul Huda Al Kautsar Kabupaten Pati.JKD Vol.7, No. 1, 2018.,P 114
11. Tony Burns and StephenBreathnach. Rook’s textbook of Dermatology 8th
edition volume 2. UK: Wiley-Blackwell; 2010

12. Park JH, Kim CW, Kim SS. Scabies: The Diagnosis Accuracy of
Dermoscopy for Scabies. Ann Dermatology. 2012; 24: p. 194-99

27

Anda mungkin juga menyukai