Anda di halaman 1dari 24

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

REFERAT

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

PENYUSUN:
Wahyu Fajar Hidayatullah,S.Ked J510215008
Nailena Widya Rahmawati, S.Ked J510215030
Henandwita Fadilla Pravitasari, S. Ked J510215070
Annisa Maulidia, S. Ked J510215083
Ilham Fahrudin, S. Ked J510215114
 
PEMBIMBING:
dr.Aliyah Himawati R, Sp. KJ
BAB I
PENDAHULUAN

 Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat
komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM
adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran.
Morbiditas dan mortalitas pada SNM akibat dari komplikasi kardio pulmo dan
ginjal (Khan, 2011).
 resiko efek samping penggunaan antipsikotik seperti sedasi dan inhibisi (rasa
mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan
kognitif menurun), gangguan endokrin (amenorhea, gynaecomastia), metabolic
(jaundice), otonom (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik : mulut kering,
kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intreokuler
yang tinggi, gangguan irama jantung), gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,
akathisia, sindrome parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas), dan sindrom
neuroleptik maligna
TUJUAN
 untuk menanbah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis khususnya mengenai
Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis. Serta
lebih khususnya mengenai “Neuroleptic Maligna Syndrome”.
 Judul refrat ini dipilih karena SNM masih berpotensi mengancam kehidupan jiwa.
Dibutuhkan kecurigaan klinis yang tinggi untuk diagnosis dan pengobatan SNM. SNM
lebih sering dianggap sindrom daripada benar-benar diagnosis, dan ini menggarisbawahi
keharusan untuk meningkatkan kesadaran diagnosis dan manajemen reaksi obat secara
serius.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFIINISI

Sindrom neuroleptik maligna berasal dari istilah “syndrome malin des neuroleptiques”.
Istilah tersebut pertama kali dipakai oleh Delay dan Deniker pada tahun 1968 untuk
mendeskripsikan suatu kondisi neurovegetative state berupa hipertermia, abnormalitas
status mental dan psikomotor akibat komplikasi penggunaan obat neuroleptic.

Sindrom neuroleptik maligna (SNM) adalah kegawatan neurologis gangguan gerak


(movement disorder)yang berpotensi mengancam nyawa akibat komplikasi penggunaan
obat-obatan neuroleptik.1 Sindrom neuroleptik maligna merupakan kasus emergensi
karena onset akut dan tingkat severity berat.
EPIDEMIOLOGI

• Frekuensi kejadian SNM akibat penggunaan obat neuroleptik berimbang antara laki-
laki dan perempuan. Angka kematian bisa mencapai 10% - 20% atau  bahkan lebih
tinggi ketika obat antipsikotik depot terlibat. Prevalensi sindrom diperkirakan 0,02%
- 2,4% pada pasien yang menggunakan obat golongan Dopamin antagonis.

• Insidensi kejadian SNM dilaporkan cenderung meningkat seiring dengan


bertambahnya populasi psikotik dan penggunaan obat neuroleptik. Angka insidensi
SNM dilaporkan berkisar antara 0,5-3,0% pada penggunaan obat neuroleptik. Angka
mortalitas SNM dilaporkan berkisar antara 4-30%.
ETIOLOGI

• Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk antipsikotik  potensi
rendah, antipsikotik potensi tinggi dan antipsikotik atipikal. SNM sering pada pasien
dengan pengobatan haloperidol dan chlorpromazine Dapat terjadi setiap saat pada
pasien selama menggunakan obat golongan Dopamin antagonis.
• SNM telah dikaitkan dengan antagonis dopamin, penghentian tiba-tiba obat
antiparkinson dan jarang penghentian mendadak dari antipsikotik. Hal ini
menunjukkan bahwa fluktuasi mengikat dopamin mungkin penting dalam etiologi.
• Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama antipsikotik potensi tinggi),
antipsikosik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan antipsikotik injeksi
long acting.
• Faktor lain adalah penggunaan antipsikotik yang tidak konsisten dan  penggunaaan
obat psikotropik lainnya, terutama lithium dan terapi kejang listrik.
Faktor Risiko

Kejadian SNM dapat dicetuskan akibat:

• Penggunaan awal terapi obat neuroleptik dosis tinggi

• Peningkatan titrasi dosis obat yang cepat

• Pemberian secara parenteral

• Penggantian obat neuroleptik dengan potensi kekuatan obat yang lebih tinggi

• Penggunaan obat long-acting neuroleptik.


Obat yang dapat mencetuskan kejadian SNM adalah obat neuroleptik (tipikal dan atipikal),
antagonis dopamin, antidepresan trisiklik, monoamin oksidase inhibitor, benzodiazepin,
antikonvulsan serta obat dopaminergik yang dihentikan mendadak pada pasien Parkinson.
Patofisiologi

Obat neuroleptik bekerja pada reseptor dopamin. Pada jaringan otak, dopamin mempunyai 4
jalur utama, yaitu:

• Jalur nigrostriatal

• Mesolimbik

• Mesokortikal

• Tuberoinfundibular
• Jalur nigrostriatal: substansia nigra - striatum atau ganglia basalis.

• Jalur ini berperan pada regulasi motorik.

• Defisiensi dopamine akan mengakibatkan gangguan gerak seperti parkinsonisme yang ditandai
dengan tremor, rigiditas dan akinesia.

• Mesolimbik: area ventral tegmental (AVT) - nukleus akumbens.

• Berperan pada motivasi, emosi, interaksi sosial, dan gejala positif pada skizofrenia.
Mesokortikal: AVT - korteks prefrontal, dan terbagi menjadi dua, yaitu:

• Dorsolateral korteks prefrontal

• Ventromedial korteks prefrontal

Berperan pada kognisi, fungsi eksekusi, emosi dan afek.

Tuberoinfundibular: hipotalamus ke hipofise anterior.

Gangguan pada jalur ini dapat mengakibatkan peningkatan sekresi prolaktin yang akan
menyebabkan galaktorea, amenorea, dan disfungsi seksual.
Patofisiologi SNM sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti. Sebagian besar pakar
setuju bahwa penurunan bermakna dari aktivitas dopaminergik sentral yang
diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin D2 pada jalur nigrostriatal,
tuberoinfundibular, dan mesolimbik/kortikal membantu menerangkan gambaran
klinis SNM termasuk rigiditas, hipertermia, dan perubahan status mental.
GAMBARAN KLNIS

• Hipertermia (≥ 38℃)
• Rigiditas otot
• Perubahan status mental
• Takikardi
• Hipertensi atau hipotensi
• Takipnea atau hipoksia
• Diaforesis atau sialorrhea
• Tremor
• Inkontinensia
• Peningkatan kadar creatine phosphokinase (CPK) atau mioglobinuria
• Lekositosis
• Asidosis metabolik
• Eksklusi kelainan akibat induksi obat lain, sistemik atau neuropsikiat
Menurut levenson (1985), dibutuhkan 3 gejala mayor atau 2 gejala mayor dengan 4 gejala
minor.

Gejala mayor
Hipertimia 38,5℃
Rigiditas
Peningkatan enzim CK
Gejala minor
Abnormalitas tekanan darah,
Takikardia
Takipneu
Perubahan kesadaran
Diaforesis
leukositosis
Sedangkan menurut DSM-IV (2000), terdapat beberapa kriteria diagnosis SNM, yaitu:
1. Terjadinya rigiditas otot dan peningkatan suhu tubuh yang berkaitan dengan penggunaan obat
neuroeleptik
2. Dua atau lebih gejala berikut:
Diaforesis,
Tekanan darah yang meningkat atau tidak stabil,
Takikardia,
Inkontinensia,
Disfagia,
Mutisme,
Tremor,
Perubahan status mental, dari bingung hingga koma,
Leukositosis,
Bukti laboratorik berupa lesi otot (peningkatan enzim CK)
3. Gejala pada kriteria A dan B buka disebabkan karena zat lain, kondiis medik, atau neurologik lain
4. Gejala pada kriteria A dan B bukan disebabkan karena gangguan mental. Penegakan diagnosis SNM
dengan menggunakan kriteri DSM-IV membutuhkan 2 dari kriteria A dan setidaknya 2 dari kriteria B
DIAGNOSIS BANDING

• Heat stroke
Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan hipotensi.

• Letal kataton
Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik. Neuroleptik
dapatmemperbaiki atau memperburuk gejalanya. Membedakan SNM dan letal katatonsulit,
meskipun riwayat pasien menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak meminum
neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodormalsedangkan SNM
dimulai dengan rigiditas.

• Sindrom serotonin
Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan
menggaliriwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanyarigiditas
berat (Sholevar, 2002)
Tatalaksana
1. Hentikan agen penyebab

2. Perawatan suportif

• Menjaga stabilitas kardiorespirasi.

• Pertahankan status euvolemik menggunakan cairan intravena.

• Turunkan demam.

• Menurunkan tekanan darah jika sangat tinggi.

• Menggunakan heparin atau heparin molekul rendah

• Menggunakan benzodiazepin jika perlu.


3. Terapi farmakologi

• Lorazepam 1 sampai 2 mg IM atau IV setiap 4-6 jam. Atau diazepam 10 mg IV


setiap 8 jam.

• Dantrolene 1-2,5 mg/kg IV dapat diulang sampai dosis maksimum 10 mg/kg/ hari.

• Bromocriptine 2,5 mg (melalui selang nasogastrik) setiap 6-8 jam dititrasi hingga
dosis maksimum 40 mg / hari.

• Amantadine 100 mg secara oral dititrasi hingga 200 mg setiap 12 jam.

• Obat lain seperti levodopa, apomorphine, karbamazepin, bupropion, dan


benzodiazepin (lorazepam atau klonazepam).

4. Terapi ECT
Komplikasi

1. Dehidrasi 8. Tromboflebitis vena dalam

2. Ketidakseimbangan elektrolit 9. Trombositopenia

3. Gagal ginjal akut berhubungan dengan 10. Koagulasi intravaskular diseminata

rhabdomyolysis 11. Trombosis vena dalam

4. Aritmia jantung 12. Kejang karena hipertermia dan

5. Infark miokard gangguan metabolism

6. Kardiomiopati 13. Kegagalan hati

7. Kegagalan pernapasan 14. Sepsis


Prognosis

• Tingkat kematian akibat NMS lebih dari 30%, tetapi terjadi penurunan hingga mendekati 10%.

• Ketika NMS dapat dikenali lebih awal dan ditangani secara agresif mayoritas akan sembuh total antara
2 dan 14 hari.

• Jika diagnosis dan pengobatan ditunda, proses penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa minggu atau
lebih, dan pasien yang dapat bertahan memiliki gejala sisa berupa katatonia atau parkinsonisme, atau
morbiditas signifikan sekunder akibat komplikasi ginjal atau kardiopulmoner.

• Kematian biasanya disebabkan oleh aritmia, DIC, atau gagal jantung, pernapasan, atau ginjal.
BAB III
SIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) merupakan sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius
akibat penggunaan obat anti psikotik. Pengenalan dan diagnosis awal adalah kunci keberhasilan
penanganan SNM. Onset awal SNM ditandai rigiditas otot, hipertermia, disfungsi otonom, gejala
ekstrapiramidal dan perubahan status mental. Kriteria diagnosis berdasarkan konsensus
Internasional telah disepakati bersama sebagai standar diagnosis SNM. Tatalaksana awal yang paling
penting dalam penanganan sindroma ini adalah dengan menghentikan pemberian obat antipsikotik
yang dicurigai sebagai penyebab munculnya gejala pada sindroma ini dan dilanjutkan dengan terapi
suportif. Setelah itu dilakukan pemberian terapi farmakologis. Morbiditas pada sindroma ini
merupakan akibat sekunder oleh karena komplilkasi yang ditimbulkan seperti aspirasi pulmoner,
DIC, dan kegagalan multiorgan. Pengenalan awal mengenai tanda dan gejala serta penanganan awal
yang tepat oleh klinisi serta perawatan fase kritis yang lebih baik telah menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas Sindrom Neuroleptik Maligna secara signifikan dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA

• Sadock, Benjamin J., and Virginia A. Sadock. Kaplan and Sadock's synopsis of psychiatry: Behavioral
sciences/clinical psychiatry. lippincott williams & wilkins, 2011.
• Zun, Leslie S., Lara G. Chepenik, and Mary Nan S. Mallory, eds. Behavioral emergencies for the
emergency physician. Cambridge University Press, 2013.
• Berman, Brian D. "Neuroleptic malignant syndrome: a review for neurohospitalists." The
Neurohospitalist 1.1 (2011): 41-47.
• Seitz, Dallas P., and Sudeep S. Gill. "Neuroleptic malignant syndrome complicating antipsychotic
treatment of delirium or agitation in medical and surgical patients: case reports and a review of the
literature." Psychosomatics 50.1 (2009): 8-15. Tersedia dari : http://psy.psychiatryonline.org
• Kembuan, M. 2016. “Sidroma neuroleptik maligna patofisiologi, diagnosis, dan terapi”. Jurnal
Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 2, Juli 2016, hlm. 125-133. Samratulangi. Jurnal Biomedik.
• Benzer, T, I. Neuroleptic malignant syndrome (2020): 1-21. Tersedia dari: http://emidicine.com
• David M. Gardner, Michael D. Teehan. Antipsychotic and Their Side Effect. Cambridge Medicine.
2011.
• Indera., Nuradyo D., Subagya. 2018. Sindrom neuroleptik maligna aspek diagnosis dan
penatalaksanaan. Berkala Neurosains, Vol. 17, No 3, Oktober 2018. Yogyakarta. Berkala
Neurosains.
• America Psychiatry Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoder,
Fourht Edition (DSM-IV). Washington DC; 1994.
• Stewart A. Factor, DO, Anthony E. Lang, M.D, William J. Weiner, M.D. Drug Induced
Movement Disorders, 2nd edition. 2005 by Blackwell Publishing.
• Eclo FM Wijdicks, M.D, Michael JA, M.D, Janet L, M.D. Neuroleptic Malignat
Syndrome. 20013. Tersedia dari : http://www.update.com/content/neuroleptic.
• Tse L, Barr AM, Scarapicchia V, et al. Neuroleptic Malignant Syndrome: A Review from
a Clinical Oriented Perspective. Current Neuropharmacology. 2015; 13.
• Perry PJ & Wilborn CA. Serotonin Syndrome vs Neuroleptic Malignant Syndrome: A
Contrast of Causes, Diagnoses, and Management . Annals of Clinical Psychiatry. 2012;
24(2).
• Berman BD. Neuroleptic Malignant Syndrome: A Review for Neurohospitalists. The
Neurohospitalist. 2011; 1(1)

Anda mungkin juga menyukai