Anda di halaman 1dari 30

TRAUMA THORAKS

A. Definisi dan Epideimologi

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini
memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma merupakan
penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma
merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun,
trauma merupakan penyebab kematian utama.
Trauma toraks kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya
berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan.
Cedera toraks sering disertai dengan cedera perut, kepala dan ekstrimitas sehingga
merupakan cedera majemuk.
Setiap tahun di Amerika Serikat, lebih dari 300.000 pasien dirawat dan 25.000
diantaranya meninggal sebagai akibat langsung dari trauma toraks. Trauma toraks
terhitung 25% dari seluruh kematian karena trauma, dan terutama trauma toraks
merupakan sebuah faktor dari 50% kecelakaan lalu lintas yang berakibat fatal. Trauma
toraks yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
adalah trauma tumpul toraks (90%), biasanya sebagai akibat dari kecelakaan sepeda
motor. Insiden trauma tembus seimbang atau lebih sedikit, dan banyak luka tembus pada
dada dapat ditanggulangi dengan tube thoracostomy saja.

Mekanisme Trauma

Trauma tumpul toraks dapat mempengaruhi komponen dinding toraks dan rongga
toraks. Trauma ini dapat mencederai tulang (iga, klavikula, skapula dan sternum), paru
dan pleura, trakeobronkial, esofagus, jantung, pembuluh darah besar toraks, dan
diafragma.
B. Peranan Radiologi Pada Kasus Trauma Toraks

Tujuan pemeriksaan radiologis :


1. Mencari adanya fraktur tulang-tulang dinding dada
2. Mencari adanya benda asing (luka tembak)
3. Mencari adanya kelainan pada mediastinum
4. Mencari adanya hematotoraks, pneumotoraks

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain :


1. Radiografi konvensional
Radiografi dipakai sebagai dasar untuk mencari fraktur, pneumotoraks,
hematotoraks, benda asing, dan melihat kelainan diafragma sinus. Radiografi toraks
merupakan hal penting dalam trauma toraks, hanya dalam kasus yang bisa mengancam
nyawa, radiografi toraks bisa ditunda. Penilaian sistematis dari radiografi dapat
menemukan kelainan yang terlihat dan yang tidak terlihat secara klinis. Tulang-tulang
toraks, yaitu tulang iga, klavikula, skapula dan vertebra dapat dinilai apakah terjadi
fraktur atau tidak, terutama untuk tulang iga harus lebih diperhatikan.
Dengan kata lain, radiografi konvensional tetap menjadi modalitas diagnostik
utama untuk semua pasien trauma toraks. Ini memberikan diagnosis yang tepat untuk
sebagian besar trauma yang mengancam jiwa yang melibatkan dinding dada, pleura,
paru-paru, mediastinum dan diafragma. Radiografi polos harus digunakan sebagai
pemeriksaan skrining awal pada pasien yang telah berkelanjutan trauma toraks.
2. USG
USG digunakan untuk melihat adanya efusi pleura. Ultrasonografi sangat
berguna, yang merupakan teknik yang sederhana dalam diagnosis cedera diafragma.
Ultrasonografi juga digunakan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami luka tusuk
daerah torakoabdominal, yang digunakan untuk melukiskan subkutan dan lapisan fasia,
untuk mengidentifikasi saluran luka, dan untuk mendeteksi luka yang mengenai
peritoneum atau pleura parietalis.7
3. CT Scan
Computed tomography adalah modalitas pilihan untuk penilaian cepat gawat
darurat dada, meskipun dada x-ray (CXR) tetap merupakan modalitas skrining awal.
CT Scan digunakan untuk melihat adanya pneumotoraks yang tersembunyi, adanya
benda asing, atau adanya dugaan cedera pada pembuluh darah (aorta). Pada keadaan ini
digunakan media kontras.
CT scan dapat menunjukkan cedera pada paru-paru, pleura, mediastinum, dan
cedera dinding dada lebih baik daripada radiografi. Sekitar 90% pasien tidak
mengalami cedera aorta, tetapi banyak hal serius lainnya, cedera yang tak terduga dapat
diidentifikasi pada scan dada CT, dan dengan frekuensi yang lebih besar. Banyak luka
dada serius mungkin diabaikan pada Radiografi toraks awal; ini termasuk
tracheobronchial tears, ruptur diafragma, esophageal tears, cedera tulang belakang
dada, cedera dinding dada dan sabuk pengaman, kontusio paru, cedera jantung,
pneumotoraks, hemotoraks, dan komplikasi yang terkait dengan rongga dada.
4. MRI
MRI biasanya disediakan untuk mengevaluasi pasien stabil dengan CT scan yang
hasilnya samar-samar atau nondiagnostic. MRI juga merupakan alat yang sangat baik
dalam diagnosis cedera vaskular pada pasien stabil.
5. Aortografi
Aortografi merupakan salah satu kriteria standar untuk mendiagnosis suatu cedera
terhadap aorta pada kasus trauma toraks. Namun, dengan generasi baru CT scan yang
memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitaslebih dari 99% maka pemakaian aortografi
pada pasien trauma dapat dikurangi.

C. Jenis-Jenis Trauma Toraks


Pendekatan trauma toraks dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu trauma
intraparenkim dan ekstraparenkim. Trauma ekstraparenkim dibagi berdasarkan
metode ABC, yaitu:

Trauma Ekstraparenkim
1. Trauma Intraparenkim
Kontusio paru dapat menyebabkan edema dan menumpuknya darah di ruang
alveolar serta hilangnya struktur dan fungsi paru-paru yang normal. Cedera
tumpul paru yang berkembang selama 24 jam, menyebabkan gangguan
pertukaran gas dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Dalam hal ini
dapat terjadi pula, reaksi inflamasi yang signifikan pada paru-paru, dan 50-60%
dari pasien dengan kontusio paru yang signifikan akan berkembang menjadi
Respiratory Distress Syndrome bilateral akut (ARDS).
Protrusi atau herniasi paru dapat terjadi melalui trauma yang disebabkan
melemahnya atau robeknya dari servikal, interkostal, dan fasia diafragma Lobar
atelektasis atau kolaps bisa terjadi akibat obstruksi benda asing, aspirasi, atau
ruptur bronkial. Setiap lobus dapat terlibat, dan tanda-tanda klasik radiografi
toraks telah dijelaskan untuk kolaps lobus atas dan tengah (tanda “juxtaphrenic
peak” atau “Katten”) , lobus atas kiri (tanda luftsichel) , lobus bawah kiri (tanda
“flat waist”, “ivory heart” , dan lobus kanan bawah (tanda segitiga superior).
a. Gambaran Klinis
Kontusio paru jarang didiagnosis pada pemeriksaan fisik. Mekanisme
cedera mungkin mengarahkan pada trauma tumpul dada, dan mungkin
ada tanda-tanda jelas trauma dinding dada seperti memar, patah tulang
rusuk atau  flail chest.  Hal ini dapat menunjukkan adanya kontusio
paru yang mendasari. Sekitar 50% pasien dengan kontusio paru
mengalami hemoptisis. Kontusio ini dapat terjadi dengan atau tanpa
fraktur iga.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan radiologi tampak bayangan bercak di paru.
Opasifikasi abnormal  parenkim paru pada pasien trauma dapat
sebagai hasil dari atelektasis, aspirasi, edema, pneumonia, trauma
paru-paru (kontusio dan laserasi) dan biasanya etiologinya
multifaktorial. Kontusio paru-paru (lung bruis) dapat berakibat pada
kebocoran darah dan edema cairan ke dalam interstisial dan ruang
alveolar. Laserasi paru-paru merupakan trauma yang lebih berat
yang mengakibatkan gangguan arsitektur paru-paru.
Gambar: Laserasi Paru.
A. Radiografi toraks posisi AP supinasi seorang laki-laki usia 16 tahun yang
mengalami trauma toraks, terlihat bayangan opak pada paru kanan dan
beberapa iga yang patah.
B. Radiografi toraks yang dibuat 4 hari kemudian, terlihat beberapa bayangan
lusen berbentuk bulat dengan bayangan opak pada paru kanan yang
menunjukkan laserasi paru dan perkembangan pneumatocele.

Gambar: Radiografi toraks pada seorang laki-laki dengan trauma toraks


tumpul terlihat perdarahan pada lobus atas paru kiri, dan emfisema. Pasien
dengan hemoptisis setelah cedera.
Gambar: Radiografi seorang laki-laki usia 64 tahun dengan kecelakaan motor,
terlihat herniasi paru ke kiri (tanda bintang).

Gambar: Pasien 36 tahun dengan riwayat penyakit paru interstitial dan kolaps
paru lobus kiri atas. Radiografi menunjukkan tenting bagian ipsilateral (tanda
panah).
CT lebih sensitif daripada radiografi untuk menunjukkan kontusio dan
laserasi. Pada keduanya, Radiografi toraks dan CT, kontusio paru-paru
diperlihatkan sebagai areas of airspace opacity, ground-glass opacification,
atau keduanya, yang mana mengarah kepada nonsegmental perifer, dan
geografis dalam distribusi. Kontusio paru-paru terisolasi pada dewasa muda,
pasien yang sehat tidak berhubungan dengan peningkatan angka kematian.
Kontusio terbukti pada temuan atau dalam 6 jam setelah trauma, dan hilang
sendiri, biasanya tanpa sekuele yang permanen, dalam 5 sampai 7 hari.
Radiografi atau CT scan mendiagnosis laserasi paru-paru didasarkan
pada temuan penumpukan udara yang terlokalisasi dalam sebuah daerah ruang
udara opak pada daerah trauma toraks. Keduanya, kontusio dan laserasi,
mengarahkan kepada terjadinya gangguan terhadap struktur-struktur padat ,
seperti kosta dan korpus vertebra.
c. Tatalaksana
Kebanyakan memar tidak memerlukan terapi spesifik. Namun kontusio
yang luas dapat mempengaruhi pertukaran gas dan mengakibatkan
hipoksemia. Sebagai dampak fisiologis, kontusio cenderung
berkembang selama 24-48 jam, diperlukan pemantauan secara ketat
dan oksigen tambahan harus diberikan. Pengelolaan cedera tumpul
dada karena termasuk analgesia yang memadai dan tepat. Intubasi
trakea dan ventilasi mekanis mungkin diperlukan jika ada kesulitan
dalam oksigenasi atau ventilasi.

2. Trauma Ekstraparenkim
a. Trauma Aorta
Sampai dengan 15% dari semua kematian akibat kecelakaan
kendaraan bermotor adalah karena cedera aorta torakalis. Banyak
dari pasien ini meninggal di TKP akibat transeksi aorta lengkap.
Pasien yang bertahan hidup yang diantar ke instalasi gawat darurat
biasanya memiliki cedera dinding aorta yang kecil atau parsial
dengan formasi  pseudoaneurysm.
Ruptur traumatik dari aorta sendiri terhitung sebanyak 16% dari
kecelakaan kendaraan bermotor yang berakibat fatal, dan 85-90%
dari pasien dengan ruptur aorta traumatik meninggal sebelum
mendapatkan pertolongan medis. Dalam seri klinisnya, 90% ruptur
aorta traumatik terjadi pada ismus aorta, tepat di sebelah distal
pangkal arteri subklavia kiri. Sebagian kecil trauma aorta (1-3%)
melibatkan aorta desenden, khususnya setingkat diafragma. 4
Mekanisme lain untuk cedera aorta adalah kompresi antara sternum
dan tulang belakang, dan peningkatan mendadak tekanan intra-
lumen aorta pada saat dampak.
a. Gambaran Klinis
Tanda-tanda klinis dari cedera aorta traumatis jarang ditemukan,
dan diagnosis didasarkan pada indeks kecurigaan yang tinggi
berdasarkan mekanisme cedera, dan hasil studi pencitraan.10
b. Pemeriksaan Radiologis
Tanda-tanda Radiografi toraks dari trauma aorta memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang kecil. Tanda-tanda radiografi
yang paling sensitif (tetapi tidak spesifik) adalah pelebaran
mediastinum (> 8 cm)dan kehilangan definisi dari arkus aorta.
Radiografi toraks yang normal memiliki nilai prediksi negatif
tinggi (98%) tetapi nilai prediksi positif yang rendah untuk trauma
aorta.

Gambar: Wanita 43 tahun dengan cedera trauma aorta. Radiografi toraks


menunjukkan pergeseran intraluminal dari kalsifikasi intima aorta (ring
sign) (tanda bintang).

Gambar: Laserasi aorta A.Pelebaran mediastinum non spesifik B. Aortogram


menunjukkan laserasi pada ismus aorta.
c. Tatalaksana
Atasi perdarahan tetap menjadi prioritas utama. Operasi perbaikan aorta
dilakukan atas indikasi sebagai berikut:
1. Ketidakstabilan hemodinamik
2. Besar volume perdarahan dari tabung dada
3. Adanya ekstravasasi kontras pada CT atau hematoma mediastinum
yang berkembang pesat
4. Luka tembus aorta

3. Trauma Trakeo-bronkial (Bronchial Tree I njury)


Insiden trauma trakheobronkhial (ITT) dilaporkan sebesar 0,4% sampai 1,5%
dalam serial klinis trauma tumpul mayor. Trauma tumpul yang berat dapat
menyebabkan ruptur jalan napas, dan trauma pada struktur-struktur lain seperti
kerangka toraks, paru-paru, dan pembuluk darah besar sepertinya. Ketika trakea
intratorasis atau bronkus terluka, aorta adalah yang paling sering dihubungkan
dengan struktur yang terluka. Lebih dari 80% ITT terjadi pada jarak 2,5 cm dari
karina.
Ruptur trakea servikal dapat terjadi sebagai sebuah “clothesline injury” ketika
leher tertarik pada kecepatan yang tinggi yang berkontak dengan tali, kawat, atau
kabel oleh individu yang sedang mengendarai berbagai jenis kendaraan
rekreasi atau sedang berlari. Laserasi trakea bisa juga terjadi pada kecelakaan
kendaraan bermotor ketika leher pengendara menghantam puncak dari roda stir,
kompresi jalan napas yang melawan vertebra. Kerusakan trakea dan
bronkus akan menyebabkan pneumomediastinum dan emfisema subkutis
yang luas.
Pneumomediastinum merupakan suatu tanda yang lebih spesifik ITT dari
pada pneumotoraks, karena pneumotoraks biasanya terlihat bersama fraktur iga.
Pneumotoraks terlihat dalam 60% sampai 100% kasus ITT, akan tetapi hal ini
mungkin tidak dijumpai jika outer adventitial sleeve dari sisa bronkus
intak dan tidak ada kebocoran udara. Pada banyak kasus, pneumotoraks akan
respon terhadap penempatan thorax tube, sehingga reekspansi paru-paru tidak
meniadakan trauma trakheobronkhial. Akan tetapi, sebuah pneumotoraks yang
tidak hilang dengan memfungsikan drainase tube merupakan sinus qua non trauma
jalan napas mediastinum.
a. Pemeriksaan Radiologis
Sebuah indikasi dari robekan trakea adalah elevasi tulang hyoid ke atas
level C3, yang dapat terlihat pada radiografi lateral dari vertebra servikal. Hal
ini terjadi sebagai akibat dari trauma otot-otot infrahyoid, yang
menyebabkan elevasi yang searah dari tulang hyoid oleh perototan
suprahyoid. Tanda lain dari transeksi trakea adalah overdistensi akut dari cuff
pipa endotrakea (ETT), secara langsung dimana ini menambah diameter
normal trakea. Pada ruptur trakea, balon bisa mendekati ujung ETT sebagai
hasil dari ekspansi distal dari balon pada robekan, dengan herniasi parsial
balon ke dalam robekan seperti tube yang berpindah ke dalam jalan napas
atau direposisi kembali.
Tanda klasik cedera trakeobronkial jarang terlihat. Tanda “double wall
sign” menunjukkan ruptur dari trakea atau bronkus utama dengan gas
intramural pada jalan napas proximal. Tanda“ fallen lung sign” jarang
terlihat namun sangat menyokong tanda robekan bronkial yang bisa terlihat
pada Radiografi toraks dan CT. Tanda ini mengarah kepada paru-paru yang
jatuh secara lateral dan posterior pada posisi supinasi dan jatuh secara
inferior menjauh dari hilus pada posisi atas kanan. Normalnya dengan sebuah
pneumotoraks, pergerakan paru ke dalam ke arah hilus.

Gambar: Pasien 14 tahun yang tertabrak sebuah mobil. Pneumotoraks kanan besar dengan
udara jaringan lunak sisi kanan dan pneumomediastinum. Paru jatuh menjauh dari hillus.
Gambar: Trakeal tear. Radiografi toraks posisi supinasi AP pada wanita muda
yang menglami kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan overdistensi balon
endotrakeal tube pada sisi dimana terjadi herniasi balon melalui trakeal tear.

b. Tatalaksana
Tatalaksananya berupa torakotomi dan penutupan kerusakan trakea
atau bronkus. Harus diperhatikan pemberian anesthesia yang baik
karena dapat menyebabkan pneumotoraks yang bertambah berat akibat
udara dari alat ventilator yang tidak masuk ke alveolus, atau dari pipa
endotrakea yang keluar dari jalan nafas melalui tempat yang rusak.

3. Trauma Tulang Toraks (Cord I njury, Fracture)


Cedera iga, klavikula, scapula, sternum, dan tulang belakang bisa terjadi bahkan
oleh trauma tumpul. Fraktur tulang belakang toraks terjadi sekitar 16%-30% dari
keseluruhan cedera tulang belakang dan dapat menyebabkan gangguan neurologi
yang berat pada hampir 60% pasien.
a. Gambaran Klinis
Diagnosis patah tulang ditentukan berdasarkan gejala dan tanda nyeri local.
Nyerinya berupa nyeri lokal dan kompresi kiri-kanan, muka-belakang, dan
nyeri pada gerak nafas. Jika terjadi patah tulang iga multiple, biasanya dinding
toraks tetap stabil. Akan tetapi, bila beberapa iga mengalami patah tulang pada
dua tempat, suatu segmen dinding dada akan terlepas dari kesatuannya.
b. Pemeriksaan Radiologis
Radiografi tulang belakang torakal dilakukan untuk menilai tulang belakang
torakal, namun akan lebih optimal jika ditambah dengan foto frontal dan lateral
dari dada, ataupun ditambah dengan CT Scan. Tujuh puluh persen hingga 90%
fraktur tulang belakang dapat dilihat dengan radiografi konvensional. Yang dinilai
adalah disrupsi korteks, ukuran vertebra yang abnormal, bentuk, densitas, dan
lokasi. CT dan MRI mungkin dapat memberikan gambaran komplikasi dari
fraktur dan hanya dilakukan untuk menilai integritas dari spinal cord dan ligamen
intervertebra. CT dan MRI berguna untuk membedakan brust fracture yang stabil
dan yang tak stabil, dan perluasan fraktur kompresi anterior.

Gambar: Cedera tulang belakang. Wanita 29 tahun, dua minggu setelah cedera
sampai punggung. Radiografi toraks memperlihatkan penyempitan celah sendi
(tanda panah) dan opasitas paraspinal luas (tanda bintang).

Fraktur iga atas, klavikula, dan sternum bagian atas biasanya diikuti
cedera pleksus brakial dan vaskular pada 3%-15% pasien. Fraktur iga bisa
mengakibatkan laserasi pada pleura dan paru, yang dapat menyebabkan
hematoma, hemotoraks, ataupun pneumotoraks. Fraktur lima iga atau lebih pada
iga yang terpisah atau lebih dari tiga iga yang berdekatan (satu iga fraktur di dua
tempat atau lebih) bisa menyebabkan gangguan gerakan paradoksal yang akan
menyebabkan gangguan mekanis lalu menyebabkan atelektasis dan infeksi
paru.
Fraktur sternum, terjadi pada 8% trauma toraks, dapat menyebabkan kontusio
jantung dan sering tidak memberikan gejala klinis yang jelas pada awalnya.
Fraktur jenis ini tidak tidak dapat dilihat pada foto toraks PA, foto lateral
lebih jelas biasanya, namun biasanya lebih tampak lagi dengan CT Scan. Fraktur
sternum yang sering terjadi dengan hematoma retrosternal, sekitar 58%-80%
angka kejadian.

Gambar: Pria 25 tahun kecelakan kendaraan. Radiografi toraks lateral menunjukan


fraktur dan displacement sternum (tanda panah).

Gambar: Fraktur iga. Pria 30 tahun kecelakaan motor. Radiografi toraks menujukan
fraktur sebelah kiri pada segmen posterior setidaknya pada 7 tulang iga (tanda
panah), yang menimbulkan flail chest.

Dislokasi ke posterior dari klavikula bisa menyebabkan cedera pembuluh darah yang
berat, nervus mediastinum atas, trakea, dan esofagus. Fraktur skapula didiagnosis
berdasarkan foto toraks inisial pada setengah pasien. Ketika fraktur skapula tidak
terlihat pada foto toraks inisial, mungkin fraktur terjadi pada bagin retrospektif pada
725 kasus, tidak termasuk dalam pengobatan (19%), kasus foto yang kabur akibat
superimposed structure atau artefak (9%). CT paru, khususnya digunakan secara
kombinasi dengan radiografi konvensional, pada banyak kasus fraktur skapula.
Fraktur skapula biasanya menyebabkan sedikit komplikasi pada pasien.

Gambar: Wanita 41 tahun cedera kecelakaan bermotor. Radiogradi toraks frontal


menunjukkan fraktur skapula (tanda panah kecil) dan fraktur klavikula multipel
(tanda panah panjang).

c. Tatalaksana
Fraktur iga tunggal atau multipel dengan gerak dada yang masih memadai dan
teratur ditangani dengan pemberian analgetik atau anestetik. Nyeri harus dihilangkan
untuk menjamin pernafasan yang baik atau mencegah pneumonia akibat gerak nafas
tidak memadai dan terganggunya batuk karena nyeri. Jika pemberian analgetik tidak
menghilangkan nyeri, harus dilakukan anestesi blok interkostal yang meliputi
segmen kaudal dan kranial iga yang patah. Karena tulang iga pendarahannya baik,
penyembuhan dan penyatuan tulang biasanya berlangsung cepat dan tanpa halangan
atau penyulit.
d. Penyulit
Penyulit patah tulang iga adalah pneumonia, pneumotoraks dan hemotoraks.
Pneumonia disebabkan oleh gangguan gerak nafas dan gangguan batuk. Bila
penderita tidak dapat batuk untuk membersihkan parunya, mudah
terjadi bronkopneumonia. Penanganannya terdiri dari pemberian anestesi sempurna,
antibiotik yang memadai, ekspektoran dan fisioterapi. Pneumotoraks dan
hemotoraks terjadi karena tusukan patahan tulang iga pada pleura parietalis dan atau
pleura viseralis. Luka pleura parietalis dapat mengakibatkan hemotoraks dan atau
pneumotoraks. Iga I atau II jarang patah karena iga ini letaknya agak terlindung.
Apalagi tulang tersebut metupakan tulang pendek, lebar dan kuat. Patahnya kedua
iga ini harus dipandang berbahaya karena pasti penderita mengalami cedera yang
hebat. Oleh karena itu, harus dicari cedera lain yang lebih penting yang mungkin
tidak nyata, seperti cedera jantung atau aorta.

4. Ruptur Diafragma (Diaphragmatic Rupture)

Ruptur diafragma paling banyak disebabkan oleh trauma tumpul


(74%) dan trauma penetrasi (hernia). Ruptur akut diafragma terjadi
pada 1-7 % pasien dengan trauma tumpul yang hebat, dan kesalahan
diagnosis pada pemeriksaan awal terjadi lebih dari 66%. Hernia
karena trauma tumpul kebanyakan terjadi di bagian tendineus kiri
karena di sebelah kanan dilindungi oleh hati. Visera seperti
lambung dapat masuk ke dalam rongga toraks segera setelah
trauma, atau berangsur-angsur dalam waktu berbulan-bulan atau
bertahun-tahun.

a. Gambaran Klinis

Hernia karena trauma tumpul mungkin tidak menimbulkan gejala


atau tanda. Bergantung pada banyaknya visera yang masuk ke dalam
rongga toraks, dapat timbul gejala dan tanda obstruksi.

b. Pemeriksaan Radiologis

Tujuh puluh lima hingga 95% pasien dengan ruptur akut diafragma
memiliki gambaran radiografi toraks yang abnormal, namun hanya
17 hingga 40 % yang ditemukan pada radiografi. Hal yang didapat
pada gambaran radiografi ruptur termasuk gambaran diafragma
normal, pneumotoraks, perpindahan tempat dari isi perut, seperti
hati, limpa, kolon ataupun sedikit traktus urinarius ke dalam
toraks, perpindahan tempat dari NGT di dalam gaster, pleura efusi,
basilar opacity yang menyebabkan gambaran yang tidak biasa pada
diafragma, gambaran elevasi dari diafragma, kontur diafragma yang
tidak teratur, fraktur tulang iga dan pergeseran mediastinum pada
kejadian pleura efusi ataupun pnemotoraks.

Gambar: Ruptur Diafragma. Radiografi toraks AP posisi supine pada wanita berusia


24 tahun yang mengalami kecelakaan kendaraan. Terlihat herniasi dari isi perut yang
mengembung melampaui diafragma kiri ke dalam hemitoraks kiri “collar sign”
(pada panah  putih dan hitam). Terlihat pergeseran mediastinum ke kanan, fraktur
iga kiri, dan opaksikasi dari paru kiri akibat cedera parenkim.

Gambar: Ruptur Diafragma. Foto toraks AP posisi supine pada kasus kecelakaan kendaraan.
Terlihat massa di hemitoraks bagian bawah kiri yang tak terlihat herniasi. Perpindahan
tempat dari NGT (panah), dan pergeseran mediastinum ke kanan.

c. Tatalaksana
Pada penderita dengan keluhan dan gangguan, diperlukan pembedahan untuk
reposisi visera dan menutup kembali diafragma. Pada keadaan darurat, mungkin
kelainan lain perlu dikerjakan segera, tetapi setelah itu sedapat mungkin rupture
diafragma harus ditutup juga.

5. Trauma Esofagus (Esophageal Injury)


Esophageal tears lebih sering terjadi pada pasien dengan trauma tembus dan
terjadi pada kurang dari 1% dari kasus trauma tumpul. Thoracic esophageal tears
disebabkan hampir secara eksklusif oleh luka tembak. Gangguan esofagus dapat
terjadi mulai dari penghancuran esofagus antara tulang belakang dan trakea,
traksi dari hiperekstensi, dan penetrasi langsung oleh fragmen fraktur tulang
belakang leher. Esophageal tears paling banyak terjadi di esofagus servikal dan
torakal atas, tetapi mereka juga mungkin terjadi tepat di atas persimpangan
gastroesofageal. Esofagus torakal terletak di kiri dari trakea di cekungan dada
tetapi bergerak ke kanan saat melewati posterior lengkung aorta pada tingkat
karina. Esofagus menyilang kembali ke kiri karena memasuki perut. Dengan
demikian, ruptur esofagus bagian tengah sampai ke distal biasanya disertai
dengan efusi pleura sisi kanan, dan efusi yang disebabkan oleh ruptur di
persimpangan gastroesofageal terjadi lebih sering di sebelah kiri.

Gambar: Trauma esofagus. Wanita 34 tahun dengan hernia hiatal. Radiografi


toraks menunjukkan opasitas retrokardia (tanda panah).

6. Manifestasi Pleura Pada Trauma Toraks (Gas)


Pneumotoraks terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga dada dan dunia
luar. Hubungan ini mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura
parietalis atau melalui luka di jalan nafas yang sampai ke pleura viseralis. Jika
luka penyebab tetap terbuka, paru akan menguncup karena jaringan paru bersifat
elastik dan karena tak ada tekanan negatif yang menyedotnya.
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura dimana masuknya udara
didalam rongga pleura dapat dibedakan menjadi :
a. Pneumotoraks spontan timbul sobekan subpleura dan bulla sehingga udara
saluran pernafasan masuk ke dalam rongga pleura melalui suatu lobang robekan
atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan menyebabkan suatu
keadaan yang kronis. Penyebab lain adalah suatu trauma tertutup pada dinding
dan fistula bronkopleural akibat neoplasma dan inflamasi.
b. Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka
tusuk atau pneumotoraks artifisial dengan tujuan terapi dalam hal pengecilan
kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan lagi. Tujuan pneumotoraks
sengaja lainnya adalah untuk diagnostik membedakan massa apakah berasal dari
pleura atau jaringan paru. Penyebab lain adalah akibat tindakan biopsi paru
dan pengeluaran cairan pleura.
c. Masuknya udara yang melalui mediastinum yang biasanya disebabkan oleh
trauma pada trakea dan esofagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat
(endoskopi) atau benda asing tajam yang tertelan. Keganasan dalam mediastinum
dapat pula mengakibatkan udara dalam rongga pleura melalui fistula antara
saluran nafas proksimal dan rongga pleura.
d. Udara berasal dari subdiafragma dengan adanya robekan lambung akibat suatu
trauma atau abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.

1. Gambaran Klinis
Pasien akan merasa nyeri dan sesak nafas, pada pemeriksaan fisik mungkin dada
tampak asimetris, fremitus menurun sampai hilang, perkusi timpani, dan suara
nafas menurun atau hilang. Dapat timbul sianosis, takipnea dan tanda hipoksia
yang lainnya.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pneumotoraks terlihat pada Radiografi toraks pada hampir 40% pasien dengan
trauma tumpul dada dan pada sampai dengan 20% dari pasien dengan luka
penetrasi dada. Udara pleura akan naik ke bagian yang paling nondependen toraks
pada apeks pada pasien tegak dan pada aspek kaudal anterior ruang pleura pada
pasien terlentang.
Tanda-tanda radiografi pneumotoraks pada pasien telentang meliputi (a) tanda
sulkus dalam, yang merupakan, lusen sulkus kostofrenikus; (b) peningkatan
relatif dalam lusensi di basal paru-paru yang terkena, dan (c) tanda diafragma
ganda, yang dibentuk oleh permukaan antara bagian ventral dan dorsal dari
pneumotoraks dengan aspek anterior dan posterior hemidiafragma tersebut.

Gambar: Tension Pneumothorax. CT jauh lebih sensitif untuk mendiagnosis


pneumotoraks pada pasien terlentang daripada radiografi toraks dan mengidentifikasi
pneumotoraks yang tidak dapat dilihat pada radiografi konvensional telentang dalam 10%-
50% dari pasien yang telah menderita trauma tumpul pada dada.

Gambar: Pneumomediastinum. Wanita 30 tahun dengan pneumomediastinum.


Radiografi toraks menunjukkan udara di mediastinum yang menjalar di bagian tengah
diafragma (continuous hemidiaphragm sign) (panah).
Gambar: Pneumomediastinum. Pria berusia 25 tahun dengan pneumomediastinum.
Radiografi toraks lateral menunjukkan udara di mediastinum yang menjalar ke
hemidiafragma kiri (continuous left hemidiaphragm sign) (panah).

c. Tatalaksana
Terapinya adalah pemasangan penyalir sekat air. Jika terjadi mekanisme katup
pada luka di dinding toraks atau luka di pleura viseralis, timbul pneumotoraks
desak. Tekanan di dalam rongga pleura akan semakin tinggi karena penderita
memaksaan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam, tetapi ketika ekspirasi
udara tidak dapat keluar (mekanisme katup). Dengan pungsi darurat rongga
toraks berupa tusukan sederhana dengan jarum di ruang antar iga II, penderita
dapat diselamatkan.

7. Trauma Jantung (Heart)


Trauma jantung dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam yang umumnya
trauma tusuk. Keduanya dapat mengakibatkan memar otot jantung, perdarahan
ventrikel dan tamponade perikard. Trauma jantung dapat pula menyebabkan
infark miokard atau defek sekat serambi dan bilik jantung. Trauma tajam
umumnya lebih banyak melukai bilik jantung kanan karena letaknya didepan. Ini
memerlukan tindakan bedah segera. Trauma ini sering disebabkan tusukkan
langsung atau oleh patahan iga, maka keadaan ini perlu diperhatikan pada trauma
toraks yang menyebabkan patah tulang rusuk.
a. Manifestasi Klinis
Tamponade perikard selalu ditandai dengan trias Beck yaitu, hipotensi, suara
jantung menjauh, bendungan vena di leher juga disertai sesak nafas dan
pulsus paradoksus.
b. Pemeriksaan Radiologis
Jantung dan perikardium cukup baik dilindungi dari cedera nonpenetrating, dan
catatan mengenai cedera traumatis jarang. Radiografi toraks memainkan peran
yang relatif kecil dalam evaluasi cedera miokard. Keunggulan radiografi toraks
adalah dalam mendeteksi cedera yang berhubungan, seperti patah tulang rusuk,
patah tulang sternum, dan luka memar parut.

Gambar: Pria berusia 24 tahun mengalami kecelakaan. Radiografi toraks menunjukkan


pergeseran ke kiri dari bayangan jantung (tanda bintang).

Gambar: Pneumoperikardium. Radiografi toraks posisi AP pada pasien yang mengalami


kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan udara di sekitar jantung (P). Pneumotoraks,
opasifikasi parenkim bilateral dan emfisema subkutan bilateral.

c. Tatalaksana
Torakotomi eksploratif yang segera dilakukan sering dapat menolong jiwa
penderita. Trauma tumpul yang merusak sebagian dinding jantung dapat
mengakibatkan gagal jantung permanen. Pertolongan pertama yang diperlukan
adalah pungsi perikard dan penyaliran isi rongga perikard dan membuat
jendela perikard.

8. Trauma Jaringan Lunak Dinding Dada


Dinding dada memiliki banyak jaringan pembuluh darah berasal dari arteri
interkostal dan mammary internal . Patah tulang rusuk dapat mencederai arteri
atau vena interkostal, otot interkostal, atau mengakibatkan perdarahan dari
permukaan tulang. Selain itu, cabang-cabang dari arteri toraks lateral yang
memasok otot-otot dada dan beranastomosis dengan pembuluh dinding dada
dapat terkoyak dan berdarah. Sejumlah besar darah dapat menumpuk dalam
subkutan atau ruang ekstrapleural dada, terutama pada orang tua karena
kelemahan kulit dan jaringan subkutan.

Gambar: Wanita 31 tahun dengan trauma toraks anterior. Radiografi toraks menunjukkan
radiodense opacity (tanda bintang) pada dinding toraks kanan atas.

Gambar: Broncho-pleural-cutaneous fistula. Radiografi toraks seorang pria berusia 29


tahun, yang mengalami kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan fraktur iga kanan yang
mengakibatkan flail chest, opasifikasi pleura akibat hemotoraks, opasifikasi paru kanan
akibat cedera parenkim, sekumpulan udara yang terperangkap dalam jaringan lunak dinding
dada kanan.

TRAUMA ABDOMEN
A. Definisi Trauma Abdomen

Trauma Abdomen merupakan luka pada isi rongga perut yang


dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut
dimana pada penanganan lebih bersifat kedaruratan sehingga
terkadang diperlukan tindakan laparotomi.Biasanya dapat
menyebabkan perubahan fisiologi, sehingga terjadi gangguan
metabolisme, gangguan imunologi, dan gangguan faal
berbagai organ.

B. Etiologi dan Klasifikasi

a. Trauma penetrasi (trauma perut dengan penetrasi ke


dalam rongga peritonium): trauma tembak, trauma tusuk

b. Trauma non-penetrasi/trauma tumpul (trauma perut


tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium: kompresi,
hancur akibat kecelakaan, sabuk pengaman, cedera
akselerasi

Perlukaan organ intraabdomen dapat dibagi menjadi:

1. Perlukaan organ padat, seperti hati, limpa, pankreas dan


ginjal

2. Perlukaan organ berongga seperi lambung, jejunum, kolon,


buli-buli

Perlukaan organ-organ ini dapat terjadi melalui beberapa


mekanisme:
1. Benturan langsung

Misalnya hepar atau limpa yang menerima benturan


langsung sehingga terjadi ruptur atau laserasi, tergantung
besarnya gaya yang diterima organ ini.

2. Cedera akselerasi-deselerasi

Cedara ini timbul akiba pada saat penderita telah berhenti


melaju namun organ intra abdomen masih melaju, sehingga
terjadi robekan pada penggantungnya. Misalnya saja
robekan pada mesenterium, robekan pada pedikel limpa.

3. Efek kantong kertas (paper bag effect)

Efek ini timbul jika kedua ujung organ berongga dalam


kondisi tertutup dan mendapat tekanan dari luar sehingga
tekanan didalam mengalami peningkatan secara mendadak
yang jika melibihi kekuatan dinding akan terjadi robekan.
Efek kantong kertas ini hanya terjadi pada organ usus atau
paru.

4. Perlukaan akibat memakai sabuk pengaman (seat belt)

Sabuk pengaman yang baik adalah tipe “lap-shoulder belt”


yang jika dipakai dengan benar yakni komponen panggul
dari sabuk ini berada tepat di depan tulang panggul bukan
di depan perut. Meskipun begitu perlukaan masih dapat
terjadi akni:

a. Patah tulang selangka

b. Patah tulang iga

c. Perlukaan orga intra-bdomen

C. Patofisiologi
a. Peningkatan tekanan inta-abdomen yang mendadak,
memeberikan tekanan untuk merusak organ padat
seperti hepar dan limpa, atau ruptur dari organ berongga
seperti usus

b. “Shearing forces” secara klasik dimulai dengan


deselerasi secara cepat pada kecelakaan lalu lintas, hal
ini dapat merobek pedikel vasculer seperti mesenterium,
porta hepatis dan hilus limpa

c. “compression injury” organ viscera terperangkap antara


dua kekuatan yang datang didinding anterior abdomen
atau daerah thoraks dengan tulang lumbal (kolumna
vertebralis)

D. Kriteria Trauma Abdomen

a. Hemodinamik tidak stabil

b. Syok hipovolemik dengan penyebab tak diketahui

c. Trauma thoraks berat

d. Trauma pelvik

e. Gangguan kesadaran

f. Base defisit yang jelas

g. Hematuria

h. Tanda-tanda objektif abdomen (nyeri tekan, defans


muskular)

i. Mekanismenya terjadi trauma berat

E. Kriteria Trauma Abdomen

a. Abdomen yang makin distensi


b. Kenaikan tekanan intra-abdomen

c. Rangsang peritoneal

d. Udara bebas

F. Radiologi

a. Foto polos abdomen

Teknik radiografi yang optimal penting pada kecurigaan


perforasi abdomen. Paling tidak diambil dua radiografi, meliputi
radiografi abdomen posisi supine dan foto dada posisi erect atau
left lateral dekubitus. Udara bebas walaupun dalam jumlah yang
sedikit dapat terdeteksi pada foto polos. Pasien tetap berada pada
posisi tersebut selama 5-10 menit sebelum foto diambil.

Pada foto polos abdomen atau foto dada posisi tegeak,


terdapat gambaran udara (radiolusen) berupa daerah berbentuk
bulan sabit (semilunar shadow) diantara diafragma kanan dan
hepar atau diafragma kiri dan lien. Juga bisa tampak area lusen
bentuk oval (perihepatik) di anterior hepar. Pada posisi lateral
dekubitus kiri, didaptkan radiolusen antara batas lateral kanan
dari hepar dan permukaan peritoneum. Pada posisi lateral
dekubitus kanan, tampak triangular sign seperti segitiga yang
kecil-kecil dan berjumlah banyak karena pada posisi miring
udara cenderung bergerak ke atas sehingga udara mengisi ruang-
ruang diantara incisura dan dinding abdomen lateral. Pada
proyeksi abdomen supine, berbagai gambran radiologi dapat
terlihat yang meliputi falciform ligament sign dan riglers sign.

Proyeksi yang paling bauk adalah lateral dekubitus kiri


dimana udara bebas dapat terlihat antara batas lateral kanan dan
kiri dari hati dan permukaan peritoneum dan dapat dihgunakan
untuk setiap pasien yang snagat sakit.

Tanda peritoneum pada foto polos diklasifikasikan menjadi


pneumoperitoneum kecil dan pneumoperitoneum dalam jumlah
besar yang berkaita dengan lebih dari 1000 ml udara bebas.
Gambaran pneumoperitoneum dengan udara dalam jumlah besar
antara lain:

1. Footbal sign, yang biasanya menggambarkan


pengumpulan udara di dalam kantung dalam jumlah besar
sehingga udara tampak membungkus seluruh kavum
abdomen, mengelilingi ligamen falsiformis sehingga
memberi jejak seperti bola sepak.

2. Gas-relief sign, rigler sign, dan double wall sign yang


memvisualisasikan dinding terluar lingkaran usus
disebabkan udara di luar lingkaran usus dan udara normal
intralumen

3. Urachus merupakan refleksi peritoneal vestigial yang


baisanya tidak terlihat pada foto polos abdomen. Urachus
memiliki opasitas yang sama denga struktur jaringan
lunak intraabdomen lainnya, tapi ketika terjadi
penumoperitoneum, udara tampak melapisi urachus.
Urachus tampak seperti garis tipis linier di tengah bagain
bawah abdomen yang berjalan dari kubah vesika urinaria
ke arah kepala. Dasar urachus tampak sedikit lebih tebal
daripada apeks.

4. Ligamen umbilical lateral yang mengandung pembulu


dara epigastrik inferior dapat terlihat sebagai huruf V
terbalik di daerah pelvis sebagai akibat
pneumoperitoneumdalam jumalah banyak.

5. Telltale triangle sign menggambarkan daerah segitiga


udara diantara 2 lingkaran usus dengan dinding abdomen

6. Udara skrotal dapat terlihat akibat ekstensi intraskrotal


peritoneal (melalaui prosesus vaginalis yang paten)

7. Udara di dalam sakus lesser daapt terlihat, terutama jika


peerforasi dinding posterior abdomen

8. Tanda obstruksi usus besar parsial dengan perforasi


divertikulum sigmoid dapat terajdi yang berkaitan dengan
tanda pneumoperitoneum

Udara bebas intraperitoneal tidak terlihat pada sekitar 20-30%


yang lebih disebabkan karena standarisasi yang rendah dan
teknik yang tidak adekuat. Foto polos abdomen menjadi
pencitraan utama pada akut abdomen, termasuk pada perfrasi
viskus abdomen. Udara sesedikit 1 ml dapat dideteksi denga foto
polos, baik foto torak posisi berdiri atau foto abdomen posisi left
lateral dekubitus.

Tidak jarang, pasien dengan akut abdomen dan dicurigai


mengalami perforasi tidak menunjukkan udara bebas pada foto
polos abdomen. Diagnosis banding baisanya
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, DeJong W. Trauma dan Bencana. Dalam Buku Ajar


Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.h 90-9

2. Sjamsuhidajat R, DeJong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah. Jakarta;Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003. h406-13

3. Snell, Richard S. Thorax. Dalam Anatomi Klinik. Jakarta; Penerbit


Buku Kedokteran EGC. 2002. h48-146

4. Collins, Jannette and Eric J. Stern. Chest Trauma. In Chest Radiology.


2nd Edition. Washington; Lippincott Williams & Wilkins. 2008

5. Mancini, MC. Blunt Chest Trauma. 2012. Diakses


melalui http://emedicine.medscape.com/article/428723-
overview#showall tanggal 09 Mei 2014.

6. Ghazali, Rusdi. Kasus Cito. Dalam Radiologi Diagnostik .


Yogyakarta; Pustaka Cendekia Press. 2008. h.130-31

7. Khan, Nawas Ali. Thoracic Trauma Imaging.


2013. Diakses melalui
http://emedicine.medscape.com/article/357007- overview#showall

8. Costantino M, Gosselin MV, Primack SL. The ABC’s of Thoracic


Trauma Imaging. Seminar in Roentgenology in doi:10.1053/j.ro.2006.05.005:
209-225

9. Ho ML, Gutierrez. FR. Chest Radiography in Thoracic Polytrauma.


American Journal of Roentgenology. 2009;192: 599-612

10. Trauma.org. Chest Trauma – Pneumothorax Tension. 2004. Diakses


melalui http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html

11. Mettler, FA. Trauma. In Essential of Radiology. 2nd Edition.


Philladelphia; Saunders. 2005

12. Sjamsuhidajat R, DeJong W. Esofagus dan Diafragma. Dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003. h.513-8

13. Rasad, Sjahriar. Pneumotoraks. dalam Radiologi Diagnotik Edisi Kedua.


Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.1995. h.119-20

14. Price, Sylvia Anderson dkk. Gangguan Sistem Pernafasan. Dalam


Patofisiologi. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2005. h.800-1

15. Sjamsuhidajat R, DeJong W. Jantung, Pembuluh Darah dan Limf.


Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003;
h447-8

16. Sciuchetti, Jennifer Francesca et.al. Spontaneous Esophageal Perforation


Presenting as Pneumothorax. In The Internet Journal of Thoracic and
Cardiovascular Surgery. Diakses melalui
http://www.ispub.com/journal/the_internet_Journal_of_Thoracic_and_Cardio

17. Brooks, Adam et.al. Ultrasound for Bony Trauma. In Ultrasound in


Emergency Care. UK; Blackwell Publishing. 2004. h.96-100

18. Hopkins, Richard et.al. Chest Trauma. In


Greenwich Medical Media. London;Greenwich Medical
Media.2003:126-36

Anda mungkin juga menyukai