Anda di halaman 1dari 29

1

Laporan Kasus Kelompok

Anestesi pada Pasien Preeklampsia Berat dengan Edema Paru

Disusun Oleh:
Achsanul Kubri
Taufik Sofistiawan
Tuko Gustari Lisa

Pembimbing
dr. Vera Muharrami, M.ked (An), Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2015

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul“Anestesi pada PEB dengan Edema
Paru”.
Laporan kasus ini disusun sebagai sarana untuk memahami Anestesi pada PEB
dengan edema paru, meningkatkan kemampuan menulis ilmiah dibidang kedokteran
khususnya di Bagian Anestesiologi dan memenuhi salah satu persyaratan kelulusan
Kepaniteraan Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Riau-Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Vera Muharrami,
M.Ked(An), Sp.An. selaku pembimbing serta pihak yang telah membantu penulis dalam
menyusun tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan masih
banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat diharapkan
penulis dari dokter pembimbing serta rekan-rekan Koassisten demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini membawa manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Juli 2015

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
trias gejala klinis berupa peningkatan tekanan darah, edema pada ekstremitas bawah, dan
proteinuria. Tingkat kejadian preeklamsia untuk tiap negara berbeda-beda karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti jumlah gravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan kriteria
dalam penentuan diagnosis dan lain sebagainya.1

Preekalmsia terbagi menjadi dua golongan yaitu ringan dan berat. Preeklamsia berat
dibagi menjadi preeklamsia berat dengan dan tanpa impending eclampsia yang dapat
dibedakan dari gejala klinisnya seperti muntah, sakit kepala dan nyeri epigastrium. Salah satu
komplikasi yang dapat terjadi adalah edema paru yang menyebabkan pasien merasakan sesak
nafas dan rasa tidak nyaman di dada. Penanganan tindak lanjut pada pasien dengan PEB yang
disertai komplikasi dapat dilakukan pembedahan dengan berbagai pertimbangan pemilihan
anestesi dengan syarat telah dilakukan stabiliasasi kondisi pasien secara umum di ruang
emergensi.2,3

1.2. Batasan masalah


Laporan kasus ini membahas tentang preeklampsia, etiologi, patofisiologi, preeklamsia
dengan edema paru ,penatalaksanaan preeklampsia, jenis anestesi serta pembahasan kasus.

1.3. Tujuan penulisan


Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini:
1. Memahami dan mampu mendiagnosis preeklampsia.
2. Memahami penatalaksanaanpasien preeklampsia. perioperatif care pada pasien
preeklamsia
3. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di bagian
Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif.
1.4 Metode penulisan
Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
kepada beberapa literatur serta pembahasan kasus.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Preeklampsia


Preeklamsia/eklamsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh
kehamilan. Definisi preeklamsia adalah hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat
timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik. Preeklamsia merupakan suatu
sindrom spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-organ akibat vasospasme
dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda yang penting dari preeklamsia.1,2
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa :
 Muntah-muntah
 Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
 Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau
sakit karena perubahan pada lambung.

B. Klasifikasi Preeklamsia3
Pembagian preeklamsia sendiri dibagi dalam golongan ringan dan
berat. Berikut ini adalah penggolongannya
1) Preeklamsia ringan
Dikatakan preeklamsia ringan bila :
a) Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg
b) Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
c) Tidak disertai gangguan fungsi organ
2) Preeklamsia berat
Dikatakan preeklamsia berat bila :
a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
b) Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan kuantitatif. Bisa
disertai dengan :

5
a) Oliguria (urine ≤ 500 mL/24jam)
b) Keluhan serebral, gangguan penglihatan
c) Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerah epigastrium
d) Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
e) Edema pulmonum, sianosis
f) Gangguan perkembangan intrauterine
g) Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
3) Jika terjadi tanda-tanda preeklamsia yang lebih berat dan disertai dengan adanya kejang,
maka dapat digolongkan ke dalam eklamsia

C. Etiologi Preeklampsia1
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Banyak teori
dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang memuaskan.Sedikitnya
terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia hingga saat ini, yaitu:

1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap arteri spirali sehingga
menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi
iskemia plasenta.Implantasi plasenta pada kehamilan normal dan PE Implantasi plasenta
normal yang memperlihatkan proliferasi trofoblas ekstravilus membentuk satu kolom di
bawah vilus penambat. Trofoblas ekstravilus menginvasi desidua dan berjalan sepanjang
bagian dalam arteriol spiralis. Hal ini menyebabkan endotel dan dinding pembuluh
vaskular diganti diikuti oleh pembesaran pembuluh darah.

2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).

3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh sel-sel
sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh peningkatan pelepasan
sitokin, enzim proteolitik dan radikal bebas.

4. Genetik.

Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta. Namun, banyak
faktor yang menyebabkan preeklampsia dan di antara faktor-faktor yang ditemukan tersebut
seringkali sukar ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.

6
D.     Patofisiologi Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis
pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan
iskemia.3 Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon
terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat
menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal
dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus
dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium
dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan
volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan
pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan
trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.4

Perubahan pada organ-organ :2


1) Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara
iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel
disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.

2) Metabolisme air dan elektrolit


Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada penderita
preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau penderita dengan
hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna
air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun,
sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan
protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium,
natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.

3) Mata

7
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu dapat
terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan merupakan salah satu
indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala lain yang menunjukan tanda
preklamsia berat yang mengarah pada eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia,
dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat
penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina.2

4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.2

5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta,
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat
janin. Pada preeklampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan
kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi partus prematur. 2

6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh edema paru
yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena terjadinya aspirasi
pneumonia, atau abses paru.2

E. Preeklamsia Berat dengan Edema Paru 5


Pathogenesis edema paru pada preeclampsia berat
 Disfungsi endotel ditandai peningkatan kadar sVCAM-1, vWF dan fibrin monomer
sebagai petanda aktivasi koagulasi
 Peningkatan permeabilitas kapiler akibat timbulnya mediator inflamasi (tromboksan
dan endothelin)
 Ketidakseimbangan “Starling Force” akibat hipertensi dan hemodilusi, menyebabkan:
o Peningkatan tekanan vena pulmonalis
o Penurunan tekanan onkotik plasma
o Peningkatan negativitas tekanan interstisial
 Akibat hal tersebut menyebabkan tertumpuknya cairan pada ruang interstisial paru-
paru akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler menyebabkan edema paru

8
Gejala dan tanda
1) Sesak nafas
2) Rasa tidak nyaman di dada
3) Takipnea
4) Takikardi
5) Batuk-batuk
6) Sianosis
7) Ronkhi basah basal

F. Penatalaksanaan Preeklampsia
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman

Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:


 Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
 Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada
umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
1. Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa
2. Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.

 Penanganan awal di Puskesmas


Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip
pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan
fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB
atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20
% 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 %

9
2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara
pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas
dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan
bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tetes per menit.
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah
diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan
tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

 Penanganan di rumah sakit


Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan
terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
 Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg
atau MAP < 125

10
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian
cairan dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena.

G. Jenis Anestesi

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi
lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan
jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
dari masing-masing tindakannya tersebut.7

Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok perifer.
Spinal & anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi, obstetri dan anggota
tubuh bagian bawah operasi abdomen bagian bawah. Spinal anestesi, diperkenalkan oleh Bier
pada tahun 1898 dan merupakan teknik regional pertama utama dalam praktek klinis. Operasi
seksio sesaria memerlukan anestesi yang efektif yaitu regional (epidural atau tulang
belakang) atau anestesi umum. Dengan epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan
kedalam ruang di sekitar tulang belakang ibu, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat
anestesi disuntikkan sebagai dosis tunggal ke dalam tulang belakang ibu. Dengan dua jenis
anestesi regional ini ibu terjaga dalam proses persalinan, tetapi mati rasa dari pinggang
kebawah.7,8

Dengan anestesi umum, ibu tidak sadar dalam proses persalinan dan obat anestesi
yang digunakan dapat mempengaruhi seluruh tubuhnya serta bayi yang akan dilahirkan.
Resiko utama yang berhubungan dengan anestesi umum adalah permasalahan pada jalan
nafas. Resiko yang signifikan terjadi adalah aspirasi dari isi saluran pencernaan dan hanya 30

11
ml dari cairan aspirasi tersebut yang menyebabkan sindroma Mendelson. Intubasi menjadi
lebih sulit dibandingkan dari pada pasien-pasien yang tidak hamil, terutama pada ibu yang
gemuk. Permasalahan lainnya adalah leher pendek dan oedem laring.7,8

Saat ini, dokter anestesi dan dokter kandungan percaya bahwa neuraxial anestesi lebih
aman daripada anestesi umum karena rendahnya angka morbiditas ibu dan risiko kematian
terkait dengan masalah jalan napas yang sulit. Neuraxial anestesi termasuk spinal anestesi,
epidural anestesi, dan kombinasi spinal-epidural anestesi. Prosedur ini dilakukan dengan
sterilisasi dan identifikasi anatomi terlebih dahulu. Pendekatan untuk mencapai ruang
subarachnoid dilakukan dengan cara median ataupun paramedian. Epidural anestesi adalah
sebuah teknik yang lebih sulit, tapi menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan
spinal anestesi dalam hal durasi. Potensi kelanjutan dari analgesia pasca operasi dengan
narkotika atau obat bius lokal telah secara dramatis meningkatkan popularitas anestesi
epidural. Keuntungan dari spinal anestesi dibandingkan dengan anestesi epidural adalah
kecepatan onsetnya. Kerugian spinal anestesi adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-
muntah intrapartum, kemungkinan adanya post spinal headache, serta lama kerja obat
anestesi terbatas.7,8

Komplikasi yang paling umum ditemui dengan anestesi spinal adalah hipotensi, yang
disebabkan blokade sistem saraf simpatik. Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler sistemik
dan perifer terjadi penurunan cardiac output. Dalam beberapa kasus, efek kardiovaskular
dapat bermanifestasi sebagai hipotensi mendalam & bradikardia. Hipotensi merupakan
masalah yang serius yang terjadi dalam spinal anestesi pada operasi seksio sesaria, dengan
insiden yang dilaporkan dari literatur hampir di atas 83%. Selama 25 tahun, pergeseran uterus
ke kiri dengan manipulasi mengganjal panggul dan pengisian cairan sebelum dilakukannya
spinal anestesi merupakan beberapa cara untuk mencegah terjadinya hipotensi.9

Karena spinal anestesi mempunyai keuntungan-keuntungan untuk seksio caesarea,


berbagai usaha dilakukan untuk mencegah hipotensi maternal. Dicoba dengan pemberian
1000-1500 ml Ringer laktat 15-30 menit sebelum spinal anestesi. Bila diberikan larutan
dextrose untuk mengisi volume, beberapa peneliti melihat adanya hiperglikemia feotal,
asidosis dan ahkirnya neonatal hipoglikemia. Sebaliknya beberapa peneliti menganjurkan
pemberian sedikit dekrose (1% dekrose di dalam RL) untuk mempertahankan euglikemia.
Penggunaan sejumlah kecil koloid dikombinasikan dengan kristaloid tidak menunjukkan
hasil yang konsisten untuk menurunkan kejadian hipotensi maternal. Pada pasien-pasien yang
12
tidak hamil, pemberian ko-loading cairan lebih baik dalam mempertahankan cardiac output
setelah spinal anestesi. Banyak metode untuk mencegah hipotensi selama anestesi spinal
untuk section caesaria telah diteliti, namun tidak ada satu teknik yang telah terbukti efektif
dan dapat diandalkan.7-9

Ueyama dkk. (1999) menunjukkan bahwa cairan kristaloid "coload" (administrasi


cepat dari bolus cairan pada saat mulai injeksi intratekal) adalah lebih unggul dibandingkan
kristaloid preload konvensional (cairan diberikan sebelum injeksi intratekal) untuk mencegah
hipotensi. Manu dkk. (2008) menemukan ko-loading dengan 15 ml/kg BB ringer laktat lebih
efektif pemberiannya dibandingkan dengan pemberiannya sebagai preloading dalam hal
mencegah hipotensi. 11 Dahlgren dkk. (2005) melaporkan koloid preloading mengurangi
angka kejadian hipotensi dibandingkan dengan larutan Ringer. Teoh dkk. (2009) meneliti
bahwa 15ml/kg BB HES 130/0,4 yang digunakan sebagai preload secara signifikan
meningkatkan curah jantung 5 menit pertama setelah spinal anestesi pada seksio sesaria
dibandingkan sebagai ko-loading.9

H. Pemilihan anestesi

Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia tergantung dari berbagai faktor,
termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status medis dari pasien (adanya
koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan dilakukan secara bedah Caesar maka
pemilihan teknik anestesia di sini termasuk epidural, spinal, combine spinal-epidural dan
anestesia umum. Meskipun kemungkinan terjadinya hipotensi yang berat pada pasien
preeklampsia yang menjalani anestesia regional (terutama spinal anestesia), banyak data
yang mendukung pemilihan anestesia regional baik pada bedah Caesar yang berencana
ataupun darurat.7,8
Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan berhubungan
dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik dan pulmoner pada saat
induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia. Pada anestesia umum juga potensial
terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi endotrakeal yang disebabkan karena
adanya resiko edema faring laring. 7,8
Apapun teknik anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun persalinan
adalah terapi untuk preeklampsia, pada periode post partum perubahan kardiovaskular,
cardiac output dan status cairan harus tetap dimonitor. 7,8

13
Dalam pemilihan anestesi pada sectio caesaria dengan PEB harus dilihat berbagai
pertimbangan termasuk keadaan bayi yang akan lahir. Terdapat pengaruh pemilihan anestesi
yang dipilih terhadap apgar score bayi yang lahir. Dari penelitian yang dilakukan di RSUP
Dr. Kariadi didapatkan hasil Apgar score bayi yang lahir dari pasien sectio caesaria karena
preeklamsia berat pada kelompok anestesi spinal lebih tinggi daripada anestesi umum, namun
secara klinis berdasrakan apgar score dari kedua kelompok baik yang menggunakan anestesi
spinal atau anestesi umum adalah sama.10

I. Penanganan pra anestesia8

Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi pre anestesi
dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada preeklampsia/eklampsia dapat
dilakukan secara semi elektif atau darurat. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menentukan pilihan cara anestesinya. Pemeriksaan laboratorium meliputi
platelet, fibrinogen, PT/APTT, ureum, creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan
setiap 6-8 jam sampai dengan pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan
fungsi vital ibu, yaitu tekanan darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon, pelebaran
serviks, dan frekuensi kontraksi uterus.
Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur setiap 15 menit selam minimum 4 jam sampai
stabil dan seterusnya setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter urin dan urin output
diukur setiap jam disesuaikan dengan pemberian cairan. Monitoring preeklampsia/eklampsia
dapat mendeteksi dini kelainan irama jantung yang diduga penyebab edema paru yang
mengakibatkan kematian mendadak. Pada eklampsia penanganan pertama ditujukan pada
jalan nafas, pemberian oksigen, left uterine displacement dan penekanan cricotiroid Intubasi
dilakukan bila jalan nafas tidak dapat dipertahankan bebas, terjadi kejang yang lama atau
regurgitasi. Setelah tindakan pertama dilanjutkan dengan penanganan terhadap kejang dan
menurunkan tekanan darah. Kejang dapat diatasi dengan thiopental atau diazepam. Pilihan
obat anti kejang adalah obat yang tidak mengganggu neurologis. Pada preeklampsia kejang
dapat dicegah dengan pemberian magnesium sulfat. Stabilisasi, monitoring fungsi vital, dan
evaluasi gejala neurologis yang teratur dapat mengurangi penyulit yang mungkin terjadi pada
ibu akibat persalinan dan anestesia.
Pemberian cairan pada pasien dengan preeklampsia murni cenderung untuk
mempertahankan tekanan darahnya meskipun adanya blokade regional. Jika hal ini terjadi
maka loading cairan tidak mutlak dilakukan dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
14
cairan. Dengan demikian, loading cairan pada preeklampsia seharusnya tidak dilakukan
sebagai profilaksis atau secara rutin, namun harus selalu dipertimbangkan dan dilakukan
secara terkontrol.2 Hipotensi jika terjadi dapat dikontrol dengan pemberian efedrin. Pada
pasien preeklampsia kebutuhan cairan pada bedah Caesar harus dipertimbangkan dengan
hati-hati dan pemberian cairan lebih dari 500 ml, kecuali untuk menggantikan kehilangan
darah, semestinya dilakukan dengan hati-hati.

J. Tatalaksana anestesi

Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang obstetri sama, kecuali
pelaksanaan tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklampsia berat persalinan harus
dilakukan dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia persalinan harus terjadi dalam waktu 12
jam setelah timbul gejala eklampsia. Jika ada gawat janin atau dalam 12 jam tidak terjadi
persalinan dan janin masih ada tanda-tanda kehidupan harus dilakukan bedah Caesar.
Masalah koagulopati merupakan hal yang perlu dipertimbangkan sebelum tindakan operasi
pada pasien preeklampsia/eklampsia.
Bedah Caesar pada eklampsia merupakan tindakan darurat, anestesi umum merupakan
pilihan pertama kecuali bila pasien sudah terpasang kateter epidural. Waktu persiapan untuk
tindakan anestesi sangat pendek. Persiapan yang dilakukan untuk anestesi umum dan regional
tidak jauh berbeda pada pasien dengan kehamilan. Pencegahan aspirasi dengan
mengosongkan lambung, netralisasi asam lambung dan mengurangi produksi asam lambung
dilakukan sebelum tindakan anestesi dilakukan. Persiapan dimulai dari pemeriksaan jalan
nafas, ada tidaknya distress pernafasan, tekanan darah, kesadaran pasien dan pemeriksaan
darah. Edema dari jalan nafas yang mungkin terjadi pada pasien tersebut menyebabkan
kesulitan untuk intubasi. Intubasi sadar dapat dilakukan pada edema jalan nafas dan distress
yang mungkin disebabkan aspirasi pada saat kejang. Jalan nafas orotrakeal yang disediakan
lebih kecil dari ukuran wanita dewasa. Dengan pemberian anestesi topical yang baik, intubasi
sadar dapat dilakukan dengan baik. Dilakukan pemberian anestesi topical dengan lidokain
spray.
Tekanan darah pasien preeklampsia/ eklampsia diturunkan sedemikian rupa sehingga
tidak terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak. Penyulit saat intubasi yang
paling berbahaya adalah meningkatnya tekanan darah yang berakibat terjadinya edema paru
dan perdarahan otak. Pemberian obat anti hipertensi sangat diperlukan sebelum dilakukan
anestesi umum. Pada anestesi umum, pemberian lidokain 1,5 mg/kg BB secara intravena
15
dapat mengendalikan respons hemodinamik saat intubasi. Efek farmakologi enflurane yang
dianggap merugikan ginjal dan menurunkan nilai ambang terhadap kejang dan pengaruh
halotan terhadap hepar, menjadikan isoflurane sebagai pilihan pertama obat anesthesi
inhalasi. Pemakaian magnesium sulfat sebagai anti konvulsan dapat terjadi potensiasi dengan
obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi, sehingga pemberian suksinil kolin harus
dikurangi. Lambung dikosongkan secara aktif terlebih dahulu untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya aspirasi dan diberikan antasida.
Setelah dilakukan pemasangan infus dan disiapkan peralatan intubasi dengan ukuran
jalan nafas orotrakeal yang lebih kecil dari ukuran wanita normal, pasien ditidurkan left tilt
position 15 dan dilakukan preoksigenasi dengan O2 100%. Saat intubasi posisi head up 45
dan dilakukan maneuver Sellick. Induksi dapat dilakukan dengan lidokain 1,5 mg/kg BB,
thiopental 4 mg/kg BB, suksinil kolin 1 mg/kg BB yang kemudian dilanjutkan dengan
N2O/O2 50% dan isoflurane. Pembedahan Caesar tidak mutlak membutuhkan relaksasi dan
apabila diperlukan dapat dipikirkan pemberian atracurium. Setelah anak lahir pada pemberian
anestesi umum dan anestesi regional, oksitosin diberikan secara kontinyu, hal ini untuk
mengantisipasi akibat efek tokolitik dari magnesium.
Monitoring yang dilakukan selama anestesi diteruskan hingga pasca bedah.
Pemberian cairan pasca bedah harus memperhitungkan adanya mobilisasi cairan yang terjadi
mulai dalam 24 jam. Jika tidak terjadi diuresis yang memadai akibat belum kembalinya
fungsi ginjal kemungkinan dapat terjadi peningkatan cairan intravaskuler yang beresiko
terjadinya edema paru. Jumlah trombosit dan fungsinya akan kembali 4 hari setelah
persalinan. Kejang pasca bedah terjadi pada 27% pasien. Obat anti hipertensi masih
dibutuhkan selama pasca bedah. Pemberian cairan selama masa antenatal harus dilakukan
secara hati-hati untuk mencegah kelebihan cairan. Total cairan intravena harus dibatasi
sebanyak 1 ml/kg/jam

K. Monitoring post partum

Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan diursesis
spontan yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan. Total cairan intravena yang
diberikan 80 ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen. Pemberian cairan oral dapat
diberikan secara lebih bebas. Urin output harus dimonitor setiap jam dan tiap 4 jam
dijumlahkan dan dicatat. Jika total cairan yang masuk lebih dari 750 ml dari cairan yang
keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan furosemid 20 mg iv. Kemudian dapat diberikan
16
gelofusine jika sudah terjadi diuresis. Jika total cairan yang masuk kurang dari 750 ml dari
cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan 250 ml gelofusine. Jika urin output
masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.9
Terminasi kehamilan pada pre-eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar
memerlukan kerjasama dan komunikasi yang baik dari berbagai keahlian terkait agar dapat
tercapai hasil yang optimal. Diperlukan monitoring yang ketat serta terapi, tindakan dan
pilihan cara anestesi yang tepat, diawali sejak pra pembedahan sampai pasca bedah untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas. 9

17
BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. T


Umur : 30 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status : Menikah
Nomor RM : 895153
Tgl Operasi : 6 Juli 2015

II. Anamnesis

Keluhan Utama :
Sesak yang semakin memberat sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


 Pasien mengeluhkan sesak napas dan batuk yang semakin memberat sejak
seminggu SMRS. Keluhan dirasakan saat pasien bekerja dan berkurang
saat istirahat. Pasien lebih nyaman tidur dengan 2 bantal atau lebih. Karena
keluhannya pasien kontrol ke Puskesmas Tenayan Raya, oleh pihak
puskesmas pasien segera dirujuk ke RSUD Arifin Achmad karena PEB.
 Pasien mengaku hamil 8 bulan, HPHT 12-11-2014, TP : 19-08-2015,
pasien tengah hamil 33-34 minggu. Kontrol kehamilan teratur di
Puskesmas Tenayan Raya. Tidak pernah dilakukan USG, tidak ada
riwayan TD tinggi saat kontrol. Gerakan janin dirasakan aktif.

Riwayat Penyakit Dahulu:

18
 Hipertensi, diabetes mellitus, asma bronkhial, jantung, alergi dan gastritis
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama. Diabetes mellitus,
hipertensi, asma bronkial pada keluarga disangkal.

Riwayat Menstruasi :
 Menarche usia 13 tahun, siklus haid 30 hari dan teratur, setiap 1 bulan
sekali selama 5-7 hari, kuantitas dalam batas normal, nyeri (-)

Riwayat Pernikahan :
 Pasien menikah 1 x pada tahun 2008.

Riwayat Obstetri :
 G2P1A0H1
I : Tahun 2010, anak laki-laki, 2800 gram, lahir normal dibantu bidan
II : Hamil ini

Riwayat Sosial :
 Pasien ibu rumah tangga dan suami bekerja sebagai buruh di pabrik.

Riwayat Operasi
Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.

AMPLE

A : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan.

M : Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan.

P : Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-), Maag (-).

L : Pasien puasa 6 jam sebelum tindakan operasi.

E : Pasien mengalami sesak yang semakin memberat ± 7 hari SMRS

19
III. Pemeriksaan Fisik

Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit berat.
Kesadaran : Komposmentis.
Vital sign
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 94 x/i
Nafas : 29 x/i
Suhu : 36,7oC
a. Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 29 kali/menit.
- Penilaian LEMON
 L (Look) : Tidak terdapat kelaian.
 E (Evaluation) : Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.
Jarak tulang tiroid dengan dagu 3 jari.
Jarak benjolan tiroid dengan dasar mulut 2
jari
 M (mallampati Score): Grade 3 (SH).
 O (Obstruction) : Trauma (-), DBN.
 N (Neck Mobility) : Tidakada keterbatasan gerakan kepala, DBN.
b. Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
c. Circulation
- Akral hangat, tidak pucat, kering.
- Heart Rate (HR) 94 kali/menit, tegangan volume kuat dan teratur.
- Capillarity refill time (CRT) < 2 detik.
- Tekanan darah : 150/90 mmHg.
- Konjungtiva tidak anemis.

20
d. Disability : GCS 15 (E: 4 V: 5 M: 6).
e. Exposure : Pasien diselimuti. Terdapat udem pada semua ektremitas.

Pemeriksaan kepala
 Mata : Kojungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil reaktif,
isokor
 Mulut : Sianosis (-), Gigi palsu (-) Palatum, uvula dan arkus
faring (+)
 Mandibula : Gerakan sendi temporomandibular tidak terbatas
 Leher : Tidak terdapat kekakuan leher

Pemeriksaan Thorax
 Inspeksi : simetris kiri dan kanan, gerakan napaskanan kirisama.
 Palpasi : vokal fremitus kanan kiri sama, retraksi (-/-).
 Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru, pekak jantung dalam
Batasnormal
 Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi halus (+/+), wheezing (-/-),
suara jantungI&II reguler, murmur (+), gallop (-).

Pemeriksaan Abdomen
 Inspeksi : perut membuncit sesuai UIC
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Palpasi : perut supel, simetris, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar
dan
lien tidak teraba
 Perkusi : timpani
Pemeriksaan Ginekologi
 Inspeksi : Vulva uretra tenang, tinggi fundus uteri 27cm, preskep, bis
(-), TBJ : 2170 gram
 Inspekulo : Tidak dilakukan
 VT : Tidak dilakukan

21
Pemeriksaan Ekstremitas : Hangat, CRT <2 detik, edema (+) semua
ekstremitas.
IV. Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin
Hb : 12,7 g/dL
Ht : 35,7 %
Leukosit : 13.800/uL
Trombosit : 325.000/uL
Eritrosit : 3,96 x 106//uL
Kimia Darah
SGOT/AST : 13 U/L
SGPT/ALT : 11 U/L
GDS : 97 mg/dl
Ureum : 95,9 mg/dL
Kreatinin : 1,79 mg/dL
Albumin : 1,8 mg/dl
AGDA
Ph : 7,47
pCO2 : 15 mmHg
pO2 : 245 mmHg
HCO3 : 10,9 mmol/L
TCO2 : 11,4 mmol/L
BE : -11,2
SO2c : 100%
Elektrolit
Na+ : 141 mmol/L
K+ : 3,1 mmol/L
Ca++ : 0,10 mmol/L

Urin
Protein urin : +2

22
Rontgen torak
Kesan : CTR>50% (kardiomegali)

Pemeriksaan EKG
Kesan : Sinus ritmik dengan hipertrofi jantung kiri.

V. Diagnosis Kerja
G2P1A0H1 hamil 33-34 minggu, PEB, dengan HELLP dan syndrom parsial.
Dengan dispneu ec edema paru

VI. Penatalaksanaan
Rencana Penatalaksanaan : SC Cito
Rencana Anestesi : General anestesi - teknik intubasi TT
ASA : IIIE (Emergency)

VII. Prognosis : Dubia ad bonam

VIII. Persiapan operasi

Persiapan pasien
 Pasien dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi.
 Pasien dipastikan tidak menggunakan gigi palsu dan gigi tidak ada
goyang
 Pasien diminta untuk melepaskan besi-besi yang yang ada atau melekat
ditubuh pasien.
 Memasang akses intravena (18G) dengan menggunakan tranfusi set dan
memberikan pasien loading cairan kristaloid.
 Pakaian pasien dilepas dan diganti dengan baju operasi.
 Pasien diposisikan tidur telentang.
 Di kamar operasi, pasien dipasang tensimeter dan saturasi oksigen.
Evalusi nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen. Pada pasien ini

23
didapatkan nadi pre anastesi 94x/m, tekanan darah 150/90 mmHg, dan
saturasi oksigen 99%.

Persiapan alat
 Mempersiapkan mesin anestesi, monitor, selang penghubung(connector),
face mask, tensimeter, oksimeter, memastikan selang gas O2 dan N2O
terhubung dengan sumber sentral, mengisi vaporizer sevoflurane dan
isoflurane.
 Mempersiapkan stetoskop, ETT jenis kingking nomor 6,5; 7; 7,5 , spuit 20
cc, introducer, hipafix (plester) 2 lembar ukuran 15x1,5 cm dan 2 lembar
ukuran 5x3 cm,konektor, dan selang suction.
 Mempersiapkan spuit obat ukuran 3, 5, dan 10 cc.
 Alat infus kontinius.
 Sedia darah 1 PRC.

Terapi Cairan
Masalah sering ditemukan pada peri operatif adalah
1. Hipovolemia : a. perdarahan, dehidrasi
b. Potensial puasa

2. Hipervolemia

Terapi cairan perioperatif

a. Preoperatif.
1. Pasien normohidrasi
2. Pengganti puasa : 2 ml/kgBB/jam puasa
3. Cairan yang digunakan kristaloid
4. Pemberian cairan dibagi dalam 3 jam selama anestesi
a. 50% dalam 1 jam pertama
b. 25% dalam 1 jam kedua
c. 25% dalam 1 jam ktiga

24
Perdarahan :

Hitung EBV

Jika perdarahan

10% EBV berikan kristaloid subsitusi dengan perbandingan 1:2-4ml cairan

10% kedua berikan koloid 1:1 ml cairan

>20% EBV berikan darah 1:1 ml darah

Obat Anastesi umum


 Fentanyl 100 mcg
 Propofol 130 mg
 Atracurium 12,5 mg
 Oksigen dan N2O 2 L/menit
 Sevoflurane 2 Vol. %
 oxytocyn 20 Bolus dan Drip

Tahapan anastesi
Induksi
 Fentanyl 100 mcg
 Propofol 130 mg
 Atracurium 12,5 mg
Maintenance
- Inhalasi : O2 dan N2O sebanyak 2 L/menit
- Oxytocin inj : 10iu
- Ergometrin maleat inj : 200mg
- Pethidin : 30mg

25
Instruksi post operasi
- Indikasi CVCU menggunakan ventilator

Instruksi post operasi di CVCU


- Awasi tanda-tanda vital, kesadaran dan diuresis
- Tidur telentang, jangan duduk atau mengangkat kepala selama 24 jam
- Ventilator (TV 400 , f 14x/i , I : E 1:2, fiO250%, PEEP 8)
- Cairan RL : DS 1:1 /24 jam

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Setelah dilakukan rangkaian pemeriksaan diagnostik di Rumah Sakit Umum


Daerah Arifin Achmad pada pasien didapatkan diagnosa G2P1A0H1 hamil 33-34
minggu , PEB, dengan HELLP dan syndrom parsial dengan dispneu ec edema
paru. Sehingga dilakukan tindakan penatalakasanaan berupa Sectio cesaria. Pada
pasien telah dilakukan penatalaksanaan awal di ruangan emergensi dengan
pemberian cairan Ringer Laktat drip MgSO4, furosemid sebanyak 2 ampul dan
pemasangan folley cateter. Paseien sudah dikonsultasikan ke bagian anestesi dan
penyakit dalam serta jantung kardiovaskuler untuk dilakukan operasi. Sebelum
dilakukan tindakan anestesi didapatkan hasil pemeriksaan nadi pre anastesi 94x/i,
tekanan darah 150/90 mmHg dan frekuensi pernafasan 29x/i dan penentuan status
operasi yaitu ASA III.
Pada pasien ini dikatakan PEB karena telah memenuhi beberapa kriteria
PEB dengan tekanan darah 150/90, proteinuria +2 dan edem anasarka. Pasien
telah mengalami komplikasi berupa edema paru dengan gajala klinis sesak nafas,
takipnea, rasa tidak nyaman di dada dan didukung dengan hasil pemeriksaan
rontgen thorak yang menyatakan adanya kardiomegali dan gambarak EKG Sinus
ritmik dengan hipertrofi jantung kiri.Hasil pemeriksaan penunjang lain juga
menunjukkan pasien dalam keadaan hipoalburemia.
Pada kasus ini pasien direncanakan untuk dilakukan bedah caesar dan pasien
telah menyetuji untuk dilakukan operasi sehingga dapat dilakukan persiapan
anestesi. Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia tergantung dari
berbagai faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status
medis dari pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll).Pada pasien ini
dilakukan anestesi umum dengan pertimbangan komplikasi edema paru yang
dimiliki pasien dan terkait dengan indikasi cvcu yang dilanjutkan dengan
enggunaan ventilator. Teknik anestesi berupa teknik intubasi ETT dengan
memberikan premdikasi berupa fentanyl serta induksi dengan propofol dan
notrixum. Pada pasien juga digunakan O 2,N20 dan sevoflurane masing – masing
sebanyak 2 liter .Selama operasi berlangsung dilakukan monitoring tekanan darah
pasien dengan hasil sebagai berikut :

27
- 15 menit pertama 158/95 mmHg
- 15 menit kedua 100/60 mmHg
- 15 menit ketiga 100/60 mmHg
- 15 menit keempat 110/65 mmHg

Untuk cairan pasien diberikan cairan berupa HES sebanyak 500cc.


Setelah operasi pasien diindikasikan untuk dirawat di CVCU terkait
kompilkasi Preeklamsia nya yaitu edema paru serta pemimgkatan TIK. Pada
pasien didapat sesak nafas, gambaran rontgen thorak kardiomegali dan gambarak
EKG Sinus ritmik dengan hipertrofi jantung kiri. Pasien dirawat di CVCU
menggunakan ventilator
- TV 400
- f 14x/i
- I : E 1:2
- fiO250%
- PEEP 8
Monitoring pasien selama di CVCU pada tanggal 8 Juli 2015 selama 1 hari
dengan monitoring tiap 1 jam didapatkan tekanan darah yang paling tinggi 137/80
mmHg dan terendah 118/68 mmHg dengan nadi rata rata 95x/i dan suhu rerata
36,8 C . Keadaan umum hingga tanggal 9 Juli 2015 pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran composmentis, pupil isokor diameter 2/2, motorik kekuatan 5 di
setiap ekstremitas dan akan dilakukan ekstubasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG. Hipertensi dalam kehamilan. Dalam Obstetri Williams.


Edisi ke-18. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. pp. 773-819.
2. Cunningham FG. Hypertensive disorders in pregnancy. In Williams
Obstetri. 22nd Ed. New York: Medical Publishing Division; 2005. pp.
762-74.
3. Rachma N. Eklampsia: preventif dan rehabilitasi medik pre dan post
partum. In Holistic and Comprehensive Management Eclampsia.
Surakarta: FK UNS; 2008. pp. 99.
4. Wibowo B, Rachimhadi T. Preeklampsia dan eklampsia. Dalam: Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2006. pp. 281-99.
5. College Of Obstetricians And Gynaecologists. Consensus statement on the
management of pre-eclampsia. Singapore; 2006.
6. Prasetyorini N. Penanganan preeklampsia dan eklampsia. Seminar POGI
Cabang Malang. Malang: Divisi Kedokteran Feto Maternal -
FKUB/RSSA; 2009.
7. Morgan HA. Anesthesia for pediatric surgery. In: Devison JK, Eckhardt
III WF, Perese DA (Eds.). Clinical anesthesia procedures of the
Massachussets General Hospital. 4th ed. Little Brown and Company;
1993.
8. Miller RD. Millers Anesthesia: Anesthesia for obstetrics. 7th edition.
9. Balestrieri PJ. Preeclampsia. 2001. Available from:
http://www.gasnet.anesthesiology.com
10. Wijayanto N, Leksana E, Budiono U. Pengaruh anestesi regional dan
general pada sectio cesaria padad ibu dengan pre eklampsia berat terhadap
Apgar score. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2012;4(2):115-26. (Dikutip
tanggal 11 Juli 2015). Available from:
http://www.academia.edu/5053498/Pengaruh_Anestesi_Regional_dan_Ge
neral_pada_Sectio_Cesaria_pada_Ibu_dengan_Pre_Eklampsia_Berat_terh
adap_Apgar_Score

29

Anda mungkin juga menyukai