Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN KASUS

G3P1A1 GRAVIDA 34-35 MINGGU, INPARTU KALA 1


FASE LATEN DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT

Pembimbing:
dr. Ronny, Sp.OG

Disusun oleh:
Muhammad Ginaldi Scorpinda
1102013180

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
PERIODE 03 JANUARI – 12 FEBRUARI 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat, nikmat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus “G3P1A1 Gravida 34-35 Minggu, Inpartu Kala 1 Fase Laten Dengan
Preeklampsia Berat” sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Obstetri dan
Ginekologi RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Ronny, Sp.OG selaku
pembimbing kepaniteraan klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi atas bimbingan,
arahan dan saran dalam penyusunan laporan kasus ini. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para konsulen, bidan dan staff RSUD Kabupaten
Bekasi yang turut membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih ditemukan banyak
kekurangan, yang disebabkan kemampuan yang sangat terbatas, baik dalam
pengalaman maupun pengetahuan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf dan
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis, sejawat, dan masyarakat pada umumnya.

Bekasi, Januari 2022

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu


dan bayi yang tertinggi di Indonesia. Penyakit yang disebut sebagai disease of
theories ini, masih sulit untuk ditanggulangi. Preeklampsia dan eklampsia dikenal
dengan nama Toksemia Gravidarum merupakan suatu sindroma yang berhubungan
dengan vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan penurunan
perfusi organ yang ditandai adanya hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul
karena kehamilan. Adanya kejang dan koma lebih mengarah pada kejadian
eklampsia.1
Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan,
solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran
prematur, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death
(IUFD)1. Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia
secara mendasar dan telah dilakukan pula berbagai peneltian untuk memperoleh
penatalaksanaan yang dapat dipakai sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia.
Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi satu di antara banyak penyebab
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga masih menjadi
kendala dalam penanganannya.2
Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat
pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk
menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom
preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak
diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara
rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan
preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor
predisposisi yang lain.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PREEKLAMPSIA
2.1.1. DEFINISI
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria.
Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling
banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul
kapan saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari
preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat.3
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
≥160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria
lebih dari 5g/ 24 jam6.

2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena
banyak faktor yang mempengaruhinya, jumlah primigravida, keadaan sosial
ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.4
Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10%.
Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia
sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran). Pada
primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda. Penelitian di RSU Tarakan
Kalimantan Timur didapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia
sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1.431 persalinan selama periode 1 Januari 2000
sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan
eklampsia 13 kasus (0,9%). Di samping itu, preeklampsia juga dipengaruhi
oleh paritas. Surjadi dkk mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel pasien
preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak terjadi pada

2
ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak terjadi
pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus. Peningkatan
kejadian preeklampsia pada usia >35 tahun mungkin disebabkan karena
adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosis dengan superimposed
preeklampsia.4,5

2.1.3. ETIOLOGI3,6
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut dianggap mutlak
benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
A. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus
miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi
arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri
basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan terjadi invasi
trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan
degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi
arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero
plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan
baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada preeklampsia
terjadi kegagalan remodeling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku
dan keras sehingga arteri spiralis tidak mengalami distensi dan
vasodilatasi, sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah
hipoksia dan iskemia plasenta.

3
Gambar 1. Representasi skematis dari implantasi plasenta normal menunjukkan proliferasi
trofoblas ekstravili dari vili penahan. Trofoblas ini menyerang desidua dan meluas ke dinding
arteriol spiral untuk menggantikan endothelium dan dinding otot untuk membuat pembuluh darah
resistensi rendah yang melebar. Dengan preeklampsia, implantasi yang kurang sempurna ditandai
dengan invasi yang tidak lengkap dari dinding arteriol spiral oleh trofoblas ekstravili. Ini
menghasilkan pembuluh darah kaliber kecil dengan resistensi tinggi terhadap aliran.

B. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


I. Iskemia
Plasenta dan pembentukan radikal bebas karena kegagalan remodelling
arteri spiralis akan berakibat plasenta mengalami iskemia, yang akan
merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH)
yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan merusak
membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh

4
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak juga akan merusak nukleus
dan protein sel endotel.
II. Disfungsi Endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini
disebut disfungsi endotel, yang akan menyebabkan terjadinya:
i. Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.
ii. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2)
yaitu suatu vasokonstriktor kuat. Dalam Keadaan normal kadar
prostasiklin lebih banyak dari pada tromboksan. Sedangkan pada
pre eklamsia kadar tromboksan lebih banyak dari pada prostasiklin,
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah.
iii. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis).
iv. Peningkatan permeabilitas kapiler.
v. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin.
Kadar NO (vasodilator) menurun sedangkan endotelin meningkat.
vi. Peningkatan faktor koagulasi
C. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen
Protein G (HLA-G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh
sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasi sel
trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu yang
mengalami preeklampsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G yang akan
mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua.
Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia.

5
D. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan
vasopressor.Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsa
ngan vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi
untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat
adanya sintesis prostalglandin oleh sel endotel. Pada preeklampsia terjadi
kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor sehingga
pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan
hipertensi dalam kehamilan.
E. Teori genetik
Preeklampsia merupakan kelainan multifaktor dan poligenik. Oleh sebab
itu, tidak ada satupun kandidat gen tunggal yang bertanggung jawab
terhadap kejadiannya. Sudah ditemukan lebih dari 70 kandidat gen yang
terkait dengan preeklampsia, tetapi hanya 7 gen yang paling banyak
diteliti, yaitu gen MTHFR, F5 (Leiden, AGT (M235T), HLA, NOS3 (Glu
298 Asp), F2 (G20210A) dan ACE. Kecenderungan herediter ini mungkin
merupakan akibat interaksi ratusan gen yang diwariskan baik dari ayah
atau ibu yang mengendalikan sejumlah besar fungsi metabolik dan
enzimatik di setiap sistem organ. Variasi genetik lainnya, termasuk faktor
lingkungan dan epigenetik, juga sangat berpengaruh terhadap ekspresi
genotip dan fenotip sindrom preeklampsia.
F. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan dapat mengurangi resiko
preeklampsia. Minyak ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh
yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi
trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
G. Teori stimulasi inflamasi

6
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia
terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan
nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini mengakibatkan respon
inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel endotel
dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
inflamasi menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

2.1.4. FAKTOR RISIKO


Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah
faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi :4,7,8,9
1) Riwayat preeklampsia
Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia pada kehamilan
sebelumnya akan meningkatkan resiko hingga tujuh kali lipat terjadinya
preeklampsia. Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan
risiko tiga kali lipat.
2) Usia
Usia ekstrim ibu telah dikaitkan dengan risiko preeklampsia atau
eklampsia. WHO melaporkan bahwa wanita usia ≥ 35 tahun berisiko
tinggi untuk mengalami preeklampsia, meskipun tidak sampai terjadi
eklampsia.
3) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi
penghambat (blocking antibodies) belum sempurna sehingga
meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia.
4) Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan baru yang dianggap sebagai faktor
risiko, walaupun bukan nullipara karena risiko meningkat pada wanita
yang memiliki paparan rendah terhadap sperma.

7
5) Jarak kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun
atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara.
Rollibord, dkk malporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat
sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama.
6) Perawakan dan indeks massa tubuh (IMT) sebelum hamil
Studi berbasis populasi yang besar melaporkan bahwa perawakan pendek
wanita membuat mereka cenderung mengalami peningkatan risiko
preeklampsia yang berat. Wanita yang kelebihan berat badan atau obesitas
diketahui berisiko lebih tinggi mengalami preeklampsia. Sebuat meta
analisis menyimpulkan bahwa dengan kelebihan berat badan atau obesitas
serta adipositas ibu dikaitkan dengan peningkatan risiko preeklampsia.
Risiko ini dapat meningkat dua hingga tiga kali lipat karena IMT
meningkat dari 21 kg/m2 menjadi 30 kg/m2.
7) Kehamilan ganda
Sebuah studi multisenter oleh Sibai dkk, melaporkan bahwa wanita
dengan kehamilan kembar memiliki tingkat hipertensi gestasional dan
preeklampsia yang lebih tinggi. Peningkatan massa plasenta selama
kehamilan kembar dapat menyebabkan peningkatan tingkat sirkulasi sFlt-
1, yang merupakan penanda antiangiogenik yang bersirkulasi dari asal
plasenta, dan dapat memainkan peran penting dalam patofisiologi
terutama preeklampsia awitan dini.
8) Riwayat penyakit tertentu
Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu sebelumnya, memiliki
risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi hipertensi
kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degenerati seperti reumatik
arthritis atau lupus. Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir empat
kali lipat bila diabetes terjadi sebelum hamil. Chaappell dkk meneliti 861
wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeklampsia
superimposed sebesar 22% (n=80) dan hampir setengahnya adalah

8
preeklampsia onset dini (<34 minggu) dengan keluaran maternal dan
perinatal yang lebih buruk.

Tabel 1. Faktor risiko preeklampsia7

9
2.1.5. KLASIFIKASI
Preeklampsia adalah bagian dari spektrum hipertensi dalam
kehamilan, sebagaimana ditentukan oleh NHBPEP (National High Blood
Pressure Education Program), klasifikasinya adalah sebagai berikut10:
1) Hipertensi Gestasional ditandai dengan tekanan darah 140/90 mmHg
atau lebih untuk pertama kali selama kehamilan, tidak ada proteinuria,
tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu post partum.
2) Hipertensi kronis ditandai oleh (1) tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan 20
minggu, tidak disebabkan oleh penyakit trofoblas gestasional atau (2)
hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia gestasi 20 minggu
dan menetap setelah 12 minggu post partum.
3) Preeklampsia ditandai dengan kriteria minimum yaitu : (1) tekanan
darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada
wanita dengan tekanan darah normal sebelumnya dan (2) memiliki
proteinuria (≥ 0,3 gr protein dalam spesimen urin 24 jam atau ≥ 300
mg/24 jam atau ≥ +1 pada pemeriksaan carik celup). Kemungkinan

10
preeklampsia menjadi meningkat ketika (1) tekanan darah ≥ 160/110
mmHg (2) proteinuria 2,0 gr/24 jam atau ≥ +2 pada pemeriksaan carik
celup (3) kreatinin serum >1,2 mg/dL, kecuali memang sebelumnya
diketahui meningkat (4) trombositopenia (<100.000/μL) (5) hemolisis
mikroangiopatik; peningkatan laktat dehydrogenase (LDH) (6)
peningkatan kadar transaminase serum (7) nyeri kepala yang persisten
atau gangguan serebral atau visual lainnya (8) nyeri epigastrik
persisten.
4) Eklampsia ditandai dengan kejang yang disebabkan oleh penyebab lain
pada perempuan dengan preeklampsia.
5) Sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan transaminase serum dan
trombositopenia) mungkin merupakan hasil dari preeklampsia berat,
meskipun beberapa penulis percaya bahwa hal itu memiliki etiologi
yang tidak berhubungan. Sindrom ini telah dikaitkan dengan
morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal yang sangat tinggi dan
dapat muncul tanpa hipertensi atau dalam beberapa kasus, tanpa
proteinuria.

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein
urin masif (lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan
preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia
merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat7.

Preeklamsia berat dibagi menjadi:


a. Preeklamsia berat tanpa impending eklampsia
b. Preeklamsia berat dengan impending eklampsia, disebut impending
eklampsia bila preeklampsia disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri
kepala hebat akibat vasospasme atau edema otak, nyeri ulu hati akibat

11
regangan selaput hati oleh perdarahan atau edema, atau sakit karena
perubahan di lambung, serta gangguan penglihatan akibat vasospasme,
edema atau ablasi retina.6

Pembagian preeklamsia sebagai berikut:


a. Preeklamsia awitan dini (early onset preclampsia) gejala klinis
preeklamsia ditemukan pada usia kehamilan <34 minggu.
b. Preeklamisa awitan lanjut (late onset preeclampsia) gejala klinis
preeklamsia ditemukan pada usia kehamilan ≥34 minggu.11

Saat ini banyak bukti yang menunjukkan bahwa patofisiologi


preeklamsia awitan dini berkaitan dengan kelainan plasenta sehingga
komplikasi bagi ibu dan bayi lebih berat daripada preeklampsia awitan lanjut.
Preeklamsia awitan lanjut berhubungan dengan kelainan pada ibu.

2.1.6. PATOFISIOLOGI5
Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan
perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20
minggu pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal
remodelling dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat
perkembangan plasenta, diikuti produksi substansi yang jika mencapai
sirkulasi maternal menyebabkan terjadinya sindrom maternal. Tahap ini
merupakan tahap kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase ini merupakan
fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok respons inflamasi sistemik
maternal dan disfungsi endotel.
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta
dangkal, aliran darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal
trimester kedua. Hal ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang
menyebabkan terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan
penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit

12
kolagen, didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin
preeklampsia ini didahului gangguan perfusi plasenta.
Tekanan darah pada preeklampsia sifatnya labil. Peningkatan tekanan
darah disebabkan adanya peningkatan resistensi vaskuler. Selain itu,
didapatkan perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan darah sering kali
lebih tinggi pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas
vasokonstriktor simpatis, yang akan kembali normal setelah persalinan. Hal
ini mendukung penggunaan metildopa sebagai antihipertensi. Tirah baring
sering dapat memperbaiki hipertensi pada kehamilan, mungkin karena
perbaikan perfusi uteroplasenta. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko
penting terjadinya preeklampsia. Dislipidemia dan diabetes melitus
gestasional meningkatkan risiko preeklampsia dua kali lipat, mungkin
berhubungan dengan disfungsi endotel. Pada preeklampsia, fraksi filtrasi
renal menurun sekitar 25%, padahal selama kehamilan normal, fungsi renal
biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam urat serum menurun, biasanya
sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5 mg/dL akibat penurunan
klirens renal dan filtrasi glomerulus merupakan penanda penting
preeklampsia.

Gambar 2. Patofisiologi Preeklampsia5

13
2.1.7. DIAGNOSIS7
Berdasarkan PNPK Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia tahun
2016, preeklampsia sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya
hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi saat kehamilan. Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita
menunjukkan adanya hipertensi disertai dengan gangguan multisistem lain
yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuria. Sedangkan, untuk edema tidak lagi
dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada
wanita dengan kehamilan normal.

a. Penegakkan Diagnosis Hipertensi


Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah
peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik.
Berdasarkan American Society of Hypertention ibu diberi
kesempatan duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran
tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk
posisi manset setinggi jantung dan tekanan diastolic diukur dengan
mendengar bunyi Korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang
sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai
pengukuran tekanan darah yang tepat. Pemeriksaan tekanan darah pada
wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan,
dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi.

b. Penegakkan Diagnosis Proteinuria


Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300
mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik
bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar

14
proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu bergantung
pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Kuo melaporkan bahwa
pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar
0-2400 mg/24 jam, dan positif 2 berkisar 700-4000mg/24jam.
Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi,
seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat positif palsu 67- 83%.
Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan pembersih,
dan urin yang bersifat basa.
Konsensus Australian Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal College
of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan
proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan
angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio protein banding rasio
protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik disimpulkan bahwa
pemeriksaan rasio protein banding kreatinin dapat memprediksi
proteinuria dengan lebih baik7.

c. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia


Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia
didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan diatas
usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya
didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut.
Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala
dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu7:

15
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
2) Proteinuria : protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 1
3) Trombositopenia : trombosit <100.000/μL
4) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
5) Gangguan hepar : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal atau adanya nyeri di daerah epigastrik atau region kanan atas
abdomen
6) Edema paru
7) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
8) Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : oligohidramnion, feel growth restriction velocity
(ARDV)

d. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat


Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada preeklampsia dan jika gejala tersebut didapatkan akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi
pemberatan preeklampsia atau preeklampsia berat adalah salah satu
dibawah ini7:
1) Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik
atau 110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
2) Proteinuria : protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes
urin dipstick > positif 2
3) Trombositopenia : trombosit <100.000/μL

16
4) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
5) Gangguan hepar : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen
6) Edema paru
7) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
8) Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : oligohidramnion, feel growth restriction velocity
(ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan


antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga
kondisi protein urin masif (lebih dari 5 gram) telah dieliminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat7.

2.1.8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan preeklampsia bertujuan untuk mengurangi
komplikasi kehamilan, menghindari prematuritas dan memaksimalkan
keselamatan ibu dan bayi.

Pencegahan dan Tatalaksana terhadap Kejang


a. Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan
sirkulasi (cairan intravena).
b. MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan
kejang).

17
c. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya,
berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas
kesehatan yang memadai.
d. Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke
ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas
ventilator tekanan positif.6

Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang atau


kejang berulang dibandingkan antikonvulsan lainnya. Dosis yang
digunakan13:
1) Loading Dose : Initial Dose
4 gram MgSO4 I.V
- 10 cc MgSO4 40% selama 15-20 menit, atau
- 20cc MgSO4 20% selama 5-10 menit
2) Maintenance Dose :
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer Laktat (RL) per 6 jam atau
1-2 gram/jam, atau diberikan 4-5 gram I.M. Selanjutnya maintenance
dose diberikan 4 gram I.M tiap 4-6 jam. Dosis pemeliharaan dilanjutkan
selama 24 jam postpartum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat
alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.

Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping


minor yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah,
kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi. Dari uji acak
dilaporkan kejadian efek samping terjadi pada 15 – 67% kasus. Syarat-syarat
pemberian MgSO413:
a. Harus tersedia antidotum, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10
cc) diberika IV 3 menit
b. Frekuensi pernapasan ≥16 kali per menit
c. Produksi urin ≥30 cc per jam
d. Reflex patella positif

18
MgSO4 dihentikan pemberiannya bila13:
a. Ada tanda-tanda intoksikasi
b. Setelah 24 jam pascapersalinan
c. Dalam 6 jam pascasalin terjadi perbaikan (normotensif)

Toksisitas MgSO4
MgSO4 yang belebihan bisa mengakibatkan beberapa gejala yang akan
tampak pada pasien, antara lain
1. Apabila terdapat hilangnya refleks patela, dalam kondisi ini menunjukkan
konsentrasi MgSO4 pada plasma antara 3,5 - 5 mmol/L.
2. Paralisis pernapasan dapat terjadi apabila konsentrasi plasma berada pada
5 - 6,5mmol/L
3. Konduksi jantung menjadi lebih meningkat apabila terdapat konsentrasi
MgSO4 pada plasma darah >7,5mmol/L
4. Bisa mengakibatkan henti jantung apabila konsentrasi MgSO4 lebih besar
dari 12,5mmol/L

Dosis terapeutik dan toksis MgSO46


- Dosis terapeutik 4-7 mEq/L 4,8-8,4 mg/dL
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/L 12 mg/dL
- Terhentinya pernapasan 15 mEq/L 18 mg/dL
- Terhentinya jantung >30 mEq/L >36 mg/dL

19
Gambar 3. Cara Pemberian MgSO413

Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi


mengenai waktu yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis
(loading dan pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau intravena)
serta lama terapi6.
Diazepam dapat diberikan bila tidak tersedia MgSO 4 sebagai pilihan.
Diazepam iv diberikan dengan dosis 10 mg dan dapat diulang setelah 6 jam.6

Tatalaksana terhadap Hipertensi


a. Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat terapi
antihipertensi.

20
b. Pilihan antihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman dokter dan
ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi yang dapat digunakan:
i. Antihipertensi golongan ACE inhibitor (misalnya kaptopril), ARB
(misalnya valsartan), dan klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu
hamil.
ii. Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal dianjurkan
untuk melanjutkan terapi antihipertensi hingga persalinan
iii. Terapi antihipertensi dianjurkan untuk hipertensi pascasalin berat.11

A. Calcium Channel Blocker


Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke
dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium
channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada
sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat
memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia, palpitasi,
sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular
serta retensi cairan.
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang
sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan
preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT,
penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat
dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal
pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal
yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin.
Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks
kardiak, nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada
preeklampsia berat. Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg
kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg.
Penggunaan berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat

21
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat
hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.
Studi melaporkan efektivitas dan keamanan calcium channel
blocker nifedipin 10 mg tablet dibandingkan dengan kapsul onset cepat
dan kerja singkat untuk pengobatan wanita dengan hipertensi berat akut
(>170/110 mmHg) pada pertengahan kehamilan. Nifedipin kapsul
menurunkan tekanan darah lebih besar dibandingkan nifedipin tablet.
Gawat janin tidak banyak dijumpai pada penggunaan nifedipin kapsul
ataupun tablet. Kesimpulannya nifedipin tablet walaupun onsetnya lebih
lambat, namun sama efektif dengan kapsul untuk pengobatan cepat
hipertensi berat. Kombinasi nifedipin dan magnesium sulfat
menyebabkan hambatan neuromuskular atau hipotensi berat, hingga
kematian maternal.

B. Beta-blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada
reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, terutama jika digunakan untuk jangka waktu yang lama
selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama, sehingga
penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya
tidak efektif. Beta-blocker berhubungan dengan meningkatnya kejadian
bayi kecil masa kehamilan.
C. Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat,
adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita
hamil dengan hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa
mempunyai safety margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa
bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah
arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering,

22
mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-
induced hepatitis.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau
3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal
dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam
sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa
adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam
untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah
tertentu dan disekresikan di ASI.6

Tabel 2. Obat Antihipertensi untuk hipertensi kronis atau gestasional selama


kehamilan11

23
Tabel 3. Obat untuk control cepat hipertensi berat pada kehamilan11

Sikap terhadap Kehamilan


Berdasarkan William Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklamsia berat selama perawatan; maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
a. Aktif (Agressive Management): berarti kehamilannya segera diakhiri/
diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
b. Konservatif (Ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.
Indikasi Perawatan Aktif
1. Pada ibu
a. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
b. Adanya tanda-tanda gejala impending eclampsia
c. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinis
dan laboratorik memburuk.
d. Diduga terjadi solusio plasenta.
e. Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
2. Pada janin
a. Adanya tanda-tanda fetal distress (gawat janin)
b. Adanya tanda-tanda Intrauterine Growth Restriction (IUGR)
c. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
d. Terjadinya oligohidramnion

24
3. Pada laboratorium
Adanya tanda-tanda “Sindroma HELLP” (Hemolysis, Elevated Liver
Enzyme, Low Platelets Count) merupakan suatu variasi dari preeklamsi
berat yang disertai trombositopenia, hemolisis dan gangguan fungsi
hepar.6

Gambar 4. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia Tanpa Gejala Berat7

25
Tabel 4. Kriteria Terminasi pada Preeklamsia Berat7

Gambar 5. Manajemen Ekspektatif Preeklamsia Berat7


Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat
berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah sebagai berikut :
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus PEB dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin
stabil
2) Manajemen ekspektatif pada PEB juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal
3) Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif PEB, pemberian
kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru
janin
4) Pasien dengan PEB direkomendasikan untuk melakukan rawat inap
selama melakukan perawatan ekspektatif

26
Pemberian Kortikosteroid pada Kehamilan Preterm
Strategi mengurangi kejadian RDS pada bayi yang lahir secara
prematur dilakukan dengan memberikan kortikosteroid kepada wanita dengan
risiko persalinan preterm sebelum 32-34 minggu kehamilan. Kortikosteroid
yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm secara signifikan
menurunkan insiden respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi baru
lahir, utamanya jika persalinan terjadi dalam waktu 24 jam hingga 7 hari
setelah pemberian kortikosteroid. Tidak didapatkan adanya efek samping dari
pemberian kortikosteroid antenatal ini. Hasil yang signifikan pada luaran bayi
diperoleh apabila persalinan terjadi setidaknya 48 jam setelah pemberian
kortikosteroid dan pada usia kehamilan di atas 24 minggu15.

27
Dosis dan Tehnik Pemberian Kortikosteroid
Deksametason dan betametason merupakan long acting
glucocorticoids dimana keduanya mampu menembus plasenta dalam bentuk
aktif. Betametason tersedia dalam bentuk betamethasone sodium phosphate
solution dengan waktu paruh 36-72 jam dan betamethasone acetate
suspension dengan waktu paruh relatif lebih lama. Deksametason secara
umum tersedia dalam bentuk deksametason sodium phosphate solution
dengan waktu paruh 36-72 jam. Regimen yang sering digunakan adalah 2 kali
dosis 12 mg betametason intramuskular dengan interval 24 jam dan 4 kali
dosis 6 mg deksametason dengan interval 12 jam intramuskular.
Betametasone injeksi sulit ditemukan di Indonesia dan sangat mahal sehingga
deksametason lebih sering digunakan karena lebih murah dan lebih mudah
ditemukan.
Regimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010
adalah 2 dosis betametasone 12 mg berjarak 24 jam dari dosis pertama,
diberikan intramuskuler atau 4 dosis deksametason 6 mg tiap 6 jam, diberikan
intramuskuler. Menurut rekomendasi dari RCOG setiap klinisi sepatutnya
menawarkan pemberian terapi kortikosteroid antenatal ini pada setiap wanita
dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24 minggu + 0 hari
hingga 34 minggu + 6 hari.
Deksametason secara intramuskular lebih dipilih karena rute
intramuskular memiliki pelepasan yang lebih lambat dengan durasi yang lebih
lama. Administrasi intravena tidak direkomendasikan karena akan memberi
paparan kortikosteroid terhadap wanita hamil dan janin nya dengan
konsentrasi tinggi pada tahap awal sehingga meningkatkan efek samping
akibat penetrasi deksametason secara cepat ke plasenta. Deksametason
diberikan 4 kali dosis selama 2 hari karena terapi kortikosteroid antenatal
dilakukan menyerupai paparan kortikosteroid endogen yang terjadi selama

28
kehamilan dimana induksi kortisol endogen pada ibu juga terjadi selama 48
jam (2 hari), sehingga durasi deksametason juga diberikan selama 2 hari15.

2.1.9. KOMPLIKASI
Komplikasi pada ibu:
a. Eklampsia
Eklampsia menggambarkan jenis kejang yang dapat dialami oleh wanita
hamil, biasanya dari minggu ke 20 kehamilan atau segera setelah
kelahiran. Dari mereka yang menderita eklampsia, sekitar 1 dari 50 akan
meninggal karena kondisi tersebut. Bayi yang belum lahir dapat mati
lemas saat kejang dan 1 dari 14 dapat meninggal. Penelitian telah
menemukan bahwa obat yang disebut magnesium sulfat dapat
mengurangi risiko eklampsia menjadi dua dan mengurangi risiko
kematian ibu.

b. Sindrom HELLP
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan
trombositopenia.
Diagnosis:
• Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri
kepala, mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi
virus)
• Adanya tanda dan gejala preeklampsia
• Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST,
dan bilirubin indirek
• Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan ALT, AST,
LDH
• Trombositopenia (Trombosit < 150.000/ml). Semua perempuan hamil
dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, ranpa memandang

29
ada tidaknya tanda dan gejala preekiampsia, harus dipertimbangkan
sindroma HELLP.8
c. Stroke
Suplai darah ke otak bisa terganggu akibat tekanan darah tinggi. Ini
dikenal sebagai pendarahan otak, atau stroke. Jika otak tidak mendapatkan
cukup oksigen dan nutrisi dari darah, sel-sel otak akan mulai mati,
menyebabkan kerusakan otak dan kemungkinan kematian.
d. Masalah organ
Masalah organ yang dapat timbul seperti edema paru, dan gagal ginjal.

Komplikasi pada janin6:


- Kekurangan oksigen dan nutrisi, yang dapat mengganggu pertumbuhan
janin
- Solusio plasenta
- Kelahiran premature
- Sindroma distres napas
- Kematian intrauterine (IUFD) akibat spasme sirkulasi uteroplasenta yang
menyebabkan perdarahan tak disengaja.
- Necrotizing enterocolitis
- Sepsis
- Cerebral palsy

2.1.10. PROGNOSIS
Preeklampsia diperkirakan berakibat kematian maternal sebesar 14%.
Kematian tersebut diakibatkan disfungsi sel endotel sistemik, vasospasme
yang menyebabkan kegagalan organ, komplikasi susunan saraf pusat,
komplikasi pada ginjal, gangguan koagulasi, dan solusio plasenta.
Kemungkinan preeklampsia berulang adalah 10%. Meskipun kematian ibu
telah berkurang secara signifikan, kematian perinatal masih tetap sangat tinggi
bahkan di negara maju (7-10%). Di Negara berkembang, kematian perinatal
tetap sekitar 20%, sekitar 50% di antaranya lahir mati.12

30
2.1.11. PENCEGAHAN
Pencegahan primer preeklampsia
a. Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap
wanita hamil sejak awal kehamilannya.
b. Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan riwayat medis
pasien seperti penggunaan biomarker dan USG Doppler Velocimetry
masih belum dapat direkomendasikan secara rutin, sampai metode
skrining tersebut terbukti meningkatkan luaran kehamilan.

Pencegahan sekunder preeklampsia


a. Istirahat. Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane,
istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia
dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat dirumah 15 menit
2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko
preeklampsia.
b. Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan untuk
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis
rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan
sebelum usia kehamilan 20 minggu.
c. Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada
wanita dengan asupan kalsium yang rendah.
d. Diet ditambah suplemen yang mengandung minyak ikan yang kaya
dengan asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PUFA, antioksidan:
vitamin C,E,β-karoten, CoQ10, N-asetilsistein, asam lipoik dan elemen
logam berat : zinc, magnesium, kalsium.16

2.2.PERSALINAN PRETERM
2.2.1. DEFINISI
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir6.

31
Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu setelah dianggap viabel. Secara umum,
persalinan preterm dibagi menjadi 4, yaitu:
− Sangat-sangat preterm: usia kehamilan kurang dari 28 minggu (5%)
− Sangat preterm: usia kehamilan antara 28-31 minggu (15%)
− Preterm sedang: usia kehamilan 32-33 minggu (20%)„Mendekati aterm:
usia kehamilan 34-36 minggu (60-70%) 17.

2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Persalinan preterm dapat disebabkan dari faktor maternal, janin,
paternal, lingkungan, dan genetik. Berdasarkan faktor demografi, persalinan
preterm banyak terjadi pada ras afika-amerika/ aborigin/ hispanik; indeks
masa tubuh ibu rendah/ berat badan terlalu rendah/ berat badan terlalu gemuk;
usia ibu terlalu muda. Berdasarkan faktor obstetri, riwayat keguguran pada
kehamilan sebelumnya; interval antar-kehamilan telalu dekat (<12 bulan).
Selain itu, persalinan preterm bisa terjadi karena prosedur amniosentesis.
Faktor risiko lainnya berdasarkan faktor janin, yaitu jenis kelamin
laki-laki dan kehamilan multi-fetal. Berdasarkan faktor paternal, yaitu usia
ayah yang terlalu tua.
Berdasarkan faktor lingkungan, persalinan preterm dapat terjadi
akibat infeksi bakteri melalui hubungan seksual maupun periodontal;
kemiskinan, kekerasan fisik, stres atau depresi; penggunaan zat seperti
alkohol, merokok, kokain, dan polusi; serta kekurangan vitamin yang
dibutuhkan selama kehamilan. Selain itu, faktor genetik juga mempengaruhi
persalinan preterm 17.

2.2.3. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6 -
10 %. Hanya 1,5 % persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32
minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Namun, kelompok
ini merupakan duapertiga dari kematian neonatal. Kesulitan utama dalam

32
persalinan prererm ialah perawaran bayi preterm, yang semakin muda usia
kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitas. Penelitian lain
menunjukkan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir saling berkaitan
dengan risiko kematian perinatal. Pada kehamilan umur 32 minggu, dengan
berat bayi > 1.500 gram keberhasilan hidup sekitar 85 %. sedang pada umur
kehamilan sama dengan berat janin < 1.500 gram angka keberhasilan sebesar
80%. Pada umur kehamilan < 32 minggu dengan berat lahir <1.500 gram
angka keberhasilan hanya sekitar 59 %. Hal ini menunjukkan bahwa
keberhasilan persalinan prererm tidak hanya tergantung umur kehamilan,
tetapi juga berat bayi lahir.
Permasalahan yang teriadi pada persalinan preterm bukan saja pada
kematian perinatal, melainkan bayi prematur ini sering pula disertai dengan
kelainin, baik kelainan jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan
jangka pendek yang sering terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress
Syndrome), perdarahan intralperiventrikular, NEC (Neootizing Entero
Cilitis), displasi bronko-pulmonar, sepsis, dan paten duktus arteriosus.
Adapun kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik seperti
serebral palsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi
neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik. Dengan melihat
permasalahan yang dapat terjadi pada bayi pre-term, maka menunda
persalinan preterm, bila mungkin, masih tetap memberi suatu keuntungan.18
Kematian bayi di Indonesia sekitar 56% terjadi pada periode sangat
dini yaitu di masa neonatal atau bayi baru lahir. Sebagian besar kematian
neonatal terjadi pada usia 0-6 hari (78,5%) dan pretermitas merupakan
penyebab utama kematian neonatal. Kejadian persalinan preterm berbeda
pada setiap negara, di negara maju, misalnya di Eropa, angkanya berkisar
antara 5-11%. Di USA, pada tahun 2000 sekitar satu dari sembilan bayi
dilahirkan preterm (11,9%), dan di Australia kejadiannya sekitar 7%.6

33
2.2.4. DIAGNOSIS
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman
persalinan preterm. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak
benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria dapat
dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu: 6
• Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7 - 8 menit sekali, atau 2 - 3 kali
dalam waktu 10 menit
• Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
• Perdarahan bercak
• Perasaan menekan daerah serviks
• Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
dan penipisan 50 - 80%
• Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika
• Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan
preterm.
• Terjadi pada usia kehamiian 22 - 37 minggu

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan


The American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk
mendiagnosis persalinan preterm ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

2.2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat
dilakukan sejak awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai
dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk diberi penjelasan dan
dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta pengenalan
kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera

34
dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan
antenatal, sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat cukup besar
dalam meramalkan terjadinya persalinan preterm. Bila dijumpai serviks
pendek (<1cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks
matang/inkompetensi serviks, mempunyai risiko terjadinya persalinan
preterm 3-4 kali.
Beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan terjadinya
persalinan preterm, sebagai berikut:
a. Indikator klinik
Indikator klinik yang dapat dijumpai sepeni timbulnya kontraksi dan
pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya
ketuban pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan preterm.
b. Indikator laboratorik
Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah: jumlah
leukosit dalam air ketuban (20/ml amu lebih), pemeriksaan CRP (>0,7
mg/ml), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (> 13.000/ml).
c. Indikator biokimia
• Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina,
serviks dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada
hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau
lebih, kadar fibronektin janin 50 nglml atau lebih mengindikasikan
risiko persalinan preterm.
• Corticotropin releasingbormone (CRH): peningkatan CRH dini atau
pada trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya persalinan
preterm.
• Sitokin inflamasi: seperti IL-10, IL-6, IL-8, dan TNF-alpha telah diteliti
sebagai mediator yang mungkin belperan dalam sintesis prostaglandin.
• Isoferitin plasenta : pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin
sebesar 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama
kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8 1 53

35
U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan
prererm.
• Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitif
untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan
dengan berbagai keadaan reaksi fase akut termasuk kondisi inflamasi.
Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar
feritin dan kejadian penluiit kehamilan, termasuk persalinan preterm.6

2.2.6. TATALAKSANA
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm
ialah: apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari
penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara
klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin,
jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan
kongenital. Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau
mengancam, meski telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu
dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi
preterm, atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia
gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau
sindroma gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi
perawatan bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.6

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm


dan/atau menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan

36
intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.6 Manajemen persalinan
preterm tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat
bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan
mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah
persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan
berlangsung bila TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat
dasar/primer, mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm,


terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
a. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
b.Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
c. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan
antibiotik.6

1. Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat
persalinan, tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian
tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang
regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.
Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:
a. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur

37
b. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir
surfaktan paru janin
c. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih
lengkap
d. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:


a. Kalsium antagonis (Nifedipin 10 mg/oral, diberikan 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang (jika masih kontraksi,
dapat diberikan lagi).
b. Obat B-mimetik
1. Terbutalin sulfat 1000 ug (2 ampul) dalam 500 ml larutan NaCl
0,9% dengan dosis awal dengan pemberian 10 tetes/menit, lalau
dinaikan 5 tetes/menit tiap 15 menit hingga kontraksi hilang
2. Salbutamol (dosis awal 10 mg IV dalam 1 liter cairan infus, 10
tetes/menit, jika kontraksi masih, dinaikan kecepatan 10
tetes/menit setiap 30 menit sampai kontraksi hilang)
c. Sulfas magnesikus dan antiprostaglandin (jarang dipakai karena efek
samping ke ibu atau janin) 6

Jika ditemui salah satu dari keadaan berikut ini, tokolitik tidak perlu
diberikan dan bayi dilahirkan secara pervaginam atau perabdominam
sesuai kondisi kehamilan:
• Usia kehamilan di bawah 24 dan di atas 34 minggu
• Pembukaan > 3 cm
• Ada tanda korioamnionitis (infeksi intrauterin), preeklampsia, atau
perdarahan aktif
• Ada gawat janin
• Janin meninggal atau adanya kelainan kongenital yang kemungkinan
hidupnya kecil 13

38
Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien
juga perlu membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari
aktivitas seksual.

2. Kortikosteroid
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan
surfaktan paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome
(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, yang akhirnya
menurunkan kematian neonatus, serta diberikan juga usia kehamilan
kurang dari 35 minggu. Jika usia janin kurang dari 24 minggu tidak
diberikan kortikosteroid karena surfaktan belum terbentuk. Jika usia janin
lebih dari 34 minggu juga tidak diberikan kortikosteroid karena surfaktan
sudah dalam keadaan optimal, jika diberikan maka akan menyebabkan
komplikasi lain. Kortikosteroid yang dianjurkan :
− Betamethasone : 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam,
selama 2 hari
− Dexamethasone : 4 x 6 mg I.m. Dengan jarak pemberian 12 jam,
selama 2 hari

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing


hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian
suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran
fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan. 3,6

3. Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum. Terapi antibiotik diberikan bila kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi seperti pada kasus KPD (untuk mencegah infeksi
bakteri Streptokokus grup B) dan penyakit Guillain – Barre Syndrome.

39
− Eritromisin 3x500 mg, per oral selama 3 hari (diberikan kasus preterm
disertai KPD)
− Ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, Jika alergi diberikan Penisilin,
dapat diberikan Klindamisin : 2 x 300 mg, Per Oral Selama 7 Hari

Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob


maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes
sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan
terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi,
diberi tokolisis3,6

4. Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang
bulan seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau
seksio sesarea terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm
sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah
ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk
mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka
diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan
perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.6
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi
bayi, bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah
dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea
hanya dilakukan atas indikasi obstetrik. Seksio sesarea dengan posisi
sungsang disarankan pada janin usia 30-34 minggu karena ukuran tubuh
lebih kecil dari janin biasanya, dan juga ukuran kepala lebih besar.
Sehingga tidak cukup kuat untuk meregangkan rahim.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih
kontroversial)

40
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa,
dan sebagainya)3,6,13
2.2.7. PENCEGAHAN
Untuk mengurangi risiko terjadinya kelahiran prematur, ada beberapa
langkah pencegahan yang bisa dilakukan, yaitu:
Menghindari faktor risiko6
- Hindari keahmilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun)
- Hindari jarak kehamilan terlalu dekat
- Hindari kerja berat dan perlu cukup istirahat
Menerapkan pola hidup sehat sebelum dan selama masa kehamilan 19
− Mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Ini termasuk mencukupi asupan
protein, karbohidrat, omega-3, serta vitamin dan seperti zat besi dan asam
folat.
− Tidak merokok, menghindari asap rokok, dan tidak mengonsumsi
minuman beralkohol serta obat-obatan terlarang.
− Menjaga berat badan agar tidak terlalu kurus atau terlalu gemuk.
− Rutin melakukan pemeriksaan untuk kontrol kesehatan janin dan kondisi
kronis ibu, seperti diabetes dan hipertensi.
− Menghindari stres.

Terapi progesteron
Pada wanita dengan kehamilan tunggal dan riwayat persalinan preterm
spontan, terapi progesterone antenatal merupakan pencegahan yang efektif
untuk menurunkan risiko persalinan preterm berulang. Suplementasi
progesterone diberikan pada wanita hamil mulai dari usia kehamilan 16
sampai 24 minggu dan dilanjutkan dampai usia kehamilan 34 minggu. US
Food and Drug Administration memakai hydroxyprogesterone caproate, 250

41
mg intramuscular setiap minggu. Vaginal progesterone bisa digunakan pada
wanita yang tidak memiliki riwayat persalinan preterm spontan jika pasien
memiliki panjang serviks 20 mm atau usia kehamilan kurang dari 24 minggu.
Progesterone tidak berpengaruh pada pasien dengan kehamilan multi-fetal20.

Prosedur pengikatan leher rahim


Dalam prosedur ini, leher rahim akan ditutup dengan cara dijahit untuk
membantu memperbaiki cacat struktural atau kelemahan serviks pada wanita
berisiko tinggi dengan pemendekan leher rahim. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pengikatan leher rahim dikaitkan dengan penurunan
persalinan prematur dan kematian perinatal bila dilakukan pada wanita
dengan persalinan prematur sebelumnya dan panjang serviks 25 mm atau
kurang. Pengikatan leher rahim umumnya dianjurkan kepada ibu hamil yang
pernah mengalami keguguran, kelahiran prematur, maupun yang memiliki
kelainan pada leher Rahim20.

42
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN


Istri Suami
Nama : Ny. A Nama : Tn. D
Umur : 44 tahun Umur : 40 tahun
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang Pekerjaan : Kuli Bangunan
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Betawi Suku : Betawi

Alamat : Bekasi Jaya, Bekasi Timur


No. RM : 2193xxx
Tgl Masuk : 3 Januari 2022, pukul 4.30 WIB

3.2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Bangsal Camelia RSUD
Kabupaten Bekasi pada tanggal 04 Januari 2022 pukul 8.40 WIB.
a. Keluhan Utama
Pasien dirujuk oleh Bidan dengan alasan tekanan darah tinggi.

b. Keluhan Tambahan
Penglihatan buram sejak 1 minggu SMRS dan kaki bengkak sejak 2
minggu SMRS.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien Ny.A datang ke IGD Kebidanan RSUD Kabupaten
Bekasi pukul 4.30 WIB dengan G3P1A1 hamil 34 minggu dirujuk oleh
Bidan Klinik Anjani dengan keluhan tekanan darah tinggi. Pasien
mengeluh penglihatan buram sejak 1 minggu SMRS dan terdapat kaki

43
bengkak sejak 2 minggu SMRS. Selain itu, pasien juga merasakan sakit
kepala yang hilang timbul.
Keluhan keluar air-air, lendir maupun darah dari jalan lahir
disangkal pasien. Tidak ada keluhan nyeri perut, sesak napas, maupun
kejang.
Pasien tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi sebelumnya
maupun pada kehamilan sebelumnya. Pasien menyangkal adanya
riwayat minum obat-obatan atau jamu selama hamil.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan yang sama pada
kehamilan sebelumnya
- Riwayat hipertensi sebelum hamil disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat alergi disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes melitus disangkal
- Riwayat alergi disangkal

f. Riwayat Kebiasaan, Sosial dan Status Ekonomi


Pasien tinggal di rumahnya bersama dengan suami dan anaknya.
Suami pasien bekerja sebagai kuli bangunan, sementara pasien
berdagang jus buah.
Setiap hari pasien bangun tidur pukul 6 pagi dan beraktivitas di
rumah. Pasien mulai pergi berdagang pukul 10 pagi hingga pukul 9
malam. Pulang dari berdagang, pasien beristirahat/ tidur malam.
Pasien mengaku makan teratur kurang lebih tiga kali sehari
dengan lauk pauk yang bervariasi dan pasien tidak membatasi makanan

44
yang dikonsumsinya. Pasien juga tidak memiliki kebiasaan merokok
atau meminum alkohol.

g. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah sebanyak dua kali. Pernikahan pertama tahun
2006 dan memiliki 1 orang anak laki-laki. Pernikahan tersebut
berlangsung selama 10 tahun dan bercerai.
Pada tahun 2018 pasien menikah lagi sampai dengan sekarang.
Dari pernikahan kedua, pasien hamil pada tahun 2019, namun
keguguran karena pasien jatuh di kamar mandi dan saat itu pasien tidak
mengetahui bahwa sedang hamil. Pada kehamilan tersebut dilakukan
tindakan kuretase.

h. Riwayat Menstruasi
a) Menarche : 13 tahun
b) Siklus : 28 hari, teratur
c) Lama haid : 7 hari
d) Volume : mengganti pembalut dua kali sehari
e) Keluhan : Tidak terdapat keluhan pada saat menstruasi

i. Riwayat Pemakaian Alat Kontrasepsi


a) Jenis KB : Pil
b) Lama Pemakaian : 2 tahun
c) Keluhan : Tidak ada

j. Riwayat Obstetri
a) Paritas : G3P1A1
b) Hari Pertama Haid Terakhir : 10 Mei 2021
c) Hari Perkiraan Lahir : 17 Februari 2022
d) Usia Kehamilan : 34-35 minggu

45
Tabel 5. Riwayat Persalinan Pasien
Tahun Tempat Usia Jenis Anak
No Penyulit
Partus Partus Kehamilan Persalinan JK BB Ket
1 2006 Klinik 9 bulan Normal - Lk 2,8kg Hidup
2 2019 Abortus 2 bulan - - - - -
3 Hamil Saat Ini

k. Antenatal Care
Pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di Klinik Anjani
dengan Bidan sebanyak satu bulan sekali. Setiap kontrol pasien tidak
pernah merasakan keluhan. Pasien juga mengabaikan keluhan
penglihatan buram dan kaki yang bengkak. Saat pasien kontrol
kehamilan terakhir, tekanan darah pasien tinggi dan bidan merujuk
pasien ke RSUD Kabupaten Bekasi.
Selama pemeriksaan rutin sebelumnya, ibu dan janin memiliki
kondisi yang baik dan tidak terdapat keluhan atau masalah.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 103 x/menit
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Saturasi Oksigen : 97 %
Suhu : 36,4˚C
BB : 70 kg
TB : 151 cm
IMT : 30,7 kg/m2

46
b. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebral (-/-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
Payudara : Mammae tampak simetris, membesar dan aerola
hiperpigmentasi
Paru : Suara napas vesikuler di seluruh lapang paru, suara
tambahan (-)
Jantung : BJ I/II regular murni, suara BJ tambahan (-)
Abdomen : Pembesaran perut (+), bising usus (+), striae gravidarum
(+), nyeri tekan epigastrium (-), gerakan janin (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2s, edema tungkai kaki (+/+),
reflex patella (+) kuat

47
c. Status Obstetri
a) Pemeriksaan Luar
TFU : 23 cm
TBJ Klinis : (23-12) x 155 = 1705 gram
Leopold I : teraba bagian lunak, kesan bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang
disebelah kanan, kesan punggung di kanan
Leopold III : Teraba bagian keras, bulat, simetris,
melenting, kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP
His : 2x10’ 25”
DJJ : 146 x/menit
b) Pemeriksaan Dalam
V/V : tidak ada kelainan
Portio : teraba tebal lunak
Ø : 1 cm
Ketuban : (+)
Presentasi : Kepala

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 6. Hasil pemeriksaan penunjang pasien

HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin 12,8 g/dL
Hematokrit 40 %
Eritrosit 4,83 106/μL
MCV 82 fL
MCH 27 pg/mL
MCHC 32 g/dL

48
Trombosit 333 103/μL
Leukosit 17,5 103/μL (H)
Hitung Jenis
Basofil 0%
Eosinofil 1%
Neutrofil 76 % (H)
Limfosit 19 % (L)
NLR 4,00
Monosit 4%
Laju Endap Darah (LED) 24 mm/jam (H)
Golongan Darah + Rhesus
Golongan Darah A
Rhesus (+) Positif
Kimia Klinik
SGOT (AST) 30 U/L
SGPT (ALT) 18 U/L
Ureum Kreatinin
Ureum 14 mg/dL (L)
Kreatinin 0,7 mg/dL
GFR 115,8 mL/min/1,73 m2
Glukosa Sewaktu 113 mg/dL
Urinalisa
Protein Urin +1 mg/dL

3.5. RESUME
Pasien Ny. A usia 44 tahun dirujuk oleh Bidan Klinik ke IGD
Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan hipertensi. Keluhan
disertai dengan penglihatan buram sejak 1 minggu SMRS dan kaki bengkak
sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh sakit kepala yang hilang
timbul.

49
Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan tekanan darah 180/100
mmHg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema kedua tungkai kaki. Pada
pemeriksaan obstetri tinggi fundus uteri 23 cm dengan taksiran berat janin
1705 gram, His 2x10’25” dan DJJ 146x/menit. Pembukaan 1 cm dengan
presentasi kepala. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan proteinuria +1.

3.6. DIAGNOSIS KERJA


G3P1A1 Gravida 34-35 Minggu, Inpartu Kala I Fase Laten dengan
Preeklampsia Berat

3.7. RENCANA PENATALAKSANAAN


1) Terapi Non-Medikamentosa
- Observasi keadaan umum ibu, tanda-tanda vital ibu dan DJJ
- Pasang kateter urine untuk memantau urine output pasien
- Persiapan terminasi kehamilan
2) Terapi Medikamentosa
- IVFD RL 500 ml 20tpm
- 4 gr MgSO4 40% IV selama 15 menit
- Antihipertensi Nifedipin 3x10 mg PO
- Metildopa 3x500mg PO
- Pematangan Paru: Dexametason 2x6mg IM selama 2 hari

3.8. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : dubia ad malam
Quo Ad Functionam : dubia ad bonam

50
BAB IV
ANALISA KASUS

4.1. Apakah Penegakkan Diagnosis pada Pasien ini sudah tepat?


G3P1A1 Gravida 34-35 Minggu, Inpartu Kala 1 Fase Laten Dengan
Preeklampsia Berat
Teori Kasus
G3P1A1 Gravida 34-35 Minggu
Persalinan preterm adalah persalinan yang Pasien mengaku HPHT 10 Mei 2021
berlangsung pada umur kehamilan 20-37 sehingga pada saat pasien datang ke
minggu dihitung dari hari pertama haid usia kehamilannya adalah 34-35
terakhir6. minggu.
Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat ialah preeklampsia - Dari anamnesis didapatkan pasien
dengan tekanan darah sistolik ≥160 dirujuk dengan alasan tekanan darah
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 meningkat
mmHg disertai proteinuria lebih dari 5g/ - Pasien mengatakan bahwa tidak
24 jam. Preeklampsia terjadi pada umur memiliki riwayat darah tinggi
kehamilan diatas 20 minggu, paling sebelumnya maupun pada kehamilan
banyak terlihat pada umur kehamilan 37 sebelumnya
minggu3,6. - Keluhan pasien disertai penglihatan
Kriteria gejala dan kondisi yang buram dan kaki bengkak.
menunjukkan kondisi pemberatan - Tekanan darah 180/100 mmHg
preeklampsia atau preeklampsia berat - Pemeriksaan urin didapatkan
adalah satu atau lebih dari gejala sebagai proteinuria positif 2.
berikut: - Terdapat trias impending eclampsia
1) Hipertensi: Tekanan darah sekurang- berupa penglihatan buram, sakit
kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 kepala yang hilang timbul sejak 1
mmHg diastolik. minggu SMRS dan nyeri ulu hati saat
follow up hari kedua.

51
2) Proteinuria: protein di urin melebihi - Pada pasien ini tidak terdapat
300 mg dalam 24 jam atau tes urin riwayat kejang maupun penurunan
dipstick > positif 2. kesadaran.
3) Gangguan visus dan serebral:
penurunan kesadaran, nyeri kepala,
scotoma, pandangan kabur6,7.

4.2. Apakah etiologi dan faktor risiko pada pasien ini?


Teori Kasus
Faktor risiko: Riwayat preeklampsia pada Pada pasien ini terdapat faktor
kehamilan sebelumnya dan pada keluarga, Usia risiko preeklampsia, yaitu
≥ 35 tahun, Primigravida, Kehamilan pertama kehamilan oleh pasangan baru
oleh pasangan baru, Jarak kehamilan dari dan obesitas dengan IMT 30,7
kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih, kg/m2.
Obesitas, Kehamilan ganda, Riwayat penyakit
tertentu4,7,8,9

4.3. Apakah Penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat?


Infus RL + 4 gr MgSO4 40% bolus IV selama 15 menit
Pada pasien ini pengelolaan preeklampsia dimulai dengan memberikan MgSO 4
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang atau kejadian eklampsia serta
sebagai neuroprotektor. Syarat pemberian MgSO4 sudah terpenuhi, yaitu harus
tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu Ca Glukonas 10% = 1
gram (10% dalam 10 cc) diberikan I.V 3-5 menit (dalam keadaan siap pakai),
refleks patella (+) kuat, frekuensi pernafasan >16x/menit (tidak ada tanda distress
pernapasan) dan produksi urin >30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5
cc/kgBB/jam). Dimana penatalaksanaan ini sesuai dengan teori pemberian
MgSO4. Dilakukan pemasangan kateter urin untuk memantau urin output
pasien6,9,18.

52
Antihipertensi Nifedipin 3x10 mg PO dan Metildopa 3x500mg PO
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang digunakan sebagai
antihipertensi dan merupakan antihipertensi lini pertama pada PEB. Regimen
yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30 menit,
dengan dosis maksimum 30 mg. Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di
sistem saraf pusat, adalah obat antihipertensi yang mempunyai safety margin
yang luas (paling aman). Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per
oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat
maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam
sebelum diekskresikan lewat ginjal. Pada kasus ini diberikan antihipertensi lini
pertama adalah nifedipin oral short acting yang dikombinasikan dengan
metildopa oral long acting dengan dosis yang sesuai dengan algoritma untuk
mendapatkan efek terapi yang optimal6.
Pematangan Paru: Dexametason 2x6mg IM selama 2 hari
Pemberian kortikosteroid diberikan kepada wanita dengan risiko persalinan

preterm sebelum 32-34 minggu kehamilan. Tidak didapatkan adanya efek

samping dari pemberian kortikosteroid antenatal ini. Deksametason dan

betametason merupakan long acting glucocorticoids dimana keduanya mampu

menembus plasenta dalam bentuk aktif. Deksametason secara umum tersedia

dalam bentuk deksametason sodium phosphate solution dengan waktu paruh 36-

72 jam. Regimen yang sering digunakan adalah 4 kali dosis 6 mg deksametason

dengan interval 12 jam intramuskular. Pada kasus ini usia kehamilan pasien

adalah 34-35 minggu (tidak masuk dalam indikasi pemberian kortikosteroid),

namun pada pasien ini tetap diberikan kortikosteroid dexametason karena

dikhawatirkan perkembangan pematangan paru yang belum sempurna atau

dikhawatirkan adanya kesalahan dalam penghitungan HPHT15.

53
Teori Kasus
Terminasi Kehamilan
Berdasarkan PNPK POGI, terdapat kriteria Pada pasien ini dilakukan terminasi
terminasi kehamilan pada pasien ini, kehamilan sesuai dengan kriteria,
yaitu7: yaitu:
- Hipertensi berat yang tidak
terkontrol: tekanan darah pasien
tetap tinggi walaupun sudah
diberikan terapi antihipertensi
sejak masuk rumah sakit.
- Gejala PEB yang tidak berkurang:
pasien merasakan pandangan
kabur, sakit kepala, dan nyeri ulu
hati.
- Usia kehamilan 34 minggu: usia
kehamilan pada pasien ini
berkisar 34-35 minggu.
- Pertumbuhan janin terhambat.
4.4. Bagaimana Prognosis Pada Pasien ini?
Preeklampsia diperkirakan berakibat kematian maternal sebesar
14%. Kematian tersebut diakibatkan disfungsi sel endotel sistemik,
vasospasme yang menyebabkan kegagalan organ, komplikasi susunan saraf
pusat, komplikasi pada ginjal, gangguan koagulasi, dan solusio plasenta12.
Pada kasus, keluhan pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien tidak
merasakan gejala berat dan masih dalam keadaan sadar. Setelah dilakukan
partus sc, keluhan pasien seperti penglihatan buram sudah berkurang, sakit
kepala berkurang, namun pasien merasakan nyeri ulu hati.
Kemungkinan preeklampsia berulang adalah 10%12. Begitupun pada
kasus ini, kemungkinan terjadi kekambuhan adalah dubia ad malam karena
pada kehamilan berikutnya lebih berisiko terjadi preeklampsia.

54
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan etiologi
preeklampsia, namun faktor risikonya dapat dimodifikasi untuk mencegah
terjadinya preeklampsia. Edukasi terhadap masyarakat saat persiapan
kehamilan penting dilakukan agar mengurangi angka kejadian preeklampsia
hingga eklampsia.
Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang dianalisis guna memenuhi kriteria diagnosis
dan menentukan klasifikasi dari hipertensi pada kehamilan sehingga dapat
melakukan penatalaksanaan yang tepat.
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia harus cepat dan tepat guna
menghindari terjadinya komplikasi lanjut yang lebih merugikan dan
bergantung usia kehamilan serta kondisi ibu dan janin. Terminasi kehamilan
merupakan tata laksana yang dilakukan untuk pasien pada kasus ini. Selain
itu, dibutuhkan pemberian medikamentosa yang sebelumnya harus
diperhatikan syarat pemberiannya.

5.2. SARAN
Pelayanan terpadu serta skrining pada saat antenatal care perlu
ditingkatkan lagi sehingga bisa dengan cepat dan tepat memberikan
penatalaksanaan kepada pasien. Serta diperlukan edukasi yang komunikatif
sehingga pasien dapat menerapkan pencegahan terhadap faktor risiko
kejadian preeklampsia dan rutin melakukan pemeriksaan antenatal care
guna menurunkan angka kejadian preeklampsia hingga komplikasinya
terhadap ibu dan janin.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumulyo G, Iswari WA, dkk. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia


Berat Tidak Tergantung Proteinuria. CDK-255/ Vol. 44 No. 8.
2. Bobak dkk. 1995. Keperawatan maternitas. Jakarta: EGC.
3. Cunningham FG, et al. 2018 Williams Obstetrics, 25th Edition. New York:
McGraw-Hill Education
4. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R
Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi
20. Surabaya: Airlangga University Press, 2001; 456-70.
5. Myrtha, Risalina. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia.
CDK-227/ Vol. 42 No. 4.
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP – SP.
7. POGI. 2016 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata
Laksana Pre-eklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Diakses pada tgl 5 Mei 2021
https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/
8. Chalik TMH. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya
Medika, 1997; 109-26.
9. Pribadi Adhi, 2019, Preeklampsia “Stoppable”. Edisi pertama. Jakarta.
10. Lim Kee Hak. 2018. Preeclampsia. Medscape. Diakses 5 April 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview#a2
11. Martaadisoebrata, D., et al. 2018. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi
Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku EGC
12. Dutta D. 2015. DC Dutta’s Textbook of Obstetrics 8th Edition. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD
13. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta.
14. Mufdlilah. 2009. Panduan Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Yogyakarta: Nuha
Medika.

56
15. Ayu R, Sari RDP. 2017. Peran Kortikosteroid dalam Pematangan Paru
Intrauterin. Majority. Vol.6 No.3.
16. Ho V, Ho W. Hepatitis B in Pregnancy: Spesific Issues and Considerations. J
Antivir Antiretrovir 2012;4.
17. Surya, R. & Pudyastuti, S. (2019). Persalinan Preterm. CDK Edisi Suplemen-1/
Vol.46.
18. Wahyuni R., et al. 2017. Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan preterm
19. Mayo Clinic (2018). Disease and Conditions. Preterm Labor.
20. Rundel, K. & Panchal, B. (2017). Preterm Labor: Prevention and Management.
American Family Physician. 95 (6).
21. POGI. 2016 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Pengelolaan Kehamilan
dengan Pertumbuhan Janin Terhambat. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Diakses pada tgl 5 Mei 2021
https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/

22. Suhag A, Berghella V. Intrauterine growth restriction (IUGR) : etiology and


diagnosis. In : intrauterine growth restriction : identification and management
(Porto M. section editor). Curr obstet Gynecol Rep (2013) 2:102-111. Springer
Science 2013:1-7. New York.

23. Harkeness U, Mari G. Diagnosis and management of intrauterine growth


restriction. Elsevier; 2004.p. 745.
24. Gondo H and Suwardewa T. Ultrasonografi Buku Ajar Obstetri dan Ginekologi.
Jakarta : EGC ; 2014. p 185-96.

57

Anda mungkin juga menyukai