Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 3


REPRODUKSI 2

Nama : Reksa Samoedra


NIM : 020.06.0071
Kelas : B
Blok : Reproduksi 2
Dosen : dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

KEDUA KAKIKU BENGKAK

Skenario

Seorang perempuan usia 40 tahun G3P2A0 dengan umur kehamilan 32 minggu,


datang memeriksakan kehamilannya ke puskesmas. Ia mengatakan jika dalam satu minggu
terakhir ini, sering mengalami sakit kepala dan nyeri ulu hati. Ia juga mengeluhkan berat
badannya naik 2 kg dalam satu minggu dan kedua kaki bengkak. Riwayat tekanan darah
tinggi sebelum hamil disangkal.

Pada pemeriksaan TTV didapatkan tekanan darah 160/110 mmHg, nadi 90x/menit,
RR 20x/menit. Pemeriksaan kehamilan didapatkan tinggi fundus uteri di pertengahan proc
xypoideus-pusar, kepala belum masuk PAP, punggung kanan. Sebelumnya ibu hanya
melakukan ANC sekali di bidan pada saat usia kehamilan 4 bulan dan dinyatakan sehat
sehingga ibu tidak pernah periksa lagi. Apa yang akan dikhawatirkan oleh dokter apabila
keadaan ini terlambat ditangani?

Deskripsi Masalah

Pada skenario di atas, disebutkan bahwa seorang wanita dengan usia kehamilan 32
minggu datang ke puskesmas untuk memeriksakan kehamilannya. Dari anamnesa, wanita
tersebut mengeluhkan sudah seminggu ini ia merasakan sakit kepala dan nyeri di ulu hatinya.
Selain itu, ia juga mengalami kenaikan berat badan sebanyak 2 kg dan bengkak pada kakinya.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital yang paling mencolok adalah hasil pemeriksaan
tekanan darah yaitu didapatkan 160/110 yang mana sudah memasuki hipertensi grade kedua
menurut JNC 7. Jika dilihat dari informasi dan data-data yang didapatkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik pada skenario di atas, keluhan sakit kepala yang dialami pasien bisa timbul
akibat adanya pembuluh darah di kepala (cerebral) yang mengalami edema. Seperti yang kita
ketahui pada hipertensi akan terjadi kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan
menyebabkan pembuluh darah bervasokontriksi sehingga tekanan darah akan meningkat.
Selain itu, kerusakan sel endotel pembuluh darah tadi juga akan meningkatkan permeabilitas
dari pembuluh darah sehingga hal tersebut akan memudahkan cairan di plasma untuk
berpindah ke jaringan intersitial. Ketika cairan tersebut berpindah ke jaringan intersitial,
maka akan timbul gejala edema seperti pada skenario dan umumnya edema ini juga akan
disertai dengan peningkatan berat badan yang drastis. Kemudian untuk gejala nyeri di ulu hati
jika dihubungkan dengan patofisiologi gejala yang lainnya, hal yang paling mungkin
menyebabkan gejala ini adalah akibat adanya perdarahan di hepar (hati). Perdarahan ini
kemudian akan mengalir ke capsula Glisson hepar dan menyebabkan capsula ini teregang.
Akibat peregangan capsula Glisson ini, maka timbulah gejala nyeri ulu hati pada pasien
tersebut. Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital kita langsung dapat mencurigai wanita
pada skenario ini mengalami hipertensi pada kehamilan. Hipertensi pada kehamilan terdiri
dari beberapa klasifikasi seperti hipertensi kronik, hipertensi gestasional, superimposed
preeklampsia, preeklampsia dan juga eklampsia. Namun dari beberapa klasifikasi tadi tidak
semua masuk ke kriteria sesuai pada skenario. Beberapa data yang penting sebagai acuan
penegakan diagnosis adalah seperti usia wanita 40 tahun, tekanan darah yang tinggi yaitu
160/110 mmHg, multipara (G3P2A0), dan juga usia kehamilan 32 minggu ditambah dengan
adanya gejala-gejala tadi. Usia kehamilan yang sudah melewati 20 minggu berarti dapat kita
singkirkan dugaan diagnosis hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia pada wanita di
skenario. Yang mana berarti menyisakan tiga dugaan diagnosis yaitu hipertensi gestasional,
preeklampsia dan eklampsia. Namun, untuk menentukan diagnosis kerja pasien tersebut,
tentunya untuk menegakkan diagnosis tadi diperlukan hasil pemeriksaan penunjang seperti
urinalisis untuk mengetahui apakah wanita tersebut mengalami proteinuria atau tidak.
BAB II

PEMBAHASAN

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

 Definisi
Penyakit hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai kelainan tekanan
darah yang terjadi sebelum kehamilan atau muncul dalam kehamilan atau pada masa
nifas. Kasus hipertensi dalam kehamilan masih sering ditemui pada masyarakat dan
masih merupakan salah satu penyebab dari kematian ibu. Hipertensi dalam kehamilan
juga dapat menjadi penyebab dari kelahiran mati dan kematian perinatal yang
disebabkan akibat partus prematur.
Dikatakan hipertensi dalam kehamilan apabila tekanan darah ibu mencapai
≥140/90 mmHg. Hipertensi ini merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan
yang sering kali muncul selama masa kehamilan dan dapat juga menyebabkan
komplikasi pada 2- 3% kehamilan. Selain itu hipertensi pada kehamilan juga masih
merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu. (Imaroh, Nugraheni and
Dharminto, 2018).
 Epidemiologi
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh
kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi
preeklampsia di Negara maju adalah 1,3%-6%, sedangkan di Negara berkembang
adalah 1,8%-18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun
atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak
terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan
insiden infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan
antibiotik. (POGI, 2016)
Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah
pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit
kardiometabolik dan komplikasi lainnya. Hasil metaanalisis menunjukkan
peningkatan bermakna risiko hipertensi, penyakit jantung iskemik, stroke dan
tromboemboli vena pada ibu dengan riwayat preeklampsia dengan risiko relatif.
Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat, serta turut menyumbangkan besarnya angka
morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan
penyebab tersering kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat
badan lahir rendah atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko
penyakit metabolik pada saat dewasa. (POGI, 2016)
 Etiologi
Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui ada beberapa
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia, yaitu:
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis seperti mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
melitus, hidrops fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan
6. Obesitas. (Sarwono, 2016)
 Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang
sekarang banyak dianut adalah:
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, trofoblast akan menginvasi arteri-arteri spiralis pada
bagian endometrium. Invasi trofoblast ini akan membuat degenerasi lapisan
otot tersebur sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Trofoblast juga akan
menginvasi jaringan sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi
gembur dan memudahkan arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Dengan terjadinya dilatasi pada arteri spiralis ini, tekanan pada lumen arteri
akan menurun karena resistensi pembuluh darah yang turun. Hal ini akan
membuat aliran darah ke janin akan baik. Namun, pada hipertensi dalam
kehamilan, invasi trofoblast ke arteri-arteri spiralis dan jaringan sekitarnya
tidak terjadi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya tekanan pada arteri
spiralis meningkat karena arteri tersebut menjadi tetap kaku dan keras ketika
tidak terjadi invasi trofoblast. Arteri spiralis yang tidak mengalami
vasodilatasi dengan baik ini kemudian akan menyebabkan gangguan aliran
darah ke janin itu sendiri dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
(Sarwono, 2016)
2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi endotel
Ketika terjadi iskemia plasenta akibat aliran darah yang tidak optimal, maka
terjadi pembentukan oksidan (disebut juga radikal bebas). Radikal bebas
merupakan suatu atom atau molekul yang mempunyai elektron bebas. Salah
satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil
yang sangat toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak sebagai
oksidan/radikal bebas yang sangat toksik ini akan beredar di seluruh tubuh
dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel
endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena
letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
(Sarwono, 2016)
Oleh karena rusaknya sel endotel pembuluh darah yang disebabkan oleh
oksidan tersebut, maka terjadilah disfungsi endotel. Keadaan ini akan
menyebabkan gangguan produksi prostasiklin. Prostasiklin ini merupakan
suatu vasodilator kuat, sehingga ketika produksinya berkurang akan
mengakibatkan gangguan vasodilatasi. Kerusakan dari endotel pembuluh
darah tersebut juga akan meninduksi agregasi trombosit. Agregasi trombosit
pada dinding pembuluh darah yang rusak ini akan menyebabkan produksi
tromboksan meningkat. Tromboksan ini merupakan vasokonstriktor yang kuat
bagi pembuluh darah. Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi
vasodilatator). Pada hipertensi dalam kehamilan, kadar tromboksan lebih
tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi sehingga terjadi
kenaikan tekanan darah. (Sarwono, 2016)
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Hasil konsepsi merupakan benda asing bagi imunitas ibu itu sendiri. Namun,
pada kedaan normal, hasil konsepsi tersebut tidak diserang oleh sistem imun
ibu oleh karena adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G). Adanya
HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
Natural Killer (NK) ibu. HLA-G ini juga berperan dalam mempermudah
invasi trofoblast ke endometrium. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan,
terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua darah
plasenta, menghambat invasi trofoblast ke dalam endometrium. Trofoblast
yang tidak menginvasi endometrium dengan baik akan menyebabkan jaringan
desidua menjadi keras dan kaku, sehingga dilatasi arteri spiralis pun juga tidak
bisa berdilatasi karena kaku. Kedaan ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah. (Sarwono, 2016)
4. Teori adaptasi kardiovaskular
Dalam kehamilan yang normal, pembuluh darah ibu tidak peka terhadap
stimulus bahan-bahan vasokonstriktor akibat dilindungi oleh adanya sintesis
prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Kedaan ini disebut dengan
daya refrakter pembuluh darah. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi
kehilangan daya refrakter pembuluh darah yang berarti pembuluh darah
tersebut peka terhadap bahan-bahan vasokonstriktor. Oleh karena itu,
terjadilah peningkatan tekanan darah. (Sarwono, 2016)
5. Teori genetik
Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada
ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami
preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami
preeklampsia. (Sarwono, 2016)
6. Teori Defisiensi Gizi (Teori diet)
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk
minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Hal disebabkan
karena minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. (Sarwono, 2016)
Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet
perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda
tersamar, dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium
cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14 % sedang yang diberi
glukosa 17 %. (Sarwono, 2016)
7. Teori Stimulus Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses
apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preeklampsia terjadi peningkatan
stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga
meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar,
pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat meningkat,
sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga semakin meningkat. Keadaan ini
menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar
pula, sehingga terjadi reaksi inflamasi sistemik yang menimbulkan gejala-
gejala preeklampsia pada ibu. (Sarwono, 2016)
 Pemeriksaan fisik
Sebelum dilakukannya pemeriksaan fisik, terlebih dahulu dilakukannya
anamnesa terhadap pasien. Pada anamnesa, diharapkan mendapatkan informasi
tentang usia kehamilannya, apakah hipertensi terjadi sebelum kehamilan, apakah
adanya riwayat epilepsi (untuk menegakkan diagnosis eklampsia) dan mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan
seperti riwayat kehamilan sebelumnya (Primigravida, primipaternitas),
hiperplasentosis, Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, penyakit ginjal,
dan obesitas.
Setelah dilakukannya anamnesa, maka dilakukan pemeriksaan fisik berupa
pengukuran tekanan darah, namun pengukuran tekanan darah dilakukan ketika dalam
kedaan istirahat dan tidak dalam kondisi emosional. Dilihat apakah adanya edema
(Edema yang patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau
edema generalisata), edema ini juga biasanya disertai dengan peningkatan berat badan
yang cepat. Adanya oligouria ataupun anuria juga menandakan telah terjadi gangguan
pada ginjalnya. Adanya nyeri pada daerah epigastrium juga menandakan telah
terjadinya gangguan pada hepar yaitu adanya perdarahan yang meluas pada kapsula
Glisson sehingga kapsula ini akan teregang dan timbulah nyeri. Adanya penurunan
kesadaran dan gangguan pengelihatan merupakan tanda dari gangguan visus dan
serebral.
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan
urin untuk mengetahui apakah adanya proteinuria. Hal ini dilakukan untuk membantu
membedakan klasifikasi dari hipertensi dalam kehamilan (hipertensi kronik,
superimposed preeklampsia, hipertensi gestasional, dan preeklampsia/eklampsia).
Pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin serum), pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan
morfologi eritrosit (hemolisis mikroangiopati), pemeriksaan apakah adanya
trombositopenia dilakukan untuk menentukan beratnya ringannya hipertensi tersebut.
 Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Hipenensi kronik adalah hipertensi (≥140/90) yang timbul sebelum terjadinya
kehamilan atau terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu tanpa disertai
proteinuria
2. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi
(≥140/90) yang timbul pada kehamilan lebih dari 20 minggu tanpa disertai
proteinuria dan hipertensi menghilang <12 minggu setelah persalinan.
3. Superimposed preeklampsia adalah hipertensi (≥140/90) yang terjadi sebelum
usia kehamilan 20 minggu disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi
kronik disertai proteinuria.
4. Preeklampsia adalah hipertensi (≥140/90) yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria.
5. Preeklampsia ringan
a. Preeklampsia dikatakan ringan apabila tekanan darah ≥140/90 dan
<160/110 setelah usia kehamilan 20 minggu dan hasil pemeriksaan
urinnya didapatkan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan urin
menggunakan dipstick didapatkan hasil ≥ + 1.
b. Preeklampsia dikatakan berat apabila tekanan darah ≥160/110 setelah
usia kehamilan 20 minggu dan hasil pemeriksaan urinnya didapatkan
proteinuria >5 gram/24 jam atau pemeriksaan urin menggunakan
dipstick didapatkan hasil ≥ + 2. Preeklampsia berat juga dapat disertai
dengan oligouria yaitu volume urin yang <500 cc/24 jam. Dapat juga
disertai dengan keluhan subjektif seperti gangguan visus, gangguan
serebral (kepala terasa pusing), nyeri pada regio epigastrium dan
kuadran kanan atas, ataupun bisa terjadi sindrome HELLP.
6. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-keiang dan atau
koma. (Sarwono, 2016)

KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

TEKANAN DARAH
≥140/90

KEHAMILAN <20 KEHAMILAN >20


MINGGU MINGGU

SUPERIMPOSED
HIPERTENSI KRONIk, HIPERTENSI PREEKLAMPSIA,
PREEKLAMPSIA,
APABILA PROTEINURIA GESTASIONAL, APABILA APABILA PROTEINURIA
APABILA PROTEINURIA
(-) PROTEINURIA (-) (+)
(+)
DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis pada kasus skenario di atas dapat ditentukan dengan melakukan


anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Informasi yang didapatkan dari
anamnesa yaitu usia kehamilan pasien 32 minggu, terdapat gejala pusing dan nyeri ulu hati.
Kemudian pada pemeriksaan fisik didapatkan edema pada kaki disertai dengan berta badan
yang meningkat 2 kg dalam satu minggu. Hasil pada pemeriksaan tanda tanda vital
didapatkan tekanan darah yang meningkat yaitu 160/110 mmHg. Kasus pada skenario
tersebut belum bisa ditegakkan karena minimnya data-data yang menunjang untuk penegakan
diagnosis seperti pemeriksaan urinalisis untuk mengetahui apakah adanya proteinuria atau
tidak. Namun, jika dilihat dari gejala yang lainnya seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, dan
bengkak pada kaki yang disertai dengan peningkatan berat badan, hal ini kemungkinan
mengarah ke preeklampsia berat karena tekanan darahnya 160/110 dan disertai dengan gejala
gejala lainnya. Namun hal ini tetap perlu dilakukan pemeriksaan penunjang urinalisis untuk
penegakan diagnosisnya.

 Tatalaksana
Untuk preeklampsia, tatalaksana sesuai dengan derajat berat atau ringannya.
a. Preeklampsia ringan
Preeklampsia dikatakan ringan apabila tekanan darah ≥140/90 dan
<160/110 setelah usia kehamilan 20 minggu dan hasil pemeriksaan
urinnya didapatkan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan urin
menggunakan dipstick didapatkan hasil ≥ + 1.
Tatalaksana pada preeklampsia ringan yaitu apabila usia kehamilan
>37 minggu, maka dilakukan terminasi kehamilan. Namun apabila usia
kehamilan <37 minggu, dilakukan pemantauan tekanan darah,
memberikan obat antihipertensi, pemantauan proteinuria, menilai
refleks patella, dan pemantauan kondisi janin menggunakan non stress
test (NST) hingga usia kehamilan mencapai 37 minggu, dan selama
usia belum mencapai 37 minggu terapi dilakukan dengan rawat jalan
dan melakukan kunjungan setiap 1 minggu sekali. Pasien dirawat inap
apabila hasil dari NST tidak bagus, terdapat gejala preeklampsia berat
atau tidak perbaikan setelah 2 kali kunjungan. Namun, ketika selama
terapi ibu mengalami kenaikan tekanan darah, gangguan pertumbuhan
janin, ataupun proteinuria yang semakin memburuk maka dilakukan
langsung tindakan terminasi kehamilan. (Sarwono, 2016)
b. Preeklampsia berat
Preeklampsia dikatakan berat apabila tekanan darah ≥160/110 setelah
usia kehamilan 20 minggu dan hasil pemeriksaan urinnya didapatkan
proteinuria >5 gram/24 jam atau pemeriksaan urin menggunakan
dipstick didapatkan hasil ≥ + 2. Preeklampsia berat juga dapat disertai
dengan oligouria yaitu volume urin yang <500 cc/24 jam. Dapat juga
disertai dengan keluhan subjektif seperti gangguan visus, gangguan
serebral (kepala terasa pusing), nyeri pada regio epigastrium dan
kuadran kanan atas, ataupun bisa terjadi sindrome HELLP.
Tatalaksana pada preeklampsia berat dibagi menjadi tatalaksana
konservatif dan tatalaksana aktif. (Sarwono, 2016)

 Tatalaksana konservatif
Tatalaksana konservatif dilakukan apabila usia kehamilan <37
minggu tanpa adanya keluhan subjektif dan hasil NST bagus.
Tatalaksananya berupa pemberian infus ringer laktat 60-125
cc/24 jam, MgSO4 sebagai profilaksis kejang, pemberian obat
antihipertensi, observasi fungsi ginjal dan hati. (Sarwono,
2016)
 Tatalaksana aktif
Tatalaksana aktif dilakukan apabila adanya impending
eklampsia (seperti tekanan darah yang semakin meningkat,
sakit kepala yang semakin parah, adanya mual dan muntah,
ataupun adanya gangguan visus), terdapat sindrom HELLP
(LDH meningkat/adanya blur cells, SGOT dan SGPT
meningkat, trombositopenia), fungsi ginjal tidak bagus, hasil
NST tidak bagus, atau kehamilan sudah mencapai 37 minggu
atau lebih.
Tatalaksana yang diberikan yaitu:
1) Pemebrian MgSO 4 dengan regimen:
- Loading dose  4 gram MgSO4 intravena, (40 %
dalam 10 cc) selama 15 menit.
- maintenance dose  Diberikan infus 5 gram dalam
larutan Ringer laktat/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram
i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
i.m. tiap 4 - 6 jam.
Pemberian MgSO4 dihentikan apabila ada tanda-tanda
intoksikasi seperti refleks patella (-), distress
pernapasan (respirasi rate <16 kali/menit), produksi urin
<25 cc/jam atau <150 cc/6 jam.
2) Penanganan obstetri
Pada penanganan obstetri dilakukan persalinan
pervaginam dengan induksi oksitosin drip apabila
kesejahteraan janin baik dan jalan lahir baik. Ketika
proses persalinan di kala 2, dilakukan dengan forcep
ataupun vakum guna mempercepat persalinan. Hal ini
dikarenakan ibu tidak boleh mengejan saat proses
persalinan. Namun, apabila kesejahteraan janin tidak
bagus, jalan lahir tidak bagus, kegagalan oksitosin drip,
ataupun terdapatnya kontraindikasi pervaginam seperti
kelainan letak janin dan plasenta previa, maka dapat
dilakukan tindakan sectio caesarea (SC). (Sarwono,
2016)
 Komplikasi
1. Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated Liver Enzymes, Low Platelets Count)
2. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat
3. Edema paru
4. Kematian janin
5. Koma
6. Kematian ibu (Panduan Praktik Klinis, 2017)
 Prognosis & KIE
Peeklampsia umumnya dubia ad Bonam untuk ibu maupun janin. KIE yang
dapat diberikan yaitu memberikan informasi mengenai keadaan kesehatan ibu hamil
dengan tekanan darah yang tinggi. Melakukan edukasi terhadapa pasien, suami dan
keluarga jika menemukan gejala atau keluhan dari ibu hamil segera memberitahu
petugas kesehatan atau langsung ke pelayanan kesehatan. Sebelum pemberian
MgSO4, pasien terlebih dulu diberitahu akan mengalami rasa panas dengan
pemberian obat tersebut. Suami dan keluarga pasien tetap diberi motivasi untuk
melakukan pendampingan terhadap ibu hamil selama proses rujukan
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahwa hipertensi dalam
kehamilan merupakan kedaan terjadinya peningkatan tekanan darah sebelum kehamilan atau
muncul dalam kehamilan atau pada masa nifas. WHO memperkirakan kasus preeklampsia
tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi
preeklampsia di Negara maju adalah 1,3%-6%, sedangkan di Negara berkembang adalah
1,8%-18%. Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan menjadi hipertensi kronik apabila
tekanan darah ≥140/90 pada usia kehamilan <20 minggu tanpa disertai proteinuria,
superimposed preeklampsia apabila tekanan darah ≥140/90 pada usia kehamilan <20 minggu
disertai proteinuria, hipertensi gestasional apabila tekanan darah ≥140/90 pada usia
kehamilan >20 minggu tanpa disertai proteinuria, preeklampsia apabila tekanan darah
≥140/90 pada usia kehamilan >20 minggu disertai proteinuria, dan eklampsia apabila
preeklampsia disertai adanya kejang dan atau koma. Pada kasus di atas, kemungkinan yang
dialami pasien yaitu preeklampsia berat, namun karena belum ada pemeriksaan penunjang
yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis seperti urinalisis, diagnosis tersebut
belum dapat ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono. 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Alatas, Haidar. 2019. Hipertensi Pada Kehamilan. RSUD Banyumas. Jurnal


Kedokteran Masyarakat Volume 32 Nomor 9

Anindhita, Kesuma. 2017. Perbedaan Curah Saliva Pada Wanita Hamil Trimester 1,
Trimester 2, Dan Trimester 3. Universitas Diponoegoro

Basri, Hasan. Dkk. 2018. Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Ibu
Hamil di Kota Makassar. Universitas Hasanuddin. Vol. 14, No. 2

Cunningham, et al. 2013. Obstetri Williams Edisi 23 Volume 1. Jakarta : EGC.

Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017.

Anda mungkin juga menyukai