Anda di halaman 1dari 34

PREEKLAMPSIA BERAT

LAPORAN KASUS

Oleh
Enggar Kharisma Afroditta
NIM 20710163

Pembimbing
dr. Daniel Alexander Suseno,Sp. OG

SMF ILMU PENYAKIT OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

Indikator keberhasilan upaya kesehatan ibu dan derajat kesehatan masyarakat dapat
ditentukan dari Angka Kematian Ibu (AKI). AKI adalah rasio kematian ibu selama masa
kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan dan nifas atau
pengelolaannya (tidak dikarenakan sebab lain seperti kecelakaan atau terjatuh) di setiap
100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia, AKI di Jawa
Timur pada tahun 2019, tercatat 89,81/100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
mengalami peningkatan pada tahun 2020 mencapai 98,39/100.000 kelahiran hidup. AKI di
Kabupaten Jember menjadi yang tertinggi se-Jawa Timur selama tahun 2020 yaitu sebesar
173,53/100.000 kelahiran hidup (61 kasus) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2021).

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu di
Indonesia. Tiga penyebab tertinggi kematian ibu pada tahun 2015-2020 adalah hipertensi
dalam kehamilan sebesar 26,90% atau sebanyak 152 kasus , perdarahan yaitu 21,59%
atau sebanyak 122 kasus, dan penyebab lain-lain yaitu 37,17% atau 210 kasus (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2021). Proporsi penyebab terbanyak angka kematian Ibu
di Jawa Timur adalah Preeklampsia-eklampsia (29,9%). Preeklampsia juga menjadi
penyebab tingginya morbiditas serta mortalitas ibu dan bayi (PNPK POGI, 2016).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi pada kehamilan merupakan salah satu penyulit
kehamilan yang paling umum terjadi. Hipertensi pada kehamilan dibedakan menjadi empat
macam, yaitu : (1) hipertensi kronis; (2) hipertensi kronis superiomposed preeclampsia;
(3) hipertensi gestasional; dan (4) preeklampsia dan eklampsia. Sebagian besar negara
masih mengaitkan kematian maternal akibat komplikasi obstetrik sebanyak 18.5% dengan
hipertensi pada kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat berdampak pada ibu saat
hamil dan melahirkan, serta dapat menimbulkan masalah pasca persalinan akibat disfungsi
endotel diberbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi lainnya.
Selain memberikan dampak buruk bagi ibu, dampak jangka panjang juga dapat terjadi
pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah
akibat persalinan prematur, mengalami pertumbuhan janin terhambat, dan asfiksia.
Efek dari preeklampsia terhadap janin sangat besar karena pada preeklampsia
terjadi implantasi plasenta yang tidak sempurna, sehingga akan menyebabkan aliran darah
dari ibu ke janin yang tidak adekuat (Rana et al., 2019). Dari latar belakang tersebut,
penulis tertarik untuk membahas lebih dalam terkait kasus preeklampsia yang menjadi
salah satu penyumbang terbanyak AKI di Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik sekurang-kurangnya 140 mmHg atau


diastolik 90 mmHg pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, hipertensi
dalam kehamilan dibagi dalam empat kelompok, yaitu: (1) hipertensi kronis; (2) hipertensi
kronis superimposed preeclampsia; (3) hipertensi gestasional; serta (4) preeklampsia dan
eklampsia (Pauli dan Repke, 2017).

Hipertensi kronis merupakan peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg sebelum usia kehamilan 20 minggu dan menetap
sampai 12 minggu setelah persalinan. Hipertensi kronis superimposed preeklampsia
merupakan suatu kondisi dimana hipertensi kronis yang memberat dengan tanda-tanda
preeklampsia setelah usia kehamilan ≥20 minggu. Hipertensi gestasional merupakan
hipertensi yang baru terjadi saat usia kehamilan ≥ 20 minggu tanpa disertai dengan
gangguan organ dan menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Preeklampsia
merupakan hipertensi yang baru terjadi saat usia kehamilan ≥20 minggu disertai adanya
gangguan pada organ (PNPK POGI, 2016).

Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan apabila tekanan darah sistolik ≥ 140


mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg yang terjadi setelah usia kehamilan 20
minggu disertai dengan salah satu gejala meliputi proteinuria ≥ 300mg dalam 24 jam atau
≥ +1 pada pemeriksaan tes urin dipstik, trombositopenia (<100.000/microliter), kreatinin
serum >1,1 mg/dL atau terjadi peningkatan kreatinin serum tanpa ditemukan tanda-tanda
kelainan ginjal lainnya, peningkatan kadar serum transaminase dua kali normal atau
disertai nyeri epigastrium, edema paru, gangguan neurologis (nyeri kepala, gangguan
visus) oligohidramnion serta gangguan pertumbuhan janin. Preeklampsia berat merupakan
kondisi preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau sistolik ≥ 110
mmHg. Eklampsia merupakan kejadian kejang dan/atau koma pada wanita dengan
preeklampsia yang tidak disebabkan penyebab lain. Kejang yang terjadi merupakan kejang
umum dan dapat terjadi sebelum, saat atau setelah persalinan (PNPK POGI, 2016).
2.2 Epidemiologi

Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada 10% ibu hamil di seluruh dunia, dan
sekitar 3-5% merupakan kasus preeklampsia. WHO memperkirakan kasus preeklampsia
tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi
preeklampsia di negara maju adalah 1,3%-6%, sedangkan di negara berkembang mencapai
1,8%-18%. (Ananth et al., 2013). Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah
128.273/tahun atau sekitar 5,3% dari kasus pada kehamilan dan cenderung tidak ada
penurunan bermakna dalam dua dekade terakhir (PNPK POGI, 2016).

Angka morbiditas dan mortalitas akibat preeklampsia sangat tinggi. Terdapat


70.000 kematian ibu dan 500.000 kematian janin akibat preeklampsia setiap tahunnya
(Rana et al., 2019). Menurut Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) pada
tahun 2016, hipertensi dalam kehamilan menjadi salah satu dari tiga penyebab utama
kematian ibu di Indonesia. Sejumlah 25% dari seluruh angka kematian ibu disebabkan oleh
hipertensi dalam kehamilan (PNPK POGI, 2016).

Preeklampsia juga dilaporkan sebagai penyebab tingginya angka section cesarea,


lahirnya bayi premature, dan pasien rawat inap di ICU (Rana et al., 2019). Selain itu
preeklampsia juga meningkatkan risiko terhadap hipertensi (3,7%), penyakit jantung
iskemik (2,16%), stroke (1,81%), dan tromboemboli vena (1,79%). Preeklampsia juga
menjadi penyebab terjadinya berat badan lahir rendah serta pertumbuhan janin terhambat.
Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya penyakit metabolik saat
dewasa (PNPK POGI, 2016).

2.3 Etiologi

Penyebab preeklampsia belum diketahui secara pasti sampai saat ini. Menurut
Cunningham et al. tahun 2014 penyebab dari preeklampsia dikarakteristikan oleh adanya
abnormalitas di pembuluh darah berupa jejas sel endotel vaskular diikuti vasospasme,
transudasi plasma, serta sekuel iskemik dan trombotik. Berikut adalah beberapa teori yang
menerangkan proses terjadinya preeklampsia menurut Saiffudin et al., tahun 2014:

a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang- cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium menjadi arteri arkuarta dan memberi cabang ke arteri
radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis kemudian
memberi cabang ke arteri spiralis. Kemudian dengan sebab yang belum jelas,
terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis dan jaringan sekitarnya
sehingga matriks lapisan tersebut menjadi kendor dan diikuti oleh degenerasi
lapisan otot arteri spiralis. Hal ini akan mempermudah distensi dan vasodilatasi
arteri spiralis. Distensi dan vasodolatasi lumen arteri spiralis berdampak pada
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada region sirkulasi uteroplasenta. Akibatnya, perfusi ke jaringan janin
meningkat sehingga dapat mendukung pertumbuhan janin. Proses ini disebut
dengan remodeling arteri spiralis.
Pada kejadian hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis mengalami
vasokonstriksi relative yang berlanjut pada kegagalan remodelling arteri spiralis
sehingga sirkulasi uteroplasenta akan menurun dan terjadi proses hipoksia dan
iskemia plasenta. Dengan berkurangnya aliran darah akibat iskemi, jaringan sekitar
plasenta akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan gangguan organ pada
preeklampsia (Cunningham et al., 2014).
b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel
Teori ini menjelaskan tentang proses iskemia pada plasenta akibat proses
remodeling arteri spiralis. Plasenta yang iskemik dan hipoksik akan menghasilkan
bahan oksidan atau radikal bebas. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan
adalah radikal hidroksil yang bersifat toksik khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak kemudian akan merusak membran sel, nukleus, dan protein sel endotel.
Pada kondisi awal proses destruksi ini masih dapat dikompensasi dengan
adanya produksi bahan antioksidan pada tubuh contohnya vitamin E. Sehingga
terjadi dominasi kadar oksidan peroksida yang lebih tinggi. Peroksida lemak
sebagai oksidan yang sangat toksik ini akan beredar di seluruh tubuh dan merusak
membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada waktu
terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi endotel, akan terjadi
gangguan metabolisme prostaglandin dan terjadi agregasi platelet pada daerah
endotel yang mengalami kerusakan (Saiffudin et al., 2014). Karena gangguan
metabolisme prostaglandin, pada saat yang sama agregasi platelet memproduksi
tromboksan A2, suatu vasokonstriktor kuat, maka cenderung meningkatkan
sensitivitas terhadap angiotensin II yang mengakibatkan vasokonstriksi dan
menimbulkan hipertensi (Cunningham et al., 2014). Selain itu juga disfungsi
endotel mengakibatkan perubahan khas pada endotel kapiler glomerulus,
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor,
dan peningkatan faktor koagulasi (Saiffudin et al., 2014).
c. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin
Pada plasenta ibu yang mengalami preeklampsia terjadi penurunan ekspresi
HLA-G. Berkurangnya HLA-G ini di desidua daerah plasenta, menghambat invasi
trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangatlah penting agar jaringan
desidua menjadi lunak dan gembur, sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri
spiralis (Saiffudin et al., 2014).
d. Teori Adaptasi Kardiovaskular
Pada kehamilan normal pembuluh darah cenderung refrakter atau tidak
peka terhadap bahan-bahan vasopresor karena sintesis prostaglandin jenis
prostasiklin (PGI2) pada sel endotel yang melindungi pembuluh darah dari bahan-
bahan tersebut. Pada kondisi preeklampsia, sintesis dari prostasiklin ini menurun
sehingga pembuluh darah akan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasopresor sehingga lebih peka terhadap bahan tersebut dan muncul respon
vasokonstriksi (Saiffudin et al., 2014)
e. Teori Genetik
Preeklampsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Risiko
insiden preeklampsia meningkat 20-40% pada anak dari ibu yang pernah
mengalami preklampsia, 11-37% pada saudara perempuan seorang penderita
preeklampsia, dan 22-47% pada saudari kembar. Mungkin keadaan ini merupakan
akibat interaksi ratusan gen yang diwariskan dan dapat mengendalikan sejumlah
besar fungsi metabolik dan enzimatik di sistem organ (Cunningham et al., 2014)
f. Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penilitian terakhir
menunjkkan bahwa konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksanA2 dan aktivasi trombosit sehingga mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah (Saiffudin et al., 2014). Penelitian oleh John dkk pada tahun 2002
juga menunjukkan bahwa diet buah dan sayur akan membantu meningkatkan kadar
bahan antioksidan di tubuh dan membantu menurunkan peningkatan tekanan darah.
Penelitian oleh Zhang dkk tahun 2002 juga menunjukkan insidensipreeklampsia
meningkat sebanyak 2 kali lipat pada wanita yang mengonsumsi asam askorbat <
85 mg per hari. Penelitian ini diikuti oleh penelitian dari Vilar dkk pada tahun 2006
yang menunjukkan hasil bahwa suplementasi kalsium pada daerah dengan
konsumsi kalsium rendah tidak berkaitan erat dengan insidensi preeklampsia di
daerah tersebut (Cunningham et al., 2014).

2.4 Patofisiologi

Meskipun penyebab jelas dari preeklampsia masih belum diketahui, bukti


timbulnya manifestasi klinis preeklampsia mulai tampak sejak awal kehamilan, berupa
gejala yang samar-samar hingga muncul dengan jelas secara klinis di kemudian hari. Jika
preeklampsia tidak dideteksi dan ditangani sejak dini maka akan menimbulkan komplikasi
pada organ tubuh mulai dari komplikasi yang ringan hingga mengancam nyawa dari ibu
maupun janin. Mekanisme terjadinya preeklampsia diduga akibat dari vasospasme,
disfungsi endotel, dan iskemia pada pembuluh darah (Cunningham, et al., 2014).

Mekanisme vasospasme pada pembuluh darah disebabkan oleh meningkatnya


aktivasi bahan-bahan vasopresor seperti angiotensin II dan endothelin yang jumlahnya
cenderung mendominasi pada wanita hamil diikuti oleh menurunnya produksi bahan-
bahan vasodilatior seperti nictric oxide dan prostasiklin. Bahan-bahan vasopresor tersebut
akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan resistensi perifer pembuluh darah
sehingga terjadi hipertensi. Pada saat yang sama akibat dari vasokonstriksi yang berlebihan
akan terjadi stress oksidatif pada pembuluh darah sehingga menimbulkan jejas pada sel
endotel kemudian terjadi kebocoran cairan ke intertisial dimana darah termasuk platelet
dan fibrinogen akan terdeposit di region subendotel. Hal ini akan menyebabkan perubahan
struktur maupun obstruksi pada pembuluh darah yang kemudian berlanjut dengan
penurunan aliran darah. Penurunan aliran darah ini akan mengakibatkan iskemia dan
berakhir dengan nekrosis pada jaringan pembuluh darah. Jika terjadi pada sistem organ di
tubuh maka akan mengakibatkan kerusakan dari sistem organ tersebut (Cunningham et al.,
2014).

Proteinuria masuk dalam kriteria minimal dalam penegakkan diagnosis


preeklampsia. Pada kehamilan normal, aliran darah ginjal dan glomerular filtration rate
(GFR) umumnya meningkat. Namun, pada kondisi preeklampsisa akibat dari stres
oksidatif pada pembuluh darah juga mengakibatkan perubahan anatomis maupun fungsi
fisiologis ginjal dimana terjadi peningkatan dari arteriol aferen ginjal dan endoteliosis
glomerulus akan menyebabkan obstruksi pada fungsi filtrasi glomerulus. Hal ini akan
mengakibatkan penurunan perfusi ginjal dan GFR. Perubahan degeneratif dalam
glomerulus menyebabkan kehilangan protein melalui urin. Rasio albumin/ globulin dalam
urin pasien preeklampsia-eklamsia kira-kira 3:1. (Benson & Pernoll, 2013).

Pengaruh dari preeklampsia berefek pada berbagai sistem organ yaitu :

a. Sistem Kardiovaskular
Pada sistem kardiovaskular terjadi gangguan pada fungsinya disebabkan
oleh peningkatan afterload cairan akibat hipertensi, penurunan preload akibat
vasokonstriksi secara menyeluruh dan peningkatan permeabilitias vaskuler
sehingga terjadi kondisi hipovolemia, serta aktivasi zat-zat endothelial yang
menyebabkan ekstravasasi cairan ke lumen ekstraseluler, terutama ke paru-paru
(Roberts, 2013).
b. Perubahan pada sistem hematologi
Pada preeklampsia yang berat akibat dari jejas pada endotel disertai dengan
adherensi dan deposit fibrin dan platelet dapat terjadi hemolisis (ditandai dengan
peningkatan LDH dan haptoglobin pada serum darah). Selain itu akibat dari
peningkatan dari agregasi platelet juga mengakibatkan tubuh masuk pada kondisi
trombositopenia. Menurut penelitian dari Leduc pada tahun 1992 semakin rendah
jumlah platelet maka tingkat kematian janin dan ibu akan meningkat (Cunningham
et al., 2014). Pada kebanyakan kasus umumnya persalinan tetap dilanjutkan.
Setelah proses persalinan trombositopenia akan terjadi selama hari pertama dan
kedua kemudian jumlah trombosit akan meningkat secara progresif menuju tingkat
normal dalam 3 sampai 5 hari. Namun, pada beberapa kasus PEB yang disertai
dengan komplikasi HELLP syndrome platelet akan terus menurun setelah
persalinan (Roberts, 2013).
c. Gangguan Ginjal
Pada kehamilanan normal aliran darah ginjal dan fungsi filtrasi glomerulus
umumnya akan meningkat. Namun pada kondisi preeklampsia akan terjadi
perubahan secara anatomis maupun dari fisiologis dimana perfusi ke ginjal dan
filtrasi glomerulus akan menurun disebabkan oleh penurunan volume plasma,
peningkatan resistensi arteriol aferen ginjal, dan endoteliosis glomerulus yang
menyebabkan hambatan pada saluran di ginjal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
peningkatan serum kreatinin > 1,1 mg/ml. Pada kebanyakan wanita dengan
preeklampsia juga terjadi oliguria diikuti peningkatan konsentrasi natrium, asam
urat, dan kalsium di urin pada pemeriksaan laboratorium. Hal ini dapat terjadi
karena kegagalan pada fungsi filtrasi maupun reabsorbsi pada ginjal (Roberts,
2013).
d. Gangguan Hati
Pada hepar, akibat dari iskemia pada pembuluh darah, dapat terjadi infark
kemudian diikuti perdarahan di regio periportal hepar. Pada infark dan perdarahan
yang parah dapat terjadi hematoma pada hepar. Gangguan pada hepar dapat
dideteksi dengan adanya nyeri perut di regio epigastrik dan kuadran kanan atas
juga kenaikan serum transaminase pada pemeriksaan laboratorium (Roberts, 2013).
e. Gangguan pada sistem respirasi
Pada wanita dengan preeklampsia, akibat dari jejas pada endotel dan
peningkatan permeabilitas vaskuler, dapat terjadi ekstravasasi cairan ke lumen
ekstraseluler termasuk dalam paru-paru. Pemberian cairan berlebih pada wanita
preeklampsia dapat memperparah kondisi tersebut dan menyebabkan edema pada
paru-paru (Roberts, 2013).
f. Gangguan neurologis
Pada wanita dengan preeklampsia dapat terjadi gangguan neurologis. Ada 2
teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya gangguan neurologis tersebut. Teori
yang pertama menyatakan bahwa disfungsi endotel akibat dari hipertensi akan
menyebabkan overregulasi pada pembuluh darah di otak yang menyebabkan
vasospasme. Hal ini akan berlanjut dengan penurunan aliran darah ke otak, edema
sitotoksik, dan infark pada jaringan otak.
Teori yang kedua menyatakan akibat peningkatan tekanan darah sistemik
secara tiba-tiba terutama di daerah kapiler otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik, hiperperfusi, serta ekstravasasi sel darah dan plasma yang
kemudian berlanjut dengan edema vasogenik. Regio yang paling sering terkena
dampak pada preeklampsia adalan regio korteks pariteooksipital otak. Perubahan
ini dapat dideteksi dengan munculnya manifestasi klinis berupa nyeri kepala dan
scotomata (akibat dari hiperperfusi pada lobus oksipital otak), kejang (akibat
pelepasan berlebih dari neurotransmiter otak dan eksitasi berlebih pada jaringan
saraf), kebutaan, dan edema serebri generalisata (Roberts, 2013).
g. Gangguan sirkulasi uteroplasenta
Defek pada invasi trofoblas pada wanita dengan preeklampsia akan
menyebabkan gangguan sirkulasi dari ibu ke janin. Hal ini dapat berakibat dengan
restriksi pada pertumbuhan janin (Roberts, 2013).

2.5 Faktor Risiko

a. Umur ibu > 35 tahun


Insiden tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insiden preeklampsia meningkat
sebesar > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi
hipertensi yang menetap (Manuaba, 2004). Risiko preeklampsia pada kehamilan
kedua dan seterusnya akan meningkat dengan pertambahan usia ibu yaitu sebanyak
1,3 kali lipat setiap 5 tahun pertambahan umur (PNPK, 2016).
b. Paritas
Ibu yang memiliki paritas lebih dari 3 berisiko mengalami preeklampsia
dibandingkan ibu yang memiliki paritas 1-3. Pada multipara, lingkungan
endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna dan tidak siap
menerima hasil konsepsi, sehingga pemberian nutrisi dan oksigenasi pada janin
kurang sempurna dan akan menimbulkan gangguan pertumbuhan janin sehingga
risiko terjadinya preeklampsia akan bertambah (Winkjosastro, 2008; Lusiana,
2015).
c. Primigravida
Wanita nulipara memiliki risiko 3 kali lipat lebih tinggi terkena
preeklampsia (PNPK POGI, 2016).
d. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
merupakan salah satu faktor risiko utama dimana dapat berisiko hingga 7 kali lipat
kembali terkena preeklampsia dan juga berkaitan dengan preeklampsia berat,
preeklampsia onset dini, serta dampak perinatal yang buruk (PNPK POGI, 2016).
e. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor
risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang
memiliki paparan rendah terhadap sperma (PNPK POGI, 2016).
f. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki
risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Risiko timbulnya preeklampsia
semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5
setiap 5 tahun jarak antar kehamilan) (PNPK POGI, 2016).
g. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan
kembar meningkatkan risiko timbulnya preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa
lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat
dibandingkan kehamilan duplet (PNPK POGI, 2016).
h. Obesitas sebelum hamil
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko timbulnya
meningkat dengan semakin tingginya Indeks Massa Tubuh (IMT).Obesitas juga
sangat berhubungan dengan resistensi insulin juga merupakan faktor risiko
preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko timbulnya preeklampsia sebanyak
2,47 kali lipat. Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan
pada 878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada
kehamilan di populasi wanita yang kurus (BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan
10,1% pada populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0) (PNPK POGI, 2016).
i. Hipertensi kronik
Pada penelitian yang dilakukan Chappell dkk tahun 2008 yang melibatkan
861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeclampsia
superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir setengahnya adalah preeklampsia
onset dini (<34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.
Pada penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat
dinilai secara dini sebagai prediktor timbulnya preeclampsia superimposed pada
wanita dengan hipertensi kronik yaitu riwayat preeklampsia sebelumnya, penyakit
ginjal kronis, merokok, obesitas, TD diastolik > 80 mmHg, dan TD sistolik > 130
mmHg (PNPK POGI, 2016).
j. Penyakit Ginjal
Risiko preeklampsia akan semakin meningkat seiring dengan tingkat
keparahan dari penyakit ginjal yang diderita oleh wanita hamil tersebut (PNPK
POGI, 2016).
k. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil (PNPK POGI, 2016).
l. Sindrom antifosfolipid (APS)
Dari 2 studi kasus kontrol yang dilakukan oleh Duckitt tahun 2005
menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan
lupus atau keduanya) di tubuh akan meningkatkan risiko timbulnyapreeklampsia
hingga 10 kali lipat (PNPK POGI, 2016).
m. Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
Ibu hamil dengan riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal memiliki
kemungkinan 1-2 kali lebuh besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan
dengan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal.
Sebagian besar kontrasepsi hormonal mengandung hormon estrogen dan
progesteron. Hormon dalam kontrasepsi ini telah diatur sedemikian rupa sehingga
mendekati kadar hormon dalam tubuh akseptor. Namun jika digunakan dalam
jangka waktu yang lama akan menimbulkan efek samping lain. Kedua hormon
tersebut memiliki kemampuan untuk memperoleh retensi ion natrium dan sekresi
air disertai kenaikan aktivitas renin plasma dan pembentukan angiotensin sehingga
dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah yang mengarah pada
preeklampsia (Setyawati dkk., 2018).

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang timbul pada preeklampsia adalah (PNPK POGI, 2016).:
a. Hipertensi
b. Gangguan pada fungsi ginjal berupa oliguria, anuria, dan proteinuria
c. Gejala neurologis yaitu sakit kepala, gangguan penglihatan, gangguan kesadaran
d. Edema perifer
e. Nyeri di region epigastrik abdomen atau di kuadran kanan atas abdomen
f. Sesak
g. Gangguan pertumbuhan janin

2.7 Diagnosis

Diagnosis preeklampsia berat dapat ditegakkan jika ada diagnosis preeklampsia


disertai salah satu dari kriteria klinis pemberatan preeklampsia sebagai berikut (PNPK
POGI, 2016).

a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama;
b. Proteinuria: kadar proteinurin ≥300 mg dalam 24 jam atau pada tes urindipstik
menunjukkan protein positif ≥1.

Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu dibawah ini:

a. Trombositopenia: trombosit <100.000/mikroliter


b. Gangguan ginjal:kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak adakelainan ginjal
lainnya
c. Gangguan liver: peningkatan serum transaminase 2 kali kadar normal dan atau
adanya nyeri regioepigastrik/kuadran kanan atas abdomen
d. Edema paru;
e. Gangguan neurologis: stroke, nyeri kepala, gangguan visus; atau
f. Gangguan sirkulasi uteroplasenta: oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV) (PNPK
POGI, 2016).

2.8 Diagnosis Banding

a. Hipertensi Kronik
Hipertensi yang terjadi sebelum kehamilan atau muncul pada usia
kehamilan <20 minggu atau hipertensi yang pertama kali terdiagnosa setelah usia
kehamilan >20 minggu dan menetap hingga >12 minggu pasca persalinan.

b. Hipertensi Kronik dengan Preeklampsia Superimposed


Hipertensi kronik yang memberat disertai dengan tanda-tanda preeklampsia
pada usia kehamilan ≥20 minggu.
c. Hipertensi gestasional
Hipertensi yang baru terjadi pada usia kehamilan ≥20 minggu tanpa disertai
tanda – tanda preeklampsia dan tidak menetap >12 minggu setelah persalinan dan
disebut juga transient hypertension.
d. Sindroma HELLP
Sindroma HELLP merupakan preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia.
Sindroma HELLP didahului dengan:
1. Keluhan yang tidak khas yaitu malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah.
2. Terdapat tanda gejala preeklampsia,
3. Tanda hemolisis intravaskuler (kenaikan LDH, AST dan bilirubin indirek)
4. Tanda disfungsi sel hepar (kenaikan ALT, AST, LDH)
5. Trombositopenia (≤150.000/ml) (PNPK POGI, 2016).

2. 9 Tatalaksana

Menurut PNPK POGI th.2016, pengelolaan preeklampsia mencakup :

a. Pencegahan kejang
b. Pengobatan hipertensi
c. Pengelolaan cairan
d. Pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat
e. Waktu yang tepat untuk persalinan

Manajemen umum pengelolaan preeklampsia berat :

1. Sikap terhadap penyakitnya


a. Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap
dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
b. Pengelolaan cairan
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan
karena penderita preeklampsia dan eklampsia memiliki risiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan
(melalui oral atau infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting.
Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang
dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Cairan yang diberikan dapat berupa:
1. 5% ringer-dekstrose/cairan garam faal dengan jumlah tetesan <125cc/jam;
atau
2. Infus dextrose 5% yang tiap liternya diselingi dengan infus Ringer laktat
(60- 125 cc/jam) 500 cc. Dipasang foley catheter untuk mengukur
pengeluaran urin. Oliguria terjadi apabila produksi urin <30cc/jam dalam 2-
3 jam atau <500cc/24 jam.
c. Pemberian obat antikejang
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dengan ion magnesium).
Kadar kasium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
anti kejang pada preeklampsia atau eklampsia. Cara pemberian:
Alternatif 1 (pemberian kombinasi i.v. dan i.m.) (untuk faskes primer, sekunder,
dan tersier)
a. Loading dose
1. Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia
MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dalam 10cc aquabidest)
2. Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing-masing pada
bokong kanan dan kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan 1
mL Lidokain 2% untuk mengurangi nyeri.
b. Maintenance dose
Injeksi 5g im (MgSO4 40%) 12,5cc pelan pada bokong kanan dan
kiri bergantian setiap 6 jam

Alternatif 2 (pemberian i.v. saja) (untuk faskes sekunder dan tersier)


a. Initial dose
1. Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia
MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dalam 10cc aquabidest)
2. Dilanjutkan dengan Syringe pump atau infusion pump Lanjutkan
dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15 cc atau 6g
(MgSO4 40%) diencerkan dengan 15cc aquabidest dan berikan
selama 6 jam
3. Atau dilanjutkan infusion drip
4. Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15 cc atau
6g (MgSO4 40%) diencerkan dalam 500cc kristaloid dan berikan
selama 6 jam (28 tpm).

Jika didapatkan kejang ulangan setelah pemberian MgSO4


Tambahan 2g iv (MgSO4 20%) 10cc (jika tersedia MgSO4 40%,
berikan 5cc diencerkan dalam 5cc aquabidest). Berikan selama 2-5 menit,
dapat diulang 2 kali. Jika masih kejang, berikan diazepam.

Syarat pemberian MgSO4


Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu kalsium glukonas 10% = 1 g
(10% dalam 10cc) berikan secara iv selama 10 menit, reflex patella (+)
kuat, frekuensi pernapasan >12 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress
napas, produksi urin >100cc/4 jam sebelum pemberian.

Evaluasi syarat pemberian MgSO4


Setiap akan memberikan maintenance dose (im intermiten) pada
alternatif 1 dan setiap jam jika menggunakan alternatif 2 (syringe pump,
infusion pump, continuous pump). MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah
persalinan atau kejang terakhir (jika terjadi kejang postpartum).

d. Pemberian anti-hipertensi
Tekanan darah diturunkan secara bertahap yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <160/110. Berikut
adalah jenis antihipertensi yang digunakan:
1. Antihipertensi lini pertama Nifedipin: dosis 10-20 mg per oral, diulangi
setiap 15-30 menit; maksimum 120 mgdalam 24 jam. Dapat diberikan
bersama metildopa 250-500 mg setiap 8 jam.
2. Antihipertensi lini kedua Sodium nitroprusside: 0,25μg iv/kg/menit, infus;
ditingkatkan 0,25μg iv/kg/5 menit.

2. Sikap terhadap kehamilan


a. Penanganan Aktif
Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan mortalitas
perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa
ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai
34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu
untuk mencegah progresifitas PEB. Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada
PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin: 1. Indikasi penatalaksanaan
PEB aktif pada ibu: Kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberikan pengobatan medikamentosa. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif
ialah apabila ditemukan satu/lebih keadaan berikut:
1. Ibu
a. Usia kehamilan ≥34 minggu.
b. Adanya tanda/gejala untuk impending preeclampsia.
c. Kegagalan terapi pada penatalaksanaan konservatif, yaitu keadaan klinis
dan pemeriksaan laboratorik yang memburuk.
e. Diduga terjadi solusio plasenta.
f. Timbulnya onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
2. Janin
a. Ada tanda-tanda fetal distress.
b. Adanya tanda-tanda intrauterine growth restriction (IUGR).
c. Cardiotocography: NST dengan profil bifasik abnormal.
d. Terjadinya oligohidramnion
b. Penanganan ekspektatif
Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang belum
cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia
kehamilan sampai se- aterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru
atau sampai usia kehamilan diatas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan
ekspektatif bertujuan:
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan.
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu.
Indikasi penatalaksanaan PEB ekspektatif adalah apabila kehamilan
preterm ≤ 34 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending preeclampsia
dengan keadaan janin baik. Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin
persalinan diarahkan pervaginam dengan beberapa hal yang harus diperhatikan,
yaitu:

a. Penderita belum inpartu


1. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥ 8
2. Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah
mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan
dianggap gagal dan harus disusul dengan pembedahan sesar.
3. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk
persalinan pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi
maternal distress, terjadi fetal distress, atau umur kehamilan <33
minggu.
b. Bila penderita sudah inpartu
1. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
2. Memperpendek kala II
3. Pembedahan secara SC dilakukan bila terdapat maternal distress dan
fetal distress.
4. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.
5. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan
anastesia umum.
2.10 Komplikasi

Komplikasi terberat kematian pada ibu dan janin. Usaha utama yaitu melahirkan bayi
hidup dari ibu yang menderita preeklampsia. Komplikasi yang biasa terjadi :

a. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi


b. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala
c. Nekrosis hati, akibat vasospasme arteriol di hepar
d. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis, elevated liver enxymes dan low platelet count.
e. Gangguan ginjal
f. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
g. Prematuritas, dismaturitas, kematian janin intrauterine (PNPK POGI,2016)

2.11 Prognosis

Prognosis dari ibu dan janin pada pasien preeklampsia tergantung dari kecepatan
dan ketepatan dalam proses skrining dan penanganannya. Penanganan dan skrining yang
cepat dan tepat dapat meningkatkan kemungkinan selamatnya ibu maupun janin
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : Ny. DA

Umur : 29 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Teuku Umar Dusun Dukuh Dempok Wuluhan Jember

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal Masuk : 03 Januari 2022

3.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama

Pusing

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang via IGD Ponek rujukan dari PKM Ajung dengan G2P1A0
UK 39 mgg + PEB. Pasien merasa hamil 9 bulan, saat pasien melakukan
pemeriksaan ANC di posyandu (03/01 jam 08.00) diketahui tekanan darah pasien
150/100 mmHg  disarankan ke PKM  di PKM TD 160/110 mmHg dan
protein urine +2. Saat di PKM pasien telah diberikan MgSO4 20% 11 cc lalu
pasien pusing  Rujuk RSDS karena PEB

c. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat sesak nafas : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
4. Riwayat DM : Disangkal
5. Riwayat asma : Disangkal
6. Riwayat alergi obat/makanan : Disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat merokok : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
4. Riwayat DM : Disangkal
5. Riwayat asma : Disangkal
6. Riwayat alergi obat/makanan : Disangkal
e. Riwayat Obstetri
1. Laki-laki/5th/bidan/3250 gr
2. Hamil ini
f. Riwayat Haid
1. Menarche : 12 tahun
2. Lama Menstruasi : 5 hari, tidak nyeri
3. Siklus Menstruasi : 28 hari, teratur
g. Riwayat Marital
Menikah : satu kali
h. Riwayat Konsepsi
KB Suntik 1 Bulan
i. Riwayat Antenatal Care
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di bidan sejak usia kehamilannya
memasuki trimester ke 1
j. Riwayat Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pola makan pasien sehari-hari baik
dan teratur. Pasien mengaku tidak memiliki kecenderungan mengonsumsi jenis
makanan tertentu. Pasien dan keluarganya tidak memiliki kebiasaan minum alkohol
dan merokok. Hubungan pasien dengan keluarga serta lingkungan sekitar baik.

k. Hari Pertama Haid Terakhir


07 April 2021
l. Hari Perkiraan Lahir
11 Januari 2022

3.3 Pemeriksaan Umum

Tinggi badan : 151 cm

Berat badan : 70 kg

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 158/105 mmHg

Nadi : 92 kali/menit

Suhu : 36,6 oC

RR : 20 kali / menit

SpO2 : 98% tanpa O2 nasal

3.4 Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis
a. Kepala : Oedem kelopak mata -/- Konjunctiva anemis -/- Sclera icterus -/-
sianosis (-) dyspnea (-)
b. Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
c. Thorax : Bentuk normal, gerak simetris +/+, retraksi -/-
d. Pulmo : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
e. Cor : S1S2 tunggal, extra systole (-), gallop (-), murmur (-)
f. Abdomen : Cembung, BU (+) dalam batas normal
g. Ekstrimitas : akral hangat Oedema

+ + - -

+ + - -

2. Status Obstetri
a. Mammae : kolostrum (-), hiperpigmentasi areola mammae (+), penonjolan
glandula mammae (-)
b. Abdomen
1. Inspeksi : Cembung, BSC (-), BSO (-)
2. Auskultasi : Bising usus (+), DJJ : 141 kali/menit
3. Perkusi : Redup (+)
4. Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa (-), TFU 3 jari di bawah
processus xyphoideus (30 cm), His (-)
5. Leopold :
a) Leopold I : teraba bokong
b) Leopold II : teraba punggung kiri
c) Leopold III : teraba kepala
d) Leopold IV : belum masuk pintu atas penggul (PAP)
e) TBJ : 2790 gram

c. Genitalia
1. Pembukaan : taa
2. Efficement : 0%
3. Ketuban : (+)
4. Presentasi : Kepala
5. Hodge I

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium darah dan urin di IGD ponek RSDS tanggal 03-01 -2021 :
Analisis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 12,8 gr/dL 12,0-16,0
Leukosit 13,1 109/L 4,5-11,0
Hitung Jenis -/-/-/88/9/3 Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-62/25-33/2-6
Hematokrit 46 % 36-46
Trombosit 340 109/L 150-450
Urin Lengkap
Warna Kuning keruh Kuning jernih
pH 7,0 4,8-7,5
BJ 1,015 1,015-1,025
Protein Positip 2 ~ 150mg/dl Negatip
Glukosa Normal Normal
Urobilin Normal Normal
Bilirubin Negatip Negatip
Nitrit Negatip Negatip
Keton Positip 2 Negatip
Leukosit Makros Negatip Negatip
Blood Makros Normal Negatip
Eritrosit 1 0-2 sel/LPB
Leukosit 0-2 0-5 sel/LPB
Epitel Squamous 2-5 2-5 sel/LPB
Epitel Renal Negatip Negatip
Kristal Negatip Negatip
Silinder Negatip Negatip
Bakteri Positip Negatip
Yeast Negatip Negatip
Tricomonast Negatip Negatip
Lain-lain Negatip Negatip
Faal Hati
SGOT 31 U/L 10-31 U/L
SGPT 9 U/L 9-36 U/L
Albumin 3,6 gr/dL 3.4 – 4.8 gr/dL
Gula Darah
Gula darah sewaktu 156 mg/dL <200 mg/dL
Faal Ginjal
Kreatinin serum 0,8 mg/dL 0.5-1.1 mg/dL
BUN 9 mg/dL 6-20 mg/dL
Urea 19 mg/dL 12-43 mg/dL

3.6 Resume

Pasien datang via IGD Ponek rujukan dari PKM Ajung dengan G2P1A0 UK
39 mgg + PEB. Pasien merasa hamil 9 bulan, saat pasien melakukan pemeriksaan
ANC di posyandu (03/01 jam 08.00) diketahui tekanan darah pasien 150/100 mmHg
 disarankan ke PKM  di PKM TD 160/110 mmHg dan protein urine +2. Saat di
PKM pasien telah diberikan MgSO4 20% 11 cc lalu pasien pusing  Rujuk RSDS
karena PEB. Saat di PONEK RSDS, didapatkan tekanan darah pasien 158/105 mmHg
dan pemeriksaan protein urin +2. Pasien di MRS-kan untuk diberikan pengobatan
PEB serta terminasi kehamilan.

3.7 Diagnosis Kerja

G2P1A0 UK 39 minggu J/T/H/I belum inpartu + PEB

3.8 Planning
a. Edukasi :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien, tindakan yang
akan dilakukan serta prognosisnya
b. Diagnostik :
1. Pemeriksaan fisik
2. Darah lengkap
3. Urin lengkap
4. Faal Hati
5. Faal Ginjal
e. Terapi :
1. MgSO4 40% 10 cc
2. Nifedipine tab 1x30 mg
3. Misoprostol 25 mcg/6 jam
f. Tindakan :
Manajemen aktif, terminasi kehamilan
g. Monitoring :
Observasi TTV dan CHPB
3.9 Observasi

Time Subjective Objective Assesment Planning


03 Januari 2022
13.45 : Pasien datang via IGD Tanda Vital G2P1A0 Diagnostik :
Ponek rujukan dari PKM TD : 158/105mmHg UK 39 DL : Leu 13,1
Ajung dengan G2P1A0 Nadi : 92x/mnt minggu UL : Protein urin
UK 39 mgg + PEB. RR : 22x/mnt J/T/H/I +2
Pasien merasa hamil 9 Suhu : 36,6 C belum
bulan, saat pasien SpO2 : 98% inpartu Monitoring:
melakukan pemeriksaan + PEB Obs. TTV
ANC di posyandu (03/01 Status Obstetri Obs. CHPB
jam 08.00) diketahui Inspeksi : Bandl’s Ring (-)
tekanan darah pasien Auskultasi : BU (+), DJJ Planning terapi :
150/100 mmHg  141x/menit SP.OG :
disarankan ke PKM  di Perkusi : Redup (+) - MgSO4
PKM TD 160/110 mmHg Palpasi : TFU 3 jari di 40% 10 cc
dan protein urine +2. Saat bawahprocessus - Nifedipine
di PKM pasien telah xiphoideus (30 cm), His tab 1x30
diberikan MgSO4 20% (-) mg
11 cc lalu pasien pusing L1 : teraba bokong - Misoprostol
 Rujuk RSDS karena L2 : teraba punggung kiri 25 mcg/6
PEB L3 : teraba kepala jam
L4 : belum masuk PAP Sp.JP ;
- Furosemide
VT ᴓ taa inj 1 amp
- NGT inj
10-20
mcg/menit
(target TDS
< 150
mmHg)

14.00 Pusing Tanda Vital G2P1A0 Monitoring:


TD : 135/95mmHg UK 39 Obs. TTV
Nadi : 111x/mnt minggu Obs. CHPB
RR : 20x/mnt J/T/H/I
Suhu : 36,6 C belum Planning terapi :
SpO2 : 98% inpartu SP.OG :
+ PEB - MgSO4
Status Obstetri 40% 10 cc
Inspeksi : Bandl’s Ring (-) - Nifedipine
Auskultasi : BU (+), DJJ tab 1x30
155x/menit mg
Perkusi : Redup (+) - Misoprostol
Palpasi : TFU 3 jari di 25 mcg/6
bawahprocessus jam
xiphoideus (30 cm), His Sp.JP ;
(-) - Furosemide
L1 : teraba bokong inj 1 amp
L2 : teraba punggung kiri - NGT inj
L3 : teraba kepala 10-20
L4 : belum masuk PAP mcg/menit
(target TDS
VT ᴓ taa < 150
mmHg)

04 Januari 2022
04.40 Ibu ingin meneran Tanda Vital G2P1A0 Monitoring:
TD : 135/95mmHg UK 39 Obs.TTV
Nadi : 90x/mnt minggu Obs.CHPB
RR : 20x/mnt J/T/H/I
Suhu : 36,6 C belum Tindakan :
SpO2 : 98% inpartu Pimpin persalinan
+ PEB
Status Obstetri Outcome bayi :
Inspeksi : Bandl’s Ring (-) Telah lahir bayi
Auskultasi : BU (+), DJJ berjenis kelamin
145x/menit perempuan pada
Perkusi : Redup (+) hari Senin, 04/1/22
Palpasi : TFU 3 jari di pukul 04.47 WIB,
bawahprocessus lahir secara
xiphoideus (30 cm), His spontan pervagina,
3x10’x30’’ ditolong oleh
L1 : teraba bokong bidan, lahir
L2 : teraba punggung kiri langsung
L3 : teraba kepala menangis, AS 7-8,
L4 : belum masuk PAP ketuban jernih, UK
menurun BS 39
VT ᴓ 10 cm, effacement mgg, BB 3200 gr
100%, ketuban (-), kepala PB 48 cm, LK 33
HII cm, LD 29 cm, LA
28 cm, anus (+)
genitalia (+) cacat
(-) caput
soksodenum (-)
Plasenta lahir
spontan, perineum
lecet.
07.00 Tidak ada keluhan Tanda Vital P2002 post Monitoring :
TD : 140/70mmHg partum Obs.TTV
Nadi : 89x/mnt spontan H1 Obs.Perdarahan
RR : 20x/mnt dengan Obs. Kontraksi
Suhu : 36,9 C PEB uterus
SpO2 : 98%

Terapi :
Konjungtiva anemis (-/-) p/o asam
Mammae : nyeri (-), mefenamat 3x500
bengkak (-/-), ASI (+/+) mg
Abd p/o nifedipine 3x10
Inspeksi : Bandl’s Ring (-) mg
Auskultasi : BU (+) p/o..metildopa
Perkusi : timpani 3x250 mg
Palpasi : TFU 2 jari di
bawah pusat, UC (+) baik

Flatus (+) BAB () BAK


(+)

Gen
Fluxus (+) sedikit
Luka perineum (-)
Lochea (+) rubra

Ext
AH (+), OE (-)
05 Januari 2022
07.00 Tidak ada keluhan Tanda Vital P2002 post Monitoring :
TD : 120/70mmHg partum Obs.TTV
Nadi : 90x/mnt spontan H2 Obs.Perdarahan
RR : 20x/mnt dengan Obs. Kontraksi
Suhu : 36,5 C PEB uterus
SpO2 : 98%
Terapi :
Konjungtiva anemis (-/-) p/o asam
Mammae : nyeri (-), mefenamat 3x500
bengkak (-/-), ASI (+/+) mg
Abd p/o nifedipine 3x10
Inspeksi : Bandl’s Ring (-) mg
Auskultasi : BU (+) p/o..metildopa
Perkusi : timpani 3x250 mg
Palpasi : TFU 2 jari di
bawah pusat, UC (+) baik PRO KRS

Flatus (+) BAB (+)


BAK (+)

Gen
Fluxus (+) sedikit
Luka perineum (-)
Lochea (+) rubra
Ext
AH (+), OE (-)

3.10 Diagnosis Keluar


P2002 post partum spontan H2 dengan PEB

3.11 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis preeklampsia dalam kehamilan dapat ditegakkan berdasarkan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan yang tepat. Berikut adalah perbandingan antara teori
dan temuan klinis yang dijumpai pada pasien yang mendukung diagnosa terjadinya
preeklampsia.

No. Teori Pasien


1. Anamnesis
a. Riwayat keluarga preeklampsia -
b. Primigravida -
c. Kehamilan kembar -
d. Primitua sekunder (jarak antar -
kehamilan > 10 tahun)
e. Usia < 20 tahun atau > 35 tahun -

f. Body Mass Index (BB/{TB}2 > 30) / -


Obesitas
g. Mean Arterial Pressure ({Sistolik + 2 + (pada UK 27-28 minggu)
Diastolik}/3) > 90
+
h. Riwayat Hipertensi dalam Kehamilan
-
i. Hipertensi Kronis
-
j. Kelainan Ginjal
-
k. Diabetes
l. Penyakit Autoimun
2. Penegakan diagnosis preeklampsia harus 6. Tekanan Darah saat di
memenuhi kriteria minimal sebagai berikut : PKM : 160/110 mmHg
 Hipertensi : tekanan darah minimal 140 7. UL  proteinuria +2
mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 8. Faal ginjal  dbn
menit menggunakan lengan yang sama; 9. Faat hati  dbn
 Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥+1 10. Trombosit  dbn
dipstik. Jika tidak didapatkan protein
urin, hipertensi dapat diikuti salah satu
dibawah ini :
 Serum kreatinin >1,1 mg/dL
 Edema paru
 Peningkatan fungsi liver (lebih dari dua
kali atau disertai nyeri epigastrial/kuadran
kanan atas)
 Trombosit <100.000
 Nyeri kepala dan gangguan penglihatan
 Gangguan pertumbuhan janin dan
gangguan sirkulasi uteroplasenta
Diagnosis preeklampsia berat dapat
ditegakkan jika ada diagnosis preeklampsia
disertai salah satu dari kriteria klinis
pemberatan preeklampsia tersebut, yaitu :
 TD ≥ 160/110
 Serum kreatinin > 1,1 mg/dL
 Peningkatan fungsi liver (lebih dari dua
kali atau disertai nyeri epigastrial /
kuadran kanan atas)
 Trombosit <100.000
 Nyeri kepala, stroke atau gangguan
penglihatan
 Gangguan pertumbuhan janin dan
gangguan sirkulasi uteroplasenta
3. Tatalaksana 26. Pasien MRS rujukan via
 Medikamentosa ponek pada 03 Januari
a. Penderita preeklampsia berat harus segera 2022
masuk rumah sakit untuk rawat inap dan 27. Infus RL 7 tpm,
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi nicardipine 10 mg
(kiri) 28. Diberikan MgO4 loading
b. Pengelolaan cairan dose di PKM pukul
c. Pemberian obat antikejang : MgSO4 09.00 (03/01/2022).
d. Pemberian anti hipertensi Dilanjutkan maintenance
1) Lini pertama pada pukul 13.45
Nifedipin : dosis 10-20 mg per oral, diulangi (03/01/2022) di RSDS
setiap 15-30 menit; maksimum 120 mg dalam sampai dengan 24 jam
24 jam. Dapat diberikan bersama metildopa post partum
250-500 mg setiap 8 jam. (04/01/2022)
2) Lini kedua 29. p/o asam mefenamat
Sodium nitroprusside : 0,25 μg iv/kg/menit, 3x500 mg
infus; ditingkatkan 0,25μg iv/kg/5 menit 30. p/o nifedipine 10 mg
 Sikap terhadap kehamilan 31. p/o metildopa 3x250 mg
Penanganan Aktif
Indikasi penatalaksanaan PEB aktif ialah
apabila ditemukan satu/lebih keadaan berikut:
a. Maternal
11. Hipertensi berat yang tidak terkontrol
Maternal
12. Gejala preeklampsia berat yang tidak
Tekanan darah 160/110
berkurang (nyeri kepala, pandangan
mmHg
kabur, dsb)
Janin
13. Penurunan fungsi ginjal progresif
Usia kehamilan 39-40
14. Trombositopenia persisten atau HELLP
minggu
syndrome
15. Edema paru
16. Eklampsia
17. Solusio plasenta
18.
b. Janin
19. Usia kehamilan 34 minggu
20. Adanya tanda-tanda IUGR
21. Terjadinya oligohidramnion
22. Profil biofisik abnormal (<4)
23. Deselerasi variable dan lambat pada NST
24. Doopler arteri umbilikalis reserve end
diastolic flow
25. Kematian janin

Anda mungkin juga menyukai