Anda di halaman 1dari 42

Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Referat

Obstetri

Fakultas Kedokteran Agustus 2018

Universitas Pattimura

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Ikram Syah Maulana

(2017-84-047)

Pembimbing:

dr. Jeane Pattiasina, Sp. OG, M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Perdarahan Post Partum”.
Referat ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam rangka mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas
Kedokteran Universitas Pattimura di RSUD dr. M. Haulussy Ambon periode 23
Juli – 29 September 2018 dan juga sebagai salah satu syarat untuk dapat
mengikuti ujian akhir di bagian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pebimbing dr. Jeane
Pattiasina, Sp. OG, M. Kes yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan.
Kritik dan saran terhadap referat ini diharapkan dapat memberikan
masukan untuk perbaikan dikemudian hari. Semoga referat ini dapat bermanfaat
dalam menambah pengetahuan di bidang Kedokteran terutama dalam bidang Ilmu
Kebidanan dan Kandungan serta bagi para pembacanya.

Ambon, Agustus 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan hipertensi merupakan komplikasi medis yang paling umum yang
dapat terjadi pada kehamilan, mempengaruhi sekitar 5% sampai 10% dari seluruh
kehamilan. Gangguan ini bertanggung jawab terhadap sekitar 16% kematian ibu
akibat hipertensi dalam kehamilan, dan 30 – 40% dari kematian perinatal di
Indonesia. Tingginya angka kematian yang disebabkan hipertensi dalam
kehamilan merupakan masalah di bidang obstetri. Menurut data kesehatan
indonesia 2007 angka kematian ibu (AKI) dinilai masih cukup tinggi, sekitar
228/100.000 pada tahun 2007. Disamping perdarahan dan infeksi, preeklampsia,
impending eklampsia serta eklampsia merupakan penyebab kematian maternal
dan kematian perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang.
Preeklampsia, impending eklampsia dan eklampsia merupakan suatu
perjalanan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun proses
terjadinya penyakit ini masih belum pasti. Preeklampsia adalah suatu kondisi yang
spesifik pada kehamilan, terjadi setelah minggu ke 20 gestasi, ditandai dengan
hipertensi, proteinuria. Kriteria edema hanya disebutkan bila dijumpai edema
secara menyeluruh (edema anasarka). Disebut impending eklampsia jika pada
kasus preeklampsia berat dijumpai tanda-tanda dan gejala-gejala seperti nyeri
kepala hebat, gangguan visus dan serebral, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah. Insidensi penyakit tergantung pada banyak
parameter demografis yang berbeda, termasuk usia ibu, ras, dan terkait kondisi
medis yang mendasari. Memahami proses penyakit dan dampak dari gangguan
hipertensi pada kehamilan merupakan hal terpenting karena gangguan ini tetap
menjadi penyebab utama morbiditas maternal dan perinatal dan di seluruh dunia.
Dampak gangguan tekanan darah tinggi pada kehamilan ini termasuk gangguan
viskositas darah, dimana juga terjadi gangguan konsentrasi hemoglobin dan
hematokrit. Karena terjadinya peningkatan yang berlebihan, konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit sedikit terjadi penurunan selama kehamilan.
Sedangkan pada preeklampsia terjadi keadaan yang sebaliknya dibandingkan pada
kehamilan normal.
Pada preeklampsia berat terjadi peningkatan tekanan darah. Diperkirakan
akibat dari pelepasan substansi supressor dari uterus yang hipoperfusi atau sebagai
kompensasi sekresi katekolamin. Pada preeklampsia terjadi penurunan volume
plasma sekitar 30 - 40 % dibanding kehamilan normal. Penurunan volume plasma
ini menimbulkan hemokonsentrasi pada tubuh yang meningkatkan viskositas
darah sehingga menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan. Hemokonsentrasi
pada preeklampsia-eklamsia dijumpai kadar haematokrit yang meningkat.
Keadaan ini tentunya menjadi tantangan bagi kita untuk senantiasa waspada agar
dapat mendeteksi secara dini kasus-kasus preeklampsia.
Beberapa faktor dapat menjadi indikator/penanda kemungkinan akan terjadi
komplikasi preeklampsia. Oleh karena itu, diagnosis dini dari preeklampsia
maupun impending eklampsia yang merupakan keadaan awal terjadinya
eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan
angka kematian ibu dan anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

Gangguan hipertensi merupakan komplikasi medis yang paling umum


yang dapat terjadi pada kehamilan, mempengaruhi sekitar 5% sampai 10% dari
seluruh kehamilan. Gangguan ini bertanggung jawab terhadap sekitar 16%
kematian ibu akibat hipertensi dalam kehamilan, dan 30 – 40% dari kematian
perinatal di Indonesia. Tingginya angka kematian yang disebabkan hipertensi
dalam kehamilan merupakan masalah di bidang obstetri. Menurut data kesehatan
indonesia 2007 angka kematian ibu (AKI) dinilai masih cukup tinggi, sekitar
228/100.000 pada tahun 2007. Disamping perdarahan dan infeksi, preeklampsia,
impending eklampsia serta eklampsia merupakan penyebab kematian maternal
dan kematian perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang.

Preeklampsia, impending eklampsia dan eklampsia merupakan suatu


perjalanan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, walaupun proses
terjadinya penyakit ini masih belum pasti. Preeklampsia adalah suatu kondisi yang
spesifik pada kehamilan, terjadi setelah minggu ke 20 gestasi, ditandai dengan
hipertensi, proteinuria. Kriteria edema hanya disebutkan bila dijumpai edema
secara menyeluruh (edema anasarka). Disebut impending eklampsia jika pada
kasus preeklampsia berat dijumpai tanda-tanda dan gejala-gejala seperti nyeri
kepala hebat, gangguan visus dan serebral, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah. Insidensi penyakit tergantung pada banyak
parameter demografis yang berbeda, termasuk usia ibu, ras, dan terkait kondisi
medis yang mendasari. Memahami proses penyakit dan dampak dari gangguan
hipertensi pada kehamilan merupakan hal terpenting karena gangguan ini tetap
menjadi penyebab utama morbiditas maternal dan perinatal dan di seluruh dunia.
Dampak gangguan tekanan darah tinggi pada kehamilan ini termasuk gangguan
viskositas darah, dimana juga terjadi gangguan konsentrasi hemoglobin dan
hematokrit. Karena terjadinya peningkatan yang berlebihan, konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit sedikit terjadi penurunan selama kehamilan.
Sedangkan pada preeklampsia terjadi keadaan yang sebaliknya dibandingkan pada
kehamilan normal.

Pada preeklampsia berat terjadi peningkatan tekanan darah.Diperkirakan


akibat dari pelepasan substansi supressor dari uterus yang hipoperfusi atau sebagai
kompensasi sekresi katekolamin. Pada preeklampsia terjadi penurunan volume
plasma sekitar 30 - 40 % dibanding kehamilan normal. Penurunan volume plasma
ini menimbulkan hemokonsentrasi pada tubuh yang meningkatkan viskositas
darah sehingga menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan. Hemokonsentrasi
pada preeklampsia-eklamsia dijumpai kadar haematokrit yang meningkat.
Keadaan ini tentunya menjadi tantangan bagi kita untuk senantiasa waspada agar
dapat mendeteksi secara dini kasus-kasus preeklampsia.

Beberapa faktor dapat menjadi indikator/penanda kemungkinan akan


terjadi komplikasi preeklampsia. Oleh karena itu, diagnosis dini dari preeklampsia
maupun impending eklampsia yang merupakan keadaan awal terjadinya
eklampsia serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan
angka kematian ibu dan anak.

B. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Hipertensi kronik
2. Preeklampsia-eklampsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
4. Hipertensi gestasional
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali di diagnosis setelah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai12 minggu pasca persalinan.

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan


disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan
kejang-kejang sampai dengan koma.

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik


di sertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.

Hipertensi gestasional (transienthypertention) adalah hipertensi yang timbul


pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3
bulan pascapersalin, kehamilan dengan preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.

Gambar 1. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan


C. Faktor risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:
1. Primigravida, terjadi pada sekitar 65% kasus
2. Kehamilan majemuk memiliki insidensi kejadian sekitar 30%
3. Umur yang ekstrim : terlalu muda atau terlalu tua.
4. Dengan penyakit penyerta : diabetes melitus, hipertensi kronis, penyakit ginjal
5. Mola hidatidosa
6. Hidrops fetalis
7. Makrosomia
8. Riwayat menderita preeklampsia/eklamsia dalam keluarga. Insidensi
meningkat37% pada saudara perempuan dan 26% pada anak perempuan.
9. Obesitas

D. Patofisiologi

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui


dengan jelas. Baanyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun dari teori tersebut yang dianggap
mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
4. Teori adaptasi kardiovaskularisasi genetik
5. Teori defisiensi enzim
6. Teori inflamasi
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah
tersebut menembus miomatrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata
memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium
menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteri basalis dan
arteri basalis memberi cabang arteri spiralis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
kedalam otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spirlis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan
darah, penuru nan resistesi vaskuler, dan peningkatan tekanan darah pada
uteroplasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi
jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin yang
baik. Proses ini dinamakan “remodeling arteri spiralis”.
Pada hipertensi pada kehamilan dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan
otot arteri spiralis menjadi menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri
spiralis, tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya,
arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan
“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan
menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis
hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke
utero plasenta.
Gambar 1. Invasi trofoblast

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis’ dengan
akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan
hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan
atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul
yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang
sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembulu darah.
Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suat proses normal,
karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya
radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan
disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak
nukleus, dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam
tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produk antioksidan.

Gambar 2. Patofisiologi preeklampasia

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya pada peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan,
misalnya vitamin E, pada hipretensi dalam kehamilan menurun, sehingga
terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini
akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak
membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan
dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.
Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil,
yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
c. Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel
endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya
fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotek. Keadaan ini
disebut ‘disfungsi endotel’ (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi
kerusakan sel endotel yang megakibatkan disfungsi sel endotel maka akan
terjadi:
 Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel
endotel, adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilator kuat.
 Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami
kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-
tempat dilapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) suatu vasokontriktor kuat.
Dalam keadaan normal perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan
lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada
preeklampsiakadar trombosan lebih tinggi dari kadar prostasiklin
sehingga terjadi vasokontriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
 Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis).
 Peningkatan permeabilitas kapiler
 Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor, yaitu endotelin. Kadar
NO (Vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokontriktor)
meningkat.
 Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi
dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:
 Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida
 Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar
terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami
sebelumnya.
 Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam
kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah
makin lama periode ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal , respons imun tidak menolak adanya “hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte
antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons
imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G
pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer
(NK) ibu.

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas


kedalalam jaringan desidua. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, disamping untuk
menghadapi sel Natural Killer.Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan,
terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua plasenta,
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting
agar jaringan desidua menjadi lunal, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spriralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin,
sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi
immune-maladaptation pada preeklampsia.
Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai
kecendrungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper sel
yang lebih rendah dibanding pada normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskular


Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopressor. Refrakter berarti pembuluh datah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopressor, atau dibutuhkan kadar vasopressor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokontriksi. Pada kehamilan normal terjadinya
refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor pembuluh darah adalah
akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh
darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan
hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor (bahan yang menghambat
produksi prostaglandin). Prostaglandin ini dikemudian hari ternyata
prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokontriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan
vasopresor hilang hingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan
vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan
terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah
terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang
akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada pada
kehamilan 20 minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe
ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial
jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklampsia 26% anak perempuannya akan mengalami
preeklampsia pula, sedangkan hanya 8 % anak menantu mengalami
preeklampsia.
6. Teori defisiensi gizi

Beberapa hasil penelitian menunjukkan kekurangan defisiensi gizi


berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting
yan pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada
preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana
serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan
kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan.

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk


minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat prosukdi
tomboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokontriksi
pembuluh darah.

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai


konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh
dalam mencegah preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa
penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif
pemberian aspirin.

Beberapa peneliti juga mengangap bahwa defisiensi kalsium pada diet


perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.

7. Teori stimulus inflamasi


Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-
bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas
wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda
dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi
peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik
trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada
plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat
meningkat , sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat.
Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi
jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon
inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit,
yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang
menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat
produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut diatas, mengakibatkan
“aktivitas leukosit yang sangat tinggi” pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh
Redman disebut sebagai “kekacauan adaptasi dari proses inflamasi
intravaskuler pada kehamilan” yang biasanya berlangsung normal dan
menyeluruh.

Etiologi dan faktor pemicu timbulnya eklampsia masih belum


diketahuisecara pasti. Teori timbulnya preeklampsia harus dapat menjelaskan
beberapahal, yaitu sebab meningkatnya frekuensi pada primigravida,
bertambahnyafrekuensi dengan bertambahnya usia kehamilan, terjadinya
perbaikan dengankematian janin intrauterin, sebab timbulnya tanda-tanda
preeklampsia. Itulahsebabnya kenapa penyakit ini disebut “the disease of
theories”.
Gambar 3. Perbandingan invasi trofoblas pada kehamilan normal dan
preeklampsia

Saat ini hipotesis utama yang dapat diterima dalam menjelaskanterjadinya


preeklampsia adalah iskemia pada plasenta, preeklampsia sebagaimanifestasi
reaksi keracunan, maladaptasi imunologi, gangguan genetik. Inadekuatnya invasi
trofoblas terhadap miometrium menyebabkan gangguan pada proses vasodilatasi
fisiologis dari arteri spiralis maternal. Sindrom preeclampsia maternal juga
berhubungan dengan faktor tambahan invasi trofoblas yang inadekuat juga disertai
dengan gangguan pertumbuhan janin tanpa penyakit maternal.

Diketahui secara jelas bahwa gangguan aliran darah intervillus


menyebabkan perfusi yang inadekuat dan iskemia pada trimester kedua
kehamilan. Hal ini yang mungkin menyebabkan diproduksinya oksigen reaktif.
Akibat antioksidan endogen normal tidak dapat mengkompensasi keadaan
tersebut, akan muncul kondisi stres oksidatif. Hal Inilah yang mungkin mendasari
gejala klinis pada sindrom preeklampsia.

Stres oksidatif atau zat vasoaktif yang dikeluarkan dari plasenta,


menyebabkan terjadinya aktivasi dari sel endotel vaskular. Pembuluh darah
endotel dikenal memasok semua sistem organ. Terjadi gangguan pada profil lipid,
seperti kadar trigliserida dan asam lemak bebas yang meningkat sekitar dua kali
lipat. Adanya peningkatan peroksidasi lipid baik secara sistemik maupun dalam
plasenta menunjukkan bahwa stres oksidatif mendasari kerusakan pada sel
endotel. Sel endotel preeklampsia menghasilkan lebih sedikit prostasiklin,
vasodilator yang kuat pada sel endotel normal dan menghambat agrregasi platelet.
Endotel yang cedera akan merangsang agregasi platelet, dan melepas tromboksan
A2 (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat dan menstimulasi agregasi platelet.
Penurunan produksi prostasiklin oleh sel endotel yang disfungsional dan
meningkat pelepasan TXA2 oleh trombosit yang diaktifkan dan trofoblas
bertanggung jawab ter hadap terbaliknya rasio normal prostasiklin dan TXA2
pada preeklampsia. Dominasi TXA2 dapat berkontribusi pada vasokonstriksi dan
merupakan gambaran utama dari hipertensi. Berkurangnya jumlah prostasiklin
memungkinkan sensitivitas vaskular yang lebih besar terhadap angiotensin II,
sehingga menyebabkan vasospasme dan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer.

Warisan genetik pada kehamilan dengan hipertensi dapat didasarkan pada


gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap
(tergantung pada genotipe janin). Preeklampsia selama kehamilan dari
ibumerupakan faktor risiko terjadinya preeclampsia selama kehamilan anak
perempuan dari ibu tersebut.

E. Perubahan pada sistem organ


1. Sistem kardiovaskular
Peningkatan afterload jantung dikarenakan hipertensi. Cardiac output tetap
normal, dan terjadi peningkatan resistensi totalvaskuler perifer pada
hipertensi.
2. Sistem koagulasi
 Akibat mikropartikel yang berasal dari plasenta yang masuk ke
dalamsirkulsi darah ibu akan merangsang aktifasi dan disfungsi
endotelvaskular.
 Karena kerusakan endotel, endotel akan menghasilkan nitrit oksida yang
menyebabkan peningkatan konsumsi prokoagulan ringan dan peningkatan
produk degradasi fibrin.
 Koagulasi intravaskuler difusa mungkin timbul dari kerusakan
vaskulerberkelanjutan selama vasospasme.
3. Fungsi renal
a. Perubahan glomerulus
 Laju filtrasi glomerulus (GFR) dan perfusi biasanya menurun pada
preeklampsia. Aliran plasma ginjal yang berkurang dan
glomeruloendotheliosis, yang menyumbat lumen kapiler, menyebabkan
GFRyang rendah.
 Terjadi kebocoran protein ke dalam urin. Glomerulus, yang biasanyatidak
dapat ditembus (tidak permeabel) oleh protein yang besar,menjadi lebih
permeabel. Kerusakan glomerulus merupakan akibatdari vasospasme dan
kerusakan endotel. Kebocoran ini melebihikemampuan tubulus untuk
menyerap protein.
b. Perubahan tubuler
 Secara normal asam urat biasanya difiltrasi di glomerulus,disekresikan,
dan sebagian besar diabsorbsi kembali oleh tubulusproksimal.
 Penurunan klearans asam urat diamati sebelum gangguan
GFR,menunjukkan etiologi pada tuba di mana mekanisme masih
belumdiketahui.
 Peningkatan produksi oleh jaringan hipoksia yang
menyebabkanpeningkatan serum asam urat.
c. Sistem renin-angiotensin-aldosteron
 Kadar komponen lain yang meningkat
 Plasma renin activity and plasma renin concentration
 Angiotensinogen
 Angiotensin II
 Aldosterone
Teori yang menjelaskan bahwa sistem renin-angiotensin yangmendasari
perubahan patofisiologi preeklampsia disebabkan oleh tigafaktor :

 Efek vasokonstriktor angiotensin II


 Stimulasi aldosterone oleh angiotensin II dan retensisodium
 Dijumpai angiotensin II dalam dosis besar dapatmenyebabkan proteinuria

Ada kemungkinan bahwa, meskipun penurunan volumeintravaskular,


vasokonstriksi preeklampsia, yang menekanpelepasan renin.

d. Hepar
 Perubahan jaringan hepar yang sering dijumpai adalah
perdarahanperiportal pada bagian perifer. Pada penelitian autopsi yang
dilakukanpada wanita yang meninggal karena eklampsia, dijumpai
perdarahanhepar yang disertai infark jaringan.
 Muncul gejala klinis berupa rasa tidak nyaman atau nyeri padaepigastrium
kanan biasanya dijumpai pada keadaan yang berat.Peningkatan kadar
fungsi hati dapat menjadi indikasi telah terjadigangguan pada hepar.
e. Otak
 Terjadinya edema otak pada preeklampsia lebih karena
disebabkanpeningkatan permeabilitas sawar darah otak oleh karena
peningkatantekanan hidrostatik yang abnormal.
 Nyeri kepala dan gangguan visual merupakan gejala yang
umumberhubungan dengan preeklampsia berat dan kejang
berhubungandengan preeklampsia.

Dapat terjadi perdarahan pada jaringan otak baik sedikit maupunbanyak.


Perdarahan intraserebral dijumpai pada 60% kasus eklampsia,setengahnya
berakibat fatal.
F. Diagnosis
1. Riwayat penyakit dilakukan anamnesis pada pasien / keluarga pasien:
 Adanya gejala : nyeri kepala, gangguan visus, rasa panas di
muka,dyspnoe, nyeri dada, mual muntah, kejang
 Penyakit terdahulu : riwayat hipertensi dalam kehamilan,
riwayathipertensi sebelum hamil, penyakit ginjal
 Riwayat penyakit dalam keluarga : riwayat hipertensi
 Riwayat gaya hidup : kehidupan sosial, alkohol dan merokok

2. Pemeriksaan fisik :
 Kardiovaskuler : tekanan darah, suara jantung, dan denyut nadi
 Paru : auskultasi paru untuk mengevaluasi edema paru
 Abdomen : palpasi untuk menentukan adanya nyeri pada hepar
 Refleks : adanya klonus
 Funduskopi : untuk melihat adanya retinopati

3. Pemeriksaan Laboratorium:
Dijumpai proteinuria . 2 gr/dl dalam 24 jam atau skor dipstick +2
 Oligouria (<500 ml/24 jam)
 Peningkatan hematokrit disebabkan oleh keadaan hipovolemia.
 Level asam urat lebih besar dari 5 gr/dl
 Level kreatinin dalam darah meningkat
 Level enzim hati yang meningkat
 Platelets menurun kurang dari 100.000 mm
 Pemanjangan HST
 Penurunan fibrinogen dan produk degenerasi fibrin
G. ASPEK KLINIK
1. Preeklampsia
Preeklpampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante,
intra, dan postpartum. Dari gejala klinis preeklampsia dapat dibagi menjadi
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Secara teoritik urut-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia adalah
edema,hipertensi, dan terakhir proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini timbul
tidak dalam urutan diatas, dapat dianggap bukan preeklampsia.Dari semua gejala
tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuria merupakan gejala yang paling
penting. Namun, sayangnya penderita seringkali tidak merasakan perubahan ini.
Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala, gangguan
penglihatan, atau nyeri epigastrium, maka penyakit ini sudah cukup lanjut.
a. Preeklampsia ringan
a) Definisi
Preeklampsia ringan (PER) adalah suatu sindroma spesifik kehamilan degan
menurunnya perfusi organ yang ebrakibat terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan aktivasi endotel

b) Diagnosis
Diagnosis PER ditegakkan berdasarkan atas timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan/atau edema stelah kehamilan 20 minggu.
1. Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4
jam. Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan
darah diastolik ≥ 15 mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak
dipakai lagi.
2. Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau
sama dengan ≥ 1 + dipstick
3. Edema, dahulu edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda
preeklampsia, tapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali
edema generalisata (anasarka). Perlu dipertimbangkan faktor risiko
timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan edema
generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu. Primigravida
yang mempunyai kenaikan berat badan rendah, yaitu < 0,34 kg/minggu,
menurunkan risiko hipertensi, tetapi menaikkan risiko berat badan bayi
rendah.

c) Manajemen umum preeklampsia ringan


Pada setiap kehamilan disertai penyulit suatu penyakit, maka selalu
dipertanyakan, bagaimana:
 Sikap terhadap penyakitnya : terapi medikamentosa
 Sikap terhadap kehamilannya:
o Apakah kehamilan akan diteruskan sampai aterm? (disebut perawatan
kehamilan “konservatif” atau “ekspektatif”)
o Apakah kehamilan akan diakhiri (diterminasi)? (disebut kehamilan
“aktif” atau “agresif”)

d) Tujuan utama perawatan preeklampsia


Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi
organ vital , dan melahirkan bayi sehat.

e) Rawat jalan (ambulatoir)


Ibu hamil dengan PER dapat dirawat secara rawat jalan. Dianjurkan ibu
hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak mutlah harus
selalu tirah baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring
dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada v. Kafa inferior,
sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah
jantung. Hal ini berebti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ
vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan eksresi
natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran
darah rahim, meningkatkan oksigenasi plasenta, dna memoerbaiki kondisi
janin dlam rahim.
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia umumnya ibu hamil masih muda,
berarti fungi ginjal biasanya masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi
garam. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal,
tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih banyak konsumsi cairan
yang banyak, barupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, roboransia pranatal. Tidak
diberikan obat-obatan diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan
fungsi ginjal.

f) Rawat inap
Kriteria PER dirawat dirumah sakit, ialah:
1. Bila tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu
2. Adanya 1 atau lebih tanda-tanda preeklampsia berat

g) Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya


Menurut Williams, kehamilan pretem ialah kehamilan anatara 22 minggu
samapai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan
darah mencapai normotensif , selama perawatan, persalinannya ditunggu
sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan (> 37 minggu), persalinan
ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk
melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II.
b. Preeklapmsia berat
a) Definisi
Preeklampsia berat (PEB) ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
≥ 160 mmHg dan tekanan darah diatolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria
lebih 5 gr/24 jam.

b) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana
tercantum dibawah ini.

Preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih tanda / gejala di bawah
ini:
1. Tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik
lebih atau sama dengan 110 mmHg.
2. Proteinuria 2 gram / 24 jam atau > +2 pada pemeriksaan dipstik.
3. Oliguria atau produksi urin dibawah 500 ml / 24 jam yang disertai
kenaikan kadar kreatinin plasma.
4. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan / visus.
5. Nyeri epigastrium.
6. Edema paru atau sianosis.
7. Pertumbuhan janin intrauterin yang terlambat (IUFGR).
8. HELLP syndrome (H= Hemolysis; EL = Elevated Liver enzymes; LP =
Low Platelet counts).

c) Pembagian preeklampsia berat


Preeklampsia berat dibagi menjadi:
1. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
2. Preeklampsia berat dengan impending eklampsia
Disebut impending eklampsia bila eklampsia berat disertai gejala-gejala
subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
d) Pengobatan dan perawatan preeklapmsia berat
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap
penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.

e) Monitoring selama dirumah sakit


Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-
tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan
kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berta
badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.

f) Manajemen umum perawatan preeklampsia berat


Perawatan PEB sama halnya dengan perawatan PER, dibagi menjadi dua
unsur:
 Sikap terhadap penyakitnya : terapi medikamentosa
 Sikap terhadap kehamilannya:
o Aktif: manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat
bila keadaan hemodinamikasudah stabil.

Sikap terhadap penyakit:


 Penderita PEB harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
Perawatan yang penting pada PEB adalah pengelolaan cairan karena
penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya keadaan tersebut
masih belum jelas, tetapi faktor paru yang sangat menetukan terjadinya
edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel
endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/ pulmonarry capilary
wedge pressure.
Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan
output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus
dilakukan pengukuran secara tepat berupa jumlah cairan yang
dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi.
Cairan yang diberikan dapat berupa:
1. Ringer-dekstrose atau cairan gara faali, jumlah tetesan < 125 cc/jam
2. Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus ringer laktat
(60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24
jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila
medadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi lambung yang sangat
asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

 Pemberian obat anti kejang


Obat anti kejang adalah: MgSO4
Contoh obat-obat lain yang digunakan untuk anti kejang adalah:
o Diazepam
o Fenitoin
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium,
sehingga aliran rangsangantidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition
antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium sulfat sampai saat
ini tetap menjadi pilihan pertama untuk anti kejang pada preeklampsian
an eklampsia.

Cara pemberian MgSO4


o Loading dose: Initial dose
4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit
o Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/ 6 jam; atau diberikan 4
atau 5 gram intramuskular. Selanjutnya mainten ance dose diberikan 4
gram intamuskular tiap 4-6 jam.
o Syarat-syarat pemberian MgSO4:
 Harus tersedia antidotum MgSO4 , bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium glukonas 10% = 1gram (10% dalam 10 cc) diberika i.v 3
menit
 Refleks patella (+) kuat
 Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres
napas
o Magnesium sulfat dihentikan bila
 Ada tanda-tanda intoksikasi
 Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam jam setelah kejang
terakhir
o Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
Dosis terapeutik 4 -7 mEq/liter 4,8 – 8,4 mg/dl
Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl
Terhentinya jantung >30 mEq/liter >36 mg/dl

Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah


satu obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau
fenitoin.

 Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemid. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi janin, dan menurunkan berat
janin.

 Pemberian antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas
(cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi.
Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥160/110
mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg.

Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25%


dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105
atau MAP < 125.
o Antihipertensi lini pertama
Nifedipine: dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit;
maksimum 120 mg dalam 24 jam.
o Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside : 0,25 µg i.v/kg/5 menit
Diazokside: 30 -60 mg i.v/5 menit; atau i.v infus 10 mg/menit/dititrasi

 Edema paru
Pada PEB, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau nonkardiogenik (akibat
kerusakan endotel pembuluh darah kapiler paru)

 Glukokortikoid
Pemberian Glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada usia kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Obat ini
juga diberikan pada sindrom HELLP.

Sikap terhadap kehamilannya


Perawatan konservatif / ekspektatif
a. Tujuan
1. Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan
yangmemenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa
mempengaruhikeselamatan ibu
b. Indikasi
Kehamilan < 37 minggu tanpa dijumpai tanda-tanda gejala impending
eklampsia
c. Terapi medikamentosa:
Bila penderita sudah kembali menjadi preeklampsia ringan, maka masih
akan dirawat 2-3 hari lagi, baru diizinkan pulang
d. Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34
mingguselama 48 jam
e. Perawatan dirumah sakit:
1. Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinik :
 Nyeri kepala
 Penglihatan kabur
 Nyeri perut kuadran kanan atas
 Nyeri epigastrium
 Kenaikan berat badan dengan cepat
2. Menimbang berat badan ketika masuk rumah sakit dan diikuti
setiapharinya
3. Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulangi setiap 2hari
4. Pengukuran desakan darah dan pemeriksaan lab sesuai denganstandard
yang telah ditentukan
5. Pemeriksaan ultrasound sonography (USG) khususnya
pemeriksaaan:Ukuran biometrik janindan volume air ketuban
6. Penderita boleh dipulangkan: Penderita dapat dipulangkan apabila 3hari
bebas gejala–gejala preeklampsia berat

Perawatan Aktif
Perawatan aktif dilakukan dengan indikasi :
a. Ibu :
1. Kehamilan > 37 minggu
2. Impending Eklampsia
3. Kegagalan pada perawatan konservatif, yaitu :
 Dalam waktu atau selama 6 jam sejak dimulai pengobatanmedisinal
terjadi kenaikan TD
 Atau setelah 24 jam sejak dimulainya perawatan medisinal tidakada
perbaikan gejala-gejala.
b. Janin :
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda IUFGR

2. Eklampsia
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “halilintar”, karena
seolah-olah gejala timbul secara tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain.
Eklampsia biasanya timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan tanda
- tanda preeklampsia.3Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita
preEklampsiaa, yang disetrai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya
dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra dan postpartum.

Eklampsia di bagi menjadi:


1. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan atau
(ini paling sering terjadi), kejadiannya 150 % sampai 60 %.
2. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia saat persalinan. Kejadian sekitar 30 %
sampai 35 %. Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama
saatmulai inpartu.
3. Eklampsia postpartum kejadiannya jarang . serangan kejang atau komaterjadi
setelah persalinan berakhir.
a. Diagnosis eklampsia
Diagnosis eklampsia umumnya tidak sukar. Dengan adanya tanda dan gejala
preeklampsia yaitu 2 dari trias tanda utama (hipertensi, edema, proteinuria)
yang disusul oleh serangan kejang seperti yang telah diuraikan, maka diagnosis
eklampsia sudah tidak diragukan.
Umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,
mual keras, nyeri di epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas dan
hiperefleksia pada patella.
Konvulsi pada eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :
1. Tingkat awal atau aura yang berlangsung ± 30 detik.
Biasanya berawal di sekitar bibir dalam bentuk kedutan pada otot-otot
muka. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan
bergetar dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
2. Tingkat kejangan tonik yang berlangsung ± 30 detik.
Seluruh otot menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam dan
kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai menjadi
sianotik, lidah dapat tergigit.
3. Tingkat kejangan klonik yang berlangsung 1 – 2 menit.
Spasme tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang
dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tegigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbus,
muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar.
Kejangan klonik ini dapat demikian hebatnya sehingga penderita dapat
terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita
menarik napas secara mendengkur.

4. Tingkat koma.
Lama kesadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi
sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan
baru dan yang berulang sehingga ia tetap dalam keadaan koma.Selama
serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat sampai
400 C.
Sepanjang serangan kejang, diafragma tidak bergerakdan pernapasan
terhenti. Selama beberapa detik tampak seolah-olah akan meninggal karena
penghentian napas, tetapi pada saat keadaan yang membawa kematian ini
terlihat tidak akan terhindarkan, pasien ini mulai menghirup napas panjang
dan dalam serta berbunyi mengorok lalu pernapasan pulih kembali. Koma
kemudian menyusul. Koma setelah kejang menunjukkan lama yang
bervariasi. Jika kejang tidak sering, pasien akan terlihat sedikit sadar di
antara saat-saat kejang. Pada kasus yang berat, koma akan terus menetap
dan kematian dapat terjadi sebelum pasien sadar.
.
b. Penatalaksanaan eklampsia
Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan berulangnya
serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman
setelah keadaan ibu mengizinkan.
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah
komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara
terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa
aspek, yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan
mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk
persalinan. Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu
berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
Dasar-dasar pengelolaan eklampsia8
 Terapi supportif untuk stabilisasi pada ibu
 Selalu diingit ABC (Airway, Breathing, Circulation).
 Pastikan jalan nafas atas tetap terbuka
 Mengatasi dan mencegah kejang
 Koreksi hipoksemia dan asidemia
 Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisis
 Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat
Pemberian terapi medikamentosa8
 Segera masuk rumah sakit
 Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
 Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
 Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
 Pemberian MgSO4 dibagi :
o Loading dose (initial dose) : dosis awal
o Maintenance dose : dosis lanjutan

 Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4
menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat
terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat
(MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4

profilaksis,kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian


infus MgSO41-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan

pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara

cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan
pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4

dalammereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme


kerja MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh

darah otak juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek


perusakkan radikal bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang
iskemik dan atau memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor
glutamat N-metil-D–aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan
kejang eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat
dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek
diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit.
Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan
benzodiazepin karena sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada
janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis total
benzodiazepin pada ibu > 30 mg.

 Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada
eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara
langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit
berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan
terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian
besar peneliti menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi yang poten
untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan
tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara
prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh
darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi
tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya, sedangkan pada orang
dewasa dengan tekanan darah yang normal atau rendah mungkin akan
menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar tekanan darah yang lebih
rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan persisten (>160/110 mmHg)
harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular. Penatalaksanaannya
termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg
bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV,
diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg
pada dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah mendapat terapi untuk
kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki kelainan neurologis harus
dievaluasi lebih lanjut.
 Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun
telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita
dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang
dan komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis,
pnemonitis aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi.
Namun, pemilihan jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli
obstetrik telah lama menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk
mencegah berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi memilih anti
konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti
fenitoin atau diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah
penelitian klinis terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara
pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit
efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak secara
selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada wanita
dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4
adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinu. Fase
pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon yang
dalam adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), Respirasi > 22
x/menit, urine output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum magnesium
tidak diperlukan jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk
membuktikan toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu
konsentrasi ambang yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang,
meskipun telah direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL.

 Evaluasi pada persalinan


Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang
usia kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak
perlu menghalangi dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan
stabilisasi terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
sebelum menentukan cara yang paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya
usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara umum, kurang
dari sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada
kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang belum
matang untuk dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk
mematangkan serviks dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop,
namun induksi yang terlalu lama harus dihindari.
Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3-5 menit merupakan
keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan
hal ini tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi
ibu dapat membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu,
hiperkarbia dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering
berhubungan dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi
denyut jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam waktu 20-30
menit.

- Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi ≥ 180/110 atau MAP ≥ 126

Jenis obat : Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum


120 mg dalam 24 jam.

Tekanan darah diturunkan secara bertahap :


1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
2. Tekanan darah diturunkan mencapai :
3. -< 160/105
- MAP < 125

- Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan


secara IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan
dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1 jam, bisa
diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit.
 Pengelolaan eklampsia
a. Sikap dasar pengelolaan Eklampsia : semua kehamilan dengan
Eklampsia harus diakhiri (diterminasi) tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap kehamilannya
adalah aktif.
b. Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi
(pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu.
c. Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam, setelah salah
satu atau lebih keadaan seperti dibawah ini, yaitu setelah :
1). Pemberian obat anti kejang terakhir
2). Kejang terakhir
3). Pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir
4). Penderita mulai sadar (dapat dinilai dari Glasgow-Coma-Scale
yang meningkat)

c. Prognosis
Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus,
meliputi DIC, gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati,
perdarahan intraserebral, henti jantung paru, pneumonitis aspirasi, edema paru
akut, dan perdarahan pasca persalinan. Kerusakan hepatoselular, disfungsi
ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas neurologi akan sembuh setelah
melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan atau
iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen.

Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria


Eden antara lain:
1. Koma yang lama (prolonged coma)
2. Nadi diatas 120
3. Suhu 39,4°C atau lebih
4. Tekanan darah di atas 200 mmHg
5. Konvulsi lebih dari 10 kali
6. Proteinuria 10 g atau lebih
7. Tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas
ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan
lebih buruk.

5. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik dapat disebabkan primer: idiopatik:90%dan sekunder:
10%, berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan
pembuluh darah.
a. Diagnosis hipertensi kronik dalam kehamilan
Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang telah timbul
sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur kehamilan.
Ciri-ciri hipertensi kronik:
 umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
 tekanan darah sangat tinggi
 umumnya multipara
 umumnya ditemuka kelainan jantung, ginjal, dan diabetes mellitus
 obesitas
 penggunaan obat-obatan antihipertensi sebelum kehamilan
 hipertensi yang menetao pascapersalinan

b. Pengelolaan pada kehamilan


Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu,
tanpa memandang status kehamilan. Antihipertensi yang diberikan:
 Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada
stage I hipertensi
 Bila terjadi disfungsi end organ
Jenis obat anti hipertensi yang diberikanpada hipertensi kronik dalam
kehamilan:
 Metildopa
 Calcium channel blockers: Nifedipine

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia


Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik disertai
kelainan ginjal dengan proteinuria.
Tanda-tand superimposed preeklampsia adalah:
a. Adanya gejala proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala berat,
gangguan visus, edema patologik (anasarka), oliguria, edema paru
b. Kelainan laboratorik berupa kenaikan serum kreatinin , trombositopenia,
kenaikan transaminase serum hepar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom

KD. William Obstetrics. 22th Edition. USA: McGraw-Hill;2007. Chapter 34.

2. Angsar MD. Hipertensi dalam kemilan. Dalam: Prawirohardjo S. Ilmu

Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Tridasa Printer; 2008. Hal.530-561.

3. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. Edisi ke-6. USA: Churchil Livingstone;

2003. Hal.114-121

4. Decherney AH, Nathan L, Goodwin M, Laufer N. Current diagnosis &

treatment obstetrics & gynecology. 10th Edition. USA: McGraw-Hill; 2007.

Chapter 19.

5. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL. Obstetrics normal and problem

pregnancies. 5th Edition. USA: Elsevier; 2007. Chapter 33.

6. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygard I. Danforth’s Obstetrics and

Gynecology. 10th Edition. USA: Lippincott williams & wilkins; 2008. Chapter

16.

7. Angsar D. Hipertensi dalam kehamilan. Edisi II. Surabaya: Lab/SMF

ObstetriGinekologi,FakultaskedokteranUNAIR/RSUDDrSoetomo; 2003.

8. Davison,M.

2004.Newaspectsinthepathophysiologyofpreeclampsia.JournalAmerican

Nephrology.15:2440-2448.

9. Hladunewich, M.Karumanchi. S.A.Lafayette,R.2007.Pathophysiology ofthe

clinicalmanifestationsofpreeclampsia.ClinicalJournal

AmericanNephroogyl2:543-549.
10. Sibai,B.M.2005.Diagnosis,Prevention,andManagementofEclampsia.America

nJournalObstetricsGynaecology.Vol:105:405-410

11. Manuaba,I.B. G.Pengantar kuliah obstetri. Jakarta: EGC; 2007. pp. 401-31

12. Uzan, J., et al, 2011. Pre-eclampsia: pathophysiology, diagnosis,

andmanagement.InternationalJournal ofWomen’s Health.7:467-474

Anda mungkin juga menyukai